Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: first yaoi fiction. ooc, typos, alur cepat, oc. Dont like dont read!

AN: Sesuai warningnya, ini fic BL pertamaku.

I cant help it! I LOVE Sasuke and Naruto pairing!

tolong bantuannya ya, minna :)

enjoy :)


Meeting

.

.

.

.

.

"Shina! Kalau kau tidak makan makananmu, kau nanti tidak tambah tinggi, dattebayo!"

"Shina! Kalau kau tidak cepat-cepat mandi, nanti kuman akan memakanmu dari dalam!"

"Shina! Kalau kau nonton dari dekat, nanti monsternya keluar dari…"

"Berisik. Cepat pergi kerja. Aku mau sekolah."

xxx

Mau tidak mau, Naruto Uzumaki melongo kaget melihat putri kesayangannya bersikap seperti itu. Shina memang biasanya tidak banyak omong, namun akhir-akhir ini, sifat dinginnya itu menjadi semakin parah. "Shikamaru! Apa salahku?!" Direktur muda itu menangis, menyedot ingusnya sambil mengusap foto putrinya yang dia pajang di mejanya.

"Merepotkan." Shikamaru menghela napas.

Naruto sama sekali tidak mendengar ucapan Shikamaru. Dia tersedu-sedu, menatap foto Shina Uzumaki. Putrinya sangat berbeda dengan sosoknya. Shina mempunyai rambut hitam yang panjang. Di fotonya, gadis itu sama sekali tidak tersenyum, berbeda dengan ayahnya yang menyeringai lebar di latar belakang foto itu. "Kenapa anakku bisa sedingin ini ya? Sangat berbeda denganku."

"Karena dia anak angkat."

"Sai. Sekali lagi kau membuka mulutmu akan kupotong lidahmu."

"Sori bos." Sai mengangkat bahu, memasang senyuman. Naruto tahu bahwa Sai memang selalu mengucapkan apa yang ada di pikirannya tanpa berpikir. Dia tidak marah terhadap bawahannya itu. Tapi mau tidak mau ucapan Sai membuat Naruto tersentak. Memang, Shina bukanlah anak kandungnya. Dia mengadopsi Shina dari panti asuhan yang dulu merawatnya. Dia berhutang budi pada panti asuhan itu. Berkat tempat itu, dia bisa diadopsi oleh Iruka dan dibesarkan dengan baik. Setelah sukses di pekerjaannya, Naruto memutuskan untuk kembali ke panti asuhan itu.

Dia masih muda. Umurnya masih 22 tahun pada waktu itu. Dia sama sekali tidak terpikir untuk menikah dan bekeluarga. Namun, pemikirannya berubah ketika dia melihat gadis kecil itu. Shina hanya berusia lima tahun dulu. Namun gadis itu selalu duduk sendirian di ayunan, tidak main bersama anak-anak yang lain. Karena penasaran, Naruto mengunjungi tempat itu di hari berikutnya. Namun, pemandangan yang dia lihat tetap sama. Shina membelakangi teman-temannya, bermain ayunan sendirian.

Terkenang akan masa lalunya, Naruto tidak bisa membiarkan Shina sendiri seperti itu. Lelaki itu mendekati Shina dengan cengiran lebar, berusaha untuk menjadi temannya. Namun, ucapan yang keluar dari mulut Shina pada waktu itu nyaris membuat Naruto jantungan.

"Paman, kau aneh. Tidak ada manusia yang tersenyum selebar itu. Apakah kau manusia?"

Naruto meringis ketika mengingat hal itu. Dia kembali mengusap foto Shina. "Kau tahu, Shina memang dingin dan judes untuk anak seumurannya." Sakura Haruno, sekertarisnya berkomentar. "Tapi ada satu hal yang sama persis dari kalian berdua."

Naruto menyeringai. "Iya kan? Mata Shina cantik sekali!"

"Apakah kau memuji matamu sendiri, Naruto?"

Naruto tertawa. Putrinya mempunyai mata biru yang sama dengan matanya. Dia juga suka dengan ramen. Satu-satunya makanan yang bisa membuat mata biru itu berseri-seri adalah ramen. Senyum Naruto menghilang ketika dia melihat rambut hitam anaknya.

Rambut raven. Sifat yang judes.

Dia sangat mencintai Shina. Tapi, apa asalan dia mengadopsi anak itu?

Apakah karena anak itu mengingatkannya pada dirinya sendiri? Ataukah kepada seseorang yang lain?

"Naruto. Sebentar lagi rapat akan dimulai."

Suara Sakura membuat Naruto tersentak. Wanita itu tersenyum tipis, menganggukkan kepala. Dari semua sahabat yang dia miliki, hanya Sakura yang tahu rahasia terdalam Naruto. Sakura juga tahu alasan kenapa Naruto mengadopsi Shina. Namun dia tidak berkata apa-apa. Rahasia itu tidak boleh disebutkan.

"Ayo kita mulai rapatnya." Naruto tersenyum, beranjak dari kursinya. "Kita sudah lama menunggu hari perjanjian ini, bukan?" Dia menyeringai lebar.

"Benar. Perjanjian ini harus sukses." Sai membuka folder yang dipegangnya. "40 persen stock dan 10 persen capital ada di ujung tanduk. Kita harus bisa menemukan partner yang tepat untuk perjanjian ini."

"Tenang. Tenang. Bukankah ini hanya rapat pertemuan biasa? Kita bisa menyeleksi potensial partner dengan tenang. Tidak perlu terburu-buru. Lagipula projek kita akan dijalani dalam waktu dua tahun. Ada banyak waktu untuk memilih."

"Tidak bisa begitu." Sai tersenyum. Naruto merinding sesaat. Dia tahu kalau itu senyuman paksa Sai. "Aku berhasil mendapatkan perusahaan yang berpotensial. Kalau bisa kita harus menjalani kerja sama dengan perusahaan yang ini."

"Apa nama perusahaan itu?"

"Uchiha Corporation."

Naruto nyaris saja tersandung kalau bukan karena Sakura yang menahannya. "Apa katamu?! Uchiha itu rival kita! Kenapa kau mau mengundang mereka dalam rapat ini?!"

"Kalau Uzumaki bekerja sama dengan Uchiha…" Sai menyabet kalkulator dari jasnya. "Kita bisa mendominasi 60 persen dari keuangan Jepang, 10 persen keuangan di Asia dan untuk menjadi terkenal di dunia bisnis…" Dia menekan tombol di kalkulator. "… cuma butuh waktu kurang lebih sepuluh tahun. Bukankah itu mimpimu, Naruto-kun? Atau kau terlalu pengecut untuk berteman dengan perusahaan rivalmu? Apakah barang di dalam celanamu itu sudah menghilang? Apakah…"

"Shikamaru, bisakah aku memecat cowok ini?"

Shikamaru hanya bisa menghela napas. "Merepotkan."

xxx

Dari semua kemungkinan, yang terjadi adalah kemungkinan yang satu itu.

"Kenapa aku tidak bisa kembali ke Amerika?" Sasuke Uchiha menggeram di telepon.

"Because I said so." Itachi dengan santai menjawab. "Ada rapat penting dengan Uzumaki Corp. Pastikan kau datang ke sana tepat waktu."

"Bagaimana dengan pekerjaan di New York?"

"Akan kutangani. Untuk sementara ini kau tinggal di Jepang."

Sasuke kembali menggeram. Sudah sepuluh tahun lamanya dia tidak menginjak kaki di tempat kelahirannya ini. "Sampaikan salamku pada Naruto-kun." Ucapan Itachi membuat Sasuke mengerutkan kening. Dengan kekuatan penuh, dia menekan 'end' di iPhone miliknya. Dia tidak heran kalau layar HP nya itu langsung retak. Beberapa jam yang lalu, dia baru saja mendarat di Tokyo. Rencananya adalah untuk rapat dengan perusahaan Tayata dan menjual produknya. Dia berhasil membuat perusahaan itu menandatangani kontrak dengan perusahaannya. Dan ketika dia bersiap untuk terbang kembali ke Amerika, kakak sialan itu seenaknya menyuruh dia menjalani rapat pertemuan dengan perusahaan Uzumaki.

Dia tidak bisa menolak. Mau bagaimana lagi. Itachi adalah boss perusahaan Uchiha.

Sasuke kembali menggeram, membuat semua wanita terpana yang melewatinya melompat kaget. Sasuke hanya ada waktu satu jam untuk tiba di gedung Uzumaki tepat waktu. Lelaki berambut raven itu menepuk jasnya. Keningnya berkerut.

Dompetnya tidak ada.

Sasuke mulai menepuk kantong celananya dengan gesit. Tidak. Dia tidak panik. Seorang Uchiha tidak akan panik dalam situasi seperti apa pun. Sasuke berdecak, melirik kesana kemari. Dia tidak tahu dia berada di mana. Sejak tadi dia berjalan tanpa arah, berdebat dengan Itachi di telepon.

Tidak. Tidak. Dia tidak tersesat. Seorang Uchiha tidak akan pernah kehilangan arah.

Sasuke menyusupkan jari-jarinya di balik rambut. Pertama-tama, dia harus mendapatkan dompetnya. Kedua, dia harus memanggil taksi dan pergi ke tempat tujuan. Ketiga, menjalani rapat sialan itu. Keempat, kembali ke Amerika.

Namun step kedua, ketiga dan keempat sudah hangus karena dia sama sekali tidak bisa menemukan dompetnya.

Sasuke kembali menggeram, sama sekali tidak sadar kalau ada seseorang yang sejak tadi menarik jasnya yang sudah kusut.

"Paman. Paman."

"Apa?!" Sasuke medelik. Matanya terpaku pada sosok gadis delapan tahun yang menatapnya dengan sepasang mata biru yang bundar. Sasuke tersentak sesaat, menatap gadis itu dengan seksama. Mata gadis itu mengingatkannya pada seseorang.

Seseorang yang sama sekali tidak ingin diingatnya.

"Ini dompetmu?" Gadis itu menyodorkan dompet kulit hitam. Sasuke tidak menjawab, meraih dompet itu dan memasukkan dompetnya ke dalam jas tanpa bicara apa-apa. Sang gadis juga tidak bicara apa-apa. Dia hanya mencengkeram tas sandangnya, memutar tubuhnya dan pergi dari Sasuke.

"Tunggu." Tanpa sadar, Sasuke sudah menghentikan gadis itu. Gadis berhenti sesaat. Dia hendak pergi lagi ketika Sasuke meraih sesuatu dari dompetnya. "Ini untukmu."

Gadis berambut hitam panjang itu terpaku, menatap uang sepuluh ribu yen yang disodorkan oleh paman berambut buntut bebek yang tidak dikenalnya. "Tidak mau."

Sasuke mengerutkan kening. Seingatnya tidak ada anak seumur ini yang menolak uang. "Pakai ini untuk jajan. Permen. Es krim. Apapun itu." Sasuke bersikeras. Dia tidak mau berhutang pada anak kecil.

"Aku tidak suka yang manis-manis."

"Kau suka apa?"

"Ramen."

"Kalau begitu pakai ini untuk beli ramen."

"Tidak mau. Aku sudah makan ramen kemarin. Tidak boleh makan sering-sering."

Sasuke benar-benar tidak tahu apakah dia berbicara dengan anak kecil atau berbicara dengan… dirinya sendiri?

"Kau mau kemana? Setidaknya aku akan mengantarmu pulang." Sasuke melirik jam tangannya. Dia bisa mengantar anak ini pulang dan langsung ke Uzumaki Corp.

"Tidak boleh pergi dengan orang yang tidak dikenal." Gadis itu mendengus. "Lagipula Paman terlihat mencurigakan. Aku bisa pulang sendiri."

Sasuke menahan diri untuk tidak melongo. Tidak. Tidak. Uchiha tidak pernah melongo.

"Rumahmu di mana?" Sasuke masih bersikeras. Biasanya dia tidak pernah bersikap seperti ini. Namun, gadis di depannya ini membuatnya tertarik.

"Aku mau ke kantor ayahku."

"Kalau begitu akan kuantar."

"Dengan apa? Aku tidak melihat mobil di dekat sini."

Sasuke menggertakkan gigi. Dia bisa beradu mulut dengan anak ini sampai seumur hidupnya.

"Aku akan memanggil taksi."

"Paman tahu di mana taxi stand?"

Sasuke menggertakkan gigi lagi. Kalimat 'aku tidak tahu' sudah berada di ujung lidahnya. Namun ego Uchihanya yang super tinggi itu menolak untuk mengaku kalah. Sesaat, dia dan gadis itu hanya beradu tatapan. Di detik kemudian, gadis itu meraih tangan Sasuke, menarik lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Dia membawa Sasuke ke taxi stand terdekat. Tak lama kemudian, taksi yang ditunggu akhirnya datang. Gadis itu duduk ke dalam taxi, masih menatap Sasuke dengan sepasang mata yang bundar.

"Nama Paman siapa?"

Sasuke tersentak sesaat. "Sasuke Uchiha."

Gadis itu mengangguk. Namun, dia langsung menepuk bahu supir taksi di depannya. "Nama Paman ini Sasuke Uchiha. Kalau ada sesuatu yang terjadi padaku, laporkan dia di polisi." Gadis itu melirik ke arah Sasuke sambil tertenyum mengejek, membuat Sasuke melotot.

Anak sialan.

"Paman, pergi ke Uzumaki Corp. Yang ada di jalan Konoha." Gadis itu memberitahu supir taksi.

Uzumaki Corp?

"Kau bilang kalau kau mau ke kantor ayahmu." Sasuke mengerutkan kening.

"Iya. Kantor ayahku ada di sana." Gadis itu menatap Sasuke lekat-lekat. "Namaku Shina Uzumaki. Salam kenal, Paman Sasuke."

Sasuke nyaris melongo lagi.

Bocah sialan ini anak Naruto?

Namun, pertanyaan yang paling penting adalah, kapan Naruto menikah?

Entah kenapa, Sasuke merasakan sesuatu yang tidak enak di dadanya. Dia mencengkeram jok mobil taksi itu. "Kau tidak mirip dengan Naruto." Tanpa sadar, kalimat itu sudah keluar dari mulutnya. "Siapa ibumu?"

Shina terdiam. "Aku tidak mau bilang." Dia mendengus, memalingkan wajahnya dari wajah Sasuke. "Aku benci padamu, paman buntut bebek."

Kali ini Sasuke benar-benar ternganga. Apa-apaan anak ini?

Shina mendengus, tetap memalingkan wajahnya. Apakah Sasuke adalah teman ayahnya? Kenapa dia tidak pernah melihat Sasuke main ke rumah ayahnya? Kenapa ayahnya tidak pernah menyebutkan nama Sasuke?

Banyak pertanyaan di kepala Shina. Namun, semua pertanyaan itu lenyap ketika dia mendengar suara Sasuke. "Matamu mirip dengan Naruto."

Shina tetap terdiam. "Kalian juga suka ramen."

Perlahan-lahan, Shina memutar tubuhnya, menatap mata onyx Sasuke. Senyuman singkat muncul di wajah anak itu, membuat Sasuke tercengang. "Jangan makan ramen terlalu banyak. Nanti otakmu jadi seperti otak si dobe itu."

Shina cekikikan, membuat Sasuke meringis.

Di menit kemudian, taksi ini berhenti dengan sempurna di depan kantor ayahnya. Shina yang biasanya pendiam dan tenang itu langsung melompat keluar dari mobil ketika dia melihat sosok lelaki pirang di depan kantor.

"Shina!" Naruto menjerit girang ketika melihat sosok putri kesayangannya. Dia meraih tubuh mungil Shina, mengecup pipi gadis itu. "Aku baru mau menyuruh Iruka menjemputmu. Siapa yang mengantarmu kesini?"

"Paman itu." Shina menunjuk ke arah taksi. Naruto mengangkat sebelah alis. Jarang-jarang dia melihat Shina ceria seperti itu. Wajah Shina yang pucat itu merona. Bibirnya yang tidak pernah tersenyum itu menyunggingkan senyuman tipis. Mata birunya berseri-seri.

"Siapa? Aku harus berterima kasih padanya."

Shina mengangguk, menarik Naruto ke dekat taksi. Sasuke masih membayar supir taksi, sama sekali tidak sadar bahwa Naruto mendekatinya. "Paman Sasuke. Ini ayahku, Naruto Uzumaki." Suara ceria Shina membuat kedua lelaki di dekatnya terpaku.

Paman… Sasuke?

Ayah… Naruto?

Di detik kemudian, mata Naruto bertemu dengan sepasang mata onyx yang tidak pernah dilihatnya selama sepuluh tahun.

"Sasuke."

"Naruto."


TBC

AN: emm segitu dulu deh. haha

chapter depan bakalan lebih panjang :)

bagaimana pendapat para pembaca? :D