Aku berharap bisa mencium Sasuke, tepat di momen ini, di bawah iluminasi Ao no Dokutsu di Shibuya.
Namun ada banyak alasan mengapa hal ini akan jadi... ide yang sangat buruk. Sasuke tidak tahu aku gay, seorang top tentunya, dan seperti laki-laki Jepang pada umumnya, ia tidak terlalu akrab dengan orang yang baru saja ia kenal. Apalagi menerima ciuman dari lelaki Amerika yang menyewa jasanya sebagai tour guide. Walaupun Sasuke kurasa adalah tipeku. Tubuhnya ramping langsing dibalik semua pakaian musim gugurnya. Ia juga terhitung tinggi untuk ukuran lelaki Jepang, hampir mencapai tinggiku sendiri yang 180cm. Di umurku yang ke tigapuluh dua ini, aku telah sampai di titik di mana seorang lelaki mulai mempertanyakan apakah cara terbaik untuk liburan adalah dengan tidur dengan seorang lelaki Asia bermata hitam yang tampan.
Lelaki bermata onyx itu bertanya kepadaku: "Apa yang membawa anda ke Jepang, Naruto-san?"
Aku hanya bisa menjawab -terutama ketika memandangi wajah tampan dan cantik Sasuke- "Pertanyaan bagus."
Sasuke adalah tour guideku selama di Jepang. Malam ini, ia mengajakku makan malam di sebuah Izakaya di Shinjuku, hitung-hitung membiasakan seleraku dengan makanan Jepang. Ia juga mengajariku sedikit bahasa Jepang sehari-hari yang mudah, yang ternyata membuat bibi penjual mochi menambahkan satu buah mochi di pesananku. Terimakasih untuk Internet dan website tentang travelling di Jepang, aku menemukan email, nomor telepon dan foto Sasuke. Aku tertarik menyewa jasa tour guidenya setelah melihat patokan tarifnya yang tidak terlalu mahal, dan juga karena melihat wajah Asia nya yang sangat menarik .
Aku mengirim email ke Sasuke dalam bahasa Inggris berisi jadwal penerbanganku, supaya dia bisa menjemputku di bandara, bagian dari tugasnya. Awalnya aku mengira grammar bahasa Inggrisnya akan sedikit 'beraksen', tapi aku salah karena ternyata saat email darinya kuterima, bahasa Inggrisnya mudah dimengerti. Ia kemudian meminta untuk kutelepon melalui Skype.
"Ano, Tuan, ini anda mungkin ada kesalahan tulis. Di email anda, anda menulis nama anda adalah Naruto Uzumaki, tapi nama anda di billing kartu kredit adalah... Peter?"
"HAHAAHAHAHA!" tawaku membahana. "Iya, nama asliku Peter, tapi aku suka dengan nama Naruto Uzumaki. Aku ingin mengganti namaku sementara selama aku di Tokyo," jawabku. Wajah bingung lelaki itu sungguh lucu. Sasuke terlihat lebih tampan dari fotonya, aku sungguh tidak sabar bertemu dengannya.
"Baiklah. Kalau begitu anda sudah punya jadwal mau kemana saja?" tanyanya lagi.
"Tidak ada, " jawabku santai. "aku ikut saranmu saja."
"Baik Tuan. Sampai jumpa di Tokyo!"
Setelah bertemu dengan orang aslinya, aku mulai berpikir untuk berhenti menjadi single di tahun ini. Atau mungkin, aku bisa tetap single tapi memiliki hubungan khusus dengan lelaki Jepang berusia tiga puluh tahun yang sangat tampan ini. Ini mengingatkan aku pada rekan kerjaku yang mengaku diet ketat dan tidak makan makanan manis apapun- kecuali donat.
Meskipun demikian, aku tetap berandai-andai bisa membawa Sasuke tidur di apatoku malam ini, dengan taburan kelopak mawar dan pencahayaan dari lilin, lalu tanganku menelusuri punggung putihnya –
EH TIDAK, TIDAK.
Aku membuang fantasiku di tengah jalan. Saat ini terlalu cepat untuk menjadikan Sasuke pacarku dan memperrumit hidupku, apalagi orientasi seksual Sasuke masih ambigu. Merayu Sasuke mungkin akan membuatku berakhir ditonjok olehnya. Jadi ada baiknya kutahan dulu hasratku.
Sekarang, di akhir bulan November, Sasuke yang pandai dan cool itu telah akrab denganku. Aku yakin tour guide lain sudah berpamitan dan pulang pukul delapan. Namun Sasuke dan aku, kami malah pergi makan malam berdua, dan belum ada tanda-tanda untuk pulang. Kami bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing di Tokyo dan di New York, lalu berbagi Matcha Pancake di cafe favoritnya –yang sekarang jadi favoritku juga- dan kemudian, di sinilah kami, di Omoide Yokocho.
Hari yang menyenangkan, dan ditutup dengan Yakitori dan bir di hadapan kami.
Ketika jam sudah menunjukkan angka pukul sepuluh, Sasuke menemaniku pulang ke apatoku melalui jalan-jalan di Shinjuku ini. Kami melewati ribuan lampu Iluminasi Shinjuku Southern Terrace, yang malah semakin ramai dengan para muda-mudi hetero yang berpacaran.
Sekarang, kami sudah berada di depan pintu utama gedung apatoku. Kami menatap satu sama lain. Aku begitu terkejut saat dia memberiku pelukan hangat. Ini... seperti sebuah perkembangan yang cepat. Waktu hari pertama aku di Tokyo, dia hanya menyalamiku. Aku berpikir kalau aku tinggal di sini untuk setahun kedepan, dia akan benar-benar mengajakku tidur dengannya.
DI sisi lain, dia bisa menciumku sekarang, malam ini, di depan pintuku. Masih ada kemungkinan, maksudku... kami berhadapan dengan sangat dekat di bawah sinar bulan...dan tentu saja ini akan jadi sebuah kesalahan yang fatal... namun ini adalah kemungkinan terindah yang mungkin saja akan dia lakukan sekarang... dia bisa saja melingkarkan lengannya ke leherku...dan...dan...
Tidak.
Dia memisahkan dirinya dari pelukan itu. "Good night, Naruto-san," katanya. "Oyasuminasai, Sasuke-san," jawabku. Aku naik lift menuju apatoku di lantai dua, sendirian. Aku masuk ke apato ukuran studioku, sendirian. Aku menutup pintu di belakangku. Aku menampar wajahku sendiri, lalu loncat ke ranjang. Namun aku tetap berterimakasih pada dewa, semesta, atau apapun itu. Pertama dalam bahasa Inggris, lalu kedua dalam bahasa Jepang.
Dan sekarang aku teringat akan hal yang membuatku berada di sini, bagaimana cerita ini dimulai.
Tepat setahun yang lalu, aku berada di apartemenku yang menghadap Empire State Building di New York. November itu begitu dingin, dan sekitar pukul tiga pagi, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Aku membawa diriku ke dapur, dan seperti malam-malam sebelumnya, aku minum wine. Aku bukan pecandu alkohol, namun aku merasa aku perlu meminumnya sebanyak mungkin yang aku bisa.
Aku begitu bingung dan gelisah. Aku gay, dan aku butuh seorang partner.
Aku berusaha keras untuk menepis pikiran ini, namun hal ini terus menghantuiku.
Umurku tiga puluh dua. Aku pernah membayangkan masa depanku, setelah melewati usia tiga puluh tahun, aku akan menikah dengan seorang wanita dan punya anak. Aku akan sembuh dari penyakit gay ini, dan aku akan jadi pria normal.
Namun, semua cara yang kucoba tidak ada yang berhasil. Di usiaku yang ke duapuluh delapan, aku pergi ke psikiater dan mengikuti terapi, tapi tidak ada solusi yang jelas dari kelainanku ini. Psikiaterku malah mendukungku mencari pacar laki-laki dibandingkan memaksa diri mencari pacar wanita, apalagi sekarang pernikahan sesama jenis dilegalkan di Belanda. Malahan, waktu usiaku tiga puluh, aku berpikir ulang bahwa aku tidak ingin menikahi seorang wanita.
Aku baru sadar aku tidak tertarik pada wanita, adalah pada saat aku memperhatikan lekuk tubuh teman kantorku -seorang lelaki Asia- yang dibalut pakaian kerja yang cukup ketat. Ia seorang hetero, dan tidak pernah tahu tubuhnya kujadikan lamunan siang hari. Namun ini jadi tidak wajar ketika aku mulai berfantasi untuk memeluk tubuh telanjangnya di ranjangku.
Aku mencari nama kelainan ini di internet, dan aku menemukan tulisan Asian Fetish, bersama dengan artikel website psikologi dan blog post dari pelaku kawin campur yang menikah setelah salah satunya berlibur di Tokyo. Blog ini tidak membantuku sama sekali, namun karena blog ini aku mengalami hal yang akan selamanya mengubah hidupku, seakan seluruh semesta berkonspirasi untuk membawaku ke Tokyo.
Aku menghabiskan banyak waktu untuk berpikir ulang sejak malam-malam yang kuhabiskan bersama berbotol-botol wine. Aku akhirnya menyadari bahwa aku telah sampai pada titik keputusasaan. Aku mulai memikirkan masa depanku dan orientasi seksualku. Aku adalah seorang gay, dan mengidap Asian Fetish. Luar biasa Naruto, kau dilahirkan untuk jadi se-tidak-normal-ini?
Liburan tahun ini, aku memutuskan untuk mengunjungi sebuah negara Asia. Jujur saja, aku jadi punya harapan setelah membaca blog soal kawin campur, walaupun penulisnya seorang hetero. Aku sempat membaca soal Thailand, tapi aku ingin lelaki yang masih utuh, bukan yang sudah dimodifikasi di Thailand. Setelah mencari-cari di banyak website dan membaca banyak blog, aku pun memutuskan untuk pergi ke Tokyo, Jepang.
Aku membaca banyak blog tentang orang-orang Amerika yang memutuskan untuk tinggal di Jepang. Aku pernah membaca ada seorang blogger wanita Amerika menuliskan bahwa setelah putus dari pacarnya, ia mengganti namanya menjadi nama Jepang secara hukum, dan pindah ke Jepang, lalu menemukan lelaki yang menjadi suaminya di sana.
Suami? Aku jadi tertarik. Siapa tahu aku bisa menemukan lelaki gay yang mau menjadi pacarku, yang mirip seperti Sasuke juga tidak apa-apa. Jujur saja mencari suami dalam waktu dua minggu itu mustahil, kalau pacar masih masuk akal.
Ketika aku sampai di Tokyo, Sasuke menyarankan untuk mencoba onsen, seperti yang dilakukan banyak orang yang berkunjung Jepang. Aku pun menanyakan beberapa pertanyaan padanya, seperti "Apakah onsen ini seperti jacuzzi?"
Sasuke kebingungan, karena ia benar-benar tidak tahu apa itu jacuzzi. Ketika aku menunjukkan gambarnya di layar smartphoneku, ia mengatakan "oooo" dengan bibir tipisnya. "American Bathtub, Naruto-san?" tanyanya. Aku tertawa. "Tapi seenak apapun bathtub mu, onsen selalu lebih enak. Onsen ini pakai batu alam, dan airnya yang panas beradu dengan sejuknya udara musim gugur. Enak luar biasa, kan?," katanya lagi. "Welcome to Tokyo!"
Sore itu, aku dan Sasuke duduk di onsen khusus pria. Karena sudah sore, onsen ini sepi, dan hanya ada aku dan Sasuke. Aku sebenarnya tidak biasa telanjang di depan umum, apalagi duduk di sebuah kolam air panas alami di tempat terbuka bersama para laki-laki lain. Jujur saja, aku takut 'berdiri' melihat tubuh Sasuke, tapi untung saja bagian bawah tubuh kami tertutupi air berwarna kebiruan dari onsen ini.
Harus kuakui, tubuh Sasuke memang bagus, sepertinya ia rajin berlatih beladiri? Memang tidak sekekar diriku, namun aku tidak menyangka ia memiliki six pack yang terbentuk bagus. Selain itu, dadanya bidang dan putih, aku sedikit tergoda melihatnya.
Sasuke menangkap basah mataku yang memandangi dadanya. Aku gelagapan, dan mulai memikirkan beberapa pertanyaan agar suasana tidak hening dan canggung. Ideku memang payah, tapi lebih baik ditanyakan daripada tidak. "Jadi, apakah kau menyukai pekerjaanmu sebagai tour guide, Sasuke-san?"
Sasuke menatapku lurus-lurus. "Ya," jawabnya. "Anda sendiri, Naruto-san?"
Aku mengangguk. "Aku juga suka perkerjaanku, aku seorang marketing di Bank of America," jawabku.
"Jadi bagaimana Amerika itu, Naruto-san?" tanya Sasuke, wajahnya cool tapi tetap ada nada antusias di dalamnya. "Aku tinggal di Jepang seumur hidupku dan belum pernah ke Amerika. Aku sering menonton tentang New York di channel televisi. New York adalah kota terhebat di dunia, bukan?"
Aku terkekeh. "Sebenarnya tinggal di sana tidak sama dengan seminggu liburan di sana, Sasuke. Oh, dan apakah kau tahu kalau New York terkenal dengan susahnya mencari kamar mandi untuk buang air kecil?"
Sasuke termangu, lalu ia tertawa kecil. "Oh, ada lagi," tambahku. "Di New York, sampah ada di mana-mana, tidak seperti di Tokyo yang bersih. Selain itu, para waiter di Amerika selalu meminta tips walaupun pelayanan mereka biasa saja bahkan buruk. Waiter di Jepang selalu melayani customer dengan baik, walaupun kita membeli makanan di tempat murah sekalipun."
"Itulah alasan kenapa aku bangga menjadi orang Jepang." Kata Sasuke dengan binar di matanya. "Kami selalu memikirkan tindakan dan perkataan kami. Customer selalu menjadi yang utama untuk kami."
Aku tertawa ringan. "Ya, ya, Sasuke. "
Hari berikutnya, Sasuke membawaku menuju Kuil Nezu. Sebuah kuil yang menurutku unik, dan tidak terlalu ramai.
"Nah, Naruto-san, Nezu Shrine ini bisa dibilang versi kecilnya Fushimi Inari Taisha yang ada di Kyoto," jelas Sasuke. "Jumlah gerbang torii nya pun tidak sebanyak yang ada di Kyoto, dan ukurannya hanya setinggi orang-orang pada umumnya."
"Ayo berfoto, Sasuke," kataku. "sebagai kenang-kenangan kalau aku pernah berada di sini bersamamu."
"Eh? Aku saja yang fotokan, tidak apa-apa," katanya lalu memegang smartphoneku.
"Sudah, ayo sini!" kataku lalu merangkul pinggangnya, dan kami selfie beberapa kali. Hasil foto pertama adalah wajahku yang tertawa lebar dan wajah Sasuke yang masih datar karena bingung, dengan background gerbang torii Nezu Shrine. Namun foto kedua membuatku senang, karena Sasuke tersenyum dan memberikan tanda 'peace' dengan kedua jarinya.
Aku mengiyakan ajakannya untuk makan siang di restoran oyakodon di dekat Nezu Shrine. Entah kenapa pertanyaan tentang orientasi seksualnya membuatku gatal. Akhirnya akupun memberanikan diri menanyakannya.
"Jadi, Sasuke, apakah kau keberatan punya teman gay?" tanyaku lalu menyuapkan oyakodon itu ke mulutku. "Ah, Oishii." kataku sambil mengunyah.
"Tidak. Kenapa, Naruto-san?"
"Kalau aku katakan aku gay, apakah kau tidak apa-apa?" Aku benar-benar berdebar saat mengatakannya.
"Tidak apa-apa," jawabnya dengan wajah coolnya, dan melanjutkan makan.
"Lalu, apakah kau gay, Sasuke?" tanyaku blak-blakan, dan aku sedikit takut kalau Sasuke melemparku dengan sendoknya.
Sasuke berhenti makan, dan menatapku dengan alis bertaut. "Kenapa anda menanyakan hal itu?"
"Aku hanya ingin tahu. Kalau kau straight, katakan straight," jawabku santai.
"Ya," bisiknya. "Aku gay."
Mata biruku rasanya hampir melompat keluar dari rongganya. Aku ingin berterimakasih pada dewa cinta yang memberiku jodoh di Tokyo. Aku memang tidak yakin Sasuke akan menyukaiku balik, tapi setidaknya mengetahui bahwa dia gay, sudah membuatku sangat senang.
Aku pun semakin berani bertanya padanya. "Mau pacaran denganku?"
Sasuke mengernyit. "Kita baru kenal beberapa hari dan anda sudah mengajakku berpacaran, Naruto-san?"
"Hanya selama aku di Tokyo. Kau boleh putus denganku kalau aku sudah kembali ke Amerika." Jawabku semakin menggodanya.
"Oke," jawabnya tetap dengan wajah coolnya. "tapi aku ingin Naruto-san mengajakku berkencan, bukan menyatakan cinta sembarangan di tempat makan seperti ini."
"Misalnya di mana? Kau yang tour guide. Kau yang lebih tahu bukan?"
"Ada restoran di Mori Tower di Roppongi yang biasanya dipakai pasangan untuk kencan. Aku ingin Naruto-san mengajakku kesana," perintahnya.
"Oke, Hime-sama."
"I am a male, Naruto-san."
"Haik, haik, oji-sama."
Dan malam itu, aku dan Sasuke berada di lantai 52 Mori Tower di Roppongi. Sasuke benar, di sini banyak para muda mudi hetero berkencan, dengan latar belakang pemandangan malam kota Tokyo yang memang sangat indah. Dari tempat kami duduk di samping jendela, kami bisa melihat Tokyo Tower dan SkyTree.
Sepanjang makan malam, aku berkali-kali memegang tangan Sasuke, atau malah membersihkan bibirnya yang sedikit ternoda dengan saus. Sasuke tidak menolak, ia tersenyum. Aku melirik sekelilingku, dan ternyata orang-orang Jepang benar-benar cuek dengan orang lain. Mereka sudah sibuk dengan pasangannya sendiri-sendiri. Jujur saja, aku bersyukur sekali, karena tentu saja lelaki yang menyentuh wajah lelaki lain dengan mesra itu terlihat aneh bagi masyarakat.
"Mau wine, Sasuke?" tawarku setelah kami menghabiskan dessert. "Ini kencan kita, kan? Semua kencan di Amerika diakhiri dengan minum wine."
Sasuke mengangguk. "Boleh."
Tapi mengajak Sasuke minum wine adalah kesalahan. Karena sungkan (seperti orang Jepang pada umumnya) dia tidak memberitahuku kalau dia tidak kuat minum. Akhirnya Sasuke mabuk berat setelah satu gelas wine. Aku menyuruh waiter memesan taksi, dan aku berniat mengantarkannya pulang ke apatonya. Aku bahkan baru sadar, aku tidak tahu alamat Sasuke, ketika sang paman pengemudi taksi menanyakan alamat yang kutuju. Sasuke pun tidak mungkin kutanyai karena ia sudah tidak sadarkan diri di pelukanku.
Aku memutuskan untuk membawanya ke apatoku di Shinjuku.
Pagi berikutnya, Sasuke berkali-kali membungkuk meminta maaf padaku, karena merasa tidak mengerjakan pekerjaannya dengan baik, dan malah merepotkanku.
"Kau tidak salah apapun, Sasuke. Harusnya kau beritahu aku kalau kau tidak kuat minum," kataku.
"Maaf, maaf, sekali, Naruto-san, maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
Aku tertawa. "Tidak masalah. Hari ini kita punya jadwal kemana, Sasuke?"
Sasuke berhenti membungkuk, dan langsung kembali ke mode profesionalnya. "Aku ingin membawa anda ke pasar Ameya Yokocho, pasar yang menjual berbagai macam barang dan makanan dengan harga yang terjangkau."
Sekarang, di sinilah aku dan Sasuke, turun dari kereta JR lines Ueno, dan berjalan menuju pasar yang terkenal itu. Mataku tertumbuk pada toko-toko secondhand yang menjual tas dan barang bermerk lainnya. Tapi bagaimana bisa ada toko secondhand di pasar? Aku menanyakan apakah barang-barang itu palsu. Namun Sasuke mengatakan kalau mereka semua asli. "Tidak ada barang palsu di Jepang, Naruto-san. Kalau ada yang berani jual barang palsu, penjualnya akan menerima sanksi yang berat."
Aku mulai mengagumi keunikan Jepang, ibukota nya pun begitu tertib, tidak ada tindak kejahatan yang berarti, dan orang-orangnya begitu sopan, ramah, dan jujur. Kalau begini caranya, aku jadi tidak merindukan New York sama sekali.
Satu hal yang baru kusadari, selama beberapa hari di Tokyo, aku tidak berminat mengecek smartphoneku sama sekali, selain untuk foto tentunya. Perjalananku dengan Sasuke jelas lebih menarik daripada melihat ke smartphoneku yang tidak akan bisa membuatku tertawa lebih bahagia dibanding saat berjalan dengannya di daerah Roppongi Hills.
Hari ini cuanya sedikit lebih hangat dari hari-hari sebelumnya. Setelah berpikir mau makan jajanan apa, Sasuke mengajakku ke sebuah cafe yang menjual Hojicha Parfait. Aku awalnya bingung karena teh ini berwarna cokelat dan bukannya hijau seperti matcha, tapi setelah kucicipi, kurasa Hojicha adalah rasa favoritku yang baru.
Malam itu, setelah makan malam yang menyenangkan di sebuah kedai ramen yang asal kami masuki, aku mulai menanyakan hal-hal random pada Sasuke.
"Bagaimana bisa orang-orang Jepang tidak gendut walaupun makan mereka sangat banyak? Di sepanjang jalan ini saja sudah ada banyak restaurant dan berbagai macam cafe." Tanyaku, lalu berusaha menggandeng tangannya. Aku terkejut Sasuke tidak menepis tanganku.
"Karena di Jepang anda akan dikenakan denda kalau anda gemuk." Aku terbengong. Ia tertawa sesudahnya. "Aku hanya bercanda, mungkin karena kami berjalan setiap hari? Sudah banyak yang menanyakan itu, tapi aku sendiri juga tidak tahu. Bisa juga karena genetik."
Aku terkekeh. "Kalau begitu, ada baiknya aku mengajak teman-temanku yang gemuk di New York ke Tokyo berlibur selama sebulan. Mereka akan kurus setelahnya."
"Atau malah semakin gemuk dengan semua makanan ini, Naruto-san," katanya lalu mengedipkan sebelah matanya. "Aku kuatir perut sixpack mu itu akan jadi beer belly." Sasuke lalu menepuk bagian perutku. "Mau lari pagi bersamaku besok?" tawarnya.
Aku mengangguk dengan semangat.
Esoknya, setelah lari pagi memutari distrik Shinjuku, untuk pertama kalinya aku membaca koran Asahi Shimbun yang disediakan di apato. Aku bertanya pada Sasuke apakah ada versi bahasa Inggrisnya, karena aku tidak bisa membaca tulisannya sama sekali.
"Apakah anda mau kuajari bahasa Jepang, Naruto-san?"
Aku mengangguk. "Tapi jangan terlalu susah, yang mudah-mudah saja."
"Your wish is my command."
Sepanjang hari, lebih tepatnya sejak kami masuk ke konbini untuk membeli Clear Milk Tea yang fenomenal itu, Sasuke menunjukkan satu persatu huruf Jepang dan menjelaskan artinya.
"Milk itu bahasa Jepangnya Miruku?" tanyaku. "Kalau Starbucks berarti Sutabakussu?"
"Anda cepat sekali belajar, Naruto-san." Ia tersenyum. "Tapi pelajaran anda masih banyak karena ada Kanji dan Katakana dan Hiragana."
Aku tertawa. "Sepertinya aku harus sering-sering datang ke Jepang untuk belajar bahasanya."
Rasa-rasanya seperti negara Jepang ini dibuat khusus untukku. Di mana para waiter di restoran dan penjaga konbini selalu menyapa "Irrashaimase" dengan semangat, tidak seperti di Amerika yang.. jangankan menyapa, mereka senyum saja sudah bagus. Sepertinya seluruh warga kota ini berkonspirasi untuk menahanku berada di sini.
Aku berpura-pura bertanya arah pada orang-orang yang kutemui, dengan Sasuke yang kusuruh berjalan agak jauh, dan mereka dengan senang hati membantuku sampai di tempat yang kumaksud.
Seperti misalnya sekarang, ketika aku menemukan diriku mencari buku-buku di distrik Jimbocho. Aku melihat-lihat cover bukunya, dan kurasa siapapun yang melihatku akan langsung tahu kalau aku bukan orang lokal, salahkan wajah bule ku. Belajar Bahasa Jepang merupakan tantangan buatku, dan akan lebih menyenangkan kalau aku bisa berbicara bahasa Jepang dengan Sasuke.
Aku teringat pada waktu aku masih berumur empat tahun dan tidak bisa membaca sama sekali, tapi terus berusaha untuk belajar. Aku ingat duduk di teras rumah, membaca majalah berkebun milik ayahku, membolak-balik halamannya pelan-pelan, memelototi kata-katanya, dan berharap suatu hari aku tiba-tiba akan bisa mengerti artinya. Aku belum pernah merasakan sebuah dorongan untuk belajar sekeras itu, dan kali ini dorongan itu berupa rasa suka pada seorang lelaki Jepang.
Aku menemukan beberapa karya penyair Jepang di toko buku itu, dengan terjemahan bahasa Inggris yang dicetak di samping huruf-huruf Jepang itu. Aku membeli satu buku yang kata Sasuke berjudul Shūi Wakashū, yaitu kumpulan puisi Jepang dari periode Heian.
Satu jam setelahnya, aku menemukan diriku duduk bersama Sasuke di sebuah cafe outdoor di dekat toko buku. Distrik ini memang didesain untuk memuaskan keinginan para Bibliophile, untuk segera membaca buku yang baru saja dibeli, sambil menikmati kopi.
"Jadi, anda sudah bisa mengucapkan kata apa saja, Naruto-san?" tanya Sasuke memecah keheningan. Aku tidak mengajaknya bicara sama sekali sejak memesan kopi tadi.
Aku meletakkan bukuku. "Konnichiwa, Minna-san. Watashi wa Uzumaki Naruto, desu. Hajimemashite." Jawabku dlam satu tarikan nafas.
"Wa... Sugoiii!" Sasuke bertepuk tangan. "Anda hebat sekali, padahal baru beberapa hari di sini."
Kami sempat saling mengajari kata-kata dalam bahasa kami masing-masing. Sasuke belajar semakin banyak kosakata, dan sebaliknya aku juga. Dan sampailah di mana Sasuke bertanya apakah aku punya pacar di Amerika. Aku menjawab tidak.
"Oh, kenapa?" tanyanya dengan keluguan di bola mata hitamnya yang berkilau. Aku hanya bisa menjawab, "Karena aku takut dihakimi."
Sasuke mengangguk, lalu terdiam, dan tidak bertanya apa-apa lagi, bahkan sampai kami meninggalkan cafe itu. Apakah dia marah padaku? Anehnya, aku bahkan tidak berusaha bertanya mengapa dia diam.
Ketika kami keluar dari stasiun untuk berjalan ke tempat selanjutnya dalam jadwal Sasuke, aku baru sadar kalau Sasuke mengajakku ke sebuah Cat Cafe, cafe unik yang menyediakan hiburan berupa kucing-kucing yang lucu. Aku benar-benar tertarik, di Amerika tidak ada tempat seperti ini. Tentu saja, karena aku sedang berada di Tokyo. Di belakang cafe, ada sebuah taman indoor kecil yang didesain unik untuk makan malam bersama kucing-kucing lucu itu, sebuah hal yang tidak akan aku duga kalau aku hanya melihatnya sekilas dari jalan.
Cat Cafe ini akan menjadi salah satu tempat favoritku di Tokyo, dan aku yakin itu. Walaupun tempat ini tidak semegah menara Tokyo Tower dan Skytree, dan tidak berkilauan seperti butik-butik mahal di Ginza. Namun aku bisa merasa nyaman berada diantara kucing-kucing ini, dan juga suara tawa Sasuke yang lembut saat kucing-kucing itu berada di pangkuannya dan mengusapkan wajah mereka di perutnya.
Malam itu, aku duduk di pinggir jendela, dan melanjutkan membaca buku yang tadi aku beli. Aku membacanya dalam bahasa Jepang, lalu bahasa Inggris, dan berhenti di bagian yang ditulis Izumi Shikibu.
長閑なる折こそなけれ花を思ふ
心のうちに風はふかねど
nodoka naru ori koso nakere hana wo omou
kokoro no uchi ni kaze wa fukanedo
"There is not even a moment of calmness. In the heart that loves the blossoms, the wind is already blowing."
"Tidak ada satu momen ketenangan. Di dalam hati yang mencintai bunga, anginnya telah bertiup."
Aku meletakkan buku itu di pangkuanku. Jantungku berdebar kencang.
