Naruto & Rising of The Shield Hero Fanfiction
M (languages and violences)
Tidak disarankan untuk pembaca dengan usia di bawah 18 tahun
.
.
As The Fifth
.
.
.
"Bertarunglah denganku!"
Bukan kebiasaannya ikut campur dengan urusan orang lain, ia sudah cukup lelah dengan semua masalah yang terjadi padanya, kehidupan pribadi, keluarga, asmara, semuanya. Naruto Uzumaki, menginginkan kematian. Dan disaat tugas terakhirnya sebagai seorang pembunuh bayaran, ia tertembak tepat di dada sebelah kirinya, dan mulai berfikir apakah ini akhirnya? Orchestra dengan akhir berdarah? Ia bahkan belum sempat memutar lagu kesukaannya setelah melakukan misi, namun nampaknya ajal menjemputnya lebih dulu.
Ia; Naruto, berfikir, bukankah ini yang sebenarnya ia angankan? Sebuah kematian untuk menebus kematian lainnya. Hidupnya sudah sengsara sejak pertama kali mencicipi darah korbannya, dan kini ia harus mencicipi rasa amis dari darahnya sendiri. Ia tertembak, lalu mengalami serangkaian peristiwa medis yang berkaitan dengan gagalnya jantung memompa darah, ia akan kehabisan oksigen, lalu akhirnya mati. Skenario yang ingin ia rasakan sedari dulu, namun surga beru mengabulkannya tepat disaat ia selesai menguliti salah satu korbannya.
Ah, ngomong-ngomong soal kulit, ia yakin Evelynn akan nampak semakin cantik dengan balutan kulit perempuan dari golongan putih ini, Naruto sudah memastikan tidak ada cacat di permukaan tubuhnya dan menyayatnya dengan ketelitian bahkan sampai membuat tangannya menggigil karena takut mahakaryanya yang satu ini rusak. Dan disaat euforia itu sedang naik, dadanya merasakan nyeri yang teramat sangat. Ada peluru yang bersarang di dadanya. Lantas ia jatuhkan pisau yang ia gunakan sebelumnya, kemudian menghirup aroma kulit perempuan yang baru saja ia 'ambil' lalu jatuh terduduk, sebelum akhirnya tersandar pada dinding di belakang punggungnya.
Ia menghadapi kematian, setelah melihat orang lain menghadapi kematiannya.
Lalu entah kenapa, ia harus berakhir di tempat aneh, tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya, tempat dimana mungkin Shakespeare akan teramat bahagia tinggal di dalamnya. Negeri antah berantah, negeri di dalam dongeng, dengan titel Pahlawan melekat padanya.
"Bertarunglah denganku!"
Ah, padahal harusnya ia pulang ke rumah kecilnya di pinggir danau, membawakan kulit gadis remaja yang baru saja ia 'ambil' dari tubuh aslinya, dan menjahitkannya pada tubuh Evelynn yang baru. Ia takut perempuannya marah karena berselingkuh dengan perempuan lain, tapi nampaknya tidak masalah, Evelynn tetaplah Evelynn, yang asli tidak akan keberatan.
Kembali, ia harusnya pulang ke rumah, akan tetapi sebuah tanggung jawab kecil memaksanya untuk tinggal bersama kerumunan mamalia ini dan bertarung menghadapi serangan monster aneh, lalu diundang oleh raja untuk jamuan makan malam setelah berhasil mengalahkan monster tersebut, dan disinilah ia sekarang, berada ditengah konflik sesama pahlawan yang memperebutkan budak.
"Ahh, Motoyasu Kitamura-kun, aku fikir kau sudah cukup jelas mendengar bahwa perbudakan juga legal di kerajaan ini, tapi kenapa pahlawan sepertimu repot-repot ingin mengambil budak Naofumi -kun dengan cara berduel? Bukannya kau juga bisa mendapatkan budak Ajin sama seperti milik Naofumi-kun dengan membelinya ke penjual budak?"
"Kau. . ."
Ya, Naruto menyindir kerajaan dengan cara yang kasar. Secara terang-terangan ia mengatakan bahwa siapa saja bisa memiliki budak mereka sendiri asalkan berani membayar dengan sejumlah uang kepada penjual budak, dan ia akan kebal dari huku apapun karena sistem perbudakan memang masih berlaku di negeri ini.
"Jelas, Naofumi-kun tidak tertarik dengan duel yang tidak ada untungnya baginya, ia tidak akan bertarung secara cuma-cuma."
"Apa maksudmu orang aneh?"
"Jangan anggap ini sebuah bantuan, Naofumi-kun. Hanya saja, aku dan kenalan baruku, Margareth sedikit kebosanan. Tidak ada yang mendengarkan suara indah darling-ku disana, ia sakit hati dan ingin sebuah pertunjukan agar suaranya di dengar. Ia menginginkan orchestra."
Motoyasu dan seluruh orang disana hanya bisa diam sambil memandang Naruto dengan tatapan bingung. Pria bertopeng dan berpenampilan aneh ini memang dikenal sering berbicara ngelantur dan sering tertawa dengan nada yang cukup aneh. Pahlawan lain juga merasa begitu, sosok pria bernama Uzumaki Naruto ini memang sudah misterius sejak awal. Topeng dengan aksen ukiran serta ekspresi tersenyum, jubah putih dengan bordiran berwarna senada tembaga, kemeja berwarna magenta bahkan lebih mendekati warna darah dan setelah berwarna hitam yang ia kenakan bahkan sampai menutupi rambutnya. Ia adalah kejanggalan, karena di dalam legenda, hanya tertulis empat pahlawan, bukannya lima, namun nyatanya yang berdiri disana adalah fakta bahwa ia merupakan orang ke-lima yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia ini.
"Ah, Motoyasu-kun , jadwalku sibuk hari ini, aku punya kencan dengan kekasihku, Evelynn. Bisakah kau memutuskan sekarang? Membeli budak baru, atau jadi penari dalam acara-ku?"
"Apa untungnya untukku?"
"Hmm, tidak tahu. Aku bisa menjilati sepatumu jika kau mau. Duduk seharian di depan rumahmu, lalu menggonggong saat kau datang ke rumah. Bermain dengan benang wol yang kau lemparkan, atau menemanimu jalan-jalan ditaman, semuanya terserah padamu, Motoyasu-kun. Ahahaha. . ."
Uzumaki Naruto barusan, secara spontan mengatakan ia siap menjadi anjing peliharaan sang pahlawan tombak.
Mereka sekali lagi memandang Naruto dengan tatapan heran, orang macam apa yang telah mereka panggil ke dunia mereka? Orang macam apa yang mereka panggil untuk melindungi dunia mereka? Orang macam apa Naruto Uzumaki itu?
"Ahahaha. . . Aahhh, Margareth, darling, sekarang semua orang akan mendengar nyanyianmu. Tidak perlu khawatir, akan kusiapkan panggung yang paling megah untukmu."
Dan baru saja, mereka melihat Naruto berbicara dengan instrumen musik? Dia baru saja memanggil piano itu Margareth.
"Jadi, apa jawabanmu?"
.
.
.
.
Seperti yang Naruto katakan sebelumnya, Margareth dan ia sendiri akan berduet dihadapan sang raja. Dirinya tepat berada di belakang Motoyasu dan duduk dengan nyaman, ditemani beberapa orang penting disana. Raja mendapatkan kursi VIP dalam acaranya. Sementara, Motoyasu yang sebelumnya hendak menantang Naofumi malah berakhir dengan menerima tantangan Naruto Uzumaki untuk berduel. Ia ingin melakukan sesuatu pada budak yang dibawa oleh Naofumi, namun nampaknya kebaikan hatinya terganjal satu masalah, dan masalahnya adalah Uzumaki Naruto.
Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Naruto duduk dengan santai di depan piano yang ia tempatkan di tengah arena. Ia belum melihat Naruto akan melihat serangan pembuka, dan malah kini disajikan dengan permainan instrumen yang indah dari sang lawan.
Not demi not, nada yang dihasilkan begitu sulit dicerna oleh semua orang yang hadir menyaksikan duel ini. Tidak ada perasaan bahagia disana, hanya terdengar dentingan pilu.
"Sebelum aku mulai, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Uzumaki Naruto."
Beberapa detik setelah itu, Naruto menghentikan permainannya sembari kemudian menoleh pada Motoyasu.
"Jika kau menang, apa yang kau inginkan. Jawab aku!"
Setelah mendengar hal itu, Naruto melanjutkan permainannya, namun dengan tempo yang lebih cepat, beserta dengan nada yang lebih rumit lagi.
"Yang kuinginkan? Ah tentu saja, ada hal yang sebenarnya aku inginkan."
Naruto terus memainkan instrumen tersebut dengan kecepatan konstan.
"Aku ingin pakaian mewah, terbuat dari bahan dengan kualitas bagus. Aaahhh, Evelynn-ku sayang pasti akan senang. Ya, ya, aku ingin pakaian -"
Seraya Naruto menggantungkan ucapannya, ia menghentikan permainan piano-nya disaat yang bersamaan.
"Aku menginginkan kulit perempuan yang ada dibelakangmu."
.
.
.
.
Apa mereka tidak salah dengar? Barusan, Uzumaki Naruto, mengatakan bahwa ia menginginkan pakaian bagus, namun ternyata diakhir kalimatnya, ia menginginkan kulit dari Malty Melromarc. Ia menginginkan kulit sang puteri sebagai hadiah. Beberapa dari penonton mulai tidak kuat dengan alur pembicaraan ini dan memilih untuk meninggalkan arena. Beberapa duduk terdiam, kaku dan tidak bisa bergerak, mereka semua mengeluarkan keringat dingin, bahkan sang raja yang sedari tadi duduk dengan tenang mulai menunjukan raut kegelisahannya.
"Kau tidak salah dengar, Motoyasu-kun. Aku menginginkan kulit perempuan itu."
"Apa yang-"
"Biar kuceritakan sesuatu, hari itu, sebelum aku dipanggil ke tempat itu, aku baru saja menguliti seorang gadis remaja, umurnya mungkin sama dengan perempuan berambut merah dibelakangmu. Dan kulit itu merupakan kulit paling bagus yang pernah aku temui di dunia ini, makanya ingin aku persembahkan untuk kekasihku, Evelynn. Wajah, bahu, lengan, punggung, ah, aku tidak bisa tahan dengan keindahan warnanya yang bersinar saat malam datang."
Naruto memberi jeda kemudian melanjutkan permainannya yang sempat terhenti untuk sesaat.
"Itu adalah kulit dengan kualitas nomor satu. Kau tahu, Motoyasu-kun, jangan anggap aku ini pria tak punya hati. Aku berniat untuk mengobati luka gadis itu, namun ia malah berlari ke arah sungai dan melompat, kebetulan hari itu air sedang tidak begitu bersahabat, ia terseret arus dan aku tidak bisa menemukan tubuhnya. Padahal, jika dalam setahun kulitnya mampu sembuh lagi seperti semula, maka akan ku-panen lagi kulitnya, ia bisa menjadi domba peliharaanku, tapi ia malah menginginkan kematian."
Motoyasu dan semua yang ada disana hampir tidak bisa menahan rasa mual mendengar cerita Naruto, pria keji dihadapannya ini entah sedang berekspresi apa sekarang, topeng dengan ekspresi tersenyum itu menyembunyikan semuanya.
"Kau tahu, Motoyasu-kun, kematian seperti itu, aku tidak menyukainya. Kematian itu, harusnya seperti sebuah Opera."
"HEYAAHHH!"
Naruto selesai dengan permainannya lalu berdiam sejenak sembari memandangi Margareth, menghiraukan Motoyasu yang mulai menerjang untuk menyerangnya. Jaraknya lumayan jauh, ia tidak bisa mengukur berapa, tapi cukup untuk membuatnya sedikit berlari kearahnya.
Motoyasu menerjang, dengan kobaran api diujung senjata sucinya, ia berniat menghentikan omong kosong dari bipolar dihadapannya, ia datang dengan niat membunuh, mendengar apa yang ia perbuat, tidak bisa dimaafkan.
"Kau lupa sesuatu, Motoyasu-kun , ini adalah panggungku. Pahlawan sepertimu harusnya lebih berhati-hati."
Saat tinggal beberapa langkah lagi Motoyasu sampai, Naruto bangkit dari duduknya dan melakukan sedikit gerakan memutar sambil kemudian membidikkan Whisper ke arah Motoyasu yang sedang berlari menerjangnya. Naruto benar-benar tidak memberikan Motoyasu ruang untuk bermanuver, ia seolah tahu kemana arah sang pahlawan akan berlari.
Ya, Ini adalah orchestra, dan Naruto adalah komposernya.
Semua mata memandang tidak percaya, pahlawan tombak seperti sedang menari dengan takdirnya. Satu tembakan, dua tembakan, tiga tembakan, empat tembakan, lalu Naruto seperti mengatur ulang posisinya seolah memang ia sedang memimpin sebuah pertunjukan, lalu kemudan menembakannya lagi.
"In carnage, I bloom, like a flower in the dawn."
Tepat di tembakan ke empat selanjutnya, Naruto berhenti. Lalu menunduk, memberi salam penghormatan kepada penonton layaknya seorang artist.
Tanpa semua orang sadari, Motoyasu terkena tembakan tepat di lutut kanannya.
"Each bullet is a piece of my soul. Each shot is a piece of me."
Motoyasu mendongak, melihat dan mencoba membaca raut wajah yang ada dibalik topeng itu. Topeng memuakan dengan ekspresi tersenyum itu.
"Aku tau apa yang sedang kau fikirkan, Motoyasu-kun. Ekspresi apa yang saat ini sedang kupakai, dibalik topeng ini, apakah aku sedang tersenyum, atau bersedih? Evelynn tidak tahu, bahkan aku sendiri tidak tahu. Kadang aku bertanya, yang mana yang merupakan kebohongan, aku atau topengku?"
Naruto tidak beranjak sejengkalpun dari tempatnya berdiri dan malahan merentangkan kedua tangannya sembari berkhayal, atau apapun yang ia lakukan, Motoyasu tidak tahu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, atau dengan cara apa supaya dapat mengalahkan pria di depannya itu, kaki kanannya mulai mati rasa, darah merembes dari lukannya, seolah tidak akan pernah tertutup. Ia tidak tahu soal luka tembakan, apakah memang begini efeknya, ataukah karena yang Naruto gunakan adalah senjata suci, ia tidak tahu.
"Kau pendarahan, Motoyasu-kun. Luka di lutut kananmu, aku menembaknya persis pada nadi-nya. Sekeras apapun kau menekan lukamu, darahnya akan tetap keluar. Perban seperti apapun yang kau gunakan, kau akan tetap kehabisan darah. Kau sekarat, Motoyasu-kun."
Ketidaktahuan, manusia kadang dibutakan dengan kekuatan, namun takut akan ketidaktahuan. Itulah yang membuat manusia lemah. Motoyasu yakin, peluru yang ditembakan dari senjata suci itu bukan hanya peluru biasa, ia bisa merasakan sedikit mana kotor dari setiap tembakan, namun yang satu ini, satu yang mengenai lutut kanannya terasa memiliki sihir gelap di dalamnya.
Ia tahu, sejak pertama kali alat musik itu dimainkan, ia sekilas bisa melihat beberapa perangkap sihir yang tersebar diseluruh lantai arena, saat ia mencoba berlari, langkahnya akan terhenti oleh satu peluru, jika bergerak kearah lain, ia akan bertemu dengan perangkap. Ia sedari awal berada di dalam lubang yang sama dan tidak bergerak selangkah-pun dari tempatnya. Sejak awal ia adalah boneka bagi Uzumaki Naruto.
"Ah, aku menyesal tidak mengatakan ingin organ tubuhnya sekalian. Matanya bisa kucongkel, dan kurendam di dalam cairan pengawet, lalu lidahnya akan kugantungkan sebagai hiasan di luar rumah saat musim hujan."
"Sebenarnya apa tujuan mu menggantikan Naofumi, Uzumaki?"
Motoyasu bertumpu pada tombaknya, ia berlutut dihadapan seorang psikopat dan mencoba menahan rasa sakit. Sekeras apapun ia mencoba untuk berdiri, ia tidak memiliki tenaga sebesar itu, lututnya benar-benar tidak berfungsi.
"Lalu apa tujuanmu menantang Naofumi-kun, Motoyasu -kun?"
"Kulihat kau selalu dikelilingi gadis-gadis cantik, tapi kau malah menginginkan budak, setengah manusia pula. Apakah seleramu serendah itu, tuan pahlawan?"
"Kau bertanya soal keinginanku? Bukankah sudah jelas, jika aku menang, aku ingin kulit perempuan itu sebagai hadiah. Dan sekarang kau, yang menjadi lawanku malah duduk santai dan mengajakku mengobrol, cara itu hanya bisa bertahan beberapa menit sebelum aku mengulitinya tepat dihadapan semua orang."
"Oh yang mulia, sepertinya dewi berpihak padaku hari ini, pahlawan tombak yang engkau banggakan kalah dari pria biasa sepertiku. Sesuai dengan kesepakatan kita sejak awal, jika aku menang, aku menginginkan kulit perempuan itu, dan sekarang sepertinya saat yang tepat untuk mulai menguliti dan mengambil hadiahku. Katakan, rajaku, anda ingin aku yang mengulitinya, atau anda akan memerintahkan pria di depanku ini membantuku mengulitinya, aku punya banyak waktu untuk menunggumu membuat keputusan."
Naruto mengakhiri kalimatnya sembari meletakan pisau kecil dihadapan Motoyasu yang bersimpuh di dalam kubangan darahnya sendiri. Suasana mencekam ini, bahkan sang raja-pun tidak tahu harus berbuat apa. Dengan sombongnya ia membuat duel ini menjadi duel suci, namun hasilnya malah menjadi boomerang baginya.
Dibalik topeng itu, ada senyuman yang sama dengan yang diperlihatkan oleh topengnya, ia yakin itu.
"SIALAN!"
Teriakan sang raja, dan jeritan sang puteri, menjadi puisi dan nyanyian yang indah pada malam itu.
.
.
.
.
The End.
Key Words:
League of Legends
Jhin
The Wall
Juba, the Ghost
