LITURGI

.

.

.

Chapter 1: Ritual

.

.

.


Kata orang kepala adalah bagian paling suci pada manusia. Itu sebabnya manusia tidak boleh bersujud selain kepada Tuhan. Karena bagian yang paling suci itu, hanya boleh merendah pada sesuatu yang lebih suci lagi. Kepala adalah bagian yang paling penting, jadi aku selalu memulai ritual pemujaan dari sana.

Pertama aku mengecup kening Luhan, lalu ke pelupuk mata kiri, kanan. Turun ke hidung, pipi kiri, pipi kanan, lalu dagu. Luhan tersenyum lembut padaku dan aku membalasnya dengan mengecup ujung bibir kiri, lalu kanan. Kedua tangan Luhan menangkup pipiku, matanya berkilau seakan mengatakan oh, Sehun, bukan di situ.

Aku mengerti.

Bibirku membungkus miliknya. Mulut adalah sarang dosa, harus disucikan. Jadi aku melumat bibirnya dan Luhan mulai mengeluarkan suara-suara kecil yang membuat penisku mengeras. Aku menggigit bibirnya, meminta akses masuk dan Luhan membuka mulutnya dengan patuh. Lidahku masuk ke dalam rongga mulutnya, menyusuri gigi, langit-langit mulut, lalu akhirnya bertemu dengan lidahnya. Ah, lidah Luhan. Salah satu bagian favoritku.

Aku memijat lidahnya dengan milikku. Air liur kami menetes ke pipinya dan aku tertawa di mulutnya. Ia mendorong kepalaku, meneguk oksigen sekilas sebelum ia mengizinkanku kembali mencumbunya. Aku menghisap lidahnya, tanganku menggerayangi tiap lekuk tubuh telanjang yang kutindih. Mata Luhan terpejam, pipinya merona dan pemandangan itu membuatku ingin mencabulinya lebih jauh. Aku ingin membuatnya lebih berantakan, lebih hancur hingga yang ada di dalam pikirannya hanya Oh Sehun.

Mulutku menelusuri jejak air liur di pipinya yang menetes ke leher. Jakunnya bergerak naik turun seirama dengan nafas dan aku tidak tahan untuk tidak membenamkan gigiku di sana. Luhan merintih di bawahku, tangannya yang mencengkram pundakku mengerat.

.

"Sehun."

.

Aku meninggalkan bekas gigitan di lehernya. Di pertemuan antara rahang dan leher, di ceruk antara leher dan bahu yang membuatnya melenguh saat kugigit, di atas tulang belikat, di bahunya. Luhan menggerak-gerakan kakinya di bawahku, berusaha menggesekkan paha dengan batang kemaluannya.

"Belum saatnya, Lulu," bisikku di telinganya. Luhan tidak pernah mengerti bahwa dalam ritual ini ada urutan yang harus dipatuhi.

Aku melebarkan kedua kakinya, memposisikan satu kakiku di antaranya agar ia tidak bisa lagi menggesek penisnya. Sayangnya posisi ini justru membuat kemaluanku menyentuh pinggulnya dan aku nyaris tidak ingin peduli pada ritual ini. Tapi aku pemuja yang taat, aku tidak akan mengikuti nafsuku.

.

Sampai mana tadi? Oh, leher.

.

Aku membuat satu lagi bekas gigitan di bawah jakunnya. Nafas Luhan sudah benar-benar tidak beraturan dan suara-suara yang dibuatnya sudah tidak lagi dalam bahasa yang bisa dimengerti orang lain. Tapi aku mengerti, tiap desahan, tiap rintihan, dan tiap ia mngatakan, "Sehun."

Luhan menggerakan salah satu tangannya ke bawah, hendak menyentuh batang kemaluannya, tapi aku menghentikannya. Kedua tangannya kubawa ke atas kepala, aku menahannya dengan tangan kananku. Tubuhnya menggeliat-geliat, ia mengangkat pinggulnya agar penisnya menyentuh pahaku. Tapi aku hanya tertawa dan mendorong pinggulnya menempel ke ranjang dengan tanganku yang bebas.

"Sabar," bisikku di telinganya. Jawaban yang kuterima hanya erangan tertahan. Wajahnya terlihat tersiksa, mulutnya terbuka dan ia menatapku dengan matanya yang sayu, berkaca-kaca. Dulu aku akan langsung mengikuti keinginannya, tapi sekarang aku mengenal Luhan lebih dari siapapun. Aku tahu ia masih bisa bertahan. Aku tahu bahwa saat akhirnya aku memasukinya nanti, kenikmatan yang kuberikan akan lebih besar.

.

Luhan akan menghargai usahaku. Aku tahu, karena aku mengenal Luhan sebaik aku mengenal warna puting Luhan yang merah kecoklatan. Tonjolan yang dengan cepat mengeras begitu aku memerabanya dengan ujung jari. Ketika aku memilinnya, Luhan mengeluarkan suara tertahan dan tubuhnya menegang.

Tapi reaksi itu bukan apa-apa dibandingkan ketika aku memasukan puting itu ke dalam mulut, memainkannya dengan lidahku. Nafas Luhan semakin tidak beraturan. Aku menghisapnya, dan tubuh Luhan mulai menggelinjang sensual. Aku menggigit, dan Luhan mengerang keras lalu menggerakan panggulnya dengan putus asa agar aku menyentuhnya di sana karena ia tidak tahan lagi dan. "Sehun, tolong, aku ingin... ah!"

Tapi aku tidak akan menuruti keinginannya. Bercinta dengan Luhan adalah sebuah upacara suci dan seperti semua ritual, ada urutan yang harus ditaati.

Lidahku menelusuri lekuk dada Luhan, turun ke abdomennya dan aku harus menggunakan dua tanganku untuk menahan pinggulnya karena Luhan menggeliat-geliat semakin liar. Aku menghela nafas. Siapa yang akan tahan untuk tidak menyetubuhi Luhan ketika ia begitu sempurna. Aku mencium kulitnya yang tepat berada di atas penisnya, membuat Luhan mengeluarkan suara teriakan tertahan, kemudian "Sehun, Sehun, Sehun... tolong..."

Aku hanya tertawa, sengaja memposisikan mulutku tepat di atas kemaluannya agar ia bisa merasakan nafasku. Luhan merintih. Aku bisa melihat kedua tangannya yang sekarang bebas mencengkram kain sprei.

.

Kedua tanganku turun ke pahanya. Aku memposisikan diriku di antara kedua kakinya, dan melebarkan kedua kaki itu agar aku bisa melihat seluruh, seluruh, bagian intim Luhan. Mulai dari penisnya yang tegang, skrotum yang aku yakin sudah sangat penuh, dan lubangnya yang keriput dan ah, berkedut. Aku langsung tersenyum lebar. Anusnya merindukan batang kemaluanku.

"Sehun, ah," ia merintih, satu tangannya menutupi wajahnya, "ini memalukan."

Isakannya tidak kuhiraukan. Tidak ada yang tidak pernah kulihat sebelumnya, aku mengenal penis Luhan sebaik aku mengenal milikku.

Aku menjilat kepala penisnya yang basah oleh cairan pra-ejakulasi. Luhan meronta-ronta di bawahku, tapi tanganku masih memegang pahanya. Ia tidak bisa menghindar. Lidahku menelusuri dari kepala hingga dasar penisnya, kemudian aku menghisap buah zakarnya sekuat yang aku bisa.

"Sehun!"

.

Orgasme Luhan sudah dekat, aku tahu. Kondisiku juga sama. Jadi aku tidak melakukan apapun, hanya kedua tanganku yang masih membelai dan memijat pahanya. Luhan terisak dan aku menghela nafas. Aku mencium leher hidung, lalu mengulum bibir bawahnya. Isakannya digantikan desah panjang.

Aku mengangkat kedua kakinya, kuletakan di pundakku. Lubang anus Luhan tepat berada di depanku, menggodaku untuk masuk, dan aku benar-benar tidak tahan. Penisku terasa seperti akan meledak. Tapi ritual birahi ini hampir selesai, aku harus bertahan sampai saat itu.

Saat lidahku menyentuh anusnya, Luhan bergetar hebat. Aku tertawa dan matanya yang tidak fokus menyipit ke arahku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menggosokan jariku ke batang kemaluannya, membasahi jari-jariku dengan cairannya sebelum akhirnya memasukan satu jari ke dalam lubang duburnya. Luhan merintih. Aku tahu ia ingin menggerakan pinggulnya agar ia bisa merasakan jariku lebih dalam, tapi ia tidak bisa apa-apa dengan kedua kakinya di pundakku.

Aku memasukan jari kedua, menggerak-gerakannya di dalam lubang. Luhan menjerit dan aku tersenyum gembira. Ketemu.

Tiga jari sekarang, di dalam anusnya. Aku menghujamkan jemariku dengan penuh semangat, berkali-kali menusuk titik kenikmatannya hingga Luhan menangis. Reaksinya begitu cantik, aku bisa menghabiskan seumur hidupku memainkan jariku di lubangnya. Air mata mengalir membasahi pipinya dan apa yang keluar dari mulutnya sudah menyerupai lenguhan binatang. Ia bahkan tidak bisa menyebut namaku dengan benar.

Aku mengeluarkan jariku dan suara Luhan saat itu begitu memilukan. Lubangnya berkontraksi, merindukan jariku.

.

"Aku akan masuk sekarang," suaraku terdengar parau, kasar. Aku menurunkan kakinya dari pundakku. Luhan tidak berbicara, hanya terdengar suara isakan dan nafas yang memburu. Aku mencium pelupuk mata dan menjilat air mata di pipinya.

Klimaksku sudah terlalu dekat. Aku melumuri penisku dengan cairanku sendiri, ala kadarnya saja karena kalau aku memegangnya terlalu lama bisa-bisa aku selesai di luar Luhan. Sempat terbersit di pikiranku untuk mengambil kondom, seks aman dan semacamnya. Tapi aku mengusir pikiran itu. Bersentuhan langsung jauh lebih nikmat. Dinding anus Luhan memijat-mijat alat kelaminku... Ah.

Tubuh Luhan langsung menegang ketika kepala kemaluanku menyentuh lubangnya. Aku mengangkat panggulnya sedikit, supaya sudut masuk lebih mudah. Nafasku tercekat menyaksikan lubang itu membuka perlahan-lahan, menghisap penisku masuk ke dalam dengan rakus.

Aku terus memaksa masuk sampai buah zakarku menyentuh pantatnya. Dadaku bergerak naik turun, nafasku tidak keruan. Terlalu ketat dan panas, penisku terasa seperti diremas-remas. Aku tidak mengerti bagaimana bisa anus Luhan tetap seketat ini walaupun aku sudah berkali-kali memasukinya. Ah. Luhan.

Penisku seperti akan meledak. Tapi aku harus menunggu Luhan terbiasa dengan ukuranku, sekejam-kejamnya aku padanya, aku tidak ingin menyakitinya. Aku menunggu, tanganku meremas bokongnya yang kenyal. Mata Luhan terpejam, mulutnya terbuka tanpa suara, ia terlihat sangat erotis. Setiap aku melihatnya seperti ini, aku ingin mengurungnya di kamarku, mencabulinya, menggagahinya setiap detik dan menyembunyikannya dari mata dunia.

.

Pemandangan ini hanya milikku.

.

"Sehun..."

Suara Luhan memanggilku lirih. Akhirnya. Aku menarik kemaluanku hingga hampir keluar, lalu menghujamkannya kembali sekuat tenaga. Suara teriakan Luhan terdengar jauh dan dekat sekaligus. Aku menyodok berkali-kali, keras-keras, dan erangan Luhan terdengar semakin keras, semakin panik. Berkali-kali aku menusuk prostatnya, dan setiap kali Luhan mengangkat pinggulnya dan mengeluarkan lenguhan panjang.

Beberapa kali lagi aku menancapkan penisku, lalu anus Luhan menjadi semakin ketat hingga aku merasa akan remuk. Luhan menjerit dan cairan putih menyembur dari kejantanannya.

Gerakanku semakin terburu-buru. Aku sudah sangat dekat. Anus Luhan memijat batang kemaluanku dan oh, Luhan, ah!

Mataku terpejam saat akhirnya aku mencapai klimaks. Aku merasakan Luhan sengaja mengetatkan lubangnya, memerah penisku yang menumpahkan seluruh isinya di dalam. Aku menyodok beberapa kali lagi, hingga semua benihku keluar. Di dalam terasa begitu basah, dan suara-suara cairan di dalam terdengar vulgar.

Aku menempelkan keningku di keningnya, menatap mata cokelat yang masih berkaca-kaca. Terlalu lelah untuk mengatakan apapun, aku mencium bibirnya. Luhan memejamkan matanya dan membiarkanku memasukan lidah ke dalam mulutnya.

.

"Saranghaeyo," gumamku di mulutnya.

Ia tersenyum kecil. Matanya masih terpejam dan di pipinya masih ada bekas air mata. Peluh membuat rambut menempel pada kulitnya. Ia terlihat begitu cantik dan sempurna, seperti malaikat. Begitu suci.

.

.

Dan aku satu-satunya orang yang bisa menodainya.