Dirga Mahesa Wijaya. Orang-orang memanggilnya dengan Dirga atau Jian, yang berasal dari nama lainnya yaitu Huang Jun Jian. Dirga saat ini tinggal di Amsterdam dan memutuskan untuk mengubah kewarganegaraannya menjadi kewarganegaraan Belanda selama tiga tahun terakhir hingga saat ini. Dirga bekerja sebagai pelayan di sebuah café sederhana yang dibangun di dekat taman kota Amsterdam. Dan setiap malam minggu tiba, Dirga bernyanyi di café tersebut untuk menghibur para pengunjung yang datang ke Driehondred Vier Café.
.
.
.
Reihan Rizaski, biasa dipanggil dengan sebutan Rei. Seorang pemuda berambut merah panjang yang telah menyelesaikan kuliahnya di Harvard University Department of Physics selama tiga tahun. Saat berkuliah itu juga, ia bertemu dengan seorang gadis cantik berkewarganegaraan Belanda bernama Alida Lien dan menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Rei pun mengajaknya ke Indonesia untuk bertemu orang tuanya dan berniat meminta restu untuk menikahi Lien. Namun kesialan menghampiri Rei. Orang tuanya malah berniat menikahkannya dengan anak dari sahabat karibnya yang menjabat sebagai wakil gubernur. Tentu saja Rei menolak. Ia lebih memilih untuk meninggalkan Indonesia bersama kekasihnya dan pergi ke negara asal Lien, Belanda.
…
V A L S
304th Study Room FanFiction
Story By:
Aryangevin
Disclaimer:
304th Study Room © Felicia Huang
Warn: Boys Love, Little Bit OOC.
…
"Selamat malam semua." Dirga menyapa pengunjung yang saat ini berada di Driehondred Vier Café. Ia tengah duduk di panggung kecil yang terletak di pojok kanan café. Dengan gitar di pangkuannya, Dirga bersiap untuk bernyanyi menghibur para pengunjung. "Sebelum Dirga menghibur kalian semua," Dirga mengambil secarik kertas yang berada di kantong kanan celana jeans bagian belakang miliknya, "Dirga telah menerima sebuah permintaan dari seseorang untuk menyanyikan sebuah lagu. Dirga harap orang itu menyukai lagu yang akan Dirga bawakan ini. Yaa… Dirga tidak hanya berharap dia tidak hanya menyukai lagunya saja, tapi juga menyukai Dirga yang manis ini." Semua pengunjung tertawa mendengar celotehan Dirga. "Dirga hanya bercanda." Dirga mulai memposisikan gitarnya dan bersiap untuk memainkannya. "Oke, Dirga mulai saja."
Alunan petikan gitar mulai berkumandang. Para pengunjung yang awalnya sibuk sendiri kini mulai memperhatikan bagaimana Dirga mulai memainkan gitarnya. Dirga memejamkan matanya sebentar sebelum memandang ke arah pengunjung.
You gotta go and get angry at all of my honesty
You know I try but I don't do too well with apologies
I hope I don't run out of time. Could someone call a referee?
'Cause I just need one more shot at forgiveness
Justin Bieber – Sorry
Para pengunjung mulai hanyut akan nyanyian Dirga. Selain menikmati secangkir kopi dan sepotong cake di malam minggu ini, mereka juga ingin menikmati 'konser kecil' Dirga yang diadakan setiap seminggu sekali. Tentunya pengunjung sekaligus penggemar Dirga itu tidak akan melewatkan kesempatan ini.
Empat menit dihabiskan untuk menyelesaikan satu lagu. Dirga melemparkan senyum kepada pengunjung yang membuat beberapa gadis memekik kecil.
"Bagaimana penampilan Dirga?" Dirga bertanya sembari mengedarkan pandang ke sekeliling café. Dirga mendapatkan sambutan positif dan meminta dirinya untuk melanjutkan lagi. Dirga menerima sebotol air mineral yang diberikan kepadanya. Sembari mengucapkan kata 'thanks', Dirga meminum air itu dan meletakkannya di sampingnya. "Baiklah, Dirga akan melanjutkannya lagi." DIrga memposisikan jari jemarinya di depan senar. "Kali ini Dirga akan membawakan lagu K-Pop. Apa kalian suka?"
Sahutan kata suka dalam bahasa Belanda menjadi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Dirga. Dirga lagi-lagi tersenyum dan membuat beberapa gadis merasa seakan-akan meleleh oleh senyuman Dirga.
Anyeongirang mal Hello Hello ijen Goodbye Goodbye
Mariya saranghandan mariya mot ineundan mariya
Dashi doraoran mariya
Aniya ije waso igon aniya nowa na jongmal saranghaetjana
FT Island – Hello Hello
Lima lagu telah dihabiskan dalam waktu satu jam. Berbagai lagu telah ia nyanyikan walau didominasi dengan lagu barat dan K-Pop. Tapi yang terpenting Dirga cukup menikmati pekerjaannya dan juga pengunjung menikmati lagunya.
Setelah berbasa basi sedikit, kini Dirga mengakhiri 'konser kecil'nya dan membuat beberapa pengunjung mendesah kecewa. Kini mereka harus menunggu seminggu kedepan agar bisa menikmati lagi penampilan Dirga di café ini.
Dirga pun memasukkan gitar kesayangannya ke dalam tas dan memanggulnya. Ia sedikit membenarkan syal hitam di lehernya yang sempat melorot kemudian berdiri menghadap pengunjung. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai penghormatan terakhir sebelum meninggalkan panggung kecil di café ini.
Pemilik café dan beberapa karyawan menyambutnya bahagia. Tak sedikit yang mengacak-ngacak rambut coklat lurusnya dan membuat penampilannya menjadi berantakkan. Dirga begitu disayangi oleh pemilik dan karyawan-karyawan di sini, membuat pemuda berambut coklat itu menganggap mereka adalah bagian keluarga kecilnya. Selain itu pula Dirga adalah yang termuda sekaligus tertampan di antara semuanya hingga menjadikan café ini perlahan-lahan menjadi ramai.
"Kau beristirahatlah, Jian." Pemilik café mengelus-ngelus kepala Dirga yang membuat Dirga merasa memiliki seorang ayah. "Kau sudah bekerja dari pagi tadi."
Dirga tersenyum lebar. "Terima kasih, Paman Claude. Jian pergi dulu."
Claude mengangguk. "Ya, hati-hati."
Dirga melambaikan tangannya yang dibalas dengan lambaian singkat dari Claude. Dirga melewati pintu belakang café untuk keluar dan kembali menuju apartemen kecil yang disewanya. Dirga berhenti sejenak sembari menghirup udara dingin di malam ini. Ia pun menaikkan hoodie dan menutupi kepalanya.
Orang-orang di kota Amsterdam lebih memilih untuk menikmati malam minggu dengan berdiam di rumah daripada mengarungi jalanan. Musim dingin menjadi alasan mereka untuk tetap menikmati secangkir teh di rumah daripada membeku di jalanan.
"Excuse me."
Dirga berhenti melangkah ketika mendengar ada seseorang yang berbicara.
"Yes?" Dirga menjawab tanpa membalikkan badannya. Ia harus waspada, mengingat ia sekarang ini masih saja punya stalker meskipun ia telah pindah dari Indonesia.
"Are you Dirga Mahesa Wijaya?"
Dirga mengernyit saat suara milik pemuda itu mengetahui namanya secara lengkap. Padahal selama ini yang mengetahui nama lengkapnya hanya orang-orang terdekatnya, itupun bisa dihitung jari. Orang-orang lebih mengenalnya dengan Dirga ataupun Jian saja.
"Who are y—" Saat Dirga membalikkan tubuhnya, mata sipit yang dimilikinya pun dipaksa untuk melebar. Dirga mengenal sosok ini. "Kau—"
"Yo, Dirga." Sosok yang awalnya bersandar pada dinding bangunan kini mendekati Dirga. "Tampaknya kau kabur ke sini dari Indonesia, eh?"
"Rei."
"Setelah lulus dari Binusvi." Pemuda yang bernama Reihan ini pun melipat kedua tangannya di depan dada dan memandang Dirga sinis. "Kau tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan setelah tiga tahun, aku menemukanmu di sini dan menjadi gembel?"
Keheningan melanda kedua pemuda ini. Dan setelah itu, pemuda yang memiliki mata lebih sipit dari pemuda yang satunya tertawa. "Kau lucu, Rei." Dirga mengusap setitik air mata akibat terlalu puas tertawa. "Aku tidak kabur dari Indonesia. Om Tian mengajakku ke luar negeri dan di sinilah aku berada."
Rei terdiam mendengar penjelasan dari Dirga. Ia meneliti, apakah Dirga telah berbohong padanya atau tidak. "Apakah ini semua karena ibumu?"
Dirga terdiam saat Rei bertanya mengenai ibunya. Ia pun membenarkan gitar yang ia panggul di punggungnya. "Mau ke apartemenku, Rei?"
Rei tahu bahwa Dirga mungkin saja akan menjelaskan semuanya.
…
V A L S
…
"Jadi, bagaimana kau bisa ada di Amsterdam, Rei?" Dirga meletakkan dua cangkir mug yang berisi coklat hangat untuk diberikan satu pada Rei dan satu untuknya.
"Thanks." Rei mencicipi sedikit coklat hangat yang diberikan padanya. Cuaca yang dingin begini memang cocok untuk menghangatkan diri dengan segelas coklat hangat. "Aku kabur dari Indonesia."
Dirga yang mendengarnya pun tak bisa menahan tawanya. Ia tertawa terbahak-bahak. "Kau tadi menuduhku kabur dari Indonesia, sekarang kau sendiri yang kabur, Rei." Dirga memegang perutnya yang terasa sakit akibat terlalu banyak tertawa.
Mendengar Dirga yang mengejeknya membuat Rei kesal. Ia mengambil bantal sofa yang tergeletak di sampingnya dan melemparkannya pada Dirga. "Ga, berhenti tertawa."
"Habis kau lucu sih, Rei." Dirga menyambut bantal yang dilemparkan oleh Rei.
"Ini tidak lucu, Ga. Serius."
"Oke, oke." Dirga berdehem demi menetralkan suaranya yang mendadak serak. "Kau kabur dari Indonesia?"
"Ya." Rei kembali mengambil mug di meja dan menghirupnya. "Ayahku ingin menikahkanku dengan anak wakil gubernur. Kau tahu, untuk kepentingan posisi ayahku di pemerintahan. Apalagi ayahku tidak lagi menjabat sebagai gubernur."
"Ayahmu tidak berubah, Rei." Dirga mengambil sebuah biscuit coklat di depannya. "Tapi kau tidak harus kabur terlalu jauh ke Amsterdam. Bukankah kau bisa kabur ke Jakarta atau Bandung? Atau kau bisa ke Kalimantan dan menjadi orang dayak di sana."
"Indonesia terlalu kecil untuk ayahku, jadi dia akan lebih mudah menemukanku." Rei menarik kakinya dan menyilangkannya di atas sofa. "Tapi ketika aku berjalan-jalan di sekitar taman kota, aku malah menemukanmu di sini." Rei sedikit terkekeh karena tak menyangka akan pertemuannya dengan teman lamanya sewaktu di Indonesia. "Lagipula pacarku adalah warga negara Belanda, maka dari itu aku kabur ke sini."
"Kau punya pacar, Rei?" Dirga menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dan meletakkan bantal di pahanya. Ia merasa bahwa obrolan ini akan terdengar menarik.
"Tentu saja. Kami sudah menjalin hubungan selama dua tahun ketika aku masih berkuliah di Harvard. Aku berencana membawanya ke Indonesia dan mengenalkannya pada orang tuaku dan menikahinya. Tapi ternyata malah aku sudah dijodohkan oleh ayahku."
"Kupikir kau sudah berhasil mendapatkan Desyca."
Rei menggaruk belakang kepalanya. "Desyca menyukai kak Bejo. Makanya aku memilih untuk mundur."
"Hee…" Dirga menopang kepalanya dengan kedua tangannya. "Tumben sekali kau menyerah. Biasanya kau tidak mau menyerah kalau soal wanita."
Rei melepaskan ikat rambutnya dan mengurai rambutnya yang panjang. Ia menepuk dadanya bangga. "Aku adalah orang yang setia kawan. Persahabatan kami tidak akan pecah hanya gara-gara satu orang gadis. Lagipula—" Rei mengelus dagunya, "—wajahku tampan, jadi aku bisa mendapatkan gadis yang lain."
"Tapi tetap saja gadis-gadis itu akan memilihku ketimbang dirimu, Rei."
"Sialan kau." Rei mendadak cemberut setelah mendengar balasan Dirga. Memang benar apa yang dikatakan oleh sahabatnya yang satu ini. Sebanyak apapun Rei dipuja-puja oleh banyak gadis, tetap saja mereka akan berpaling jika melihat Dirga. "Oh, aku belum memberitahu yang lainnya kalau aku bertemu denganmu di sini." Rei mengambil ponsel berwarna putih yang tergeletak di atas meja kaca di depannya, tapi Dirga menahan tangannya. "Kenapa, Ga?"
"Aku tidak ingin mereka tahu. Cukup Rei saja."
Rei tidak mengerti atas perkataan yang diucapkan Dirga. Tapi ia tahu Dirga mempunyai alasan kenapa ia dilarang untuk memberitahukan keberadaannya. Dan mungkin inilah saatnya ia mengorek informasi dari pemuda di depannya ini. Tapi kalau Dirga tak ingin memberitahunya, Rei tidak bisa memaksa.
"Jadi, apa kau akan kembali ke Indonesia?"
Dirga menarik kembali tangannya. Rei tahu bahwa mungkin saja ini adalah topik sensitif bagi Dirga. "Aku tidak akan kembali ke Indonesia. Aku sudah menjadi warga negara di sini."
Rei terbelalak mendengar penjelasan Dirga. "Kau serius? Apa orang tua angkatmu tahu?"
Dirga mengangguk. "Mereka tahu. Meskipun sempat dilarang. Tapi walau bagaimanapun mereka tidak bisa melarangku ketika om Tian membawaku ke sini karena aku masih terikat darah dengan om Tian."
"Apa…" Rei merasa nafasnya tercekat. Ia ragu ingin menanyakan hal ini atau tidak. Tapi ia benar-benar penasaran. "Apa ini semua memang karena ibumu?"
"Tidak sepenuhnya benar. Tapi mama memang menjadi alasan kenapa om Tian membawaku ke sini." Tanpa diduga Dirga menjawab semuanya tanpa ragu-ragu. "Om Tian sangat menyayangiku. Om Tian takut kalau aku akan disiksa lagi oleh mama, maka dari itu om Tian membawaku jauh-jauh dari mama."
"Tapi kenapa Amsterdam? Kenapa Belanda?" Rei memilih memberondong pertanyaan lagi. Melihat bagaimana Dirga begitu santai menjawab semua pertanyaannya. "Kupikir kau akan pindah ke Korea Selatan atau China mengingat kau memiliki darah keduanya."
"Heh." Dirga mendengus mendengar perkataan Rei. "Korea Selatan maupun China adalah sekian dari beberapa negara dengan penduduk yang tidak memiliki kebahagiaan. Aku tidak mau pindah ke sana. Di Indonesia saja aku merasa tidak bahagia. Kalau aku pindah ke sana, mungkin aku sudah menjadi headline di televisi bahwa 'seorang pemuda ganteng dan manis bernama Dirga telah meninggal bunuh diri'. Kau mau aku seperti itu?"
Rei menyengir mendengar penjelasan Dirga. Memang benar bahwa penduduk negara-negara tersebut tidak memiliki kebahagiaan. Setiap hari mereka dilanda oleh kefrustasian. Belum lagi ejekan-ejekan rasis yang begitu kental. Hampir setiap hari, setidaknya pasti ada satu orang yang meninggal bunuh diri. Kelihatannya saja dari luar bahwa negara-negara tersebut terlihat bahagia, padahal kalau dilihat lebih ke dalam, maka akan terlihat aslinya.
"Lagipula Belanda termasuk salah satu negara dimana penduduknya memiliki kebahagiaan." Dirga melanjutkan. "Selama beberapa minggu aku berdiam di sini, aku merasakan energi yang positif. Aku tidak lagi memiliki stalker, meskipun aku mempunyai banyak penggemar. " Dirga tersenyum. Membuat Rei merasa bahwa senyumannya kali ini benar-benar menunjukkan senyuman bahagia dibanding saat mereka masih satu sekolah dulu. Dirga seperti memaksakan senyumannya. "Para penggemarku lebih memilih untuk membiarkan bagaimana aku menjalani kehidupanku sendiri. Maka dari itu aku betah menjalani hidupku selama tiga tahun di sini dan memutuskan untuk pindah kewarganegaraan."
Rei cukup tertegun mendengar cerita dari salah satu sahabatnya ini. Dirga tak pernah seterbuka ini pada sahabat-sahabatnya. Bahkan Rei tak menyangka bahwa Dirga bisa berubah seperti ini. Sepertinya ia tak masalah jika Dirga lebih bahagia menjalani kehidupannya di sini dibanding ketika ia hidup di Indonesia.
"Lalu, dimana om Tian?" Rei mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan apartemen sederhana ini. Dilihat dari penempatan ruangan ini, Rei bisa memastikan bahwa Dirga hidup sendiri di sini.
"Om Tian mengurus bisnisnya di Indonesia." Dirga menghirup coklat dari mug yang dipegangnya. Bercerita panjang lebar membuat bibirnya terasa kering. Dan coklat itupun mulai terasa dingin.
"Apa dia ikut mengubah kewarganegaraannya?"
Dirga menggeleng. "Om Tian masih warga negara Indonesia karena pekerjaannya. Mungkin beliau sewaktu-waktu bisa mengubahnya. Tapi aku yakin itu pasti lama sekali akan terwujud."
Rei mengangguk-angguk paham. Ia tak lagi bertanya lebih lanjut mengenai kehidupan Dirga. Kelihatannya Dirga memang benar-benar bahagia menjalani hidupnya di sini.
"Lalu Rei sekarang tinggal dimana?"
Rei yang saat itu sedang menghabiskan minumannya mendadak tersedak dan terbatuk-batuk. Dirga membantu menepuk-nepuk punggung Rei agar batuknya mereda. Setelah memastikan ia tak batuk lagi, ia memandang Dirga sembari menyengir. "Err… itu aku tinggal di rumah orang tua pacarku."
"Aku kira Rei tinggal di pinggir jalan." Dirga terkekeh dengan perkataannya sendiri sedangkan Rei entah kenapa menjadi kesal mendengarnya. Dirga mengambil mug milik Rei yang telah habis dan bersiap untuk berdiri. "Mau tambah lagi?"
"No, thanks."
Dirga pun membawa kedua mug yang telah kosong itu ke wastafel dan mencucinya. Sedangkan Rei tetap diam di tempat. Ia meneliti keadaan apartemen Dirga yang sederhana. Namun kelihatannya apartemen ini terlalu mewah untuk ditinggal seorang diri. Sebersit pikiran untuk meminta tolong pada Dirga agar ia diijinkan menginap sementara di sini.
"Apa Rei sudah makan?" Dirga bersandar pada meja di dekat kompor. "Kebetulan aku belum makan malam."
"Boleh jika kau menawarkan."
"Oke." Dirga beranjak menuju kulkas yang tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri saat ini. "Aku akan membuat nasi goreng seafood. Kali aja Rei kangen Indonesia dan merenggek minta pulang."
Lagi-lagi Dirga mengejeknya dan membuatnya kesal. Sifat Dirga yang satu ini sepertinya cukup permanen dan tak bisa diubah walaupun sedikit. "Sialan kau."
Dirga lagi-lagi tertawa. "Maaf ya kalau masakanku tidak begitu enak." Dirga memotong jamur kaleng menjadi dua dan menyiapkan kacang polong dan juga udang. "Aku terbiasa makan di café jadi aku jarang masak di sini."
"Tidak apa. Asalkan jangan dimasukin racun saja."
"Mana mungkin Dirga ngelakuin itu." Dirga meletakkan pisaunya dan menghadap ke arah Rei. "Dirga kan istri yang baik, mana mungkin tega membunuh suami Dirga yang ganteng ini." Lalu ia mulai menunjukkan pose-pose yang begitu cute dan manis.
Rei menggeleng-gelengkan kepalanya. Sikap genitnya ini pun tidak berubah. Sehingga banyak orang-orang di Binusvi dulu yang menyangka bahwa ia dan Dirga adalah sepasang kekasih. Padahal Dirganya saja yang memang genit terhadap laki-laki dan bersikap keren di depan perempuan.
Sepuluh menit ia habiskan dengan membuat nasi goreng seafood. Dan kini Dirga meletakkan dua piring nasing goreng dan dua gelas air putih di atas nampan. Ia membawanya ke hadapan Rei yang duduk di ruang tengah. Rei menjadi antusias melihat masakan Dirga yang begitu menggugah selera dan siap untuk dihabiskan.
"Masakanmu ada kemajuan dibanding saat kita karantina dulu." Rei mengenang saat masa-masa karantina. "Bahkan kau masak air saja gosong."
Lagi-lagi Dirga bertingkah manis. "Dirga kan pengen jadi istri yang baik dan disayang suami. Kalau Dirga tidak bisa memasak, nanti suami Dirga akan menceraikan Dirga."
Rei merasa, jika ia menemukan bata di sini, ia dengan senang hati akan menimpuknya ke kepala Dirga. Ia berharap Dirga akan hilang ingatan dan tidak mengingat tingkahnya yang genit itu.
Dirga dan Rei mulai menyantap makan malam mereka dengan penuh canda tawa. Rei juga bercerita bagaimana keadaan Juna, Bejo, Desyca, pak Zam dan juga Yanjie di Indonesia dan membuat Dirga merasa nostalgia dengan lingkungannya di Indonesia. Sesekali juga Dirga akan bertingkah layaknya istri yang akan menyuapkan makan ke suaminya yang tentu saja Rei akan menolak habis-habisan perlakuan itu. Ia tidak ingin menjadi korban atas perlakuan iseng Dirga.
"Dirga." Rei memanggilnya saat Dirga mencuci piring di wastafel. Dirga menyahutnya dengan gumaman. Ia takut tak fokus dan menyebabkan piring-piringnya jatuh tergelincir dari tangannya karena licin. "Apa aku boleh tinggal sementara di sini?"
Dirga mengeringkan tangannya dengan serbet yang tergantung tak jauh dari wastafel. "Kenapa? Bukankah enak kau tinggal bersama kekasihmu?"
"Justru itu, Ga." Rei menyahut. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas sofa. "Aku tidak nyaman tinggal di sana. Aku takut para tetangga akan menyangka kami kumpul kebo, padahal kami belum menikah."
Keheningan terjadi. Dan tiba-tiba saja Dirga tertawa terbahak-bahak hingga ia terjatuh dari sofa. Membuat Rei memandangnya dengan heran.
"Rei, ini bukan Indonesia dimana para tetangga akan mengunjingmu. Meskipun kau melakukan seks dengan kekasihmu, aku yakin tetangga bahkan orang tuanya tidak akan memprotes."
Ucapan Dirga membuat Rei tersadar bahwa ia sekarang ini tidaklah berada di Indonesia. Ia lupa sama sekali tentang hal itu. Lagipula, ia baru dua minggu berada di sini. Bertemu dengan Dirga membuatnya merasa lupa bahwa ini adalah Amsterdam, ibukota Belanda. Selama ia di sini maupun saat berkuliah di Harvard yang terletak di Cambridge, ia belum bertemu dengan orang Indonesia sekalipun.
"Kau benar." Rei akhirnya berkata.
"Tapi tak apa. Kau boleh tinggal di sini selama kau mau. Aku kesepian tinggal sendirian di sini selama tiga tahun. Rasanya seperti seorang janda yang ditinggal pergi oleh suaminya." Dan mulailah Dirga mendramatisir tentang keadaannya. Pembicaraan mereka pun berakhir ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam waktu setempat. Rei pamit untuk meninggalkan Dirga dan pergi ke kediaman kekasihnya.
…
V A L S
…
Rei membereskan beberapa barang-barang pribadi miliknya untuk dimasukan dalam sebuah koper. Mulai hari ini ia tidak akan berdiam lagi di tempat ini. Meskipun ia juga akan semakin jarang bertemu dengan kekasihnya.
Lien, kekasih dari Rei berkali-kali berusaha untuk membujuk Rei agar tetap tinggal di rumahnya. Namun Rei menegaskan bahwa ia tidak bisa tinggal di sini lagi dengan berbagai alasan yang dilontarkan. Meskipun begitu tetap saja ujung-ujungnya kekasihnya ini akhirnya mengijinkannya tinggal bersama temannya yang sesama berasal dari Indonesia.
Setelah pamit pada kedua orang tua Lien, Rei memanggil sebuah taksi agar ia bisa pergi ke apartemen Dirga. Rei sempat kebingungan karena supir taksi itu menggunakan bahasa Belanda, sedangkan Rei sama sekali tidak mengerti bahasa Belanda. Namun ketika ia mengucapkan sederet alamat dalam bahasa Inggris, pada akhirnya supir taksi itu mengerti dan segera menuju ke alamat tersebut.
Tiga puluh menit dihabiskan di perjalanan. Supir taksi tersebut ternyata mengerti bahasa Inggris dan mulai menjelaskan keadaan kota Amsterdam pada Rei. Rei tentu saja menikmatinya karena ia merasa mendapatkan tour guide berkedok supir taksi. Supir itu sempat menawari Rei untuk berkeliling Ibukota Amsterdam dan tentu saja Rei menyetujuinya. Ia jadi lebih bisa mengenal kota ini.
Rei menarik kopernya menuju apartemen Dirga. Ia juga memegang duplikat kunci apartemennya karena pada pagi menjelang sore Dirga harus bekerja di café. Maka dari itu tanpa basa basi lagi ia membuka pintu tersebut dan masuk ke dalam.
Rei memilih duduk di sofa dan menunggu Dirga pulang. Tapi ketika ia melihat waktu menunjukkan pukul dua belas siang, ia merasa perutnya berbunyi. Lagipula Dirga pulang pukul empat sore, sesuai dengan penjelasannya kemarin. Jadi ia tak bisa sembarangan menyentuh-nyentuh peralatan dan perabot di apartemen ini.
Pemuda berambut panjang agak kemerahan itu melintasi berbagai ruangan di apartemen ini. Peralatan dan perabotannya tertata rapi dan bersih. Bahkan tidak menemukan sedikitpun debu di sini. Dirga merawat apartemennya dengan baik. Saat ia melintasi beberapa figura yang terpajang, di sana ia lebih banyak mendapati Dirga bersama om Tian dan keluarga angkatnya. Ia juga bisa melihat satu figura yang berisi tim fisika bersama pak Zam dan Yanjie ketika mengikuti olimpiade dulu.
Matanya tak sengaja menangkap seamplop surat yang tergeletak di meja dekat sofa dimana kertas dari surat tersebut tidak dimasukan dengan benar oleh Dirga. Dilanda rasa penasaran, Rei mengambil surat itu dan membacanya. Sebuah tawaran training untuk menjadi artis di bawah naungan salah satu agensi di Korea Selatan yang diketik dengan bahasa Inggris.
"Pledis Entertainment?" Rei melihat tanggal di bawah kop surat yang menandakan bahwa surat ini dikirim seminggu yang lalu. Rei tidak heran bahwa tawaran-tawaran training seperti ini akan terus datang menghampiri Dirga. Dan Rei bisa menebak bahwa Dirga pasti akan menolaknya. Bahkan tawaran langsung menjadi artis di Indonesia tanpa ditraining terlebih dahulu pun pernah ditolak Dirga saat mereka masih sekolah.
Ketika ia melintasi meja makan, Rei bisa melihat ada catatan kecil yang ditulis tangan oleh Dirga sendiri tertempel di tudung makanan. Rei pun mulai membaca catatan kecil itu.
Makan siang spesial untuk suamiku Rei tercinta.
Dari Dirga, istrimu yang manis :*
Ps: hangatkan di microwave jika mau :P
Rei langsung meremas catatan itu dan membuangnya di tong sampah. Sepertinya Dirga memang terobsesi untuk menjadi seorang istri ketimbang menjadi seorang suami.
…
V A L S
…
Hampir satu bulan Rei kabur dari Indonesia. Dan selama dua minggu ini juga ia tinggal di apartemen milik Dirga. Rei memang merasa rindu pada Indonesia, tapi karena ia terbiasa tinggal lama di luar negeri membuatnya bisa mengatasi semua ini. Apalagi statusnya kini adalah buronan dalam artian lain.
Rei kini faham kenapa Dirga begitu nyaman tinggal di sini. Negara ini adalah negara damai dan orang-orangnya saling terbuka tanpa menyinggung soal rasis. Bahkan kini ia memperkuat tekatnya untuk pindah kewarganegaraan Belanda.
Rei mengambil ponsel yang tersimpan di sakunya. Ia membuka situs bagian kemigrasian untuk memperoleh persyaratan untuk menjadi warga negara Belanda. Selain karena ia sudah merasa nyaman tinggal di sini, ia juga ingin menikahi Lien. Orang tua Lien mendesaknya untuk segera cepat-cepat menikahi Lien. Tapi disamping itu juga orang tua Lien menginginkan Rei agar mengubah kewarganegaraannya menjadi Belanda. Tentu saja Rei menyanggupi semua itu.
Setelah memahami segala persyaratannya, Rei segera melengkapi segala berkas-berkas yang dibutuhkan dan membuat surat pernyataan ketersediaan dirinya untuk menjadi warga negara Belanda.
…
V A L S
…
Dirga sedikit kaget saat mendengar pintu depan apartemen miliknya terbuka lebar. Meskipun Rei sudah tinggal di sini selama dua minggu, tetap saja ia belum terbiasa akan kehadiran orang lain dan membuat sedikit keributan di sini, meskipun Dirga tidak masalah akan hal itu.
"Rei, ada apa?" Dirga bertanya saat Rei pulang malam seperti ini dalam keadaan wajah yang kusut. "Masalah pekerjaan?"
Rei menggeleng sebagai jawaban. Pekerjaannya sebagai model di suatu majalah sama sekali bukan masalah baginya. Beruntung Dirga memiliki kenalan seorang fotografer yang seminggu yang lalu membutuhkan seorang model majalah mingguan. Fotografer tersebut menginginkan Dirga sebagai modelnya. Tapi Dirga menolaknya dengan halus dan malah menganjurkan Rei sebagai penggantinya. Beruntung fotografer tersebut menginginkannya dan Rei juga tidak keberatan akan hal itu.
"Lalu apa?"
Rei duduk di samping Dirga yang tengah menikmati sebuah acara musik di televisi. "Aku… mengajukan sebuah permintaan kewarganegaraan, dan pihak migrasi menolak permintaanku dengan berbagai alasan yang tidak kumengerti."
Dirga terdiam mendengar penjelasan Rei yang mengikuti jejak dirinya untuk pindah kewarganegaraan. "Begitu." Dirga memainkan anak rambutnya yang di dekat telinga. "Aku tidak heran sih."
"Lalu, bagaimana kau bisa mendapatkan kewarganegaraan Belanda? Apakah pihak migrasi mempersulitmu?"
Dirga mengambil bantal sofa dan memeluknya. "Tidak. Om Tian mengurus semuanya. Aku tinggal menyerahkan semua berkas-berkas yang diperlukan beserta surat pernyataan ketersediaan. Lalu semua urusan selesai."
Mendengar penjelasan Dirga membuat Rei cemberut. Ia meniup poni depannya yang panjang. Ia berpikir bahwa Dirga beruntung memiliki Weitian sebagai pamannya yang bisa mengurus segala keperluan Dirga di sini. "Enaknya."
Sedangkan Dirga hanya tersenyum tipis. "Aku bisa menelpon om Tian agar bisa membantu mengurus kewarganegaraanmu."
"Tidak." Rei menggeleng cepat. Ia sangat merepotkan Dirga kalau begitu. "Aku sangat berterima kasih kalau kau membantuku. Tapi aku tidak ingin merepotkanmu lebih dari ini. Tinggal bersamamu saja sudah cukup membuatmu kerepotan."
"Tidak masalah sama sekali, Rei. Jangan merasa seperti itu."
Suara televisi menjadi satu-satunya suara pengisi keheningan di antara mereka berdua. Menampilkan pembawa acara yang membacakan peringkat musik mingguan. Dirga menontonnya tanpa minat, begitu pula dengan Rei. Padahal Dirga sangat menantikan segment acara ini.
"Ketika aku ke kantor migrasi, aku bertemu dengan pasangan gay yang telah menikah." Rei kembali bercerita. "Para petugas migrasi menyambut mereka ramah. Tujuan mereka sama denganku. Tapi entah kenapa perlakuan yang diterima begitu berbeda denganku." Dan pembawa acara di televisi itu pun mengakhiri acaranya. "Dan dalam sekejap, mereka telah mendapatkan kartu penduduk yang menandakan bahwa mereka adalah warga negara Belanda yang resmi."
"Salah satu kenapa Belanda adalah negara yang damai karena mereka begitu open minded terhadap LGBT." Dirga mematikan televisi dan berfokus pada Rei di sampingnya. "Itulah mengapa kaum LGBT memilih untuk pindah ke negara ini dan menikah di sini karena Belanda adalah negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Maka dari itu, perpindahan kewarganegaraan oleh warga asing yang kebetulan seorang pencinta sesama jenis maupun transgender sangat dimudahkan tapi malah dipersulit bagi kaum straight."
"Tapi itu sangat tidak adil." Rei menambahkan dengan menyuarakan protes. "Sepertinya kaum straight begitu diperlakukan tidak adil."
"Tidak juga." Dirga mengambil gelas yang telah kosong di meja dan mengisinya kembali dengan air dingin di dapur. Bola mata Rei mengikuti kemana Dirga melangkah hingga pemuda itu kembali duduk di tempatnya. "Banyak cara kaum straight mendapatkan kewarganegaraannya dengan mudah di sini."
Rei berpikir kembali mengenai perkataan Dirga. Banyak cara? Tapi cara yang seperti apa? Rei tidak mempunyai ide sama sekali mengenai cara apa yang dimaksud Dirga.
Setelah berpikir selama beberapa menit, Rei menemukan jawabannya ketika ia memandang Dirga yang tengah asik memakan cemilannya. "Aku tahu bagaimana caranya."
Dirga melirik Rei melalui sudut matanya.
Rei menyodorkan kedua tangannya dan menangkup wajah Dirga. Ia hadapkan wajah Dirga ke arahnya dan menatap tepat ke bola mata Dirga.
"Menikahlah denganku, Dirga."
Dirga berhenti mengunyah selama beberapa detik. Lalu ia pun menelan makanannya yang masih berada di mulut. "Kau melamarku?"
Rei tersadar dengan ucapannya. Ia melepaskan kedua tangannya. Dan tiba-tiba saja wajahnya terasa terbakar. Ia merasa malu sendiri dengan tindakannya dan juga ucapannya. "A-anu… I-itu maksudku—"
Dirga tertawa melihat bagaimana sikap Rei yang salah tingkah dan malu. Rei yang salah tingkah begitu menggemaskan di mata Dirga. "Baiklah, aku mau menikah denganmu, Rei."
Rei merasa pendengarannya terganggu. Dan tanpa sengaja ia menampilkan ekspresi cengo. "Apa katamu tadi?"
"Aku mau menikah denganmu, Rei." Dirga mengulangi. "Kau bermaksud untuk menikah pura-pura saja kan?"
Rei tanpa sadar mengangguk. Memang itulah yang ia maksud. Bukan menikah dalam artian benar-benar menikah. Tapi ada satu pikiran mengganjal di benak. "Tapi, apakah om Tian akan mengijinkannya?"
"Aku yakin om Tian tidak akan keberatan dengan segala keputusanku. Lagipula, kita hanya pura-pura saja demi mendapatkan kewarganegaraanmu, bukan?" Dirga menangkup pipinya sendiri dan berpose imut. "Akhirnya impian Dirga untuk menjadi seorang istri dan mendapatkan suami seganteng Rei akan terwujud."
Rei memutar kedua bola matanya melihat tingkah Dirga yang lagi-lagi kumat diambang batas. Rei heran kenapa ia bisa mengenal pemuda satu ini dan malah (pura-pura) menikahinya.
"Tapi aku punya satu permintaan." Dirga kembali memasang wajah serius.
Rei menegakkan punggungnya. "Apa? Akan aku kabulkan jika aku memang menyanggupinya."
"Aku minta pernikahan kita bertahan selama satu tahun agar tidak mengundang kecurigaan dari orang-orang."
Dan anggukan Rei sebagai jawaban atas permintaan Dirga.
…
V A L S
…
Rei memandang Dirga dengan gugup. Ia tak pernah memperkirakan ini semua.
"Silakan kalian berciuman untuk menandakan bahwa pernikahan kalian sah."
Mencium Dirga? Rei bahkan lupa kalau menikah itu akan ada adegan ciuman! Dan lihatlah Dirga. Ia tak nampak akan terkejut mendengar ucapan pastur untuk saling berciuman.
Rei tidak masalah dengan ciumannya, karena ia sering mencium kekasihnya. Yang jadi masalah adalah ia tak pernah berciuman dengan pria sebelumnya. Sebutir keringat mengalir dari kening Rei menuju pipinya. Tangannya terkepal dan ia sangat gugup kali ini.
Bola mata Rei memandang Dirga yang mengenakan tuksedo putih, sama dengan yang ia kenakan hari ini. Ada setangkai bunga mawar putih yang terselip di kantong atas masing-masing tuksedo yang mereka kenakan.
'Don't be nervous and kiss me.'
Rei membaca gerakan bibir Dirga di depannya. Ia harus melakukan ini semua. Ketika ia memandang ke samping, tampak para tamu yang menghadiri pernikahan ini. Dan mereka semua adalah kerabat-kerabat Dirga yang bekerja di Driehondred Vier Café. Wajah mereka tampak bahagia. Dan saat ini mereka menunggu momen-momen penting yang menjadi puncak dari acara pernikahan ini.
Rei kembali menatap Dirga. Pemuda itu kini memejamkan matanya, menunggu dirinya mencium Dirga. Rei perlahan mendekatkan dirinya dan memegang kedua pipi Dirga dengan kedua tangannya. Rei menelan ludah gugup dan mulai memejamkan matanya.
Lembut. Bibir Dirga terasa lembut saat Rei menciumnya. Suara tepuk tangan nan riuh menjadi latar dari ciuman mereka berdua. Belum lagi tebaran confetti yang terbuat dari kelopak bunga mawar putih dan kertas putih yang turut menghiasi.
Rei melepaskan tautan ciuman mereka. Kedua matanya terbuka dan ia bisa melihat Dirga tersenyum padanya.
Indah. Dirga begitu indah saat ia tersenyum dengan latar confetti yang berterbangan. Rei tak pernah melihat Dirga seindah ini sebelumnya.
Para tamu mulai mengucapkan selamat kepada mereka satu persatu. Ada yang menangis karena bahagia dan ada juga yang tertawa. Rei turut tertawa menyaksikan semua pemandangan itu. Hingga akhirnya mereka harus kembali ke apartemen Dirga karena waktu sudah menunjukkan sore hari.
Rei duduk di sofa depan sementara Dirga memilih untuk mandi. Ia memandang cincin emas sederhana yang kini melingkar di jari manisnya. Ini adalah bukti bahwa mereka telah menikah. Apalagi ini adalah pernikahan pertama mereka. Seharusnya Rei menikah dengan kekasihnya. Tapi karena alasan tertentu ia terpaksa menikahi Dirga.
"Rei, kau tidak mandi?" Dirga bersuara di belakangnya membuat Rei tersentak kaget dari lamunannya.
Rei menoleh ke belakang dan mendapati Dirga tanpa mengenakan atasan sama sekali dengan celana kain longgar yang menjadi pakaiannya kali ini. Belum lagi handuk berwarna biru yang tergantung di lehernya dengan rambut coklat lurus yang masih basah.
"Belum, nanti." Rei kembali menegakkan kepalanya dan memandang cincin di jari manisnya.
Dirga begitu penasaran kenapa Rei tiba-tiba menjadi pendiam. Ia pun mendekati Rei dan duduk di sampingnya. "Ada apa? Kau tampak murung."
Rei lagi-lagi menoleh ke arah Dirga. "Tidak. Aku hanya merasa begitu merepotkanmu dengan pernikahan ini."
Dirga mengusap-usap rambutnya yang masih basah dengan handuk. "Tidak usah dipikirkan, Rei. Aku tak apa."
Dan di saat itu pula lah matanya tak sengaja tertuju pada bibir Dirga. "Dan soal ciuman tadi—" Dirga menghentikan kegiatannya mengeringkan rambutnya, "—maaf karena telah menciummu."
"Sebenarnya itu adalah ciuman pertamaku." Pernyataan Dirga membuat Rei terbelalak lebar. "Tapi tak apa. Aku tidak terlalu memikirkan ciuman pertamaku harus diberikan kepada siapa."
Tapi tetap saja Rei merasa bahwa ini semua salah. Ia sudah terlalu banyak merepotkan Dirga. Dan sekarang ia juga yang telah merebut ciuman pertamanya.
"Tapi Dirga senang kalau yang mendapatkan ciuman pertama Dirga adalah orang seganteng Rei." Dirga mengatakannya dengan raut wajah bahagia dan diikuti dengan pose yang imut.
Rei merasa bebannya sedikit berkurang. Melihat Dirga yang tampak begitu bahagia membuatnya tersenyum. Ia harus berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai saat ini ia harus selalu membantu Dirga disaat pemuda itu dalam keadaan kesulitan bagaimanapun caranya.
"Aku lapar." Dirga berdiri dari tempat duduknya. "Karena sekarang Rei telah menjadi suami Dirga, Rei harus membantuku memasak."
Rei mengangguk sebagai balasannya.
…
V A L S
…
"Dirga, kau harus bangun. Bukankah kau bekerja hari ini?" Rei mencoba mengetuk pintu kamar Dirga dan memanggilnya saat pemuda itu tidak terlihat di dapur. Biasanya pagi-pagi sekali ia akan bangun dan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. namun setelah hampir lima menit dalam usahanya membangunkan Dirga, Rei tak mendapatkan sahutan apapun.
Rei memutuskan untuk memasuki kamar pribadi Dirga. Mungkin pemuda itu terlalu lelap dari tidurnya sehingga tidak menyahut panggilannya. Ketika ia memasuki ke dalam kamar tersebut, Rei bisa melihat bagaimana Dirga bergelung dalam selimut tebal dengan kamar yang begitu gelap.
"Ya ampun anak ini." Rei mendekati jendela kamar dan membuka tirai lebar-lebar yang menjadi satu-satunya penghalang cahaya matahari dalam menerangi kamar ini. Barulah setelah itu Rei mendekati ranjang Dirga dan berniat menyingkirkan selimut tebal itu. "Dirga, ba—"
Bola mata Rei membesar saat melihat Dirga bergelung memeluk tubuhnya sendiri saat ia menyingkirkan selimut tebal tersebut. Wajah Dirga begitu pucat dan tak lupa keringat mengalir deras dari pelipisnya.
"Rei, dingin." Ucap Dirga tertatih.
Rei menaiki kasur yang cukup besar itu dan memeriksa kondisi Dirga. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Dirga dan merasakan bagaimana panasnya begitu tinggi.
"Dirga, kau demam." Dirga tak menyahut sama sekali dan memilih untuk menggulung tubuhnya lebih erat. Rei pun kembali menyelimuti Dirga dan mencari kotak obat agar ia bisa memberikan Dirga obat penurun demam.
Dengan segelas air putih, dua butir obat penurun demam dan selembar plester kompres adalah beberapa hal penting yang dibawa Rei menuju kamar Dirga. Dirga masih saja bergelung dalam selimut tebalnya.
Rei meletakkan gelas air putih itu di meja yang berdekatan dengan kasur. Ia membenarkan posisi Dirga agar bisa telentang dan mengambil dua lembar tisu untuk mengusap keringatnya. Barulah ia membuka bungkusan plester kompres dan menempelkannya di kening Dirga.
Rei juga membantu meminumkan obat pada Dirga. Ia menyandarkan tubuh Dirga ke dadanya agar mempermudah Dirga untuk meminum obatnya. Baru setelah itu Rei menidurkan Dirga kembali dan menyelimuti pemuda itu.
Pemuda berambut merah itu memperhatikan bagaimana kini Dirga tampak lebih tenang dengan deru nafas yang teratur. Setelah memastikan Dirga kembali terlelap, Rei memutuskan untuk meninggalkan Dirga.
Langkah Rei tertahan. Ia melirik ke pergelangan tangan kanannya yang dipegang Dirga. Ia menoleh ke belakang dan melihat Dirga membuka sedikit matanya.
"Rei di sini saja, temani Dirga."
Rei sedikit terkekeh mendengar suara parau Dirga. Ia pun mengangguk dan duduk di samping Dirga. "Sebagai suami yang baik, aku akan menemani istriku yang sedang sakit ini selama seharian. Bagaimana, kau puas?"
Dirga tersenyum tipis dan mengangguk. Baru lah setelah itu ia kembali memejamkan matanya.
…
V A L S
…
Rei memandang bubur buatannya dengan tatapan aneh. Ini adalah pertama kalinya ia membuat bubur dengan bermodalkan resep dari internet yang ia dapatkan. Tahu begini ia membeli bubur instan saja. Tapi, mengingat waktu menunjukkan pukul tujuh pagi menjadi alasan Rei membuat bubur sendiri sementara market di dekat apartemen mereka baru buka pukul delapan pagi. Tak hanya itu, ia juga harus bekerja karena pagi-pagi ini ia mempunyai jadwal pemotretan.
Rei mengetuk pintu kamar Dirga yang langsung disahut dengan gumaman Dirga dari dalam. Rei membawa semangkuk bubur (gagal) disertai dengan segelas air putih, buah apel yang sudah dipotong dan beberapa butir obat. "Aku membawakanmu sarapan."
Dirga tersenyum tipis. Ia sudah terlihat lebih baik tapi tetap saja ia harus beristirahat total selama beberapa hari untuk kepulihannya. Wajahnya juga masih terlihat pucat, meskipun tidak sepucat kemarin.
"Thanks, Rei."Dirga menyuruh Rei meletakkan nampan yang dibawanya ke pangkuannya. Sementara dirinya sedang duduk bersandar di ranjang. Rei memeriksa suhu tubuh Dirga dengan telapak tangannya. Dan ia pun mengangguk mengetahui demamnya sudah turun.
Dirga takjub melihat bentuk bubur yang tidak biasa. Ia menyendoknya dan menumpahkannya kembali ke dalam mangkok. "Ini bubur cair, Rei?"
Rei memberikan tatapan rasa bersalah. "Ya… aku membuatnya sendiri." Lalu ia menggaruk belakang kepalanya. "Maaf kalau tidak sesuai dengan ekspetasi. Aku hanya melihat resepnya dari internet."
Dirga mengangguk paham. Ia menyendok bubur cair itu dan mencoba mencicipinya. Kerutan tercipta di dahinya. "Tak buruk, hanya terlalu asin."
Pemuda berambut merah itu pun mengambil mangkuk buburnya dari hadapan Dirga. Membuat Dirga menatapnya heran. "Jangan dimakan. Nanti kau tambah sakit, Ga."
Dirga mendesah. Ia mengambil kembali mangkuk yang dipegang Rei. "Aku lapar, Rei. Bukankah kau sudah susah-susah membuatnya? Lagipula makanan seperti ini tidak akan membuatku menderita."
Rei merasa sedikit terharu mendengar perkataan Dirga. Biasanya anak itu terlalu jujur dalam mengemukakan pendapat. "Baiklah kalau begitu. Kalau kau tambah sakit, aku tidak menanggungnya, ya." Dirga hanya tersenyum menanggapi celotehan Rei. "Kalau begitu kau kutinggal tak apa? Aku harus pergi karena jadwal pemotretan."
"Ya sudah, Rei pergi saja."
Setelah melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit, Rei pun berpamitan dengan Dirga dan pergi dari apartemen tersebut.
Seketika Dirga merasa kesepian dengan kondisi rumah yang hanya tinggal ia sendirian. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Rei yang cukup membuat gaduh di apartemennya ini. Ia merasa seperti kembali ke awal dimana ia belum bertemu dengan Rei di kota ini.
Dirga menggeleng pelan kepalanya. Bubur di tangannya hampir dingin. Dan ia harus menghabiskannya agar membuat Rei merasa senang. Lagipula ini adalah pertama kali Rei memasakan sesuatu untuknya mengingat Rei sama sekali tidak bisa memasak.
Rasa asin meruak di lidahnya. Tapi ia bisa menghabisinya. Lalu setelah itu ia meminum obatnya dan memakan beberapa potong buah apel hingga kandas.
Lagi-lagi ia merasa kesepian. Ia pun mengecek ponsel miliknya yang tergeletak di sampingnya. Ada beberapa pesan yang berasal dari karyawan café yang menunjukkan perhatian mereka dan juga ucapan agar ia cepat sembuh. Dirga tersenyum membaca pesan-pesan dari mereka kemudian membalasnya satu persatu.
Ketika ia ingin membalas pesan yang terakhir, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dan itu adalah dari Weitian, pamannya. Buru-buru Dirga mengangkatnya karena memang sudah lama sekali baik dia maupun pamannya tidak saling menghubungi.
"Jian di sini."
'Oh Jian.' Suara Weitian berdehem. 'Bagaimana keadaanmu? Kudengar kau sakit.'
'Mungkin paman Claude yang memberitahunya.' Pikir Dirga. "Jian sudah merasa lebih baik sekarang, Om."
'Baguslah kalau begitu.' Terdengar Weitian mendesah lega. 'Apa kau sudah minum obatmu?'
Dirga refleks menganggukkan kepalanya, padahal ia kini tidak sedang berhadapan dengan Weitian. "Jian sudah minum obat hari ini."
'Ya, seperti itu. Makanlah yang banyak dan istirahat yang cukup. Maafkan om tidak bisa berada di sana untuk merawatmu disaat kau sedang sakit.'
"Tak apa, Om." Dirga memilih memilin selimut tebal yang masih membungkus kakinya. "Lagipula sudah ada yang merawat Jian dengan baik di sini."
'Reihan?'
Dirga terdiam saat Weitian menebaknya dengan benar. Dirga sudah menduga bahwa omnya yang satu itu pasti telah mengetahui pernikahannya. "Jian minta maaf karena tidak memberitahu Om sebelumnya." Dirga menggigit bibirnya.
'Kenapa meminta maaf? Apa yang Jian lakukan Om tidak akan mencegahnya asal Jian bahagia dengan keputusan itu.'
Dirga ingin meneteskan airmatanya saat ini juga. Mungkin kalau ia berhadapan dengan omnya, ia pasti akan memeluk omnya yang satu itu dan menangis di dadanya. "Ini mungkin tidak seperti yang om pikirkan. Jian akan ceritakan semuanya saat om berkunjung ke sini."
Weitian sedikit terkekeh. 'Aku akan menantikan itu semua, Jian.' Hening seketika. 'Om akan menutup telponnya. Om harus menghadiri rapat sebentar lagi.'
"Ya, Om Tian. Terima kasih atas semuanya. I love you."
'I love you too, Jian.'
Dan panggilan itupun berakhir. Dirga memandang layar ponselnya yang menyala lalu mati. Ia meletakkan ponselnya di samping tubuhnya dan berbaring kembali. Ia mengambil guling dan memeluknya erat-erat.
Dan tanpa sadar air mata menetes dengan perlahan.
…
TBC
...
Karena penpiknya cukup panjang yang menghabiskan 57 lembar halaman dengan 18,8k words, jadi diputuskan untuk dibagi menjadi 3 bagian. Aku tahu bahwa menyelipkan lirik lagu itu dilarang. Awalnya fict ini dipublish di Wattpad, tapi ketika di copast ke halaman editor… ketikannya jadi amburadul. Rasanya tanganku terlalu pegal buat mengedit kembali, apalagi mengedit di Wattpad itu nga senyaman ngedit di ms word. Biarlah kali ini aku bandel ya :')
Tapi di Wattpad tetep aku publish kok, tapi non edit. Aku terlalu lelah dan malas. Jadi seadanya saja :')
Penpik ini diperuntukkan Fanart and Fanfict Contest for BL and Yaoi Only untuk kategori fanfict. Karena aku nga bisa menggambar, jadilah ikutan fanfict aja :'D
Oke, mengenai judul. Vals (Belanda) diambil dari kata False yang artinya palsu, lebih mengacu pada pernikahan palsu yang dilakukan Dirga dan Rei. Sebenernya aku agak kesusahan menentukan judul dari fanfict ini. Jadilah aku memilih Vals :')
Driehondred Vier café. Drie itu tiga, hondred itu seratus, Vier itu empat. Jadi Driehondred Vier itu tiga ratus empat. Nga perlu penjelasan dong ya 304 dari mana :D
Original idea ini berbasis pada twit story akun twitter Kurawa mengenai pembunuhan Mayang. Tau Mayang kan? Transgender asal Indonesia yang meninggal dimutilasi di Australia. Trus Kurawa ini sedikit membeberkan beberapa fakta mengenai ijin tinggal di Belanda. Boleh diicip sumbernya di sini chirpstory . kom/li/234225 (hapus spasi dan ganti k dari kom jadi c) Tapi aku mengubahnya dari ijin tinggal menjadi kewarganegaraan pada fanfict ini.
Aku juga menambahkan beberapa fakta di fanfict ini seperti China dan Korea yang rata-rata tidak memiliki kebahagiaan bagi warga penduduknya, trus juga Belanda menjadi salah satu negara yang dimana warga negaranya memiliki kebahagiaan yang cukup
Maaf kalau tokohnya terkesan OOC. Aku berusaha meminimalkan ke-OOC-an tersebut. Aku mencoba membuat Dirga yang terlihat kalem tapi dia juga sedikit jahil. Trus Rei yang baik banget dan terlihat polos juga diwaktu yang bersamaan.
Trus beberapa referensi apartemen kecil milik Dirga bisa dilihat di sini www . airbnb . co . uk/rooms/ 2820362 (hapus spasi)
Untuk desain cafenya, bisa juga dibuka di website ini www . forumsheffield . co . uk (hapus spasi)
Trus juga awalnya aku memakai nama Larry untuk Claude dan Harold untuk Zoe. Tapi karena takutnya pembaca nantinya nga bisa ngebayangin gimana wujud Larry dan Harold, jadilah aku meminjam karakter dari Winter Woods. Lagipula, aku juga ngebayangin sosok Larry dan Harold ini seperti mereka. Meskipun di webtoonnya Claude dan Zoe adalah orang yang sama. Dan untuk Alida Lien, itu murni nyari nama di google dan aku nga punya referensi apapun.
Oke, cukup sekian aja a/n dari aku. Semoga bisa menikmati fanfict ini
