Aku ingin tertidur pulas, melewati hari-hari buruk, dan ketika aku membuka mata, esok telah tiba.
Hari yang lebih baik telah menyambut.
.
.
.
Kyoto, 3rd grade Junior High School
Bunga sakura bermekaran menandakan bulan april telah tiba. Lebih dari itu, ini adalah hari dimana upacara penerimaan siswa baru dilaksanakan. Dua tahun yang lalu aku mengalami hal yang sama. Kini, aku beridiri di depan sekolah ini bukan sebagai anak baru, melainkan seorang senpai di 3rd grade.
Di hari ini pula, aku menemukan seseorang yang membuat hidupku menjadi bongkahan es. Seseorang yang seharusnya tak layak ku banggakan. Dari penampilannya saja, semua orang akan menilai dia bukan murid baik-baik. Bahkan dia mencat beberapa bagian rambutnya menjadi biru.
Ini adalah awal dari kesalahan. Sebagai hukuman, hidupku berbalik menyedihkan.
Kyoto, 2nd grade Senior High School
Petal demi petal sakura jatuh setiap lima sentimeter per sekon. Itulah kenapa bunga sakura seolah-olah salju berwarna merah muda. Mengalun lembut selayaknya kelopak bunga. Bagiku, tiap kelopak bunga sakura menyimpan sebuah kenangan. Bermula aku diterima di sekolah, bertemu kawan baru, sampai bertemu anak binal yang ku banggakan.
Kini, setelah dua tahun berlalu dari hari itu, rasa kagum dan banggaku tak surut seberapa banyakpun tindak criminal yang anak itu lakukan. Malah rasa ini berbanding terbalik seperti reaksi laju kimia terhadap suatu unsur. Sampai aku mengikuti jejaknya ke sini, ke sekolah ini. Sekolah yang bahkan tak terpikirkan olehku.
Itulah kenapa ku sebut pertemuan kita adalah bagian dari kesalahan yang melukai diriku sendiri. Pertemuan dengan Uchiha Sasuke.
.
.
Menangislah Untuk Tersenyum
.
.
Chapter 1
I Hate Summer Days
~Kohan44~
.
.
.
Jerit dan gelak tawa membahana di sekeliling bangunan sekolah. Menyaingi nyanyian serangga musim panas. Lebih dari itu, kebisingan mereka membuatku ingin berteriak lalu berlari ke arah mereka untuk memberikan beberapa pukulan keras sampai mereka terlontar jauh dari hadapanku. Panas matahari nyaris membuatku gila. Ini pertama kalinya aku berharap liburan musim panas segera datang.
"Karii~n!"
Aku menghela nafas lelah ketika mendengar teriakan familiar dari kejauhan. Kipas di tanganku mulai bergerak lemah seiring makin mendekatnya anak yang memanggil namaku.
"Karin!" katanya dengan nafas tersengal-sengal. "ada yang ingin ku tunjukan padamu!"
Hampir dua tahun berlalu semenjak kami mulai berteman dekat. Bagi Naruto, tidak menjadi masalah bila kami saling berjabat tangan seperti ini. Dia sering sekali menarik tanganku lalu membawaku pergi ke suatu tempat yang ingin dia tunjukan. Ini hal biasa dimana pun kami melakukan ini.
"e-eh! Matte kudasai!" Dia mencengkram tanganku kuat-kuat. Menarikku pergi ke tempat yang dia kehendaki. Entah dimana. Meski awalnya aku tak suka, tapi di akhir aku akan menyukainya.
Naruto memaksaku berkeringat di musim yang paling aku tidak sukai. Bahkan dia membuatku mendaki tangga sekolah empat kali lebih cepat dari pada biasanya. Berlari sepanjang koridor sekolah dan akhirnya tiba di kelas. Sungguh, seberapapun aku marah padanya, itu tidak berarti apa-apa. Naruto tetap akan mengulangi kesalahannya lagi, lagi, dan lagi. Aku sendiri pun sebenarnya tidak pernah benar-benar marah. Aku akan memaafkannya lagi, lagi, dan lagi.
"Lihat ini!" serunya begitu kami tiba di bangkunya. Terpampang di depan wajahku selembar kertas setengah lecek dengan sebaris kalimat.
"ma…ri-ber-te..man?" aku membaca satu per satu suku kata dari surat tersebut.
"lihat? Lihat? Lihat? Ahahaha aku punya fan!"
Aku mendesis kesal sembari membuang pegangan Naruto pada tanganku. Aku kembali mengibas-ngibaskan kipas pada kecepatan tinggi. "aku pikir apa."
"tidak usah cemburu begitu…"
"apa maksudmu?"
"lagi pula pengirimnya bukan perempuan."
"he? Lalu siapa?"
"kau ingin tahu ya? Ya? Ya? Ahahha"
Bret! Aku merebut surat di tangan Naruto lalu buru-buru membacanya. Tetapi sebelum dapat ku baca, Naruto mengambil kembali kertas yang menjadi hak miliknya.
"eeeh, matte! Biarkan aku tahu siapa pengirimnya! Mungkin itu untukku! Atau itu memang punyaku ya?"
Aku berlari mengejar Naruto. Menggapai-gapai surat di tangannya meskipun aku tahu usahaku sia-sia. Tangan Naruto lebih panjang dariku walaupun tinggi kami tidak jauh berbeda.
Naruto adalah satu-satunya teman laki-laki yang paling dekat denganku. Selain aku kurang pandai bergaul, Naruto itu orang yang mudah akrab dengan siapa saja. Sampai nasib mempertemukan kami selama hampir dua tahun berada dalam kelas yang sama.
Aku dan Naruto masih senang melakukan hal yang sedikit kekanak-kanakan tanpa mempedulikan berapa usia kami. Itu mungkin karena kami mempunyai beberapa kesamaan dan kebiasaan.
"ahahaha ayo, Karin! Semakin hari, kau semakin lamban saja."
"berikan padaku!"
Aku melompati dua anak tangga sekaligus. Begitu Naruto membuka pintu yang menghubungkan ke lantai paling atas (lantai terbuka, puncak gedung sekolah), aku memeluk Naruto erat-erat dan memastikan dia tak akan lepas. Tak peduli jika Naruto harus kehilangan keseimbangan dan membuat kami berdua terjatuh.
"e-eeh! Kau berat, Karin!"
"aku tidak peduli. Berikan padaku! Berikan! Berikan!" aku berteriak berkali-kali sambil tanpa berhenti mengulurkan tangan meraih surat yang Naruto acungkan jauh-jauh dariku.
"ayo, mana usahamu? Tunjukan padaku." Naruto memutar-mutar badannya. Membuatku yang menempel di badannya ikut berputar dengan meronta. Ketika Naruto berhenti berputar, aku berada di posisi membelakangi pintu. Di situlah aku berhenti meraih tangan Naruto. Menghentikan seluruh pergerakan dengan badan melemas.
Angin musim panas bertiup. Aroma khasnya begitu terasa. Hal yang membuatnya menjadi sangat berbeda dari musim-musim lainnya. Nyanyian serangga terdengar begitu jelas saat kami berhenti berteriak. Kacamataku berkilat memantulkan cahaya matahari. Membuat Naruto mengkerut menahan silaunya.
"kenapa?" tanyanya begitu menemukan tak ada respon dariku.
"Ara… ano hito wa…"
Perlahan-lahan Naruto memutar badan tanpa melepas pelukanku darinya. Dia menemukan sosok yang sama dengan sosok yang ku lihat. Perawakan jangkung, badan tegap, dan rambut hitam pekat dengan mata onyx. Mata yang tepat menuju ke arah kami berdua. Tajam.
"apa yang harus kita lakukan, Naruto?" tetapi Naruto diam saat ku bisikan kalimat bernada khawatir. Ini adalah pertanyaan yang umum bagi orang yang bertemu berhadap-hadapan dengan ketua geng terkuat di sekolah. Terlebih lagi terlihat dari matanya, sang ketua tidak dalam kondisi mood yang bagus.
Uchiha Sasuke, salah seorang clan Uchiha yang setahuku selalu menjabat gelar ketua geng brandal selama hampir lima tahun berturut-turut. Hampir semua tentang dirinya, aku tahu. Aku mencari tahu…
Naruto mengendurkan pelukannya seiring langkah Sasuke yang mendekat. Tepat saat Sasuke melewati kami berdua, Naruto melepas pelukan. Ada aura dingin di sekeliling Sasuke. Membuatku paham kenapa anak itu selalu terpilih menjadi ketua.
.
.
"Hei, Karin…"
"hm?"
"kau tahu anak tadi kan? Uchiha… Sasuke…"
"un!"
"kau pikir, kenapa dia berhenti mengecat rambutnya?"
"umm… shiranai."
"karena dia orang baik."
"wakatteru."
"ha?"
"nani?"
.
.
Naruto mengikatku dengan tatapannya. Dia sangat menuntut atas jawabanku. Musim panas tahun ini benar-benar musim panas yang paling tidak aku sukai. Ini menyebalkan.
"dari awal, aku tahu dia memang orang baik." Kataku akhirnya.
"kau mengenalnya?"
Aku mengangguk singkat seraya berjalan ke bagian gedung yang mendapat bayangan. Aku tidak bisa menahan diri dengan cuaca sepanas ini. Entah bagaimana caranya Naruto bisa bertahan dan tetap ceria, berlari ke segala penjuru sekolah, mengabaikan panas yang nyaris membunuh pori-poriku.
"aku satu SMP dengannya."
"sou ka? Hmm… kau tahu surat ini dari siapa?"
Aku melirik Naruto sekilas. Pandangan Naruto berubah. Jika aku memiliki sorot mata yang berbeda semenjak melihat keberadaan Sasuke, aku pikir itu normal. Selama hampir tiga tahun aku memendam hal yang tak diinginkan. Tetapi jika Naruto memiliki perbedaan sorot pandang saat bertemu Sasuke, itu artinya ada hal lain yang tak aku ketahui, tentang Naruto dan tentang Sasuke sendiri. Apalagi sorot mata itu bukan sorot ketakutan selayaknya orang bertemu ketua geng terbengal.
"aku tidak tertarik lagi dengan surat itu. Ayo kembali ke kelas, Naruto." Aku meleos pergi. Moodku hilang di telan aura Sasuke. Aura yang seringkali ku rasakan tiap kali berada di dekatnya. Aura yang tak mencegah rasa yang tak diinginkan dalam diriku terus tumbuh.
"ini dari Sasuke."
Cepat-cepat aku berhenti berjalan dan berbalik ke arah Naruto. "maksudmu?"
Naruto menghindari kontak mata denganku. Membuatku sulit membaca apakah ini serius atau bercanda. Tetapi seharusnya ini hanya candaan. Karena Naruto sama sekali tak mengetahui perasaan yang terpendam dalam diriku terhadap Sasuke. Jika dia tahu perasaanku, dia tak akan membuat lelucon menyakitkan seperti ini.
"aku bertemu Sasuke di semester 3. Dalam satu semester, ada banyak hal yang terjadi. Hal yang tak ada sangkut pautnya denganku. Tetapi aku selalu saja tiba-tiba ada dalam lingkar kisah Sasuke."
Aku tak mendapat arti apa-apa dari kisah Naruto. Suaranya terdengar serius. Aku belum pernah mendapati Naruto seserius ini. Lebih dari itu, apa maksudnya menceritakan hal seperti itu kepadaku?
"dia…" Naruto mengangkat kepala ke arahku dan dengan wajah riang dia berkata "kami mengenal satu sama lain tanpa kata-kata. Jadi, aku pikir itu alasan kenapa dia menyuratiku."
Boys love… Aku pikir hanya ada dalam dunia animanga saja. Jikapun di dunia nyata ada, itu pasti hanya di dasarkan oleh nafsu sex. Dua kata itu dengan cepat melintas dalam pikiranku. Tentu saja hal itu terpikirkan oleh ku semenjak aku adalah penggemar yaoi dalam animanga. Apakah ini artinya ada kisah boys love diantara mereka berdua? Jika iya, ini tidak adil. Kenapa harus ada cinta diantara dua jenis manusia yang sama?
Aku tahu, perjuanganku meraih Sasuke memang tidak seberapa besar. Tetapi, perjuangan yang kecil jika dilakukan terus menerus dalam jangka waktu lama bisa berarti besar bukan? Hampir 3 tahun aku mengincar. Lalu sekarang Sasuke akan sirna begitu saja karena seorang teman dekat? Oh, mungkin aku harus mengalah. Aku selalu mengalah. Lagi pula, aku bisa melupakan Sasuke dan jatuh cinta pada seseorang lain. Seperti yang sering ku lakukan saat aku patah hati. Aku tinggal mencari pengganti dan lagi-lagi cintaku bertepuk sebelah tangan. Ku lupakan lagi, lalu aku cari yang baru. Lingkarannya memang seperti itu. Cerita cintaku.
"dan apakah kau tahu kenapa Sasuke seperti tadi?" tanyaku lurus.
"seperti tadi? Maksudmu?"
"kau melihat perbedaan dalam diri Sasuke kan? Rambutnya…"
Beberapa saat Naruto tertegun lalu… "oh.. hahaha meskipun aku hampir tidak menyadarinya, tapi rambut Sasuke terlihat sangat hitam."
"kau pikir, kenapa rambutnya hitam?"
"mungkin dia kalah berkelahi dengan mempertaruhkan cat rambutnya. Ahahhaha"
Mungkin itu karena kau yang tak menyukai gaya gangster. Meski kau tak sadar, hanya dalam satu pertemuan saja aku bisa mengetahui perasaan yang tersembunyi diantara kalian dan entah kenapa tanpa bukti yang jelas aku menyerah pada kondisi ini. Memikirkan dengan yakin bahwa Uchiha Sasuke memang menyukai Namikaze Naruto. Tidak ada harapan bagiku. Dunia nyata itu terlalu nyata. Sampai-sampai aku hampir tidak bisa mempercayainya.
.
.
"Summer days…"
.
Angin berhembus pelan. Kretek roda sepeda terdengar syahdu di sore hari. Pemandangan jadi serba jingga seiring matahari yang mulai tenggelam. Termasuk menjinggakan setetes air bening di sudut dagu.
Ku jatuhkan tas jinjing di tangan. Tak peduli dengan isi di dalam tas. Angin kembali berhembus. Mengeringkan jejak air mata di pipi. Tak berapa lama, pipi kembali basah. Sungguh, ini air mata yang tak diinginkan. Aku berjanji pada diriku sendiri agar tak pernah menangisi seorang laki-laki seberapa besarpun cintaku padanya.
Sore ini, janji itu ku langgar dibawah pohon rindang, tempat berakhirnya aku dan Naruto bertemu untuk sore ini. Baru saja Naruto pergi bersama Sasuke ke suatu tempat yang entah apa namanya itu. Yang jelas, itu tempat bermain. Mereka tiba-tiba saja menjadi akrab sebelum musim panas berakhir.
Sebelum mereka berdua bertemu, aku berjalan berdua bersama Naruto dalam perjalanan pulang. Hanya berdua saja. Seperti biasa, kami mengobrol, bercanda dan tertawa berlebihan.
"Hari ini aku tidak bisa ke rumahmu, Karin. Maaf."
"eh? Kenapa?"
"Aku ada jalan dengan Sasuke. Ihihihi"
Tubuhku melemas. Tanpa sadar, aku telah berhenti berjalan. Ini salah satu hal yang ku takutkan. Boys Love itu memang ada. Termasuk keberadaan cinta kepada satu jenis itu sendiri. Oh, menyebalkan. Kenapa laki-laki merasa tidak merasa puas dengan perempuan? Bukankah perempuan merupakan salah satu takdir laki-laki?
Aku memang menyukai pasangan BxB dalam animanga, tetapi fakta nyatanya…. Itu sama sekali tidak menyenangkan di dunia nyata. Apalagi jika orang yang kau sukai adalah seorang pecinta sesama. Aku menyadari, Sasuke tidak akan dengan mudah bisa teralih dari Naruto. Aku juga sadar mengenai kebenaran Sasuke menyukai Naruto.
Di tahun yang sama dengan tahun saat aku menemukan Sasuke, Sasuke menemukan Naruto. Ironis. Jadi, sejak awal aku memang tidak ada kesempatan. Apa boleh buat. Bukannya aku putus asa, tetapi memang tidak ada jalan lain. Sedikit menyesal juga karena aku sendiri yang mencari fakta ini. Mungkin aku orang terbodoh dengan mencari fakta-fakta tersebut. Aku terluka karena ulahku sendiri.
Satu-satunya yang bisa ku salahkan saat ini adalah mantan pacar Sasuke yang paling terakhir, Haruno Sakura. Entah apa yang terjadi. Aku tak mengerti. Sejauh informasi yang ku dapat, tidak ada hal yang benar-benar buruk terjadi dalam hubungan mereka. Tetap saja, Haruno Sakura yang paling ku benci, seolah-olah memang dia penyebab orientasi sex Sasuke berubah.
"...rin?Karin! Kau tidak apa-apa?"
Aku terperengah kaget. Mendapati wajah Naruto begitu dekat dengan wajahku.
"e-eh tidak apa-apa. Ehehehe"
"Karin, kita harus berjalan memutar." Katanya khawatir sembari menatap sendu jalan di depan sana.
"memutar? Tapi, tidak ada jalan lain lagi. Ada sih jalan lain, tapi itu berkali-kali lebih jauh."
"lebih baik kita cari aman. Ayo pergi!"
Jalan itu, titik itu, dimana tempat mengubur kenangan yang tak ingin aku lupakan. Seiring apa yang telah terjadi, kenangan itu ingin ku hapus. Meski kenangan itu melekat terlalu kuat di kepalaku.
"hei kalian! Kenapa kalian memutar arah?"
Baik Naruto maupun aku, kami berdua tiba-tiba saja berhenti berjalan. Diam antara takut dan kaget.
"lewat sini saja. Tidak ada apa-apa kok!"
Kami berdua saling melirik satu sama lain. Ini pertanda buruk. "jangan menoleh!" bisik Naruto. Aku memalingkan wajah dari Naruto. Aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan. Setidaknya aku bisa sedikit bernafas lega karena Naruto adalah laki-laki.
"hei, kenapa diam?"
Naruto mencengkram kuat-kuat tanganku. Menariknya perlahan ke sisi jaitan celananya. Beberapa saat aku menunggu, lalu… dia berlari menarikku. Sontak kakiku terseret. Untungnya aku masih bisa mengimbangi langkah Naruto.
"jangan lari!"
PLATAKK!
"AW!" Naruto mengaduh. Tiba-tiba saja berhenti berlari dan membuatku menabrak punggungnya. Sesuatu mengenai bahu Naruto. Semacam tongkat kayu.
"tidak apa-apa?" tanyaku khawatir. Naruto mengangguk lemah beberapa kali sembari mengusap-usap bagian yang sakit.
"ekhekhekhe… sudah ku bilang, jangan lari."
Aku berdiri menghalangi Naruto ketika beberapa orang berseragam tidak sesuai aturan sekolah menghampiri kami. Aku akan menjadi tameng Naruto. Tanpa ada pikiran panjang dan hanya bermodalkan nekat, aku bertekad melindungi Naruto. Satu-satunya alasan yang membuatku bertindak begini adalah Sasuke. Aku tahu, Sasuke tidak akan senang jika Naruto terluka. Lebih dari itu, aku tidak mau melihat Sasuke lebih perhatian lagi terhadap Naruto. Jadi, jika aku membuat Naruto baik-baik saja, perhatian itu tidak akan ada. Rasa sakit dalam hatiku pun tak akan ada.
"hei gadis, menyingkir dari hadapanku. Aku tak punya urusan denganmu."
Tadinya ku pikir Naruto akan melindungiku. Lagi-lagi seperti biasa, dugaanku meleset. Faktanya, aku belum (entah tidak akan pernah) menemukan laki-laki yang akan melindungi tanpa pamrih.
"kalian memang tak punya urusan denganku, tapi aku punya urusan dengan kalian."
Sebatang tongkat terbang dari arah mereka. Tanpa persiapan apa-apa, aku melindungi tubuh dengan lengan kanan.
PRAKK!
Sesaat setelah kayu tersebut membentur lengan kananku, cenat-cenut rasa sakit menyebar. Aku tersenyum simpul seraya meremehkan. Memandang kosong tongkat kayu yang kini menjadi dua bagian. Tak ku sangka, lenganku cukup kuat menahannya walau dengan ekspresi datar aku harus menahan rasa sakit.
"jangan katakan bahwa kau adalah karateka." Kata orang itu lagi. Sepertinya dia adalah ketua dari geng ini walaupun imej dia sama sekali tak keren jika dibandingkan dengan Sasuke.
"mengikuti organisasi bela diri saja tidak. Bagaimana bisa aku menjadi karateka? Kalian saja yang lemah, cih!"
"Karin!" Naruto memanggil setengah berbisik. Dia menarik rokku dan tetap bersembunyi di belakangku. Aku paham dia ingin mengajakku melarikan diri dari sini. Tetapi lari bukan hal tepat. Sejauh yang aku ketahui, gangster tidak hanya memiliki 5 anggota saja. Anggotanya tersebar. Dari awal, aku dan Naruto sudah terkepung. Anggota mereka berpencar di beberapa titik. Memastikan jika kami lari, maka kami masih bisa tertangkap. Aku cukup berpengetahuan soal ini berkat pencarianku terhadap kepribadian Sasuke.
Menit-menit ini terasa seperti mimpi. Benar-benar tak ku sangka aku bisa berkelahi meski pada akhirnya Naruto menarik tanganku dan kami melarikan diri. Berakhir di pohon persimpangan jalan dekat taman, kami bertemu Sasuke, lalu Naruto menceritakan semuanya.
"Sejak dua tahun yang lalu, itu menjadi wilayahku! Seharusnya tidak ada geng lain yang berada dalamnya."
"mereka benar-benar geng! Sepertinya sih geng sekolah tetangga."
Aku diam membeku. Mendengarkan seksama kalimat terakhir Sasuke. "sejak dua tahun yang lalu.." Sasuke membicarakan waktu yang sama dengan kenanganku di tempat itu yang tak ingin aku ingat. Terlalu membahagiakan sampai menorehkan luka.
"sudahlah, Naruto." Kataku riang. "lagi pula aku tidak apa-apa. Hanya luka kecil. Hehehe" aku menggerak-gerakkan lenganku yang sebetulnya terasa sangat sakit. Menggerakkannya dnegan sangat lincah seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Naruto mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Mengacak-acak rambutku yang dari awal memang sudah tidak karuan bentuknya. Dengan hati-hati dia membetulkan posisi kacamataku, kacamata berplat merah marun. Mengusap darah di sekitar pelipis mataku dengan sapu tangannya.
"kita sedang buru-buru, Naruto!" kata Sasuke sembari menghentikan pergerakan tangan Naruto di sekitar mataku. Sasuke mengambil sapu tangan di tangan Naruto lalu menyerahkannya kepadaku.
"aku rasa kau bisa melakukannya sendiri." Katanya kepadaku.
Aku membuang tatapan. Tatapan sendu. Tak peduli bila Naruto melihatnya. Aku berharap Sasuke mau berterimakasih. Setidaknya setelah dia tahu bahwa aku mengetahui perasaannya terhadap Naruto, dia memberiku sedikit penghargaan atas pengorbananku. Terlebih, aku melakukan ini bukan karena Naruto, tetapi memang karena Sasuke.
Begitulah kami berpisah dari sini. Tak lama setelah kepergian mereka, setetes air mata mengalir dari mataku. Bukan karena rasa sakit dari tangan atau luka di pelipisku. Sedikitpun tak ada rasa ingin menangis. Air ini mengalir dengan sendirinya. Seolah mataku memiliki hati. Menangisi apa yang dilihat olehnya.
Beberapa kali ku gosok-gosok kedua mata dengan pergelangan tangan, bukan dengan sapu tangan Naruto. Ku ambil tas dan mulai ku langkahkan kaki.
"kenapa berhenti?"
Di langkah kedua, aku berhenti. Berbalik ke arah sumber suara, di samping pohon.
"e? sen..pai?" aku menunjukan wajahku. Wajah yang bercucuran air mata. Entah sejak kapan air mata ini membanjir lagi. Jika tidak ada angin, aku tidak akan pernah menyadari ini.
"halo!" sapanya sambil tersenyum ramah.
Buru-buru ku hapus air mata. Pada waktu hampir bersamaan, senpai menarik tanganku. Mengangkat daguku sampai aku bisa melihat kedua matanya.
"aku tak akan memintamu berhenti menangis. Kau perlu membebaskan rasa sakit dalam hatimu. Menangislah… sepuasmu. Agar kau bisa tersenyum."
"Sai… senpai…"
Dengan kesadaran penuh, air mata mengucur lebih deras. Seolah mendapat persetujuan dari kata-kata senpai. Yang membuatku makin ingin menangis adalah wajah tersenyum senpai. Bagaimana wajah itu menunjukkan bahwa sesuatu yang buruk tidak akan pernah terjadi. Segalanya akan baik-baik saja. Wajah itu menunjukan rasa peduli.
Sejujurnya, aku tak ingin menunjukan wajah menangisku kepada siapapun.
.
.
"Past time…"
.
Ketika aku berjalan sendirian menuju rumah, aku bertemu dengan sekawanan anak yang terkapar lemah. Aku tidak tahu apa persisnya yang terjadi. Yang jelas, mereka pasti baru saja berkelahi. Tanpa ada rasa takut, aku melewati mereka semua. Berjalan seperti biasa seolah tak ada yang terjadi. Karena jalan ini satu-satunya menuju rumah.
Seolah aku pun tak ada, mereka tak menghiraukanku. Jadi, aku pikir ini akan baik-baik saja. Lagi pula, aku tak ada sangkut pautnya dengan mereka. Aku berjalan santai dengan pikiran ; setelah melewati titik ini, aku akan selamat.
"hei, rambut merah…"
Aku terhenyak. Sesaat aku menahan nafas. Aku tak tahu jika ada orang lain yang memiliki warna rambut yang sama denganku. Tetapi semenjak aku memiliki rambut berwarna merah, panggilan itu seperti panggilan neraka. Bahkan aku tak berani menjawab panggilan tersebut.
"kau yang di sana, rambut merah berkacamata!"
Jelas sekali siapa yang dia panggil. Semoga, kawanan ini menang dalam perkelahian mereka. Karena jika tidak, maka aku yang akan menjadi korban kekesalan mereka.
Tadinya ku pikir aku akan berhenti berjalan dan menyahut panggilannya. Ternyata tidak juga. Aku tidak cukup berani melakukan hal seperti itu meski pikiranku sangat berani melebihi batas ketentuan. Aku berlari tanpa melirik kanan-kiri. Memasang kecepatan siap terbang.
"heii!"
Untuk seruan itu, aku menolehkan kepala. Mendapati sang ketua yang ku kagumi terluka. Aku pikir, aku akan terus berlari lurus. Tetapi seperti sebelumnya, pikiran dan tindakan tidak bergerak seirama. Kakiku bertolak dari arah sebelumnya ke arah dimana sang ketua berada.
Tanpa diminta ataupun berkata apa-apa, aku mengeluarkan kotak P3K dari dalam tas. Menyemprotkan alcohol ke luka-luka di sekitar tangan sang ketua. Membersihkan dan membalut luka tersebut sampai tuntas dalam kecepatan luar biasa. Begitu selesai, aku merapikan kotak P3K dan memasukannya kembali ke dalam tas. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas pergi. Sungguh, tindakan yang bodoh. Karena rasa grogi dan malu telah memakanku, tak ada hal lain yang ku pikirkan selain berlari ke rumah.
Seharusnya aku tak perlu membawa kotak P3K setiap hari ke sekolah. Namun itu sudah menjadi kebiasaan sejak SD. Latar belakang orang tuaku sebagai dokter yang membuatnya menjadi sebuah kebiasaan. Terlebih, dari kecil aku diajarkan bagaimana cara menangani luka.
Selama dua tahun dari sejak hari itu, aku mencegah bertatap muka dengan Uchiha Sasuke. Aku tak peduli dia mengucapkan terimakasih atau tidak. Aku malah berharap dia lupa. Tetapi di sisi lain, aku ingin dia tetap ingat dan mencariku untuk mengucapkan terimakasih. Ah! Entah lah… semuanya menjadi membingungkan ketika aku jatuh cinta. Tidak ingin, sebenarnya ingin. Tetapi tidak ingin juga. ARGHT!
Aku mulai berlatih diri untuk bersikap biasa di hadapan Sasuke. Faktanya, aku tidak bisa terus-terusan menghindar dari Sasuke dan hanya memperhatikannya dari kejauhan. Sejak insiden surat Naruto, seringkali aku berpapasan dengan Sasuke. Sesering Sasuke menatapku dengan sorot tak enak. Dari awal aku tak berfikir jika Sasuke memberikan tatapan itu karena dia ingat kejadian 2 tahun lalu. Ini bukan cerita animanga dimana tokoh laki-laki mencari tokoh perempuan seberapa lama pun waktu yang digunakan untuk mencarinya. Ini kisah nyata. Pasti seorang Uchiha Sasuke lupa soal kejadian kecil dua tahun yang lalu.
Ada atmosfer tidak enak di sekeliling Sasuke. Tatapannya seolah-olah memperingatiku. Walaupun dari kabar yang ku dengar bahwa Sasuke tidak lagi aktif dalam dunia geng, tetap saja aku takut. Itu bukan tatapan suka. Itu tatapan kebencian. Aku tak tahu atas kesalahan apa yang ku buat. Aku tak mengerti. Jika pun menolongnya dua tahun yang lalu adalah sebuah kesalahan, seharusnya dia menghukumku sejak dua tahun yang lalu. Lagi pula, tentu tak akan sulit mencariku, orang yang memakai seragam yang sama dengan Sasuke.
Hal yang lebih membuatku takut adalah ketika Sasuke berada di sisi Naruto. Mereka terlihat sangat dekat dan aku sangat jauh. Ada dinding transparan yang selalu dibawa Sasuke. Dibawa dengan special untuk diberikan padaku. Aku tak mau kehilangan Naruto. Kawanku satu-satunya. Aku memang memiliki teman lain. Tetapi tak ada yang sedekat dan senyaman Naruto.
Hari demi hari berlalu. Dalam jangka waktu pendek dinding transparan makin terasa tebal walau aku tak pernah bisa melihat seberapa tebal dinding tersebut. Semuanya terasa hampa semenjak ku habiskan jam istirahat sendirian. Ku coba tak menghindari Sasuke dan ikut mengakrabkan diri. Itu sama sekali tidak berhasil. Terbaca jelas seberapa Sasuke membenciku. Kebencian yang tak ku temukan alasannya. Seolah dia ingin aku menghilang dari muka bumi ini.
Ini memang takdirku. Aku tak pernah dapat mendekati orang yang ku sukai. Tak pernah sekalipun. Yang ku lakukan hanya menghindar. Mungkin seharusnya dari awal aku tak pernah mengenal Namikaze Naruto. Orang itu terlalu sempurna bagiku dan dia lah yang membuatku menjauh dari Sasuke. Kawan Naruto banyak. Sering pacaran dengan orang yang disukai. Memiliki orang tua berada, dan memiliki Sasuke.
Sepertinya tidak akan ada banyak perubahan jika aku menghilang dari kehidupan Naruto. Aku bukan apa-apa. Aku tak memiliki apa-apa. Aku bisa menghitung berapa banyak teman yang ku miliki. Tetapi aku tak bisa menghitung berapa banyak teman yang Naruto miliki. Itu pun aku memiliki teman karena berteman dengan Naruto. Teman Naruto adalah temanku juga. Hidupku sungguh menyedihkan. Mengantungkan diri pada kehidupan orang lain.
Seharusnya memiliki teman banyak adalah cukup bagi Naruto. Dia seolah memakan hampir semuanya dan tidak menyisakan apa-apa untukku. Soal bakat, aku tak memiliki apa-apa. Aku tak pandai olahraga, tak pandai bermain alat musik, tak pandai dalam bidang akademik pula. Selain itu, daya ingatku rendah dan aku memvonis diriku sendiri mengidam penyakit short term memorize.
Meskipun aku hidup dalam kehidupan seperti ini, aku tak pernah berfikir bahwa kelahiranku adalah sebuah kesalahan. Banyak orang yang bunuh diri karena menghadapi kegagalan dan macam cobaan hidup. Itu artinya, aku memiliki satu hal yang tak dimiliki oleh mereka, bahkan mungkin oleh Naruto juga, yaitu kekuatan menghadapi rasa sakit dalam hati. Seberapapun aku gagal, dihina, kecewa, aku tetap melangkah maju. Malahan aku menelan bulat-bulat semua rasa itu seperti bagian dari sarapan sehari-hari. Inikah kelebihanku? Kelebihan yang tak terlihat. Tetapi tidak apa. Selama aku memiliki kelebihan, kelebihan yang sangat kuat, aku bangga.
BLAK! Aku terperanjat kaget ketika mendengar pintu terbuka kasar. Bahkan aku rasa pintu tersebut nyaris copot dari engselnya. Aku menengok ke arah pintu. Di sana, orang yang paling aku hindari di dunia berdiri dengan kepala mencari-cari sesuatu.
Aku tetap pada posisiku dengan sebotol minuman di tangan. Aku tak mengeluarkan suara sedikitpun. Membiarkan Sasuke menemukanku tanpa aku harus menunjukan diriku sendiri.
"Karin!"
Aku membuang muka menghindari kontak mata. Ku mainkan botol minuman setengah kosong di tangan. Mencoba mengalihkan rasa gugup setiap kali bertemu Sasuke.
"apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya kasar. Oh, aku tak suka cara dia bertanya. Jauh berbeda dengan cara yang dia gunakan ketika berbicara dengan Naruto.
"kau pikir aku sedang apa? Duduk dan minum. Jelas?" jawabku dingin. Berusaha bernada wajar meski kenyataanya malah terdengar menantang.
"kenapa kau… menghindar?"
Beberapa saat aku diam. Apakah Sasuke menyadari aku menghindarinya?
"ada seseorang yang mencarimu sampai membuatku repot." Lanjutnya menjelaskan. Aku menenggelamkan wajah dalam lutut. Memainkan botol seolah aku tak mendengarkan cerita Sasuke. Dia tidak sedang membicarakan perasaanku. Dia hanya peduli pada seseorang lain.
"dia berkali-kali menolak ajakanku dengan alasan 'kau'. Meskipun tak ada yang dilakukan denganmu. Dia membentakku ketika aku menyepelekanmu. Jadi, katakan padaku ada hubungan apa diantara kalian?"
"apa dan siapa yang kau bicarakan?"
"jangan berpura-pura bodoh!" serunya sembari menarik kerah kemejaku. Detik itu, aku ingin menangis. Sangat ingin menangis. Kenapa perlakuan Sasuke jauh berbeda terhadapku? Aku perempuan yang seharusnya diperlakukan lebih lembut.
"hei… kau membenciku?" berani-berani aku bertanya ke pokok permasalahan yang selalu ku rasakan.
"cih!" Sasuke melepas cengkramannya. Menendang dinding di sebelahku lalu mengucapkan kata-kata kasar. "aku akan menendangmu masuk tong sampah jika kau adalah laki-laki!"
Tak ada lagi yang bisa ku rasakan. Semuanya terasa hampa. Badanku ringan. Sisa-sisa potongan hatiku habis. Sampai rasa gugup maupun marah sekalipun sirna. Yang ada sekarang, jasad tak berhati. Mataku layu, bibirku tertutup rapat, sorot mataku sendu. Hidungku terasa tersengat dan mataku memanas, aku berusaha menahan tangis.
"tentu saja aku menghindari Naruto." Jawabku datar. Membuat Sasuke berbalik ke arahku dan siap mendengarkan dengan manis. Sementara itu, aku memasang wajah datar dengan tatapan menghindari Sasuke.
"kau pikir, kau bisa duduk tersenyum selama-lamanya setelah apa yang terjadi? Aku menjaga Naruto. Aku menjauhkannya dari jangkauan perempuan lain. Aku menjaga hatiku yang terluka agar cinta di dalamnya tak sirna. Cintanya kepadamu. Kau satu-satunya alasan kenapa aku menjaga Naruto. Aku tahu, kau akan sangat frustasi jika Naruto tidak ada. Aku tahu seberapa besar kau mencintainya dan tidak ada kesempatan bagiku."
Tak ada jawaban dari Sasuke. Hanyalah gemuruh angin mengisi keheningan diantara kami. Namun, bagaimana pun juga aku mengerti ada rasa kaget dalam diri Sasuke. Meskipun aku tahu, dia menganggapku sangat rendah setelah aku mengatakan kalimat panjang lebar tadi. Sebuah pernyataan cinta.
.
.
.
To be Continued…
.
.
Lexicon (?)
Chotto matte kudasai! : wait a minute, please!
Ara… ano hito wa… : eh, orang itu…
Shiranai : I don't know
Wakatteru : I understand / I know
Nani? : apa?
Sou ka? : oh, begitu ya?
.
.
Thx for reading. I love to read your review.
