Aku tidak terlalu suka bergaul dengan orang lain. Aku muak melihat sifat mereka yang hampir sama; kalau tidak dibutuhkan, pasti akan dibuang. Sungguh menjijikan. Maka dari itu, aku sering menyendiri. Menurutku, kehidupanku saat ini sudah cukup.
Yah, aku suka dengan kehidupan nyamanku ini. Namun, kehidupan nyamanku harus direnggut oleh pemikiran konyol kedua orang tuaku. Tepat di saat umurku empat belas tahun, mereka seenaknya mempertemukanku dengan pemuda Hyuuga yang sebenarnya sudah dijodohkan denganku sejak kecil.
o0o
Disclaimer
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning : Alternate Universe, Out of Character, typos, minim deskrip, kebanyakan dialog!
―NejiTen―
o0o
Kehidupan
o0o
Bab 1
Perasaan
o0o
"Tenten! Kau sekelompok dengan kami, yah?"
Mendengar suara tadi, Tenten tersadar dari lamunannya. Gadis berambut coklat yang dicepol dua itu menolehkan kepalanya, menatap tiga orang teman sekelasnya sedang berdiri di samping mejanya. "Ya, tentu saja," jawab Tenten sambil tersenyum yang disambut senang oleh ketiga temannya itu.
Hm, teman?
Entahlah…
=O=
Pelajaran olahraga baru saja selesai. Lari estafet yang diujikan membuat semua murid kelas 2-D kewalahan. Tenten menyeka peluh di dahinya. Kelompoknya berhasil mendapat tingkat pertama di ujian olahraga ini. Teman sekelompoknya terlihat gembira karena mereka mendapatkan nilai bagus.
"Tenten, kau hebat!"
"Ya, larimu cepat sekali."
"Uwah, berkatmu kita dapat nilai paling tinggi!"
Iris coklat milik Tenten menatap ketiga orang itu, lalu ia tersenyum. "Ya, ini juga berkat kalian," balasnya. Sedetik kemudian, tubuhnya membeku―mendapat pelukan dari teman sekelompoknya.
"Ayo, kita beli jus! Haus sekali," ujar salah satu gadis berambut panjang.
"Ayo!"
Tenten tersenyum lebar sebelum mengikuti ketiga temannya yang sudah jalan duluan.
Jadi, apa mereka temannya?
=O=
Bel tanda pulang telah berbunyi. Sorakan riang saling sahut-menyahut di kelas yang ditempati Tenten. Murid-murid dengan cepat keluar kelas, menyisakan beberapa orang di dalamnya. Gadis berambut coklat itu membereskan perlengkapan sekolahnya dengan terburu-buru. Senang. Itulah yang dirasakannya. Tadi, ketiga temannya mengajaknya pulang bersama.
Sreet.
Bangku yang diduduki Tenten berderit pelan saat ia berdiri. Dengan semangat, kepalanya menengok ke depan—tempat di mana ketiga gadis itu duduk. Perlahan, senyum yang menghiasi wajahnya memudar kala melihat tempat duduk mereka sudah kosong.
Ia terdiam.
Sekarang, kelas sudah sepi, hanya tinggal dirinya seorang. Ia mendengus seraya kembali duduk di bangkunya, tangannya menopang dagunya di meja. Tak sengaja, iris coklatnya memandang keluar jendela—mendapati ketiga temannya sedang berjalan keluar gerbang sekolah sambil tertawa senang.
"Menyebalkan," gumamnya pelan.
Benar.
Mereka bukan temannya.
Teman itu hanya omong kosong.
=O=
Tenten memasuki rumahnya. Ia melirik ke sekelilingnya. Raut kecewa hadir di wajahnya. Ada sedikit perasaan sedih di hatinya saat mengetahui orangtuanya lagi-lagi tidak ada di rumah. Dengan langkah kakinya yang pelan, ia menaiki tangga, menuju kamarnya.
Ia selalu sendirian. Kedua orangtuanya terlalu sibuk untuk mengurusnya. Tenten sudah terbiasa dengan hal ini. Ia tidak apa-apa. Semua bisa ia jalani. Ya, pasti.
Tetapi, kenapa tiba-tiba saja matanya terasa panas? Pandangannya sedikit mengabur. Dengan kasar, ia menghapus air bening yang masih mengapung di matanya. "Aku ini kuat," gumamnya pelan seraya mencoba tersenyum. Sesampainya di depan kamarnya, ia membuka pintu, menemukan sesosok—
Eh? Sesosok?
"Kyaaa!" Tenten berteriak kencang saat melihat sesosok makhluk yang sedang tiduran tengkurap di kasurnya. Ia hampir saja mati karena terkejut.
Sosok itu terbangun dari tidurnya, mengubah posisinya menjadi duduk. "Kau sudah pulang," ujarnya pelan. Dari raut wajahnya, Tenten tahu kalau orang itu masih terlihat mengantuk.
"Neji! Kenapa kau di sini?" pertanyaan yang malah seperti bentakan itu keluar dari mulut Tenten. Pipinya menggembung sebal. "Aku kaget, tahu!" serunya.
"Hari ini sekolahku libur, jadi Ayah meyuruhku untuk menemuimu," ucapnya datar. Iris pucatnya memperhatikan Tenten yang masih berdiri di depan pintu kamar. "Sudah sore, kenapa baru pulang?"
Gadis bercepol dua itu memalingkan wajahnya. "Bukan urusanmu," jawabnya pelan.
Neji berdiri dari duduknya. Ia mendekati Tenten yang masih memalingkan wajahnya. "Aaa. Kalau begitu aku pulang," ujarnya sambil sedikit menggeser tubuh Tenten dari pintu. Sebelum ia benar-benar keluar dari ruangan gadis itu, ia bisa merasakan ada yang menggenggam tangannya.
"Temani aku."
Tanpa disadari oleh Tenten, pemuda itu tersenyum tipis. Ia kembali menutup pintu kamar. "Hm?" tanyanya ambigu.
Tenten yang sebenarnya sedikit bingung kenapa ia menghentikan Neji, kini merasakan pipinya menghangat. Ia menunduk berusaha menutupi wajahnya yang entah mengapa merona. "Se-sebentar saja… temani aku," gumamnya hampir menyerupai bisikan.
=O=
Aku menatap iris pucatnya, entah mengapa setiap kali melihatnya ada perasaan nyaman bercampur gugup. Sebenarnya, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menahannya pergi. Itu cukup membingungkan. Pikiranku sekarang penuh dengan hal itu—membuatku agak sedikit pusing, ditambah lagi dengan tangannya yang kini membalas genggamanku.
Kami masih terdiam. Ah, aku tidak suka dengan kesunyian ini. Maka dari itu, aku memulai percakapan lebih dulu.
"Um, Neji…" ucapku, tapi sedetik kemudian aku bingung harus berbicara apa. Duh, gimana sih aku ini?
"Ya?" balasnya, menatapku dengan pandangan datar miliknya. Aku heran kenapa dia bisa mempunyai ekspresi rata seperti itu.
"Hm, kita sudah berdiri lebih dari lima menit, kakiku pegal," ucapku cepat.
Dia masih menatapku, lalu tangannya menarik tanganku, menuju kasurku. Kami duduk di situ—masih dengan berpegangan tangan. Kenapa aku merasa panas sekali, ya?
Lagi, kami terdiam. Sungguh, aku bosan. Neji memang orang yang minim bicara. Kalau diingat-ingat, pertama kali aku bertemu dengannya, ia malah tidak merespon ucapanku. Aku jadi kesal mengingatnya.
Oh ya, betul juga, sudah hampir dua tahun aku mengenal Neji.
Aku dan Neji terikat perjanjian, kami sudah dijodohkan dari kecil. Selama ini, dia selalu menemaniku disaat orangtuaku sibuk bekerja. Sejujurnya, aku merasa senang, karena aku tidak kesepian lagi. Bagiku, Neji adalah satu-satunya orang yang berharga. Dia selalu tahu kalau aku sedang ada masalah. Tanpa kusadari, aku sangat membutuhkannya.
Apa mungkin, aku sudah terperangkap jauh oleh dirinya?
Aku tidak tahu dengan perasaanku terhadap Neji.
Yang penting, aku senang karena ada Neji. Aku tidak ingin Neji pergi jauh dariku. Walaupun, Neji mungkin tidak suka dengan kehadiranku yang dijodohkan secara paksa oleh orangtua kami. Aku ingin selalu bersamanya.
Apa aku egois?
"Tenten…"
Aku tersadar dari lamunan panjangku. Aku menoleh padanya. "Apa?" tanyaku.
"Mungkin, aku akan jarang menemuimu."
Apa? Aku tidak salah dengarkan? Aku mengerutkan dahiku. Ada perasaan aneh di dalam diriku, aku tidak tahu ini apa. Aku bisa melihat rautnya yang masih datar.
"Kenapa?" tanyaku, aku bisa merasakan ada yang lain dari suaraku. Semoga, dia tidak menyadarinya.
"Ada banyak urusan di sekolah," jawabnya sambil memandangku.
Aku ingat, Neji adalah ketua dari organisasi siswa di sekolahnya, jadi ia disibukkan dengan festival yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Agaknya aku kurang percaya dengan Neji.
"Bohong. Kau pasti sudah punya pacar," ujarku dengan ketus. Tunggu dulu, kenapa bisa aku berbicara seperti itu. Padahal, kami sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Bagaimanapun juga kami ini dijodohkan secara paksa.
Neji terkekeh mendengarku perkataanku. He? Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Kenapa jantungku menjadi berdebar cepat, ya?
"Aku tidak bohong," ucapnya meyakinkan. Benar, dari sorot matanya, ia memang bicara jujur. Ada rasa lega di hatiku.
Aku menoleh ke arah lain sambil lebih mengeratkan genggamanku padanya. "Kau… harus menemaniku terus," ucapku pelan.
"Ya."
Dan, sore itu, kami terus berpegangan tangan sampai tanpa sadar aku tertidur di bahunya.
o0o
Tenten melangkah ke bangku yang terletak di pojok dekat jendela. Ia duduk sambil menopang dagunya—memikirkan kejadian kemarin. Ia bisa merasakan ada kehadiran orang lain yang sedang berdiri di samping mejanya.
"Tenten, maaf, kemarin kami lupa—"
"Tidak masalah," potong Tenten, menengok ke arah mereka seraya tersenyum manis yang sangat bertolak belakang dengan aura gelap di sekelilingnya. "Kurasa, aku salah memilih orang." Ia beranjak bangun, meninggalkan ketiga gadis itu yang terdiam memikirkan kalimatnya barusan.
o0o
Aku tidak membutuhkan teman,
Asalkan Neji tetap berada di sampingku…
Itu sudah lebih dari cukup.
Dikehidupanku, aku membutuhkannya…
―sangat membutuhkannya.
o0o
To Be Continued
o0o
Author Note : Halo~ aku membawa fanfic NejiTen pertamaku. Semoga kalian terhibur dengan fanfic ini. Yah, aku tau, kalo Tenten di sini OOC berat dan kayaknya Neji juga sama, yah? Aduh, maafkan aku. Aku sedang belajar meleburkan diri ke dalam pair NejiTen (?). Dan lagi, ke-OOC-an ini juga untuk mendukung jalannya cerita. Tapi, aku bakal berusaha supaya nggak OOC dan bisa lebih baik lagi ^^ Nah, cukup segitu omongan gak penting ini.
Yup, berniat untuk review?
Concrit?
Flame? ―Yah, asalakan berguna buatku.
Yo, udah dulu yah XD
Ghifia Kuraudo
