"Sasuke," Juugo memanggilnya di depan meja receptionist, suaranya yang berat terdengar sedikit berteriak. Ia berlari mengejar Sasuke yang sudah berhenti tepat di depan pintu masuk gedung. "Kau mau kemana?"
Pertanyaan bodoh. Sudah jelas kan ini jam waktu pulang kantor, seharusnya Juugo sudah tahu itu tanpa perlu bertanya lagi. Sasuke membalikan badannya lalu menatap sosok Juugo yang sedang tersenyum tipis padanya.
"Bukankah kita harus menyambut CEO perusahaan yang baru saja datang dari Amerika?"
"Maaf, tapi sepertinya aku tidak ikut. Sehabis ini aku harus bekerja lagi Juugo."
Pemuda bersurai oranye itu menghelakan nafasnya. Benar juga Sasuke masih harus bekerja di bar setelah pulang dari kantor. Meskipun ia tidak tahu untuk apa Sasuke bekerja dua kali lipat tanpa jeda. Apakah tubuhnya tidak lelah harus bekerja di dua tempat sekaligus selama seharian penuh. Jam 10 pagi sampai jam 5 sore, Sasuke akan bekerja menjadi Supervisor di perusahaan ini. Lalu jam 8 malam sampai dini hari, ia akan bekerja menjadi pelayan di bar. Terkadang Sasuke baru sampai di rumah pagi harinya dan beristirahat tidak sampai 3 jam, kemudian ia sudah harus bekerja lagi. Benar-benar lelaki pekerja keras.
"Lagipula pesawat Direktur baru tiba sekitar pukul tujuh malam kan? Aku tentu tidak bisa, di jam segitu aku sudah harus berangkat kalau tidak aku akan telat," imbuh Sasuke, "besok aku janji akan segera menemui CEO baru kita, kuharap beliau orang yang berwibawa dan lebih bijaksana dari CEO kita yang lama."
"Yah, kuharap juga begitu. Yang kudengar CEO kita kali ini adalah pimpinan tertinggi dari perusahaan pusat di Korea Selatan, beliau juga salah satu pemegang saham terbesar dan merupakan CEO yang handal di salah satu perusahaan yang berada di Amerika. Beliau masih sangat muda berbeda jauh dengan Hanzo-san yang sudah berumur cukup tua."
"Aku jadi penasaran seperti apa orangnya. Menjadi pemimpin di usia muda adalah sesuatu yang hebat kan? Kuharap dengan bergabungnya beliau, cabang perusahaan di Jepang ini bisa semaju yang ada di negara luar."
Juugo mengangguk setuju.
"Kalau begitu aku pamit sekarang. Tolong wakilkan aku dan sampaikan maafku pada Direktur baru kita saat kalian menjemputnya di bandara."
"Baiklah, sampai besok Sasuke," Juugo mengantar Sasuke sampai kedepan gedung, lalu melambaikan tangannya sesaat setelah melihat pemuda bersurai raven itu menaiki sebuah bus didepan halte.
...
Sasuke tak langsung pulang ke apato melainkan ia mengunjungi rumah sakit terlebih dahulu. Kakinya menapakan gema di setiap kali ia melangkah. Didepan sebuah pintu bercat putih, tangannya terjulur membuka handle pintu lalu masuk ke dalam. Sasuke berdiri di samping kasur seorang pasien lelaki berusia 26 tahun. Lelaki itu tertidur lelap dengan berbagai selang dan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Mengalihkan pandangannya, Sasuke memperhatikan sebuah layar monitor yang menunjukan bunyi detak jantung beserta garis statis yang menanjak secara tidak beraturan, menandakan bahwa keadaan pasien itu begitu stabil di tengah koma panjangnya.
"Aku datang menemuimu lagi. Seminggu belakangan ini aku selalu terpikir aniki, kapan aniki bangun? Aku sudah sangat merindukanmu tahu," bisik Sasuke seraya mendengus pasrah. Ia meraih tangan kanan pasien yang tergeletak lemas di samping tubuhnya, menggenggamnya erat namun terkesan lembut. "Ini sudah 2 tahun aniki... Seharusnya kau bangun dasar pemalas. Tidakah kau merasa rindu padaku?" Air muka Sasuke menyendu, matanya berkaca-kaca karena tak kuasa menahan rasa sesak yang mendera hatinya.
Dua tahun sudah kakak kandungnya ini terbaring koma setelah mengalami kecelakaan maut yang merengut banyak korban nyawa di persimpangan jalan raya dekat kantornya. Saat itu Itachi tengah menaiki sebuah bus, dan bus itu tiba-tiba tergelincir karena remnya blong, menabrak beberapa orang pejalan kaki lalu menghantam kendaraan-kendaraan yang ada di depannya, kemudian terguling-guling sesaat bus itu menabrak pembatas jalan raya.
Banyak penumpang yang langsung meninggal di tempat, beruntungnya Itachi hanya kritis meskipun dia hampir saja mati kalau tidak ada petugas kepolisian yang mengevakuasi korban selamat dengan cepat, karena beberapa detik setelah Itachi dikeluarkan dari sana, bus itu akhirnya meledak. Memanggang tubuh-tubuh tak bernyawa di dalam sana, juga memanggang beberapa korban yang masih hidup serta berteriak ketika mereka terbakar.
Itu sungguh mengerikan. Sasuke tidak bisa membayangkan jika kakaknya masih berada di dalam bus itu dan belum diselamatkan. Mungkin saja sekarang ia sudah benar-benar sebatang kara di dunia ini.
Sasuke menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menepis seluruh pikiran buruk yang baginya sangat menakutkan. Ia mendekatkan tangan kakaknya yang tergenggam lalu mengecupnya lembut.
"Kau datang lagi Sasuke?"
Mendengar suara sopran nan halus dari depan pintu kamar rawat kakaknya, Sasuke lekas saja menoleh. Tak lama ia tersenyum simpul mendapati suster Shizune datang untuk mengecek kondisi Itachi tiap beberapa jam sekali.
"Bagaimana keadaan kakakku sekarang, Shizune-san?"
"Sudah lebih stabil sejak ia selesai di operasi minggu lalu. Tapi, untuknya sadar dari masa koma sepertinya masih sangatlah jauh, karena Itachi tidak merespon apapun didalam tidurnya."
Meski berat namun Sasuke tetap berpikir optimis. Ia tak pernah kehilangan harapan, karena ia yakin suatu saat nanti kakaknya pasti akan terbangun. Itachi sudah janji tidak akan meninggalkannya seperti kedua orangtua mereka. Lagipula Sasuke masih butuh sosok figur seorang kakak seperti Itachi.
"Kakakku tidak lagi mendapat serangan ketika malam kan, Shizune-san?" tanya Sasuke. Ia memperhatikan Shizune yang sedang mengecek cairan infus serta denyut nadi sang kakak disebrang ranjang.
"Tidak sesering bulan-bulan sebelumnya. Terkadang Itachi hanya sesak nafas karena tiba-tiba saja paru-parunya sulit berfungsi dengan baik. Mungkin karena ia sudah tertidur terlalu lama kinerja otak serta ototnya jadi melemah."
"Tapi kakakku masih bisa terbangun kan, Shizune-san?" Ada ketakutan yang jelas tersirat dari dua manik obsidian kelam Sasuke.
Shizune mendesahkan nafasnya kemudian menatap Sasuke lekat-lekat. Bibirnya tersungging sebuah senyum yang terkesan dipaksakan, namun Sasuke tahu bahwa suster baik itu hanya ingin menghiburnya serta memberikan sedikit semangat untuk Sasuke.
"Sasuke, semua tergantung pada diri Itachi sendiri. Seberapa kuat keinginannya untuk hidup dan bebas dari masa komanya. Semua itu juga terjadi berkat campur tangan tuhan, Sasuke. Berdoalah, karena hanya itu yang bisa dilakukan oleh kita, para manusia."
Sasuke mengangguk. Tentu ia tahu bahwa tuhan yang berkehendak atas segalanya, tapi jika boleh meminta sesuatu yang seandainya akan dikabulkan, Sasuke ingin meminta kesembuhan kakaknya, hanya itu.
"Aku tidak akan pernah berhenti berdoa dan berharap. Jika kakakku ada disini, dia pasti akan melakukan hal yang sama. Kakak tidak pernah menyerah mengenai diriku, kakak selalu memberikan yang terbaik untukku, dan aku juga harus melakukan hal yang sama padanya."
"Kau adik yang baik Sasuke." Shizune menepuk bahu Sasuke ketika berdiri disampingnya. Usapan pelan yang diberikannya terasa menenangkan kegelisahan Sasuke.
"Terima kasih suster. Aku... Aku harus pergi bekerja," Sasuke menilik arlojinya, tertera angka 19.05 di dalam layar digitalnya. "Aku titip kakakku ya suster."
"Kau sudah sering mengatakannya Sasuke. Ya, tentu saja."
…
Suara musik keras adalah hal yang selalu didengar Sasuke sejak dua tahun lalu. Inilah pekerjaan keduanya di malam hari. Dulu ia membenci suara berisik serta keramaian yang menyesakan seperti ini, tapi ironisnya sekarang hal ini adalah sebagian dari hidupnya.
Ratusan manusia bergoyang melenggokan tubuhnya di tengah lantai dansa. Laki-laki dan wanita, semua membaur jadi satu. Irama disco yang bersahutan diiringi dengan music dari DJ, semakin meramaikan suasana. Puluhan lampu sorot berkelap-kelip menerangi ruangan luas dengan aroma alkohol dimana-mana. Sejauh mata memandang hanya ada sekumpulan manusia pendosa, yang hobinya hanya bersenang-senang, minum-minuman keras sampai perutnya kembung, bermain wanita ataupun pria bayaran yang tersedia ditempat ini, lalu menghamburkan uang mereka dengan percuma.
Tidak tahukah bahwa ada seseorang di luar sana yang sedang membutuhkan uang hingga mengemis mengiba, sementara mereka menyia-nyiakan uang itu secara foya-foya.
Jari-jari lentik Sasuke memijit pangkal dahinya, suara music yang semakin memekakan telinga membuat kepalanya kian sakit. Namun, ini adalah pekerjaannya dan dia harus profesional. Satu nampan berisi botol-botol minuman laknat tersaji beserta beberapa buah gelas bening bertangkai yang baru saja dipesan oleh sekelompok manusia kaya, yang mengaku dirinya adalah pengusaha sukses nan mapan namun berotak dangkal dengan datang ketempat maksiat ini. Tapi, dirinya yang bekerja disini pastilah lebih bodoh dari mereka bukan?
Cih! Untuk apa pikiran rendah itu berspekulatif ria di dalam otaknya?
Ingat Sasuke, kau hanya butuh uang! Uang untuk membiayai perawatan kakakmu di rumah sakit!
"Pesanan anda, Tuan," ucap Sasuke datar, ekspresinya terlihat tenang dan cuek, berusaha keras menghindari kontak mata berlebih pada kumpulan pria-pria tua yang memandangnya dengan tatapan lapar. "Saya permisi...," Setelahnya ia berlalu pergi secepat mungkin dari meja VIP itu.
Selama 4 jam lebih Sasuke tidak henti-hentinya bergerak. Pengunjung pub pada malam hari ini serasa membludak, padahal ini bukan weekend atau hari besar. Hari ini hari rabu, tepatnya tidak ada sesuatu yang special.
Sekitar pukul 1 dini hari, Sasuke dipanggil oleh rekan kerjanya di bar untuk mengantarkan pesanan minuman yang jumlahnya cukup banyak. Mungkin seseorang sedang berpesta bersama temannya. Sasuke meraih baki yang sudah disiapkan di depan meja bartender, berjalan menuju bilik khusus VVIP nomor 3, dimana ia harus mengantarkan pesanan ini. Jujur saja ia sempat tertidur tadi dan mungkin sekarang wajahnya terlihat kusut seperti baru bangun tidur. Salahkan saja Sakon yang menyuruhnya tidak sabaran. Dia bilang, pemesan di meja itu adalah seorang pengusaha yang sangat arogan, tidak suka menunggu lama, dan bla bla bla. Sasuke sengaja menutup telinga untuk mencegahnya agar tidak muntah.
"Permisi, pesanan anda, Tuan," ucap Sasuke sopan dengan intonasi suara yang tetap datar dan juga ekspresi yang tak terbaca. Ia melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu untuk menaruh botol-botol minuman yang baru dipesan ke atas meja.
Namun, baru saja ia ingin pamit undur diri, sebuah tangan kekar menarik pinggulnya hingga ia terduduk paksa di atas pangkuan seseorang. Sasuke mendelik tak suka, ia menggeram rendah sembari menyingkirkan tangan kurang ajar yang mulai membelai pinggang belakangnya. Diluar dugaan cengkeraman pria itu amatlah kuat. Bau alkohol yang terhembus dari nafas orang itu membaur di sekitar pernafasan Sasuke. Seketika keningnya mengernyit, merasa mual karena tidak terbiasa menghirupnya.
"Lepaskan saya Tuan, saya harus kembali untuk mengantarkan pesanan lain," dusta Sasuke, tapi orang itu malah menggeram dan menarik pinggulnya semakin mendekat. "Tuan, mohon lepaskan saya. Saya hanya pelayan bukan seorang host. Jika Tuan mau, akan saya panggilkan beberapa host terkenal untuk Tuan."
"Aku ingin kau!" gertak orang itu dengan suara yang berat dan nafas memburu. Sasuke meneliti penampilan orang itu. Dia tidak setua para pengunjung lainnya, dia masih cukup muda, tampan, dan terlihat mapan.
"Maaf, tapi saya bukan-"
Si pria menggeram marah lalu menarik tengkuk belakang Sasuke untuk mendaratkan ciuman kasar yang terkesan menuntut. Spontan saja Sasuke membelalakan mata tak percaya. Ia tengah dilecehkan oleh seorang pria berambut pirang yang dalam keadaan mabuk berat. Seolah tidak terima, Sasuke memberontak dan memukul bahu si pria kuat-kuat, namun rupanya pria itu tidak ingin mendapatkan penolakan. Ia malah semakin menekan tengkuk Sasuke dan mendekap erat pinggulnya.
Para rekan si pirang yang ada di ruangan ini malah bersorak keras-keras, seakan mereka terhibur dengan kelakuan temannya dan malah menonton tindak pelecehan itu dengan raut terhibur.
"Kau sudah sangat mabuk bodoh. Bahkan kau mencium laki-laki dan juga menggerayangi tubuhnya layaknya tubuh perempuan. Aku berani bertaruh jika saat ini kau dalam keadaan sadar, kau pasti akan berteriak saat tahu jika yang kau serang itu laki-laki bukan wanita berdada besar."
Salah satu pria tergelak dengan suara cemprengnya. Orang bodoh itu juga tidak kalah mabuk dengan pria pirang yang masih melecehkan Sasuke ditempatnya. Suara tawa kian membahana, sementara Sasuke sudah terlanjur lemas dengan kaki yang gemetar. Diantara sisa-sisa kesadaran dan kewarasannya, tangannya bergerak menuju meja, meraih botol kosong yang isinya sudah tandas. Tanpa ragu Sasuke menghantamkan botol itu sampai pecah di kepala pirang si brengsek yang nyaris membuat Sasuke sesak nafas.
PRANGGG!
Pecahan botol bertebaran dimana-mana disertai ambruknya tubuh si pria pirang dari atas sofa ruangan VVIP kelab malam tempat Sasuke bekerja. Lelaki Uchiha itu sukses terdiam dengan mata melotot, tidak mempercayai tindakannya barusan dan merutuki kebodohannya yang mungkin akan membawanya kedalam suatu masalah besar. Sementara itu keempat pria yang tadi sibuk tertawa dan meracau tidak jelas kini juga ikut terdiam sembari memandangi Sasuke dengan sorotan tajam penuh niat membunuh.
...
Esok paginya Sasuke berangkat ke kantor dengan wajah lesu. Gara-gara kejadian semalam, ia harus rela kehilangan separuh gajinya untuk ganti rugi, karena pria yang ia pukul kepalanya itu tidak mau membayar minuman yang mereka pesan. Masih untung dia tidak melaporkan masalah itu ke pihak yang berwajib, begitu katanya. Tapi tetap saja Sasuke kesal, ia adalah korban dari tindak pelecehan seharusnya ialah yang mendapatkan perlindungan dan pembelaan, bukan pria pemabuk itu.
Ck! Uang selalu saja bisa bertindak banyak!
Sasuke benci menyadari status dirinya yang hanya sebatas pegawai kantoran biasa, dan juga rakyat miskin penyandang gelar yatim-piatu di usia dini. Ia hanya memiliki seorang kakak yang saat ini tengah berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit selama dua tahun lamanya akibat kecelakaan yang membuatnya koma sampai sekarang. Dan karena kejadian semalam itulah, Sasuke harus mencari uang tambahan demi menutupi separuh gaji yang terpakai untuk ganti rugi.
Otak cerdasnya serasa tak dapat lagi menghitung berapa banyak uang yang harus ia dapatkan untuk membayar biaya perawatan kakaknya yang semakin hari semakin membengkak. Jika saja Sasuke memiliki banyak uang, memiliki harta peninggalan keluarga yang melimpah, ia tidak akan sesulit dan sekhawatir ini mengenai kondisi kesehatan sang kakak.
"Ck! Sial!"
Alhasil sepanjang koridor perusahaan, Sasuke tak henti-hentinya memaki bahkan mengumpati kesialannya bertemu pria pirang kurang ajar semalam. Kalau tahu ia harus mengganti rugi semua minuman itu, lebih baik ia pecahkan saja kepala kuning idiot itu sampai tandas.
Bukankah itu impas namanya?
"Kalau ketemu lagi, kuhajar pria brengsek itu sampai mati!" ancamnya lewat desisan.
Sasuke terlalu hanyut pada kemarahan serta emosinya yang meledak, hingga ia tidak sadar kalau Juugo ternyata sudah menyeimbangi gerak langkahnya di belakang Sasuke.
"Pria brengsek siapa?"
"Whoaa!"
Seorang Uchiha Sasuke yang terkenal berwajah datar, berekspresi minim, memiliki hati sekeras karang, tiba-tiba saja terlonjak kaget akibat mendengar suara Juugo di dekat telinganya.
"Kau! Sejak kapan kau berada disitu?" Sasuke membalikan tubuhnya, menatap tajam Juugo.
"Baru saja. Aku tak sengaja mendengarmu meracau mengenai pria brengsek yang ingin kau hajar sampai mati. Siapa dia, Sasuke?"
"Bukan siapa-siapa. Hanya pria kurang ajar yang kutemui di Pub."
"Dia tidak melakukan hal yang tidak-tidak padamu kan?" Iris jingga Juugo menyorot serius sepasang obsidian malam Sasuke. Tersirat kecemburuan dan kemarahan dalam pancaran terang itu. Dan Sasuke merasa tak mengerti mengenai arti tatapan yang diberikan Juugo terhadapnya.
"Tidak," dustanya, tak ingin pembicaraan memalukan ini terbongkar lebih jauh lagi. "Aku hanya kesal padanya karena dia adalah pria yang arogan dan semena-mena."
"Arogan, huh?" Secara mendadak ekspresi Juugo berubah. Jari telunjuknya menyentuh ujung dagunya seraya mengetuknya pelan. Sasuke tahu itu adalah gestur seseorang yang tengah berpikir sesuatu.
"Hn. Ada masalah?"
"Tidak. Aku jadi teringat seseorang yang memiliki sifat serupa."
Pertemuan alis Sasuke menyatu. Dahinya berkerut. "Oh ya? Siapa?"
"Ah, aku sampai hampir lupa kalau kau dipanggil CEO baru kita ke ruangannya. Beliau bilang, ada sesuatu yang ingin ia bicarakan denganmu."
"Huh? Apa itu?"
"Sebaiknya kau cepat menemui beliau, sepertinya ini adalah pertanda bagus untuk kenaikan jabatanmu, Sasuke."
Walau tidak sepenuhnya mengerti, Sasuke tetap mengekori Juugo menuju ruangan CEO muda yang baru. Sebenarnya Sasuke tidak mengikuti Juugo, tapi pria jingga itulah yang menggeretnya sampai ke depan ruangan.
"Good luck! Aku berharap semoga ini adalah pertanda bagus, karena kulihat dia tersenyum puas melihat arsip pekerjaanmu selama ini."
Sebelum pergi meninggalkan Sasuke seorang diri di depan pintu, Juugo sempat menepuk bahu pria raven itu diiringi senyuman lembut nan bersahabat yang terlihat sangat menawan di wajahnya.
"Tenang, Sasuke...," Ia menghirup napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang. Pasalnya ini pertama kalinya Sasuke dipanggil ke ruang CEO, terlebih lagi beliau adalah CEO muda tersukses yang pernah ia dengar. Wajar saja kalau jantungnya berdebar-debar seperti sekarang. Namun, bukan Uchiha namanya jika tidak bisa bersikap tenang dan mengontrol ekspresinya dengan baik.
Tok...tok... tok...
Pintu diketuk secara perlahan. Sasuke menunggu dengan sabar sampai terdengar suara serak nan berat yang menyahut dari dalam.
"Coming!"
Jari-jemarinya yang panjang menyentuh handle pintu, menatap ukiran nama yang tertempel di depan pintu dengan warna emas berkilauan, tertulis nama Namikaze Naruto, menggunakan ukiran huruf yang terkesan berkelas tinggi dan elegan. Setelah itu barulah ia memutarnya hingga pintu menjeblak terbuka. Sasuke mengamatinya sejenak, pintu ruangan itu sangat halus, tidak menimbulkan bunyi deritan sama sekali. Ketika masuk, udara dingin dari Air Conditioner yang menyala segera membungkus tubuhnya yang terbalut kemeja berwarna biru muda.
Hal pertama yang dilihat oleh mata Sasuke saat masuk adalah meja besar yang membelakangi jendela transparan luas yang membingkai seluruh dinding belakang ruangan, lalu Sasuke juga melihat sebuah kursi putar yang memiliki sandaran tinggi juga besar, tempat seseorang yang saat ini ia lihat sedang duduk membelakangi meja beserta dirinya.
"Maaf, Tuan... Apakah Anda memanggil Saya?"
"Uchiha Sasuke?"
"Ya, Saya Uchiha Sasuke."
Kursi itu berputar cepat menghadapnya, namun sebuah map yang masih menutupi wajah sang CEO muda, menyulitkan Sasuke untuk dapat melihat paras si pemilik kulit tan dan suara serak yang dalam itu.
"Aku suka hasil laporanmu selama ini, caramu menangani para SPG dan SPB di luar juga baik, dan kudengar kau juga yang memimpin pelaunchingan produk baru bulan lalu?"
Sasuke mengangguk pelan. "Yes, Sir."
"Tapi sayangnya... dengan berat hati aku harus memotong seluruh gajimu bulan ini."
Mata Sasuke melotot. Ucapan sang CEO Muda benar-benar diluar ekspektasinya beberapa saat yang lalu. "A-Apa?"
"Aku juga berpikir untuk memecatmu dari perusahaan ini, Uchiha-san," Pria itu menambahi. Berkas laporan yang menutupi seluruh wajahnya perlahan diturunkan, menampilkan iris biru cemerlang yang begitu tajam nan menusuk, kulit sewarna tan yang dipahati ukiran wajah nan rupawan, lalu suara husky yang tiba-tiba saja terdengar sangat dingin di telinganya.
Sasuke semakin membelalak tak percaya. Bibirnya yang membuka-tutup kehabisan kata-kata berakhir ia gigit dengan gemetar.
"Kau pasti belum melupakan insiden tadi malam, bukan?" Tubuh tegap berbalut setelan kemeja mahal itu berdiri, menampakkan postur tinggi besar layaknya penduduk Negeri barat.
"Ka-Kau..."
Seulas senyum miring tercetak di bibir seksi Naruto. Ia berjalan santai, berhenti tepat di depan Sasuke yang masih mematung tak percaya. "Jangan kau pikir aku sudah memaafkan perbuatanmu yang semalam, Uchiha-san," desisnya penuh dendam.
"Ak-Aku hanya membela diri! Kau yang ingin... ingin...," Sasuke tak menemukan kalimat yang tepat untuk menuding pria pirang itu. Rasanya terlalu malu mengatakan bahwa pria itu sudah mencuri ciuman pertamanya, menyentuh Sasuke seenaknya, dan mungkin juga hampir memperkosanya kalau ia tak cepat-cepat bertindak memukul botol kosong itu ke kepala si blonde yang saat ini masih diperban, pasti semalam ia sudah terbujur lemas dengan bercak sperma di sekujur tubuhnya.
Tidak! Tidak! Tidak!
Seringai Naruto makin melebar. Sedetik lalu ia sempat melihat semburat merah yang menghiasi pipi porsen halus itu. Ia menaikan sebelah alisnya, memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu sedikit menundukan kepala karena Sasuke memang lebih pendek dari dirinya.
"Aku ragu kalau itu yang pertama bagimu."
Pupil Sasuke mendelik kesal mendengar cibiran itu, tapi ia tak berusaha membantah dengan menguras seluruh emosi serta energinya yang mulai menguap karena hatinya yang mendadak panas.
"Apa saja yang sudah kau dapatkan dari tempat itu, hm? Apa gaji yang kau peroleh di perusahaan ini masih kurang, huh?" Jari tannya menyentuh ujung dagu Sasuke dan mendongakkannya ke atas, menatap tepat ke dalam matanya.
Biru bertemu hitam.
Benar-benar pesona mata yang menenggelamkan. Tanpa sadar lidahnya menjilati bibirnya yang kering.
"Saya tidak mengerti apa maksud Anda."
Naruto mendengus. "Aku sudah sangat hafal pada tipe orang seperti dirimu, yang rela menjual harga dirinya sendiri demi uang."
Sasuke mengepalkan telapak tangannya, ia membuang wajah secara cepat hanya untuk terbebas dari sentuhan di ujung dagunya, dan hal itu membuat sang CEO muda semakin mengernyit tidak suka terhadap sikapnya.
"Maaf, Saya bukan orang yang seperti Anda maksud. Saya masih punya harga diri."
"Oh? Aku ragu soal itu."
Iris hitam Sasuke mengikuti pergerakan sang CEO yang berjalan santai ke belakang punggungnya.
"Aku sudah membaca riwayat karirmu di perusahaan ini, Uchiha-san, dan kurasa kau memang memiliki potensi yang bagus untuk kemajuan perusahaan ini, tapi...," Ada jeda yang panjang dalam ucapan bernada remeh tersebut. Sasuke merasakan adanya firasat yang buruk saat ini. Ia juga tahu kalau pria Arogan yang sedang berdiri memandangi punggungnya tengah berseringai dengan keji.
Satu tegukan ludah membasahi kerongkongannya yang kering. Ini memang salahnya yang sudah membuat pria itu marah juga dendam padanya, tapi Sasuke tidak akan mengakui kesalahannya tersebut di depan Naruto, karena pria itu juga salah dengan memperlakukan Sasuke selayaknya pria penghibur di kelab malam itu.
Ia hanya seorang pelayan biasa, bukan pria bayaran. Dan semua itu Sasuke lalukan demi membiayai pengobatan Itachi di rumah sakit.
"Tapi... sayangnya perusahaan juga tidak membutuhkan aib sepertimu."
Deg!
Jantung Sasuke seperti berhenti beberapa saat sebelum ia merasakan sesuatu yang merambat panas dan membakar kepingan hatinya.
"Pergilah... Jasamu sudah tidak diperlukan lagi oleh perusahaan ini," Suara itu berubah ketus. Tapakan sepatu pantofel Naruto terdengar menggema dalam gendang telinganya. Aroma citrus bercampur musk, sebersit angin yang menjalar ketika sosok angkuh nan arogan itu lewat, tak luput dari indera pengelihatan serta penciuman Sasuke.
"Tunggu!"
Sosok itupun akhirnya berhenti. Sasuke segera memberinya tatapan paling tajam yang pernah ia perlihatkan pada siapapun. "Anda tidak bisa melakukan ini padaku!"
"Why?"
"Anda tidak bisa memecat seseorang hanya karena masalah pribadi."
"Eoh? Ini bukan sekedar masalah pribadi, Uchiha-san, tapi juga karena masalah nama baik perusahaan. Bagaimana mungkin aku membiarkan seseorang bekerja disini sementara dia juga memuaskan para pelanggannya di kelab malam? Anda tidak bisa seserakah itu, Uchiha Sasuke-san."
Sumpah demi apapun, rasanya Sasuke ingin sekali meninju wajah mengejek yang diperlihatkan sang atasan, ia juga tidak menyukai seringaian menyebalkan yang seolah-olah merendahkan harga dirinya sekarang ini.
"Hum... tapi...," Naruto mencoba berpikir, menggosok dagunya yang lancip, lalu menyentuh kulit rahangnya disertai bibir yang masih memberikan seringai. "Aku bisa mempertimbangkannya lagi."
Sasuke mengernyit, lalu meneguk ludahnya saat mendapati pria beriris biru itu lagi-lagi berjalan mendekatinya, kemudian melewatinya begitu saja hanya untuk meneliti penampilannya dari belakang. Namun, matanya tiba-tiba terbelalak, mendapati sepasang lengan kekar berwarna tan melingkari tubuhnya, beserta kedua tangannya yang hanya mampu membeku di kedua sisi. Otak Sasuke blank seketika, napas hangat beraroma citrus, berhasil membuat tubuhnya kaku bagai boneka.
"Ngomong-ngomong parfum apa yang kau pakai, Uchiha-san?" Hidung mancung Naruto mengendus lehernya, meremangkan seluruh bulu kuduk Sasuke, serta mengirim impuls syaraf berbahaya ke dalam otaknya. "Aku suka baumu," bisikan yang meremangkan leher serta tengkuknya, melemaskan seluruh otot tubuh Sasuke.
"Hmm, sampai dimana tadi?" Pria itu berbisik lagi di telinganya. "Oh ya, aku akan mempertimbangkan lagi posisimu di perusahaan ini tapi dengan satu syarat tentunya."
Sasuke diam tak menjawab. Hatinya mulai resah. Bayangan akan kondisi kakaknya yang masih koma terlintas begitu saja di kepalanya.
"Serahkan dirimu yang telanjang di kasur kamarku malam ini," Dan syarat itu menampar telak perasaannya. Seakan belum cukup merendahkan Sasuke, pria itu kembali menambahkan sesuatu yang langsung membuat Sasuke bergerak meronta dalam dekapannya. "Bagaimana dengan one night stand, mungkin?"
"Kau gila!"
Lelaki blonde itu tertawa, namun tidak meregangkan dekapannya sama sekali. "Ya, aku memang gila. Seharusnya orang seperti dirimu tidak menentang orang-orang sepertiku, yang jika kumau seluruh hidupmu bisa kubeli, atau kalau perlu kepalamu itu juga bisa kupenggal dengan mudah, Bitch!"
Ucapan itu kian menusuk perasaannya. Sasuke memang miskin tapi ia selalu dididik soal moral dan prinsip oleh kakaknya. Mereka selalu berpegang teguh pada harga diri, dan tidak pernah sekalipun membiarkan siapapun menginjak-injaknya sesuka hati, namun hari ini, di detik ini, seorang pria brengsek bernama Namikaze Naruto baru saja merendahkannya begitu saja.
"Berapa yang kau inginkan? Kau tinggal menyebutkan nominalnya saja, dan aku akan langsung membayarnya. Cash!"
"Simpan uangmu bedebah! Lepaskan aku, brengsek!" Ia melayangkan sikunya untuk memukul perut berotot Naruto, namun ia kalah tenaga. Bagaimanapun postur tubuh mereka berbicara hal yang berbeda. Sasuke tidak akan sanggup melepaskan diri jika tidak mengerahkan seluruh tenaga yang ia miliki.
"Pelacur murahan!"
Sentakan mengintimidasi sang CEO, menyulutkan kemarahan Sasuke hingga tanpa sadar pria raven itu melayangkan kakinya tepat mengenai betis kiri sang blonde.
"SIALAN!" Pekikan kerasnya tak sampai terdengar ke luar, karena ruangan itu kedap suara.
"Jangan pernah berpikir uangmu itu bisa membeli tubuhku. Matipun aku tidak akan sudi menyerahkan seluruh harga diriku padamu, Tuan Arogan!"
Wajah Sasuke menampilkan urat kemarahan yang begitu jelas, rona mukanyapun merah padam seperti menahan kesal, dan ia memang masih berusaha menahan diri untuk tidak menambah kesialannya dengan menghadapi pria pirang brengsek, yang sialnya memiliki banyak kuasa.
Niat hati ingin meninggalkan ruangan sang CEO yang dengan seenak hatinya merendahkan harga diri Sasuke, menawarnya seperti barang, lalu melecehkannya, tetapi ketika telapak tangannya baru menyetuh handle pintu, kepalanya seketika mendongak kasar, membekaskan ringisan ngilu di bibir beserta rasa sakit pada kulit kepalanya, karena rambutnya saat ini tengah dijambak dengan kasar.
"Akh!"
Seolah tidak mendengar rintihan itu, lengan berotot Naruto lekas menyeret tubuh Sasuke yang rambutnya masih ia jambak, kemudian membantingnya kalap menghantam permukaan meja kerja.
"Jangan meremehkanku, Jalang!" Umpatan bernada kasar, meluncur bebas dari sepasang bibir yang menggeram marah. Tidak mengindahkan pria yang masih meringis kesakitan di atas meja, Naruto lekas menahan kedua tangan pucat itu, dan mencium bibirnya dengan brutal.
Uhnmmppp!" Mata onyx itu melebar, bibirnya kelu, terasa hisapan kuat dan juga gigitan gemas yang dilancarkan oleh mulut Naruto. Meskipun ia masih dalam kondisi shock dan terpukul, Sasuke cukup jenius untuk tidak membiarkan lidah si blonde masuk menjelajahi mulutnya. "Mmmpp!"
Seakan tak kehabisan ide. Lelaki pirang itu menelusupkan tangan kirinya yang bebas untuk menggerayangi dada Sasuke. Jari-jarinya sedikit terhibur merasakan tektur lembut nan kenyal dari permukaan kulit porselen itu. Iris birunya melihat pergerakan mata Sasuke yang mendadak panik juga ketakutan, namun semua hal itu justru semakin membuatnya gencar menjamah tubuh Sasuke.
"Akhhmmmhhpp!"
Seringai kepuasan terselip di bibir penuh sang CEO, yang berusaha mendominasi dalam pagutan liar itu. Lidahnya yang telah mendapatkan jalan masuk, segera meluncur bebas mengobrak-abrik bibir semanis dan senikmat madu milik Sasuke. Ia mencubit, dan terus menggoda puting sang raven yang ia jadikan alat untuk membuat pria itu membuka mulutnya.
"Le...pas... ahh! Pria sinting! Lepaskan -Aargh!"
Tak puas menjelajahi mulut, lidahnya bergerilya menggoda leher putih itu. Hidungnya juga turut membaui aroma Sasuke, menyesap manis vanila bercampur mint yang menyegarkan gairahnya. Beberapa tanda menjadi bukti bahwa kulit Sasuke yang kenyal nan legit memang sangat pas untuk ia cicipi.
"Ah, lepas!" Sasuke memberontak lagi. Kedua tangannya nyaris saja lolos dari cengkeraman sang CEO, tapi begitu nyaris lepas, pria pirang itu kembali menahannya di atas kepala dengan tenaga yang lebih kuat dan menyakitkan untuk kulitnya. "Sakit!"
Tangan kiri Naruto beraksi kembali menggerayangi tubuhnya, kali ini menuju ke arah selangkangan Sasuke yang masih ditutupi fabrik celana.
"Jangan! Ukh!"
Rontaan panik Sasuke kian menyemangati sang CEO untuk menarik turun zipper celananya, sedikit kesulitan menyingkirkan sebagian celana hitam sang raven sampai sebatas lutut. Seketika ia menggeram rendah melihat paha putih Sasuke yang seperti marsmallow. Jarinya sudah merambat ke arah gundukan celana dalam, lalu meremasnya dengan gemas.
"Aarg-mmpphh!"
Ciuman pria pirang itu membungkam teriakan berisik Sasuke. Lidahnya menggelitiki langit-langit mulut itu, menyesap salivanya, dan juga menggoda lidah pasif Sasuke yang terus berusaha mengusir lidah sang CEO keluar dari mulutnya. Decakan, hisapan, erangan, berbaur menjadi irama yang membangkitkan birahinya. Rasa manis dan candu yang terkecap dalam mulutnya, benar-benar membuat akalnya melayang.
Bibir itu sangat nikmat, lembut, dan juga manis. CEO muda itu semakin gencar menyesapnya, ia ingin lebih, lebih dari rasa menakjubkan yang ia dapatkan di mulutnya, selain itu kulit pria raven itu juga halus, kenyal, ia ingin meremas atau memberi seluruh tanda kepemilikannya di setiap inchi pahatan tubuh itu. Naluri dominan yang bersemayam dalam dirinya berteriak liar, ia ingin tubuh ini, ingin tubuh pria raven ini, dan ia yakin ia pasti bisa mendapatkan segala yang ia inginkan, tak terkecuali seseorang yang sedang berada di hadapannya saat ini.
"MMMPPHHH!"
Suka. Naruto sangat suka bagaimana suara seksi itu berteriak di mulutnya. Getaran yang menggelitik rongga mulut dan lidahnya membuat perutnya serasa dipenuhi banyak kupu-kupu beterbangan, ia jadi ketagihan membuatnya kembali bersuara seperti itu. Naruto memainkan penis Sasuke yang telah keluar dari sangkarnya, menggoda ujung testisnya yang mulai basah, lalu menusuk-nusuk twinsballnya yang hampir mengeras. Ia menikmati sentuhan yang ada di jarinya, dan semakin gencar ketika merasakan sebuah lubang yang masih sangat rapat tersentuh olehnya.
Kebutuhan oksigen yang mendesak, mau tak mau melepaskan tautan bibir kedua pria itu dengan sebuah benang saliva yang saling terhubung. Naruto mengamati wajah binal Sasuke; merah padam, bibir yang bengkak nan seksi, napas hangat yang menyegarkan, serta kedua mata hitam yang terlihat sayu namun memaksakan diri untuk terkesan tajam dalam pandangannya. Ia mendengus geli, mengecup bibir itu dan mendapatkan delikan ganas dari sipemilik yang hanya mampu menaik-turunkan dadanya. Kehabisan napas.
Lagi ia meneliti. Merekam lekukan tubuh indah itu ke dalam memorinya, menelusuri garis tubuh yang terus menggeliat meski terkesan lemah, lalu pandangannya terpaku pada selangkangan Sasuke -tepatnya lubang berwarna merah mudah yang seakan memanggil dirinya untuk menjamah. Lagi-lagi lidahnya gatal, ia ingin menjilatnya, ingin menyodoknya menggunakan lidah sebelum memakai penisnya yang sudah ereksi. Tapi, sebelum niat nista itu terwujud, sebuah tendangan dari lutut Sasuke lekas menghantam wajahnya -terutama hidung. Membekaskan rasa sakit dan juga nyeri, Naruto menutupi lubang hidungnya yang mengeluarkan banyak darah beserta menahan rintihannya sendiri.
"Ouch! Brengsek!" umpatnya dengan tubuh terjungkal di atas lantai, tidak menyadari kalau pria raven yang hampir disetubuhinya secara paksa itu telah bangkit dari atas meja, seraya membenarkan pakaiannya kembali.
"Jalang brengs -Hei! Mau kemana kau?!" Raut wajah Naruto terlihat keras dan marah. Dia bangkit secepat mungkin, mengindahkan rasa sakit yang berdenyut di hidungnya. Cengkramannya berhasil menarik kerah kemeja Sasuke, dan ia kembali terpekik, merasakan sebuah tendangan bersarang di tengah-tengah selangkangannya.
"FUCK YOU! DAMN!" Pria pirang itu bergerak selayaknya cacing kepanasan. Masa depannya terancam rusak, dan itu disebabkan oleh pria raven yang telah berhasil lolos dari cengkramannya. "Fuck of Bitch!" umpatan keduanya terdengar agak lirih, kedua tangannya menutupi selangkangannya yang masih berdenyut panas. Ia berlutut sebentar, menunggu rasa sakitnya mereda walau sesekali meringis. Tendangan Sasuke benar-benar kuat sampai membuat penisnya yang ereksi hampir meledak dibuatnya.
"Sialan! Awas kau nanti, Uchiha!" Iris birunya menatap garang pintu ruangannya yang telah tertutup, sebelum terpejam dan terdengar kikikan geli dari bibirnya yang seksi. "Aku jadi bersemangat untuk mendapatkannya. Kau lihat saja, tidak ada yang tidak bisa kudapatkan, Pria Jalang!"
.
.
Tbc
.
.
Karena hari ini hari ulang tahun saya, maka saya berniat membagi sedikit traktiran untuk kalian. Yang mau nitipin kado ke saya juga boleh *dijambak* tapi ga perlu aneh-aneh kok, sasucake juga udah cukup hohohoho
Sebenernya fic ini mau aku posting di wattpad aja, tapi banyak yang minta untuk diposting di ffn juga, jadi yaa… meskipun hutang saya terancam banyak, akhirnya saya memutuskan untuk mempostingnya disini juga hehehe apa sih yang ga buat readers :-*
