"S-Sasuke, pergilah ... m-menjauh, kau harus melarikan diri —ukh"

Mata hitamnya membulat menyaksikan kematian hampir seluruh klan Uchiha mati dihadapannya, terlebih sosok kakaknya yang mati demi menyelamatkan nyawanya yang nyaris terkena serangan. Ia membenci ini semua, tapi sekarangpun nyawanya berada diambang kematian. Dengan air mata yang jatuh dan sama sekali tidak ia inginkan, Sasuke berlari menjauh dengan sisa kekuatannya. Membiarkan sang musuh yang tak lain salah satu klan pengkhianat itu menguasai dunianya.

Kelopak matanya terpejam, ia mulai membacakan beberapa kaimat dan matanya yang hitam kian berubah warna menjadi warna merah pekat hingga darah menuruni pipi kanan dan kirinya.

"Sialan, dia berhasil lolos! Apa kita harus mengejarnya?"

Tangan lelaki itu bergerak keatas memberikan tanda jika sosok Sasuke bukanlah sosok yang patut di takutkan. "Biarkan dia pergi, kita sisakan satu klan Uchiha." Balasnya dengan seringai menakutkan yang terpampang di bibirnya.

Semua musuh menertakawan nasib tak kuasa mayat-mayat yang berasal dari klan mereka sendiri. Uchiha Madara, meskipun ia memiliki hubungan nyata dengan Sasuke sebagai Kakek dan Cucu, tapi ia tidak pernah menyayangi sosok keluarganya sendiri. Ia memiliki suatu alasan yang membuatnya menginginkan pembantaian klannya sendiri dan balas dendam.

.

.

.

"Huh ... ukh," Sasuke menyeka darah yang bercucuran dari mulut dan matanya, ia memejamkan sejenak mata itu hingga warnanya kembali menghitam, dengan tubuhnya yang lemas, Sasuke pasrah mendudukan dirinya dijalanan tempat manusia biasa berada.

Ya. Ini adalah kehidupan barunya, dimana seharusnya ia tidak boleh memperlihatkan wujud nyatanya sebagai seorang kaum bangsawan dari Vampire dan dimensi yang berbeda.


"Meet to Split Up"

"Mati untuk hidup, dan mati selamanya"

Bagian Pertama

.

.

.

Pairing : Sasuke U & Sakura H

Rated : M (untuk beberapa adegan yang bisa saja muncul)

Genre : Drama

.

.

.


"Ibu, tapi sekarang keuanganku sedang benar-benar habis! Ibu macam apa yang tidak percaya penjelasan anaknya?" Sakura merogoh dompetnya seraya menelpon dengan sang Ibu yang masih terhubung disana.

Meskipun ia tahu jika Mebuki tetap tidak tahu ia berbohong atau mengatakan yang sebenarnya, tapi yang Sakura lakukan saat ini seolah-olah ia mencoba memperlihatkan dompetnya yang kosong dan perlu diiisi.

"Benarkah? Jadi Ibu sudah mentransfernya hari ini? –akh! Aku mencintaimu Ibu, sekarang juga aku akan mengambil uangnya." Sambungan diputuskan Sakura secara sepihak. Ia bergegas keluar dari dalam apartemennya untuk membawa uang yang sudah ditransfer oleh Ibunya.

Meskipun ia hanya seorang gadis tunggal Haruno, ia cukup mandiri berada sendirian di Kota Konoha. Berbagai macam cara agar ia tetap hidup, seringkali Sakura lakukan. Mulai dari kerja part time sampai masuk sekolah karena beasiswa. Tapi sejauh ini, ia bukanlah anak dari keluarga yang tidak mampu. Ayahnya yang seorang direktur diperusahaan milik kakeknya, membuat apa yang Sakura inginkan selalu terpenuhi.

Namun, itulah Sakura. Egois tapi teguh pendirian.

Ia menutup pintu apartemen dan tidak lupa menguncinya dengan kunci cadangan untuk menghindari terjadinya sesuatu.

Senyumnya tidak hilang, wajahnya juga terus berseri-seri. Hari ini, hari Minggu. Dan Sakura tidak heran ketika ia sampai kebahu jalan, banyak sekali pengguna sepeda dan beberapa orang tua yang sedang jalan santai.

Sakura berjalan kesalah satu jalan kecil alternatif jika ia akan pergi ke super market atau sekedar mengambil uangnya di ATM terdekat, begitupun jika ia terlambat masuk sekolah. Jalan ini tidak banyak diketahui oleh orang Konoha asli, karena jalan yang merupakan arah ke bangunan tua yang sudah runtuh beberapa tahun silam, dan Sakura yang pertama kali diberitahu Naruto jika mereka terlambat masuk sekolah —Uzumaki Naruto, anak walikota yang tinggal diapartemen berhadapan dengan apartemennya.

Aroma bau khas kayu menusuk indra penciumannya, namun sama sekali tidak dihiraukannya. Hingga aroma lain yang lebih menusuk indra penciumannya membuat Sakura bergeming. "Bau amis dari mana ini?" gumamnya dengan kepala yang menoleh kesegala arah.

Mata hijaunya mendadak membulat memastikan jika apa yang tengah ia lihat bukan sekedar bayangan atau ilusi. Ada sosok lelaki tampan dengan darah yang tersebar dimana-mana, pelipisnya pun demikian. "Dia ... sudah mati?" Sakura melangkahkan kakinya mendekat, dengan perasaan was-was dan hati-hati ia memegang pipi lelaki itu. Sekarang, sebenarnya ia sudah siap untuk berteriak.

Dingin. Sangat dingin, melebihi es krim beku dari kulkas apartemennya. Sakura menarik tangannya lagi, ia melihat tangannya yang memucat seketika hanya karena memegang pipi lelaki itu.

"Kyaaa!"

Sakura menutup matanya, saat ia merasa badannya oleng begitu saja karena tangannya yang ditarik oleh lelaki yang ia kira sudah meninggal.

Ia tidak berani membuka matanya, dan lebih merutuki jika seharusnya lebih baik ia tidak mengacuhkan lelaki yang berpura-pura ini.

"L-lepaskan aku!" ujar Sakura setengah mendesak dan rasa takut yang menjalari bagian badannya.

"Kau kemari untuk memastikan keadaanku 'kan?" tanyanya dan kali ini ia membuka penuh kelopak matanya hingga Sakura dapat melihat dan sejenak terpikat dengan mata lelaki didepannya.

"T-tidak, aku hanya kebetulan berjalan kearah sini. Le-lepaskan aku, ada kepentingan lain yang bisa kuurus." Jelas Sakura mencoba memberontak dan berusaha bangkit dari posisi duduknya.

"Berikan darahmu, dan kau akan kubiarkan pergi." Sahut lelaki itu dan kali ini nada suaranya berubah mendingin seketika.

Sakura menelan salivanya, ia berpikir lelaki didepannya sedang memberikan lelucon berkedok serius. "Jangan main-main, kalau kuberikan darahku, bukankah aku akan mati?" tanya Sakura memastikan, ia memberikan seringai merendahkan untuk menutupi kegugupannya. "Lagi pula kau seperti vampire saja." Tambah Sakura.

"Tidak, aku tidak serakah. Berikan sedikit saja darahmu dan kau bisa meminta apapun."

Langkah Sakura yang sudah berhasil bangkit kembali bergeming, ia menolehkan kepalanya ragu-ragu kearah lelaki itu yang menampakan raut wajah keseriusan.

"Baiklah." Sakura kembali mendekatkan dirinya pada lelaki itu dan kemudian memberikan telunjuknya. "Lukai kulitnya hingga darah menetes dan kau kubiarkan menghisap darahku." Ujarnya memperjelas ketika lelaki itu mengernyitkan alisnya.

"Untuk apa kulakukan hal itu?" lelaki itu bangkit berdiri dengan susah payah, ia meraih pinggul Sakura hingga badan mereka menempel kemudian menyibak rambut gadis itu hingga leher jenjangnya terpampang lezat didepan matanya.

"A-arkh! Kau g-gila?" Semuanya terjadi begitu cepat, mulai dari lelaki yang menusukan gigi taringnya pada kulit mulus leher Sakura, dan menghisap sedikit darah gadis itu kemudian, ia menjauhkan badannya.

Sejenak ia mengusap leher Sakura kemudian menyeka sudut bibirnya yang masih tersisa darah. "Darahmu yang kuhisap hanya untuk menutup luka yang ada dalam tubuhku. Jika aku ingin mengembalikan kekuatanku, maka aku harus meminta ijin kedua kalinya padamu untuk melakukan hisapan yang kedua." Sahut lelaki itu menjelaskan cukup panjang.

Sakura tidak percaya dengan yang terjadi didepannya, ia mendeham pelan menutupi ketidak percayaannya. Lelaki yang penuh luka tadi sekarang tampak normal dan bahkan 2 kali lebih tampan dari keadaan sebelumnya. Tidak ada tersisa darah dimanapun.

"K-kau, dari mana sebenarnya asalmu?" tanya Sakura memastikan.

Secara tiba-tiba lelaki itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat seolah apa yang dikatakan Sakura cukup menyakitinya. Tentu saja karena ingatakan tadi malam masih bersarang dalam kepalanya, dan Sakura membuatnya mengingat lagi kejadian itu. Dan ia benci mengingat kekalahannya.

"Baiklah, tak masalah kau tidak mau beritahu dari mana asalmu, sekarang aku harus menagih janjimu."

Lelaki itu menengadahkan kepalanya menatap Sakura cukup intens. "Katakan saja." Gumamnya.

"Dia cukup tampan, jika aku tidak memanfaatkan kesempatan ini, pasti seumur hidupku hanya ada penyesalan." Bathin Sakura dalam hati, ia memasang pose nya yang tengah berpikir kemudian menjentikan jarinya. "Jadilah pacarku." Sahutnya dengan begitu meyakinkan, tapi justru membuat lelaki didepannya mengernyit kebingungan.

"Hn? Apa itu?"

Wajah Sakura memerah seketika bagaikan tomat hingga ia tidak kuasa untuk tidak membuang wajahnya kearah lain. Rasanya memalukan sekali posisinya sekarang, tapi bagaimanapun bukankah lelaki itu sudah berjanji padanya?

"Pacar adalah kekasih, jika dikehidupanmu mungkin kau belum pernah mengenalnya, tapi dalam kehidupanku sosok pasangan memang sangat dibutuhkan." Jelas Sakura masih mempertahankan wajahnya agar tidak memandang kearah lelaki didepannya.

"Pasangan? Suami istri?"

Sakura mendadak salah tingkah, setelah wajahnya yang memerah sempurna, kali ini ia merasa serba salah dengan apa yang harus dikatakan pada lelaki itu. Kelihatannya sangat kuno sekali, tapi tidak masalah selama Sakura mendapati wajahnya yang diatas rata-rata. Mungkin –ia harus cukup sabar.

"B-Bukan, akhh~ sudahlah, aku tidak mau menjelaskannya. Kau membuat kelapaku pusing saja." Gumam Sakura asal, ia meurutuk dalam diam, mengambil langkah untuk segera bergegas pergi dari hadapan lelaki itu.

Grep!

"Hn. Kalau begitu, ayo, kita jadi pasangan pacar." Sahutnya —membuat mulut Sakura menganga tak percaya.

Bersambung.


Author Note

Update hari Selasa, dan do'akan semoga aku selalu punya waktu untuk buat kelanjutannya (: see u next chap!