Another Miracle
.
.
By : voldemortslave
This fanfiction is represented to my deepest feeling 'bout Tomione and this is a sequel for my story, One Day for Christmas. If you haven't read yet One Day for Christmas, i suppose you to read it first :)
Warning : This story will have many chapters and i warned you from the first.
Disclaimer : Harry Potter © JK Rowling
Summary : Muncul dan pergi begitu saja, lalu meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan. Tom tak pernah menemukan gadis yang sekurang ajar dirinya. Ia harus mendapatkan gadis itu kembali untuk membayar atas semua yang ia lakukan padanya. Hermione Granger, adalah obsesi barunya.
1. Obsesi Baru
DIA milikku. Aku akan mendapatkannya.
Setidaknya kalimat itu adalah hal yang menghantui Tom Riddle dalam enam hari ini. Seorang Tom Riddle dengan sebuah obsesi barunya. Ya, karena sekarang ia harus menambah satu lagi dalam daftar impian yang harus ia dapatkan.
Mendapatkan gadis itu kembali kepadanya.
Tom Riddle tidak pernah berurusan dengan masalah picisan seperti ini. Tidak, ia bahkan tidak ingat kapan ia pernah tertarik dengan seorang gadis selama hidupnya. Menghabiskan waktu untuk berurusan dengan perihal cinta adalah hal yang bodoh.
Ya, hal yang bodoh hingga Ibunya bisa mencintai seorang muggle menjijikkan yang bukan lain adalah Ayahnya. Ia tak mau menjadi bodoh dan buta karena cinta. Cinta adalah omong kosong.
Tom mengetukkan jari-jarinya diatas meja dengan tempo yang beraturan. Perasaannya pada gadis itu jelas-jelas bukan cinta. Ia menyukainya, tentu saja —ia tidak menyangkalnya. Bahwa nyatanya dia memang gadis yang sangat menarik dan ia terpikat akan pesonanya. Kecerdasannya, kecantikannya, penampilannya dan semua yang ada pada gadis itu membuatnya tersihir.
Gadis itu memiliki kekuatan yang tak pernah ia temukan pada gadis-gadis yang ia temui. Keegoisannya, tipu dayanya, membuat Tom merasa bahwa gadis itu mirip dengannya. Alasan terakhir hingga Tom menjadi sangat tertarik dengannya, karena ia mengetahui nyaris segala tentang hal yang ia sembunyikan selama ini dan ia membeberkan tentang masa depannya yang begitu buruk bahkan untuk dibayangkan.
Kemudian ia menghilang begitu saja, layaknya buih.
Hermione Granger, Tom memejamkan matanya saat menggumamkan namanya lamat-lamat. Seorang gadis cantik dengan rambut cokelat madunya yang bergelombang, garis wajah yang tegas dan memiliki bibir yang sangat lembut, yang ia klaim sebagai kekasihnya—miliknya. Gadis itu datang dari masa depan yang sialnya, Tom lupa untuk bertanya dari tahun mana ia berasal. Jelas ia tidak sempat bertanya untuk itu. Tidak, pada saat terakhir gadis itu menghilang. Ia tentu menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk melakukan hal lebih penting.
Tapi dari tahun mana ia berasal jelas sangat penting!
Tom mengepalkan tinjunya dan menghantam meja yang ia ketuk-ketukkan dari tadi itu dengan kesal. Wajahnya tak terbaca, dan Tom menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak peduli apabila Burke tua itu akan mengomelinya karena menghantam mejanya.
Tidak ada hal yang bisa membuatnya lebih baik. Ia terjebak pada sebuah kebingungan yang teramat dalam dan ia tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Sejak hari pertama menghilangnya Hermione, Tom sudah menyibukkan dirinya dengan membaca segala buku yang berhubungan dengan waktu. Ia membaca tentang Time-Turner di perpustakaan milik Malfoy, tapi benda itu hanya mampu mengembalikan waktu ke masa lalu paling lama 5 jam berdasarkan sejarah dan benda itu tak bisa membawanya ke masa depan. Sedangkan kenyataan yang ia alami bahwa ia baru saja menemui gadis yang terdampar ditahun yang sangat jauh dari tahunnya. Yang ia sesali sekali lagi, ia tak tahu di tahun apa gadis itu berada.
Bahkan ia mencoba untuk memodifikasi Time-Turner yang dengan mudah ia dapatkan dengan mengandalkan koneksi para pengikutnya. Masalahnya, Time-Turner benar-benar mendapatkan pengawasan ketat dari Kementrian Sihir dan jumlahnya pun hanya satu. Dengan modifikasi, setidaknya jika ia tak bisa berada di tahun gadis itu berada, ia bisa mengulang waktu dimana mereka bertemu pertama kali. Tapi sialnya, karena keterlambatan para pengikutnya—selama tiga hari—dalam membawa Time-Turner membuatnya jengkel. Ia tak dapat mengembalikan waktu dimana ia bertemu dengan Hermione dan modifikasinya juga gagal.
Itu alasan mengapa suasana hatinya begitu buruk belakangan ini. Tom memijit keningnya, mencoba untuk menghilangkan sedikit depresinya—meski ia tahu bahwa itu tak membantu sama sekali. Karena Hermione Granger, si Mudblood menyebalkan yang membuatnya frustasi dalam enam hari ini.
"Tom, astaga, kukira kau sudah pulang daritadi," Burke muncul dari sela-sela rak yang penuh berisi barang-barang antik miliknya dengan kerutan di dahinya. "Ini malam tahun baru, Tom. Kau ini anak muda, jangan habiskan malammu di tempat yang membosankan seperti ini."
Tom menoleh ke arah Burke dan tersenyum tipis. Hermione Granger, aku bahkan hingga tak sadar waktu kalau ternyata ini sudah jam pulang gara-gara memikirkanmu, gerutu Tom dalam hati. "Saya akan pulang sekarang,"
Burke dengan perut buncit dalam pakaiannya yang terlihat sempit, hendak berkata sesuatu, tapi kemudian ia mengibaskan satu tangannya ke depan wajahnya. "Baiklah, baiklah. Pulang sana,"
Tom mengangguk kecil dan ia memakai jubahnya. Pada saat ia hendak pergi, Burke menahannya. "Tunggu sebentar, Tom." Ucapnya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kantong hitam penuh yang terikat. Awalnya, ia menatap kantong itu dengan tatapan prihatin, namun kemudian ia menggeleng kecil. "Ini, ambilah. Belilah sesuatu untuk tahun baru ini,"
Burke memberikan kantong hitam yang bisa Tom tebak berisi penuh dengan kepingan Galleon didalamnya, dengan wajah yang nampak setengah rela setengah keberatan. Tapi pada saat ia memberikannya, Burke menepuk bahu Tom secara formal. "Kau sudah bekerja dengan keras disini. Selamat ulang tahun, nak."
Tom tersenyum tipis dengan sopan, meski nyatanya raut wajah tak suka terlihat sangat jelas. "Terimakasih, Mr Burke."
Kemudian Tom berpamitan pada Burke sebelum ia benar-benar pergi dari sana. Ia menghirup udara dingin saat ia sudah di luar pintu toko Borgin and Burkes, tempat dimana ia bekerja. Salju masih terus turun di malam tahun baru ini dan suhu udara pun semakin dingin. Ia merapatkan mantelnya, berjalan keluar menyusuri jalan. Masalahnya, salju di gang Knockturn Alley mulai menumpuk dan itu buruk karena menyusahkannya untuk berjalan. Tom mendecakkan lidahnya, mengeluarkan tongkatnya dan dengan gerakan santai ia mengibaskan tongkatnya lalu sedetik kemudian jalanan yang tertutup salju di hadapannya sudah membelah menjadi dua sisi. Ia tidak suka segala sesuatu yang menghalanginya.
Terkecuali untuk Hermione.
Berbicara mengenai Hermione, ia teringat bahwa sempat-sempatnya gadis itu mengucapkan selamat ulang tahun padanya di detik-detik terakhirnya.
Tom yakin tanpa ia beritahu pun Hermione pun sebenarnya tahu bahwa ia tak pernah menyukai hari ulang tahunnya. Lagipula, ia tahu segalanya kan?
Gadis sialan, gumam Tom. Sekalipun ia tahu bahwa Tom membenci hari kelahirannya, gadis itu tetap mengucapkannya. Tapi ia tak dapat menyangkal, bahwa nyatanya ia menyukai ucapan gadis itu padanya.
.
Omong-omong, apa yang tidak Tom suka dari Hermione?
.
Jawabannya, tidak ada.
.
Dia memasukan kedua tangannya dalam jubahnya dan ketika ia sampai pada ujung gang, langkahnya terhenti. Ia melihat seorang pria dengan rambut pirang platinum berdiri dengan menyender di dinding ujung gang Knockturn Alley. Pria itu langsung menegapkan tubuhnya begitu matanya menangkap sosok Tom. Ia menunduk sedikit; menunjukkan rasa hormatnya.
Itu Abraxas Malfoy, pengikutnya yang paling setia dan paling berwibawa diantara yang lainnya. Ia merupakan pengikut yang selalu bersamanya selama tujuh tahun ia berada di Hogwarts dan sampai detik ini, ia belum pernah mengecewakan Tom. Semoga dia tidak pernah mengecewakan Tom, karena itu akan berakibat sangat fatal bagi kelangsungan hidupnya.
"Bagaimana?" Tom mengawali percakapan mereka dengan pertanyaan yang langsung pada intinya.
Abraxas segera menoleh ke arah Tom dengan pandangan sopan dan melangkah mendekat. Ia menoleh ke sekitarnya, berhati-hati untuk memulai perkataanya. "Kementerian sudah mendeteksi adanya sihir lain dalam Time-Turner yang mencoba untuk mengubah sistemnya."
Tom memejamkan matanya sejenak, rahangnya kemudian mengeras. "Kita bicarakan ditempat lain,"
Abraxas mengangguk menyetujui perkataan Tom. Keduanya kemudian berjalan beriringan layaknya orang biasanya, seolah mereka memang rekan. Itu adalah hal yang biasa diakukan apabila mereka memang sedang berada di ruang publik. Tapi meskipun begitu, tetap saja perbedaan itu sangat kental terasa. Abraxas berjalan terlalu sopan dan ia bahkan tak berani bertanya kemana Tom akan membawa mereka.
Namun langkahnya berhenti saat Tom juga tiba-tiba menghentikan langkahnya. Abraxas kemudian memandang bingung saat Tom berhenti hanya untuk melihat papan nama Hawkins and Buggs's Café. Apa mungkin ia ingin makan disini? Tom mengalihkan pandangannya ke Abraxas dan kemudian ia berkata, "Kita bicara didalam,"
Tom memasuki café itu terlebih dahulu, yang kemudian disusul oleh Abraxas dibelakangnya. Café itu nampak ramai, bahkan untuk malam tahun baru seperti sekarang ini. Suasana sangat meriah karena ada band yang menghibur makan malam mereka. Meja-meja hampir tak ada yang terlihat kosong, Abraxas ingin menyarankan untuk memilih tempat lain saja namun Tom tetap melangkahkahkan kakinya menuju lebih dalam lagi. Tak ada yang dapat ia lakukan selain mengikuti Tuannya.
Ternyata dugaan bahwa tak ada meja kosong lagi adalah salah, karena nyatanya ada beberapa meja yang masih tersisa; sekitar tiga meja lagi. Ada meja yang dekat dengan band, di pojok kanan dan tiga meja dari belakang. Abraxas yakin bahwa Tom akan memilih di pojok karena yang akan mereka bicarakan mengenai sesuatu yang sangat penting bagi Tom—
—dugaannya salah lagi.
Tom tahu-tahu saja sudah menyamankan dirinya dengan duduk di bangku meja yang dekat dengan band. Abraxas mengerutkan dahinya samar, karena selama hampir sembilan tahun lamanya ia mengenal Tom, ini pertama kalinya ia melihat Tom terlihat nyaman ditengah keramaian. Ia tahu betul bahwa Tom sama sekali tak suka suasana gaduh, tapi apakah mungkin—
.
Tidak, tidak mungkin.
.
Tom tidak mungkin melakukan ini demi ulangtahunnya hari ini.
.
Memikirkannya saja sudah membuat Abraxas merinding.
.
"Kenapa?" Suara Tom membuat Abraxas tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru bersikap untuk biasa dan mendudukkan dirinya dengan canggung di hadapan Tom.
"Tuan, apa tempat ini tidak terlalu ramai untuk kita membicarakan masalah ini?" Tanya Abraxas dengan ragu. Melihat Tom menaikkan satu alisnya, membuatnya buru-buru menambahkan, "Maksud saya, kita bisa duduk di pojok dan menjauh dari keramaian—"
"Aku ingin duduk disini," ucap Tom dengan nada dingin. Ucapannya lebih mirip sebuah titah yang tak dapat ditentang. "Kau keberatan, Malfoy?"
Menggeleng dengan cepat adalah hal yang amat membantu di tengah situasi seperti ini. Tom kemudian tersenyum simpul dan ia menoleh ke arah band yang tengah menyanyikan lagu-lagu dengan tema tahun baru. Hampir semua pelanggan di café ini mengikuti nyanyiannya dengan gembira.
Ia menarik nafas panjang dan matanya jatuh ke arah tiga lilin yang melayang di meja mereka. Alasan mengapa Riddle memilih untuk duduk di meja ini karena ini adalah mejanya yang digunakannya bersama Hermione malam itu. Seperti mendapat sebuah keberuntungan, meja ini masih kosong ditengah situasi yang sangat ramai seperti sekarang ini. Seakan-akan memang sengaja dikosongkan agar ia dapat duduk disana.
"Mr. Riddle! Oh, senang sekali melihat anda berada disini!" Seorang wanita yang nampak familiar di mata Tom menghampirinya dengan sebuah senyum lebar. Ah, itu adalah pelayan yang melayaninya malam itu. Si pelayan yang berusaha menghindarkan temannya agar tidak mengacaukan malamnya dengan Hermione. "Bagaimana kabar anda, sir?"
"Cukup baik, terimakasih." Tom menunjukkan senyum ramahnya yang palsu dan itu adalah hal yang biasa Abraxas lihat apabila mereka di luaran.
"Oh, kulihat anda tidak membawa kekasih anda lagi kemari," mata pelayan berambut hitam itu kemudian tertuju ke arah Abraxas. Senyum lebarnya sedikit menghilang. "Kali ini anda bersama seorang teman?"
Abraxas mengerutkan dahinya saat pelayan itu menyebutkan kata kekasih pada Tom. Apa maksudnya? Tom punya seorang kekasih? Dan kenapa pelayan ini memperlakukan Tom seakan-akan mereka sudah saling kenal?
"Ya, ini temanku." Tom melirik ke arah Malfoy menatap dengan penuh makna dengan senyum palsunya. Pelayan itu kemudiam tersenyum sopan pada Abraxas dengan formalitas.
"Baiklah, apa yang bisa aku bantu untuk dua pria yang menarik ini?" Tanya pelayan itu dengan nada yang kelewat ramah.
"Aku hanya butuh kopi hitam," Tom menjawab langsung. Ia melirik ke arah Abraxas tanpa perlu repot-repot bertanya apa yang ia ingin pesan. Hanya melemparkan sinyal padanya dan langsung direspon dengan baik oleh Abraxas. "Wiski api,"
"Satu kopi hitam dan satu wiski api, akan segera diantar!" Pelayan itu mencatat pesanan mereka dan sebelum ia benar-benar pergi dari meja mereka, ia menyempatkan untuk berkata, "Sampaikan salamku untuk Miss Dellaine, Mr. Riddle!"
Dan pelayan itu benar-benar meninggalkan meja mereka dengan kerlingan mata jahilnya dibagian akhir. Tom hanya tersenyum menanggapinya dan pada saat matanya menuju ke arah Abraxas ia segera menghilangkan senyumnya. Karena saat ini wajah dari pria berambut pirang platinum panjang itu penuh oleh tanda tanya besar.
Sebelum Abraxas mulai bertanya mengenai apa maksud yang dikatakan oleh pelayan itu, Tom mengambil tongkatnya dan merapalkan mantra peredam suara diantara mereka. "Jadi, apa lagi yang dilakukan oleh Kementerian Sihir?"
Seakan tersadar apa tujuan mereka kemari, Abraxas berdeham kecil. "Kementerian mencoba mendeteksi siapa yang berusaha mengotak-atik Time-Turner dengan sihir hitam. Awalnya mereka curiga apakah Time-Turner hilang setelah mendeteksi hal itu, namun setelah di cek ternyata benda itu masih ada ditempatnya."
Tom tersenyum simpul, perhitungannya tepat. Pada sehari setelah ia gagal memodifikasi Time-Turner itu, ia memperintahkan para pengikutnya agar segera mengembalikan benda pemutar waktu itu kembali ke Kementerian Sihir. Jadi tidak ada bukti bahwa benda itu pernah sempat hilang.
"Sekarang mereka tengah mencari tahu siapa pelakunya, menyelidiki motifnya dan mengukur seberapa hitam sihir yang berusaha menerobos sistem Time-Turner," ucap Abraxas dengan nada yang stabil. "Tapi sementara ini mereka menduga bahwa ini semua ada hubungan kuat dengan Grindelwald. Ada beberapa daftar nama penyihir hitam dan tak ada dugaan yang menjurus ke arah yang lain."
"Maksudmu, kita aman?" Tanya Tom.
"Ya, My Lord." Ucap Abraxas dengan yakin. Pesanan mereka kemudian datang dengan pelayan pria yang mengantarkannya tanpa basa-basi, langsung meninggalkan meja mereka. "Saya seutuhnya yakin."
"Kerja yang bagus, Ab." Ucap Tom dengan seringainya. Abraxas berusaha menahan dirinya untuk tidak menarik nafas lega secara berlebihan karena Tom sudah kembali pada mode memanggilnya dengan 'Ab'. Itu tandanya dia sudah aman.
Kemudian ia kembali mengingat perihal apa yang pelayan itu katakan pada Tom. Ia memberi jeda sejenak, menimbang-nimbang apakah ini waktu yang tepat untuk menanyakannya. Sungguh, demi jenggot Merlin yang agung, ia benar-benar dilanda penasaran yang teramat sangat—
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," ucap Tom tiba-tiba saat ia tengah menyeduh kopinya. Ia meletakan cangkir kopinya ke meja dengan gerakan yang sangat elegan bak seorang bangsawan. Ia menopang kedua sikunya di atas meja dan jari-jarinya bertautan, lalu pada akhirnya ia menjadikan tangannya sebagai topangan dagunya. "Tapi sebelum itu, aku butuh banyak bantuanmu."
Tatapan Abraxas mulai terfokus, "Dengan segala yang saya miliki, saya siap membantu kapanpun," Ia sedikit menunduk, menunjukkan rasa hormatnya pada Tom. "Hal apa lebih tepatnya yang dapat saya bantu untuk Tuanku?"
"Aku punya masalah yang tak dapat kuselesaikan sendiri," Tom berbicara dengan suara yang geram secara tiba-tiba. Seakan-akan ia dapat menghancurkan apapun yang ada didekatnya. "Kurasa dengan menceritakannya padamu dapat membantuku mengatasi masalahku,"
Abraxas meletakan tangan kirinya di dada kanannya, "Tuan bisa mempercayakannya padaku."
Tom selalu tahu bahwa Abraxas selalu bisa menjaga kepercayaan padanya. Lagipula, ia tidak akan mungkin berani mematahkan kepercayaan itu. Jadi, Tom mulai bercerita. "Aku bertemu dengan seorang gadis."
Abraxas nampak menahan nafasnya dan Tom dapat melihat kerutan samar didahinya. Ia terlalu tegang untuk mendengarkan semua ini.
"Dia bukan gadis biasa—oh, bahkan ia mengenakan celana panjang—dan ia sangat menarik perhatianku."
Tampaknya Abraxas mulai mengerti arah pembicaraan ini. Dengan samar, ia menunjukkan senyum simpulnya dan sebisa mungkin menyembunyikan rasa gelinya pada Tom. Tidak, ia masih ingin hidup. Tapi, ini pertama kali dalam hidupnya selama ia mengenal Tom dan ia tak menyangka bahwa yang menghantui pikirannya beberapa hari ini karena seorang wanita.
Ini akan menjadi sesuatu yang amat sangat menarik melihatnya tertarik pada seorang gadis, pikir Abraxas. Mengapa ia lamban sekali dalam masalah percintaan?
"Jadi aku baru bertemu dengannya sekali, saat aku pergi ke Diagon Alley minggu lalu saat natal, dan aku menghabiskan malamku bersamanya disini," Tom memulai dan Abraxas diam-diam mengulum senyumnya—ah, jadi dia baru bertemu sekali dengan gadis itu.
"Dia memandangku ketakutan," well, itu adalah hal yang wajar. Tapi dengan segera Abraxas menyadari sesuatu dan mengerutkan dahinya. Selama ia mengenal Tom, tak ada wanita yang memberi reaksi demikian dan— "Itu aneh, tentu saja."
Ya, sangat aneh ketika Abraxas hafal betul setiap ada wanita yang melihat Tom mereka bereaksi seperti ulat yang ditaburi garam diatasnya. Mereka akan tergila-gila akan ketampanannya yang mempesona dan misterius itu.
"Ternyata dia tahu sesuatu tentangku." Suara Tom berubah serius dan itu membuat Abraxas semakin menajamkan indra pendengarannya. "Salah, bahkan ia nyaris tahu semua tentang diriku. Ia tahu aku Lord Voldemort."
Abraxas secara reflek berdiri dari duduknya. Seakan ia telah mendapatkan semua runtutan cerita ini dengan jelas, ia dengan terang-terangan menunjukkan kernyitan di dahinya dan nyaris meledak, "Saya bersumpah akan mencaritahu siapa pengkhianat diantara—"
"Astaga, Abraxas. Tidak bisakah kau tenang sedikit?" Tom mengibaskan tongkatnya untuk membuat Abraxas kembali duduk di kursinya. Tom menggelengkan kepalanya, "Tidak, ini tidak seperti itu. Tidak ada pengkhianatan dan gadis ini tahu dengan sendirinya."
Abraxas semakin tidak mendapatkan ini dan kernyitannya semakin dalam. "Bagaimana bisa?"
"Ini dia masalahnya," ujar Tom tanpa menghilangkan wibawanya. "Gadis itu ternyata dari masa depan."
Dan detik berikutnya yang Tom dapatkan adalah jatuhnya rahang Abraxas yang melongo layaknya idiot. Ia membeku dalam kondisi seperti itu selama beberapa saat, sampai ia menyadarinya sendiri. Seakan-akan ia baru disadarkan akan sesuatu yang sebenarnya sudah sangat jelas.
.
.
Obsesi Tom yang mendadak tentang waktu,
.
.
Berusaha memodifikasi Time-Turner agar berjalan sesuai keinginannya.
.
.
Jadi semua itu karena seorang gadis dari masa depan?
.
.
"Ya, itu semua karena seorang gadis yang harusnya tetap disini bersamaku," Tom memincingkan matanya dan Abraxas tersentak, bagaimana ia bisa tahu apa yang ia pikir—ah, ia pasti menyuarakan isi pikiran sialannya itu!
"Kau beruntung Malfoy karena aku tidak mengutukmu." Suara Tom yang pelan namun mengancan itu membuat Abraxas menegang. Sialan, ia dalam tahap memanggil 'Malfoy' lagi. "Kau beruntung karena aku membutuhkan bantuanmu,"
Terimakasih, Merlin, Abraxas bersyukur dalam hati dan ia menunduk menunjukkan penyesalannya. Tom bergeming, lalu kemudian ia lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa mendapatkannya kembali?"
Abraxas memandang Tom dalam pandangan yang sopan. Ia sedikit berdeham dan mengernyitkan dahinya. "Saya belum pernah mendengar hal yang semacam ini," ujarnya dengan rasa bingung yang kentara. "Bahkan dengan Time-Turner terlalu mustahil untuk membalikkan waktu dalam jangka waktu tahunan."
"Aku juga sudah tahu tentang hal itu, bodoh." Tom berdecak dan ia menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi yang ia duduki. "Maksudku, apabila Time-Turner tidak dapat membantuku, apa ada cara lain? Lorong waktu, portkey atau apapun itu?"
Abraxas menunduk, ia kemudian menggeleng pelan. "Time-Turner adalah satu-satunya benda sihir yang berhubungan dengan waktu, Tuanku." Jelas Abraxas. Sebelum Tom melakukan hal yang tidak ia inginkan—mengutuknya, ia bersuara lagi. "Tapi mungkin, kita dapat melakukan alternatif lainnya."
Tom menyimak, membiarkan Abraxas melanjutkan perkataannya lagi, "Mungkin tidak harus dengan cara datang ke masa dimana gadis itu berada. Lagipula, dia dari masa depan. Kita masih bisa menemukannya."
"Maksudmu kau suruh aku menunggu?"
"Kira-kira seperti itu," tangan Abraxas mulai terasa dingin. Tapi ia berusaha mengontrol rasa takutnya. "Kalau boleh saya tahu, darimana gadis itu berasal—selain kenyataan bahwa ia dari masa depan?"
Tom memejamkan matanya, otaknya berputar dengan cepat. "Inggris."
"Dia dalam satu negeri dengan kita kalau begitu," Abraxas tersenyum kecil. Ia butuh informasi lagi. "Apa dia salah satu siswa di Hogwarts pada masanya?"
Tom mengernyitkan dahinya, berusaha mengingat-ingat apapun yang dikatan Hermione padanya. "Aku baru tahu kalau seorang Tom Riddle ternyata banyak bicara dan sangat fanatik terhadap warna asramanya." Sindir Hermione dengan nada sinis.
Dia tahu tentang asrama Tom.
"Oh ya? Kalau begitu, apakah Dumbledore tahu perihal nama lainmu?" Tantang Hermione. "Apakah Dumbledore tahu jika kau memiliki pengikut kecil-kecilanmu? Death Eater? Dan tentang kau membunuh pamanmu lalu menjadikannya hocrux keduamu?"
Dia tahu siapa Dumbledore dan dia terlibat dalam peperangan dalam melawannya.
"Ya, dia pasti dari Hogwarts." Tom menyimpulkan.
"Bagus," senyum Abraxas kini merekah. "Ditahun apa dia berasal?"
Tom mendecakkan lidahnya, lagi-lagi pertanyaan itu. Tapi ia menahan amarahnya dan berkata, "Aku tidak tahu."
Abraxas terdiam, tidak membahasnya lebih lanjut. Ia memandang Tom dengan tatapan liciknya, namun Tom tahu benar bahwa jika Abraxas sudah seperti ini, tandanya ia telah membuat suatu ide. Pria dengan rambut pirang platinun dan kerapiannya yang diatas rata-rata itu menyentuh dadanya lagi dengan tangan kirinya. "Izinkan saya menyampaikan sebuah gagasan, My Lord."
Dengan anggukkan dari Tom, Abraxas tersenyum simpul. "Saya memiliki sebuah gagasan," katanya pelan. "Saya sarankan anda untuk menjadi guru di Hogwarts, Tuanku,"
DARI dulu, Tom selalu menginginkan menjadi guru di Hogwarts. Ia lebih merasa lekat kepada sekolah ini daripada kepada orang manapun. Di Hogwarts-lah dia merasa paling bahagia; tempat pertama dan satu-satunya di mana dia merasa betah.
Yang kedua, kastil Hogwarts adalah kubu sihir kuno. Tak diragukan lagi Tom sendiri telah memasuki jauh lebih banyak rahasia kastil ini daripada sebagian besar murid yang melewati tempat ini, namun dia selalu merasa bahwa selalu ada kemungkinan misteri untuk diungkapkan, kisah-kisah sihir untuk disadap di kastil itu.
Yang ketiga, sebagai guru, dia akan memiliki kekuasaan dan pengaruh besar terhadap penyihir-penyihir muda yang ia targetkan untuk menjadi antek-anteknya. Tom memandang Hogwarts sebagai tempat rekrutmen yang sangat berguna, dan tempat dimana dia bisa mulai membentuk pasukan untuknya sendiri.
Itu obsesinya dulu, saat ia berusia delapan belas tahun dan baru saja lulus dari sana. Bahkan ia pernah berusaha mewujudkan cita-citanya untuk menjadi guru di Hogwarts begitu ia lulus, namun sayang, Professor Dippet menolaknya. Tom ingat betul saat itu Dippet mengatakan bahwa ia terlalu muda pada usia delapan belas tahun, tetapi mempersilakannya untuk melamar lagi beberapa tahun kemudian, jika dia masih ingin mengajar.
Setelah menyampaikannya, Abraxas tetap menjelaskan maksud dari idenya. Ia mengatakan bahwa dengan Tom menjadi guru di Hogwarts maka ia bisa mempermudah langkahnya untuk menemukan gadis itu. Menunggu adalah cara yang harus ia lakukan mau tidak mau. Dengan menjadi guru di Hogwarts, adalah akses yang sangat menjanjikan dan berguna untuk mengetahui di tahun mana gadis itu akan datang.
Menarik.
Tom menyimak penjelasan Abraxas baik-baik. "Akan banyak kemudahan apabila Tuan setuju untuk menjadi guru di Hogwarts." Ujarnya dengan nada yang percaya diri. "Selagi Dippet masih menjabat menjadi Kepala Sekolah, itu akan semakin mempermudah segalanya."
"Tidak juga," Tom bersuara, ia mengerutkan dahinya. "Aku pernah melamar untuk menjadi guru disana saat kita baru lulus dan Dippet menolakku,"
Abraxas melirik sedikit ke arah Tom yang nampak tak nyaman mengatakan hal itu. Informasi baru lagi, gumamnya. Abraxas kemudian tersenyum, "Tuanku masih terlalu muda saat itu. Namun sekarang Tuanku sudah cukup umur untuk menempati posisi guru disana,"
"Dua puluh tahun," Tom bergumam. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja lagi. Ini hari dimana ia resmi bertambah usianya. Tapi baik Tom maupun Abraxas sama-sama tahu bahwa Tom tak pernah suka menyinggung perihal hari lahirnya. "Tak ada guru yang berusia dua puluh tahun di Hogwarts,"
"Kalau begitu, ini akan menjadi rekor baru," senyum simpul Abraxas semakin merekah. "Bahwa akhirnya dalam sejarah ada guru muda di Hogwarts yang sangat cemerlang."
Mendengar gagasan bahwa ia akan menjadi sejarah bagi Hogwarts apabila ia menjadi guru muda disana, akan semakin baik bagi reputasinya yang baik dikalangan masyarakat. Profesor Dippet sangat menyukainya dan selalu yakin akan kejujurannya. Lagipula saat itu Dippet mengatakan bahwa ia dapat kembali beberapa tahun lagi apabila ia masih memiliki niat menjadi guru.
Tom suka dengan pemikiran itu.
Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya lagi. Selalu ada pengganggu disetiap jalan yang ia inginkan. Dumbledore, si Profesor Transfigurasi yang paling ia benci itu pasti akan menghalanginya untuk menjadi guru disana. Pasti.
"Well, harus kuakui itu ide yang bagus, Ab." Tom berkata dengan nada yang pelan dan berat. "Tapi kau tahu, meskipun kedengarannya sangat mudah menjadi guru disana, Dumbledore tidak akan membiarkanku mendapatkan posisi guru di Hogwarts. Meskipun Dippet mungkin tidak jadi masalah, tapi Dumbledore juga memiliki peranan penting disana. Dia akan mempengaruhi Dippet untuk menggagalkanku,"
Abraxas terdiam dan memilih untuk berpikir sejenak untuk memecahkan masalah ini. Tapi tak butuh waktu lama bagi Abraxas untuk memiliki jawabannya. "Mungkin akan sedikit susah, " ucap Abraxas. "Namun sebelum memikirkan hal itu, jabatan apa yang anda inginkan sebagai guru di Hogwarts, My Lord?"
Tom mengerjapkan matanya beberapa kali dengan perlahan. Kemudian ia menyeringai menatap Abraxas, "Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, tentu saja."
"Baiklah," Abraxas memberikan pandangan menjanjikan pada Tom. "Saya akan mengusahakan Dumbledore tidak menemukan pilihan lain selain menerima Tuan sebagai guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam,"
"Caranya?"
"Caranya," Abraxas mulai bersuara dengan suara liciknya. "Galatea Merrythought harus disingkirkan terlebih dahulu. Lalu, kosongkan beberapa waktu untuk jabatan Pertahanan terhadap Ilmu Hitam agar tidak terlalu ketara. Saya akan pastikan nama Tuan dijadikan rekomendasi pengganti yang tepat dari Merrythought, My Lord."
Dan Tom tak pernah menyesal memiliki pengikut yang setidaknya secerdik dan selicik Abraxas Malfoy. Seorang Malfoy memang tidak dapat diragukan lagi.
Author's Time :
Well, I'M BACK! Karena ternyata respon cerita yang kemarin ternyata cukup baik, saya tidak enak hati apabila menggantungkan cerita saya begitu saja. Saya tahu rasanya digantungin, btw, dan itu gak enak. I love to read for every ur review, for every ur PM, seriously. Tapi itu juga semakin membuat saya merasa berhutang pada cerita One Day for Christmas yang gantung gitu aja. Ini adalah sequelnya, guys. Kali ini problemnya makin panjang dari yang sebelumnya dan jauh lebih rumit. Well, seperti yang sudah saya peringatkan dari awal cerita ini akan menjadi sangat panjang and saya harap kalian tidak bosan. Oiya, ini settingnya saya ambil dari baik dari versi buku maupun movienya. Hope you like it, muggles! :3
Mind to review? ;)
.
Best Regards,
omonaigu
