Disclaimer :
Our Time-lyric and song belongs to Secondhand Serenade
EXO belongs to
Warning :
Boy x Boy, Mpreg (so don't read if you don't like)
AU!Songfic/Romance-Angst/Rate-T
Italics berarti flashback
Pairing :
Chanyeol-Baekhyun / ChanBaek (mostly)
Kai-Kyungsoo / KaiSoo
Sehun-Luhan / HunHan
Chen-Xiumin / ChenMin
Let's Talk Under The Moon
by
Purikazu
.
.
.
Senyuman kecil terpoles di atas wajah cantik yang menatap sosok lain di tempat tidur. Tak ada suara selain detak jam di sudut ruangan. Hening mendominasi. Tapi aura sendu tetap tertata rapi, membisikkan sisa perdebatan kecil di antara dua manusia.
Tak perlu ahli bahasa tubuh untuk menerjemahkan bahwa lapisan bening di permukaan mata bulat itu adalah akumulasi dari kondisi psikis yang tak menentu. Laki-laki berambut hitam itu pernah mengalaminya sendiri, jadi ia tahu pasti bagaimana rasanya.
Dengan erat, jemari lentik menggenggam sebelah tangan yang gemetar. Berharap dapat berbagi kekuatan dengan pemilik tangan itu. Ia tidak bermaksud ikut campur. Tidak juga berniat sok dewasa dengan memberi nasihat serta petuah ini dan itu. Ia hanya berharap kejadian kali ini tidak terulang lagi.
Cukup hanya dirinya, tidak pada orang lain selain dia.
Tanpa mengurangi intensitas senyum di wajahnya, laki-laki itu berucap lembut.
"Kau boleh egois dengan dalih mementingkan masa depannya. Tapi jangan lupakan satu hal. Bayi yang akan lahir nanti adalah milikmu dan milik orang yang kau cintai. Bayangkan bagaimana perasaannya jika ia kehilangan darah dagingnya sendiri."
Hening yang tercipta bukan alasan bagi benak yang tak berfungsi. Ketiadaan respon bukan berarti semua kalimat yang tercipta telah menguap sia-sia.
"Tolong, sekali ini saja, tanyakan pada hatimu yang paling dalam. Jika memang kau benar-benar menghendaki semuanya berakhir sampai di sini, maka aku tidak akan mengatakan apa pun lagi."
Tepat ketika dua pasang mata bertemu dalam keheningan, jawaban berpilar kejujuran tak bisa lagi dimanipulasi. Bibir hati digigit demi meredam isak yang hampir lepas. Sementara empat sisi dinding putih hanya bisu menyaksikan dua insan yang berusaha untuk saling menguatkan.
.
.
.
/Long day stopping me from saying what i want to say/
.
.
.
Hujan deras yang mengguyur bumi tak ubahnya seperti melodi lagu bagi dua insan yang bergumul di bawah pelukan selimut tebal. Tangan mereka bertaut, tubuh mereka melekat. Tak ada sedikit pun celah bagi dingin untuk membekukan hangat yang tercipta. Dua pasang mata mengumbar tatapan penuh kasih. Sementara bisikan mesra tentang indahnya masa depan menjadi kawan bagi bibir yang sesekali berpagutan.
"Seandainya kita punya anak nanti, kau ingin anak laki-laki atau perempuan?"
"Mmm, bagiku laki-laki atau perempuan sama saja. Yang penting harus memenuhi satu kriteria."
"Apa itu?"
"Kalau laki-laki harus tampan seperti aku. Dan kalau perempuan harus cantik sepertimu."
"Aku tidak cantik, Yoda! Kau lupa bahwa kekasihmu ini juga laki-laki?"
Tawa kecil berderai teratur. Sementara jemari lentik mulai melancarkan cubitan pedas di lengan yang melingkari pinggang ramping dengan erat.
"Oke, oke, lupakan soal itu. Bagaimana dengan nama?"
"Hmm... Byun Baek Yeol? Byun Ji Won?"
"Hei, namamu saja akan berubah menjadi Park setelah kita menikah nanti. Bagaimana bisa anak kita bermarga Byun?"
Gelak tawa kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan lebih lepas. Jemari lentik yang semula mencubit, kini berganti menyibak helaian rambut di sekitar wajah tampan yang membayang tepat di atasnya. Nyaris tanpa jarak.
"Urusan nama terserah padamu. Aku percaya apapun yang menjadi keputusanmu, Chanyeol-ah. Karena hanya kamu satu-satunya yang aku miliki sekarang."
"Kedengarannya manis sekali. Awas ya, kalau dia sudah lahir nanti, kau justru lebih mementingkannya dan mengabaikanku."
"Hei, jangan bilang kau sedang cemburu pada calon anakmu sendiri, Park Chanyeol. Kekanak-kanakan sekali tingkahmu."
"Berhentilah menggodaku, Byun Baekhyun."
"Menggoda apa? Yang kukatakan itu adalah fakta. Kau sendiri yang—hmmpphh!"
Rangkaian kata terhenti paksa. Lidah yang mengucap kini justru saling mencicip rasa. Berdansa gemulai untuk saling menakhlukkan. Tangan yang semula menggenggam kini telah beralih fungsi. Menari dengan lihai di atas kulit tanpa busana, mengabsen lekuk tubuh tanpa jeda. Hingga kecupan polos berubah menjadi lumatan ganas.
Sementara rintik air berusaha meredam segala bentuk suara, berbanding terbalik dengan desah penuh gairah yang semakin giat tercipta.
.
.
.
/It's you who keeps me wide awake/
.
.
.
Seorang laki-laki berseragam putih tersenyum kecil sambil menatap koridor rumah sakit yang telah kosong. Doe eye-nya terpaku, seolah perhatiannya terpaku oleh sesuatu di penghujung lorong. Ia bahkan tak menyadari kehadiran pihak lain di belakangnya. Pertanyaan bernada biasa pun berubah menjadi cukup mengagetkan.
"Lihat apa, Hyung?"
Perawat muda itu tersentak. Ia menoleh kaget pada sosok jangkung yang tengah menatapnya tanpa rasa bersalah. Well, memang tidak bersalah, sih. Dirinya sendiri yang melamun. Namun, tak urung dari bibir mungilnya terlontar protes keterkejutan.
"Yah! Oh Sehun! Kau senang ya membuatku kaget? Biar aku cepat mati dan kau bisa selingkuh. Benar, kan?"
Kerutan heran tercipta di bawah poni pirang yang menaungi sepasang mata cokelat terang.
"Kau sedang PMS ya, Luhan-hyung? Aku kan hanya bertanya, kenapa kau malah marah-marah?"
Xi Luhan, sang perawat yang masih memegang file berisi status pasien menghela napas, "Mianhe, Sehun-ah. Aku kaget sekali waktu kau muncul tiba-tiba begitu. Aku tak bermaksud marah-marah padamu. Maafkan aku, ya."
Melihat tatapan polos dan raut penuh penyesalan yang terpampang di hadapannya, pemuda putih pucat berkemeja biru itu hanya mengangkat bahu.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan, Hyung. Aku tahu kau pasti sangat lelah. Maafkan aku juga karena telah membuatmu kaget."
Luhan mengangguk.
"Aku baru saja bertemu Baekhyun."
Ketika satu nama menginterupsi, keduanya mendadak terdiam. Sampai kemudian pemuda yang lebih tinggi memecahkan keheningan.
"Benarkah? Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Apakah kalian berbicara banyak hal?"
"Aniya. Dia sepertinya sedang terburu-buru."
"Ah, begitu. Lalu bagaimana keadaan Kyungsoo-hyung?"
"Sejauh ini tidak ada yang pelu dikhawatirkan."
"Bayinya?"
"Selamat."
"Syukurlah." Desah napas perwakilan dari kelegaan terhela. "Dia—belum datang?"
"Yixing sudah memberitahunya. Kurasa dia sedang dalam perjalanan bersama Tao."
"Baguslah kalau begitu. Aku ingin melihat Kyungsoo-hyung dulu."
"Mari kuantar."
Keduanya pun bergegas menuju ruang perawatan. Tentu dengan pemikiran masing-masing yang berkecamuk tanpa henti. Harapan mereka sama. Doa mereka sama. Bahkan, perasaan mereka pun sama.
Ketika telapak tangan Sehun yang jauh lebih besar menggenggam tangan mungil Luhan, sebuah komentar meluncur.
"Sepertinya kau gugup, Sehun-ah."
"Sedikit. Kurasa kau pun memikirkan hal yang sama denganku."
Lorong berteraso putih membentang lurus. Seolah ingin menyampaikan pesan tersirat, bahwa ini belum seberapa dibandingkan dengan panjangnya perjalanan hidup.
"Semoga kejadian itu tidak terulang lagi—"
Keeratan genggaman tangan itu meningkat ketika kalimat lanjutan diteruskan dengan penuh harapan.
"—pada siapa pun di dunia ini."
.
.
.
/it's you who knows just what i mean/
.
.
.
Laki-laki bertubuh mungil itu menatap benda di tangannya dengan sepasang mata terbelalak lebar. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia terjemahkan sebagai kenyataan.Sungguh, ia tak ingin percaya bahwa benda ditangannya ini menunjukkan dua garis merah. Memperjelas semua keanehan yang terjadi pada dirinya beberapa hari belakangan ini.
Kepala pusing, perut mual, tubuh lemas—tapi, bagaimana mungkin ?
"Baekhyun, kau lama sekali?"
Pemilik nama yang baru saja dipanggil menolehke belakang, tepatnya ke arah seorang pemuda jangkung yang tampak kebingungan.
"Chanyeol…"
Hening. Cermin di sisi tembok membiaskan dua sosok yang masih bertatapan dalam diam. Hingga akhirnya satu dari dua pasang manik coklat mengalah. Resah terpancar di sana, membuat pemuda bermata besar meninggalkan pintu tempatnya semula bersandar.
Tubuh mungil yang masih terpaku direngkuh oleh sepasang lengan kukuh. Sementara leher jenjang dibubuhi kecupan dan gigitan kecil.
"Ada apa? Wajahmu aneh begitu? Apa aku terlalu kasar semalam?"
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dengansangat lembut, penuh perhatian. Pelukan yang ditawarkan pun dibalas lebih erat.
Hangat. Begitu hangat.
Apakah kehangatan ini akan berakhir jika hasil benda persegi bergaris merah diperlihatkan sekarang?
"Baekhyun, katakanlah padaku jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kita sudah berjanji untuk selalu jujur, bukan? "
Ah, bujukan itu terdengar manis sekali. Gemuruh resah yang sedang berkecamuk pun agak reda dibuatnya. Berganti oleh keberanian yang mulai merambat naik.
Perlahan, satu bisikan lirih terdengar. Menyuarakan isi hati yang belum pasti .
"Chanyeol, aku hamil."
.
.
.
/It's you who sees what can't be seen/
.
.
.
Semua manusia berhak untuk jatuh cinta. Mereka berhak mencintai dan dicintai. Oleh karena itu, dapat membina rumah tangga bersama pujaan hati adalah sumber kebahagian yang tak ternilai harganya. Terlebih jika kebahagiaan itu dilengkapi oleh kehadiran malaikat kecil yang kelak akan menjadi tempat mencurahkan segala kasih sayang.
Dan sosok yang kini tengah berjalan sendirian itu mengerti benar bagaimana rasanya. Senang, cemas, dan khawatir bercampur menjadi satu.
Ia bahkan pernah begitu antusias merawat benih yang masih berupa gumpalan darah dalam hitungan minggu. Ia sangat menantikan kelahiran makhluk mungil yang kelak akan menjadi penyemarak dengan derap kaki mungilnya.
Sayang, semua itu tak pernah terjadi.
Ketika melewati sebuah taman, langkah laki-laki muda itu terhenti. Seberkas kenangan melintas terkait tempatnya berdiri sekarang.
Poros gravitasi yang menjerat tanpa ia bisa melepaskan diri.
Tempat ini, adalah tempat di mana sebuah janji terikat. Sebuah janji sederhana, untuk membangun sebuah keluarga kecil berpondasi cinta.
.
.
.
/It's you who keeps my pain away/
.
.
.
"Aku akan menikahimu, Baekhyun."
Sepasang manik coklat mengerjap haru. Byun Baekhyun terperangah menatap sebuah cincin perak yang melingkar. Hanya sejenak, karena kemudian objeknya beralih pada pemuda yang baru saja menyelipkan cincin itu. Keheningan taman hanya menyisakan mereka berdua sebagai penghuni, membuat gemerisik dedaunan terdengar jelas layaknya simfoni.
"Ta-tapi, Chanyeol," kepala bermahkota pirang menggeleng lemah. Tatapannya jatuh."Aku tidak mau membebanimu. Aku bisa mengatasi ini sendiri."
Oh, tentu saja. Ini masalah. Mereka masih terlalu muda untuk menjadi orang tua dari bayi mungil yang akan lahir nanti. Masih banyak yang harus mereka pelajari. Tapi—
"Dia anakku juga, apa kau lupa?"
Suara lembut dari pujaan hati membuat Baekhyun kembali mengangkat wajah.
"Dan aku tidak mungkin membiarkannya lahir tanpa ayah. Oh, mungkin dia sudah punya ayah. Aku yakin kau akan menjadi ayah yang baik. Tapi, satu hal. Aku tidak akan pernah mungkin membiarkan orang yang kucintai melahirkannya sendirian."
Sudah tak tertahan. Serta merta, Baekhyun menghambur pada sosok yang duduk di hadapannya.Yang tengah menatapnya penuh cinta. Yang sedang menghalau semua keraguannya. Yang berusaha meyakinkan, bahwa mereka bisa melewati keadaan sulit bersama-sama.
Baekhyun menangis. Terisak dalam pelukan yang begitu melindungi. Air mata bahagia. Beban berat yang menggelayuti pundaknya telah terangkat. Dan ia merasa, bahwa ia telah cukup kuat untuk menghadapi semua kemungkinan yang akan mereka hadapi.
"Terimakasih, Chanyeol-ah...Aku… Aku akan berusaha semampuku..."
Chanyeol membelai helaian rambut halus dalam pelukan. Selagi Baekhyun masih berusaha mengendalikan isakan kecilnya, Chanyeol justru tersenyum seraya berbisik pelan.
"Mari kita jadikan dia anak yang paling bahagia di dunia ini. Sehingga nantinya, dia tidak punya alasan untuk menyesal karena telah dilahirkan."
Jauh di atas sana, langit senja terhampar luas. Seluas harapan dalam doa tentang kehidupan baru mereka.
.
.
.
/This is our time to runaway/
.
.
.
"Tadi aku bertemu Baekhyun saat kau sedang mencari Sehun."
"Benarkah? Lalu bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?"
"Ya, dia baik-baik saja. Kelihatannya dia sedang terburu-buru, jadi hanya sempat menitipkan salam untukmu."
"Ah, begitu. Syukurlah. Berarti kau tidak perlu lagi terlalu mengkhawatirkannya, kan?"
"Aku mengerti. Tapi—"
Sepasang mata yang saling menatap mulai menunjukkan sinyal bahwa pembicaraan mereka menuju pada satu titik yang sama.
"Hyung, semua itu sudah berlalu. Baekhyun adalah orang yang kuat. Dan dia sudah membuktikan bahwa dia—"
Tiba-tiba, pemilik wajah imut khas anak-anak meraih tangan pemuda yang berjalan di sampingnya, menyebabkan pemuda itu menatap balik dengan heran.
"Jongdae-ah," panggilnya, "kalau seandainya, kita mengalami apa yang mereka alami, kamu… tidak akan meninggalkanku, kan?"
Sorot mata polos yang tampak memohon menggetarkan hati pemuda berambut hitam. Ditatapnya balik sepasang mata itu dengan serius. Dipagarinya wajah cemas itu dengan kedua telapak tangannya. Tak peduli pada orang lain yang—sangat mungkin—menyaksikan mereka. Dia tidak ingin main-main. Terlebih jika menyangkut seseorang bermarga Kim yang sama seperti dirinya.
"Tentu saja, Minseok-hyung," kalimat bernada yakin terucap tegas. "Aku akan selalu di sampingmu."
Sebuah kepastian menghapus segala noktah ragu.
.
.
.
/It's our time we don't have to stay here/
.
.
.
Mata besar yang selalu berpendar ceria itu akhirnya memancarkan kepedihan.
Pelan, dia menghampiri sosok yang masih berurai air mata, menggapai ranjang tempat sosok itu berbaring tanpa daya. Untuk pertama kali sepanjang hidupnya, Park Chanyeol merasa seluruh kebahagiaannya seperti hilang tak berbekas. Semua terasa gelap dan menyakitkan.
"Baekhyun."
Isakan dalam terdengar lebih keras.
"Mianhe… Chanyeol, mianhe… Aku…"
Sungguh, suara lirih itu mengiris hatinya. Menghancurkan semua keindahan yang ia hias diseluruh sudut rumah mungil mereka.
Pernikahan mereka tidak mudah, sangat tidak mudah. Tidak hanya karena masyarakat yang menganggap tabu. Tapi juga karena keluarga dari pihak mempelai pria tidak menyetujuinya. Pernikahan itu dianggap sebagai kesalahan, bahwa kehidupan yang telah tercipta adalah kesalahan besar. Pewaris seluruh aset Park Coorporation tak seharusnya mempersunting penghuni panti asuhan dari pinggiran kota. Dan fakta bahwa kedua mempelai adalah laki-laki menjadi landasan kuat agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi.
Hingga kata aborsi yang dilontarkan kepala keluarga Park menyulut amarah seorang Park Chanyeol. Dengan segala upaya ia berusaha menjalankan semua rencana yang telah tersusun. Meski upacara sakral mereka harus berlangsung tertutup dan hanya dihadiri penghulu serta teman-teman dekat saja.
Tapi rupanya, kebahagiaan tetap enggan berpihak pada mereka.
Bulir bening terus mengalir. Tangan pucat yang lemah telah digenggam, namun tak bisa berhenti gemetar. Begitupun dengan ucapan maaf yang tak putus terlontar.
"Maaf… A-aku gagal…menjaganya… Maafkan aku…"
Tangan kekar Chanyeol beralih menggapai tubuh yang masih berguncang lantaran didera nestapa. Di dekapnya tubuh itu erat. Seraya berusaha mendekap dirinya sendiri yang tak kalah sakit mendengar kabar buruk ini.
"Semuanya bukan salahmu, Baekhyun. Sama sekali bukan kesalahanmu."
"Tidak, Chanyeol… kau sudah memperingatkanku... agar selalu waspada. Ta-tapi aku…"
"Sssshhttt!"
Bersama dengan tangisan pedih yang kian jelas, Chanyeol memejamkan mata.
Bohong besar jika ia tidak ingin menangis. Ia bahkan ingin menggeram setinggi langit, mempertanyakan kepada Tuhan mengapa begitu sulit membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Rahang pemuda itu mengatup kukuh, sedikit bergemeretak. Mati-matian ia berusaha menahan semua perasaan yang saat ini membuncah.
Kepedihan. Kesedihan. Kemarahan. Kekecewaan.
Mengapa ayahnya tega berbuat hal serendah ini? Kenapa ayahnya sampai hati menyebabkan kematian cucunya sendiri? Apakah dia tidak percaya bahwa status sosial bukan jaminanu ntuk menuju kebahagiaan? Kenapa pria itu begitu arogan dan tidak bisa menerimakenyataan, bahwa putra semata wayangnyat elah memilih jalan hidup sendiri?
Bersama orang yang dicintainya, yang juga mencintainya. Bersama mereka yang akan selalu mendukung dalam keadaan apapun.
Kenapa?
"Chanyeol-ah…"
Panggilan lirih Baekhyun menyita perhatian Chanyeol. Tak ada senyuman di wajahnya yang sembap. Namun kalimat yang kemudian ia ucapkan berefek besar mencairkan bongkahan hati seorang laki-laki yang telah menjadi kepala keluarga di usia muda.
"Menangislah... Aku tahu perasaanmu… Dia—anak kita, kan?"
Akhirnya, benteng pertahanan itu pun runtuh. Chanyeol tak bisa menyangkal bahwa sosok dalam pelukannya ini telah mengenal dirinya dengan baik. Telah mengerti apa yang tak bisa ia ucapkan.
Hari itu, tirai putih kamar perawatan menjadi saksi bisu ketika setetes cairan bening mengalir dari bola mata yang biasanya berpendar riang. Sedetik kemudian isakan tertahan menyusul tanpa terkendali.
Sesak. Rasanya sesak. Seperti dihimpit dinding dan tak bisa melepaskan diri. Sakit. Bahkan menjerit pun tak bisa meringankan semua itu.
Mereka menyayanginya. Sangat menantikan tangisan pertamanya di rumah sederhana tempat mereka membangun sebuah keluarga. Namun janin berusia 12 minggu itu—bukti cinta yang seharusnya mengganti status mereka menjadi 'orang tua'―kini telah tiada.
.
.
.
/This is our time to forget the past/
.
.
.
Laki-laki yang belum lama menginjak usia 24 tahun itu memasukkan sekantong sayuran beku ke dalam keranjang. Sekarang ia sedang berada di sebuah toko, menjalankan rutinitas harian yang telah menjadi kewajibannya. Senyuman tipis menghias wajahnya ketika teringat bahwa aktivitasnya saat ini terasa sangat istimewa.
Dulu ia tak mungkin leluasa melakukan kegiatan senormal berbelanja. Cukup dengan meraih semua yang diperlukan, lalu membayar, dan lekas pulang. Setiap hari adalah kecemasan akan diikuti. Setiap jam adalah rasa was-was akan dimata-matai. Lantaran tokoh antagonis dalam drama hidupnya tak memberikan kesempatan baginya untuk melakukan pembuktian. Bahwa ia mampu menjadi pendamping hidup yang layak bagi suaminya, menjadi orang tua yang baik dari anak-anaknya.
Jadi, bukan hal aneh jika ia menganggap apa yang mampu ia nikmati sekarang adalah anugerah tak ternilai.
Benar, kan ?
Pemuda cantik itu beralih ke rak lain. Ia terus menyusuri deretan barang yang memenuhi etalase. Hingga kemudian, mata indahnya berhenti pada variasi jus buah dalam botol plastik bening. Sepasang mata itu tenggelam dalam warna jus strawberi yang terpantul di sana.
Merah.
Warna yang menandai hari di mana ia mendapat kebebasan. Hari di mana ia dilepaskan dari tekanan. Hari di mana ia harus menyaksikan penyelamatnya bersimbah gradasi yang sama.
Senyum di wajah cantik itu memudar. Suaranya terdengar gemetar saat menyebut sebuah nama dalam desisan lirih. Warna merah itu seakan jadi pengingat―
"Chanyeol…"
―bahwa kebebasan yang ia peroleh―
"Park… Chanyeol…"
―telah ditebus dengan harga yang mahal.
.
.
.
/I wish i could do better/
.
.
.
"Kuperingatkan sekali lagi, berani kalian menyentuh Baekhyun seujung rambut saja―akan kubunuh kalian semua!"
Park Chanyeol memang orang yang supel, mudah bergaul dan cemerlang. Ia adalah tipe yang tak pernah gagal menjadi mood maker dalam setiap perkumpulan. Namun, saat ini, keramahan yang melekat pada image-nya hilang tanpa bekas. Yang tersisa hanyalah kemarahan luar biasa. Mengancam siapapun yang berani bersilang jalan dengannya.
"Aku memang bukan orang yang membayar kalian. Tapi aku bisa jadi orang yang pasti mengirim kalian ke neraka."
Usai merapalkan sumpah, Chanyeol meraih tubuh lemah Baekhyun ke dalam pelukannya. Ia benar-benar tak mengira bahwa orang yang telah membesarkannya adalah orang yang tak berperikemanusiaan.
Tidak cukupkah ia dan pendamping hidupnya menderita lantaran kehilangan calon bayi mereka? Tidak cukupkah mereka hidup dibawah tekanan sampai pernikahan mereka pun selalu berusaha dihancurkan?
Tidakkah orang-orang itu berbelas kasihan dengan kondisi Baekhyun yang masih lemah pasca keguguran? Mengapa mereka tega menculik, menyekap, bahkan memperlakukannya dengan semena-mena?
Darah Chanyeol mendidih. Emosi segera mengambil-alih. Betapa ia ingin menghabisi mereka semua dengan tangannya sendiri, kalau saja rintih kesakitan Baekhyun tidak menyita perhatiannya.
"Mau kemana kau, Park Chanyeol? Berani melangkah dari gerbang ini, kau bukan lagi anakku!"
Bahkan suara itu diabaikannya. Ia bosan terus diperlakukan seperti boneka. Ia muak dengan seluruh kewajiban yang dibebankan kepadanya,sedangkan ia tak diperbolehkan meminta haknya.
Hanya satu. Dia hanya menuntut satu dari sekian banyak hak yang ia miliki.
"Berhenti, Chanyeol! Kau tidak mendengar perintah ayahmu, hah?"
Langkah kaki Chanyeol terhenti. Namun, tidak dengan tekad kuat di hati. Kesabarannya sudah habis. Respon ini pun sekedar formalitas, hanya memberi label 'menghormati' atas hubungan darah dengan pria arogan itu. Karena Chanyeol tahu, sesungguhnya laki-laki itulah pelaku yang mendorong Baekhyun dari tangga, hingga mengalami pendarahan hebat dan berakibat pada kematian bayi yang dikandungnya.
"Hapus aku dari daftar pewaris Park Coorporation. Sebagai gantinya, biarkan aku hidup bahagia bersama Baekhyun, Ayah."
Selesai. Sudah berakhir sampai di sini. Sudah cukup ia diam dan terus bungkam. Berusaha menerima kondisi yang ada atas permintaan sosok berhati mulia di dalam dekapannya.
Namun, semua itu telah cukup sampai hari ini.Tak ada lagi pepatah 'diam adalah permata danmengalah adalah emas'. Mulai detik ini, Chanyeol bersumpah akan melakukan perlawanan.
Rumah megah berteralis kokoh telah tertinggal jauh dibelakang. Senja telah berganti menurunkan tirai hitam malam. Fase terindah Sang Dewi muncul pada tahta para bintang.
Purnama.
Bersinar, memendarkan kilau, menerangi jalan sepasang insan yang telah mendapatkan kebebasan.
"Chanyeol, turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri."
"Kau lemah, Baekhyun. Biarkan aku menggendongmu sampai di rumah."
"Tapi, kau pucat. Apa kau sakit?"
"Iya, aku sakit."
"Benarkah? Kalau begitu turunkan aku, Chanyeol! Cepat, turunkan aku!"
"Baekhyun, dengarkan dulu. Aku belum selesai bicara."
"Eh?"
"Aku sakit… jika melihatmu menderita. Karenai tulah, kau harus bahagia, Park Baekhyun."
Itulah terakhir kalinya dua pasang mata dapat bertukar pandang, saling meyakinkan bahwa hanya ada cinta di antara mereka. Sebelum kebahagiaan kecil itu kembali direnggut oleh kepastian bernama takdir.
Karena di hari berikutnya, sebuah berita duka bertransformasi menjadi penghancur mutlak bagi setiap harapan yang ada.
"Baekhyun-sshi, saya Kim Taehyung dari kepolisian. Kedatangan saya ke sini ingin memberi kabar. Suami Anda, Park Chanyeol, mengalami kecelakaan."
.
.
.
/This is the day we give our own live away/
.
.
.
"Chanyeol... Bangunlah, Chanyeol... Kumohon..."
Sinar lampu menyorot kuat.
"Jangan tinggalkan aku... Chanyeol..."
Lorong sunyi disesaki raut wajah putus asa.
"Baekhyun, tenanglah... Chanyeol akan—"
Kanvas putih di bawah kaki berhias ceceran merah.
"Tidak, Luhan-hyung! Jangan katakan apapun! Chanyeol sudah berjanji tidak akan meninggalkanku! Dia bukan pembohong!"
Untaian cerca tertuju pada waktu.
"Hyung, jangan begini, kumohon..."
Pilu menggores hati.
"Tidak, Kyungsoo, kau tidak mengerti! Kau masih memiliki keluarga... Kau memiliki Jongin... Sementara aku? Aku tidak memiliki siapapun lagi... Tidak ada satu pun..."
Luka pupuskan asa.
"Baekhyun-ah..."
Semesta berputar, berguncang, porak-poranda.
"Junmyeon-hyung... Tolong aku... Hyung..."
Lalu gelap gulita.
.
.
.
/And we won't do what the say anymore/
.
.
.
"Bagaimana kita bisa memberitahukan ini pada Baekhyun-hyung, Sehun?"
"Aku juga tidak tahu, Jongin. Kau dengar sendiri apa yang dikatakan Yifan-ge pada Junmyeon-hyung tadi, kan? Operasi hanya memberi kemungkinan 20% saja."
"Tapi, kita juga tak bisa selamanya menyembunyikan hal ini."
"Lebih baik kita tunggu perkembangan situasi. Jujur saja, kepalaku serasa ingin pecah."
"Aku akan meminta Kyungsoo untuk menemaninya."
"Aku juga akan meminta Jongdae-hyung dan Minseok-hyung untuk lebih sering datang."
"Benar. Untuk sementara, kita harus merahasiakan ini dari—"
"Dari siapa?"
"Baekhyun-hyung?"
.
.
.
/We won't walk but we'll run/
.
.
.
"Chanyeol-ah..."
Hening.
"Aku tidak akan memaksamu..."
Sunyi.
"Lakukanlah... yang kau mau..."
Bulir bening mengalir.
"Aku titipkan... Ji Won... padamu..."
Tangis telah habis.
"Jangan khawatir..."
Duka terlanjur meradang lara.
"Aku berjanji..."
Dering kecil.
"Aku akan... bahagia..."
Lalu panjang.
"Aku pasti... bahagia..."
Dan terhenti.
.
.
.
/Until all freedom we've won/
.
.
.
Seorang pemuda memasuki kamar perawatan dengan langkah pasti. Ditatapnya wajah tenang yang tengah tertidur di pembaringan. Sosok berambut abu gelap itu pun duduk di tepi ranjang. Ia tak bermaksud membangunkan. Ia hanya akan menunggu.
Dan seperti tak ingin membuatnya menunggu lama, kelopak mata yang semula tertutup rapat perlahan terbuka. Wajah bulat tak bisa menyembunyikan keterkejutan saat bibirnya mengucap sebuah nama.
"Jongin…"
Kim Jongin tak menyahut. Diraihnya tangan pualam yang tidak diinfus. Dia tak biasa berkata-kata dengan tujuan menenangkan. Dia juga tak biasa mengungkapkan perasaan melalui rangkaian kalimat indah. Yang ia bisa hanya menunjukkan, membuktikan bahwa ia selalu bersungguh-sungguh.
"Kebodohan apa yang merasuki kepalamu, hingga kau berniat menghilangkan nyawa makhluk tak berdosa milik kita… Kyungsoo-hyung?"
Penekanan nada yang terselip membuat mata bulat indah langsung berkaca-kaca. Ia hendak berpaling, namun sepasang tangan menahan pergerakan kepalanya.
"Kau tahu aku tidak suka diabaikan. Tatap mataku saat kita berbicara."
Tak perlu menunggu lama hingga sepasang mata itu meneteskan bulir hangat. Kendati butiran bening segera di hapus oleh jemari lain, namun mereka terus menetes sebagai ungkapan sesal dan rasa bersalah.
"Jongin… aku... aku hanya... "
Tangisan itu membuat pemuda berkulit tan mengangkat tubuhnya sendiri dan mendaratkan sebuah kecupan di kening pemuda mungil yang masih berbaring. Tidak sulit baginya untuk mengetahui isi kepala kekasihnya ini.
"Kau bukan beban bagiku, Hyung. Kehadirannya juga tidak akan pernah menjadi beban bagiku. Karena dia adalah milik kita berdua, dia akan menjadi bukti bahwa kita saling mencintai, Hyung."
Entah kenapa, kata 'milik kita' yang baru saja diucapkan terasa begitu manis. Begitu indah meluncur dari bibir pemuda ini. Seketika, pemilik bibir hati merasa begitu konyol atas perbuatan yang ia lakukan―meminum berbagai macam obat—hingga akhirnya berujung di rumah sakit ini.
"Aku akan memikirkan cara untuk memberitahukan tentang hal ini pada keluargamu. Jadi kumohon, jangan pernah melakukan tindakan bodoh yang bisa berakibat fatal bagimu, juga bagi replika kita . Apa kau mengerti?"
Kepala hitam mengangguk cepat di antara isak bahagia. Untuk pertama kalinya, ia kembali memiliki keberanian menatap sepasang mata yang sejak tadi telah menanti. Mata yang melengkapi wajah tampan pujaannya. Mata yang memiliki kemampuan menembus jauh ke dalam jiwanya, menemukan sosoknya yang tak diketahui siapapun.
Mata yang terkesan dingin, namun sarat akan cinta.
"Dia... Dia akan lahir, Jongin-ah…"
Tak perlu penjelasan panjang. Sebuah senyuman tipis telah cukup menjadi pembuka.
"Dan kita akan membesarkannya bersama, Kyungsoo-yah…"
Ada kehidupan baru yang akan segera dimulai.
.
.
.
/And we will know what this fight was for/
.
.
.
Langkah kaki itu menyusuri pekarangan rumah mungil dalam kesunyian malam. Sudah beberapa bulan ia tinggal di rumah ini. Monolog bisu membuat orang-orang yang tak mengenalnya menganggap bahwa ia tinggal sendirian, meskipun baginya tidak benar-benar sendirian. Namun, ia menganggap itu bukanlah hal yang menyedihkan.
Tak ada yang disesalinya. Tak ada yang diratapinya. Dia telah berdamai dengan keadaan ketika memilih untuk tidak akan pernah bersembunyi dari siapa pun. Dia telah bersahabat dengan kenyataan ketika memutuskan untuk tidak akan pergi kemana pun. Ia memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan.
Di sini, di tempat ini. Sekarang dan untuk seterusnya.
Ia ingin menjalankan perannya dengan sempurna. Sebagai Park Baekhyun—yang tak pernah bosan berbicara, meskipun hanya keheningan yang membalasnya.
"Aku pulang. "
Baekhyun tersenyum tipis. Tangannya pun terulur, merealisasikan sebuah pelukan erat dari belakang. Jemarinya bergerak, memperbaiki letak syal yang melilit leher kurus dengan erat.
"Maaf aku agak lama. Kyungsoo lebih keras kepala dari yang pernah kau katakan. Semoga saja Jongin bisa membuatnya menjauhi jalan yang harus kita tempuh dulu."
Monolog itu hampa. Yang bagi sebagian orang ibarat menabur garam di atas luka. Hanya menyisakan perih tak terkira.
"Nah, karena aku sudah kembali, apa yang ingin kita bicarakan?"
Sayangnya, Baekhyun sudah tak peduli sama sekali.
.
.
.
/It's our time we could make it last/
.
.
.
Baekhyun akan selalu percaya.
Pada wajah tampan yang kini membisu di atas kursi roda. Dan pada tatapan tumpul yang selalu menyimak kerap kali ia bercerita.
"Ah, bagaimana kalau kita awali dengan—"
Jadi, biarlah pembicaraan ini terus berlangsung.
.
.
.
/Cause all the things that I never knew that I wanted.../
.
.
.
Di bawah purnama yang begitu benderang. Berlandaskan cinta—yang mungkin saja—dapat menciptakan keajaiban.
.
.
.
/...are here with you/
.
.
.
"Aku mencintaimu, Park Chanyeol."
.
.
.
***FIN***
A/N :
Remake version of GinRan from my first account—Relya Schiffer. Fanfiksi ini terinspirasi dari movie Jepang berjudul Koizora. Barangkali ada yang pernah nonton ?
Pertama kali mencicip fandom screenplay. Semoga terhibur (^.^)/
