"Gugurkan, Ino."

"Tapi, Gaara..."

"Kita masih SMA! Kau harus memikirkan masa depan kita!"

"Aku.."

"Apa yang akan terjadi bila orang-orang tahu! Seorang Yamanaka Ino hamil? Kau harus menjaga imejmu. Imej kita!"

"B-baik."

.

.

.

Sensei! You Must be My Dad!

Disclaimer : Masashi Kishimoto.

Story By : Yana Kim

Rate : T semi M

Warning: Semua OOC tanpa terkecuali, abal, mainstream? Wajib. EYD? Sempurna kegagalannya.

Uchiha Itachi Yamanaka Ino

Sum:

Yamanaka Ino dan Yamanaka Hikari. Ibu dan anak yang membuat Uchiha Itachi, guru baru di Konoha Junior High School pusing setengah mati.

.

.

.

Chapter1

.

.

.

"Cepat makan sarapanmu, Hika. Kita sudah terlambat!" Seorang wanita berambut pirang terlihat asal menjejalkan barang-barangnya ke dalam tas. Dan seorang gadis berambut serupa malah terlihat mengunyah roti di tangannya dengan santai.

"Siapa suruh ibu terlambat bangun! Aku tidak masalah terlambat. Aku bisa melompat pagar belakang sekolahku. Sebaiknya ibu duluan saj— ummgh!" Sang ibu mengambil roti yang di pegang sang gadis— atau lebih baik kita sebut putrinya dan menjejalnya ke mulut sang puteri.

"Kita berangkat bersama. Cepat telan!"

"Ibu! Uhuk! Apa yang ibu lakukan!" Si gadis dengan cemberut mengambil tasnya dan mengikuti sang ibu yang berjalan menuju pintu apartmen mereka.

"Sudah jam tujuh lima puluh. Kita sudah jelas terlambat. Ingat Hikari, kalau kau melompat pagar, jangan sampai merobek rokmu dan jangan sampai bajumu kotor. Dan yang pasti, jangan sampai ketahuan." Sang Ibu yang tengah memasukkan kunci mobilnya mengingatkan sang anak.

"Ibu tenang saja. Aku sudah pengalaman. Ibu sendiri bagaimana?"

"Tenang saja. Ibu bisa mengatasinya." Keduanya menyeringai seiring mobil yang berjalan.

Yamanaka Ino dan Yamanaka Hikari. Sepasang ibu dan anak yang sangat kompak. Mulai dari penampilan samai perilaku. Keduanya memiliki rambut pirang pucat yang sama. Hanya saja rambut Ino lebih panjang. Warna mata mereka juga berbeda. Ino dengan manik sebiru langit dan Hikari dengan mata jade indahnya. Ino bekerja di salah satu perusahaan konstruksi di Konoha sedangkan Hikari masih menempuh pendidikan di Konoha Junior High School kelas delapan.

Mobil berhenti tepat di belakang sekolah tempat pagar setinggi dua meter berdiri kokoh. Hikari mencium pipi ibunya sebelum keluar dari mobil.

"Semoga sukses, sayang." Ino melambaikan tangannya.

"Ibu juga." Hikari balas melambaikan tangannya.

Hikari memandang bosan pada pagar belakang sekolahnya. Sudah tidak bisa di hitung lagi berapa kali ia memanjat pagar ini. Selalu berhasil tentu saja. Ia sudah sangat pengalaman dalam hal-hal seperti ini. Ada ibunya yang mengajari.

Pertama-tama ia melemparkankan tasnya ke seberang. Setelah itu, ia mendekati pohon akasia yang tumbuh dekat dengan pagar itu kemudian memanjatnya. Lihat? Mudahkan. Dalam waktu satu menit ia sudah ada di seberang, tepat di belakang lab bahasa. Kemudian ia berdiri untuk mengambil tasnya. Namun...

"Wow. Kukira ini pekerjaan siswa laki-laki. Tapi ternyata..."

Gadis berambut pirang sebahu itu memandang tas coklatnya yang ada di tangan seorang pria. Gurunya? Entahlah. Hikari tidak pernah melihat wajah tampan itu mengajarnya ataupun kelas lain.

"Anda siapa?" tanya gadis itu. Santai! Tanpa ada ketakutan di wajahnya.

"Aku? Gurumu," jawab pria itu.

"Jangan bohong, tuan. Aku tidak pernah melihat anda di sekolah ini." Hikari malah melipat tangannya di dada dan menatap pria itu dari atas sampai bawah. Tampan! Sangat tampan kalau author boleh menambahi.

"Aku guru baru. Baru mengajar hari ini."

"Lalu kenapa anda tidak mengajar? Wah.. anda membolos mengajar di hari pertama? Apa anda mau saya laporkan pada Uchiha-sama?"

Pria yang merupakan guru baru itu itu tampak mengangkat sudut bibirnya.

"Silahkan."

"Baiklah. Berikan tas itu padaku."

"Aku akan memegangnya sampai kau selesai melapor pada Uchiha-sama."

"Kalau begitu berikan buku dan penaku. Aku harus menulis laporannya."

"Apa melapor pada ketua yayasan harus dengan laporan tertulis?" tanya guru baru itu.

"Anda kan guru baru. Jadi tidak tahu. Ketua Yayasan hanya menerima laporan tertulis." Hikari masih terlihat santai. Kemudian pria tampan yang merupakan guru baru itu mengeluarkan sebuah buku dan pena.

"Ini."

Hikari mendekat dan mengambil buku serta penanya.

"Aku akan memberikan laporannya saat jam istirahat. Jadi tolong pegang tasku ya, sensei!" Gadis itu berlari sekencang mungkin sambil melambaikan tangannya pada sang guru.

Guru baru itu? Hanya bisa melongo memandang gadis nakal itu. Apa ia baru saja di bodohi? Oleh muridnya sendiri? Dia? Seorang Uchiha Itachi di bodohi?

"Sial!"

.

.

.

Hikari sampai di kelasnya tepat saat guru matematikanya keluar dari ruangan setelah memberikan tugas kepada muridnya. Gadis itu langsung mendudukkan diri di bangkunya dengan keadaan ngos-ngosan. Teman sebangkunya, seorang siswa laki-laki berambut merah memberikan air mineral miliknya pada Hikari.

"Kukira kau tidak datang. Ternyata terlambat lagi"

Hikari meneguk air itu banyak-banyak kemudian mengembalikannya pada temannya.

"Diamlah, Rei. Aku lelah."

"Kerjakan latihan ini di selembar kertas. Nanti di kumpul oleh ketua kelas."

"Kau sudah selesai?" tanya Hikari.

"Tentu saja belum. Aku menunggumu. Kau tahu aku paling lemah di ilmu pasti."

"Dasar. Berikan buku paketmu."

"Ini. Memangnya punyamu mana?" tanya Rei.

"Kau tahu ada seorang guru baru di sekolah kita?"

"Sudah. Guru bahasa Inggris dari London. Tadi sudah di perkenalkan saat apel pagi. Dia anaknya Uchiha-sama. Dia akan mengajar—"

"APA?" Hikari berteriak dan sontak mendapat tatapan heran dari seluruh penghuni kelas. Teman sebangkunya sampai menutup telinganya.

"Yamanaka. Pelankan suaramu."

Hikari menatap ketua kelas yang memandangnya tajam. Hyuuga Daichi. Saingan Hikari dalam meraih nilai terbaik. Hikari boleh nakal, tapi dia pintar. Nilainya di semua pelajaran tidak pernah dibawah delapan. Tapi nilai etika dan perilakunya tidak pernah diatas enam. Jadi setiap penerimaan raport, ia akan terus bertahan di peringkat dua.

Hikari tidak mempedulikan sang ketua. Jadi tasnya sekarang ada ditangan anak ketua Yayasan. Kemungkinan terburuk dia akan dikeluarkan dari sekolah. Apa yang harus ia lakukan? Ia harus memikirkan cara untuk mengambil tasnya dari ruang guru.

.

.

.

Jam pelajaran matematika berakhir dengan meninggalkan pusing di kepala Hikari. Bukan karena mengerjakan soal, tapi karena memikirkan nasib dirinya disekolah ini. Apa ini akan menjadi hari terakhirnya?

"Sudahlah, Hika. Bukannya kau sudah biasa menghadapi guru-guru?"

"Uzumaki Rei. Ini berbeda! Yang kuhadapi sekarang bukan guru biasa. Kau sendiri yang bilang kalau guru baru bernama— siapa tadi?"

"Itachi. Uchiha Itachi-sensei."

"Ya! Kau sendiri yang bilang kalau Itachi-sensei anaknya Ketua Yayasa. Berarti... berarti... Aku harus segera menyiapkan kata-kata perpisahan untuk kalian. Untukmu khususnya. Ini hari terakhirku di sini."

"Hikari... Kau berlebihan. Kau punya bibi Ino! Ibumu bisa diandalkan dalam keadaan apapun!"

"Panggilan kepada Yamanaka Hikari untuk segera ke ruangan Kepala Sekolah." Suara pengeras suara membuat Hikari dan Rei terdiam.

"Mati aku."

"Hikari, kau bisa!"

Hikari meninggalkan kelasnya dan berjalan dengan memberanikan diri menuju ruangan kepala sekolah. Ia mengetuk pintu dua kali kemudian mendengar suara wanita yang menyuruhnya masuk. Kepasa sekolahnya, Senju Tsunade terlihat dikursinya, sedangkan Itachi-sensei duduk di sofa ruangan itu.

"Ini murid bernama Yamanaka Hikari. Saya akan meninggalkan anda di sini, Itachi-sama."

"Terimakasih, Senju-sama."

Tsunade kemudian keluar meninggalkan Itachi dan Hikari.

"Duduklah." Dengan enggan, Hikari mendudukkan dirinya di sofa yang ada di hadapan senseinya.

"Kau tahu kenapa aku memanggilmu kemari?"

"Tentu saja. Anda ingin mengembalikan tasku kan?" Hikari mencoba berbicara sesantai mungkin dengan nada ceria khas ibunya.

Ia melihat guru itu mengangguk.

"Ya. Ini tasmu." Itachi mengambil tas yang di bawah sofa disamping dirinya dan memberikan benda itu pada Hikari.

"Terimakasih. Saya permisi." Hikari berdiri berniat keluar.

"Aku sudah tahu reputasimu di sekolah ini, Yamanaka Hikari." Hikari berhenti.

"Aku tidak tahu kenapa ayahku dan Senju-sama masih mempertahankanmu. Mungkin karena otak pintarmu? Entahlah. Orang pintar seharusnya juga pintar dalam bersikap."

Hikari masih terdiam.

"Ini yang terakhir. Jangan berulah lagi. Kau mengerti?"

Hikari meninggalkan ruangan itu dalam diam.

Setelah berada di luar ruangan itu. Hikari menendang pot bunga kecil yang berbaris rapi di koridor.

"Sialan!"

Ia berjalan menyusuri koridor menuju kantin. Mungkin Rei ada di sana dan ia sangat lapar sekarang. Melewati koridor kelas sembilan ia melihat para senpainya yang sedang berkumpul di depan kelas mereka. Saat berjalan ia mendengar bisik-bisik dari sekumpulan siswi.

"Dia di panggil lagi."

"Siapa?"

"Siapa lagi? Itu si Yamanaka."

"Jelas saja. Dia kan selalu berulah. Kali ini kasusnya apa?"

"Entahlah. Yang pasti bukan hal yang baik."

"Kudengar dia itu anak broken home. Ayahnya meninggalkan dia dan ibunya. Makanya dia selalu ke sekolah dengan ibunya."

"Tapi ada juga yang bilang dia itu anak di luar nikah. Ayahnya tidak mau bertanggung jawab."

Hikari yang sudah lima langkah dari sekumpulan siswi itu berhenti. Ia sedang lapar dan para senpainya ini malah memancing emosinya. Broken home? Anak di luar nikah? Ditinggal ayah? Apa itu ayah? Sialan.

Hikari berbalik dan mendekati empat orang senpai yang tadi mengatainya. Hikari tersenyum manis. Dan hanya Uzumaki Rei dan Hyuuga Daichi yang tahu tentang senyum ini.

"Halo, senpai." Empat orang gadis yang terlihat centil itu memandang heran pada Hikari.

"Aku tadi mendengar senpai mengatakan hal yang tidak-tidak tentang aku dan ibuku." Tiga orang terlihat salah tingkah. Mungkin karena tertangkap basah. Namun seorang lagi terlihat santai. Ia malah memilin rambut hitamnya dengan gaya yang membuat Hikari jijik.

"Apa maksudmu dengan hal yang tidak-tidak. Kami mengatakan yang sebenarnya. Gosip mengatakan kalau kau anak broken home. Aku tidak pernah melihatmu dengan ayahmu. Kau selalu terlihat bersama ibumu. Dan aku yakin kelakuan mu yang seenaknya di sekolah karena hal itu."

"Seenaknya?" tanya Hikari.

"Ya. Tch! Kasihan sekali ka— Kyaa!" Hikari menarik kerah baju sang senpai dan mendorongnya ke dinding. Semua siswa mengelilingi mereka. Ada yang meneriaki untuk berhenti, namun ada juga yang malah menyemangati.

"Tutup mulutmu, brengsek! Aku bukan anak broken home!"

"Kalau bukan? Berarti benar kalau ibumu hamil diluar nikah dan ayahmu tidak—"

PLAK!

"Jangan pernah kau menghina ibuku! Rasakan ini!" Hikari menjambak rambut senpainya sekuat tenaga. Senpainya itu tidak bisa melawan dan malah berteriak kesakitan.

"Yamanaka, hentikan!" Hikari merasakan tangannya di tarik oleh seseorang. Itu adalah Daichi.

"Lepaskan aku, Hyuuga!" Hikari mendorong Daichi dan kembali menyerang senpainya yang sudah jatuh terduduk itu. Ia kembali menjambak rambut senpainya itu hingga tangan yang lebih kuat menariknya lagi.

"Lepaskan!"

Hikari merasakan tangan besar itu membawanya keluar dari kerumunan orang. Ia hanya bisa pasrah saat melihat bahwa sensei yang baru saja ia temui tadi membawanya menjauh.

"Sensei lepaskan aku!"

Itachi tidak menjawab. Ia membawa nak itu ke ruangannya. Sebagai anak ketua yayasan, ia mempunyai ruangan khusus. Setelah masuk, Itachi melepaskan tangannya.

"Belum ada sepuluh menit sejak kau ku peringatkan. Kau malah berulah." Itachi melipat tangannya memandang Hikari.

"Kau itu perempuan. Kenapa malah berkelahi?!"

"Aku tidak akan menyerangnya kalau saja dia tidak menghina ibuku!"

"Kau bisa melaporkannya pada gurumu. Bukan langsung menyerangnya." Itachi mencoba sabar menghadapi siswinya ini.

Hikari tidak menjawab.

"Aku yakin dia akan memberitahu orang tuanya dan besok orang tuanya akan datang dan menuntutmu."

"Aku tidak peduli!"

"Kau tahu? Aku sudah menyuruh guru BP untuk menghubungi orangtuamu. Dan mungkin, mereka sedang dalam perjalanan kemari."

"Apa?" tanya Hikari tak percaya.

"Kau terkejut?"

"Tidak." Jawaban Hikari membuat Itachi heran.

"Aku justru berterimakasih. Apa ibuku akan datang ke ruangan ini? Atau di ruang BP?"

"Kau terlihat senang sekali. Ibumu akan ke ruanganku ini."

"Aku harap sensei tidak menyesal karena memanggil ibuku." Hikari menyeringai.

"Kita lihat saja."

Hikari kemudian mendudukkan dirinya di sofa empuk di ruangan itu. Itachi sendiri mendudukkan dirinya di meja dengan sebuah laptop di atasnya.

Tak lama kemudian, Iruka-sensei yang merupakan guru BP mengetuk pintu ruangan. Itachi mempersilahkannya masuk. Iruka datang bersama seorang wanita cantik—setidaknya begitulah kesan pertama Itachi. Wanita itu mengenakan jeans ketat serta kemeja kotak-kotak setengah paha. Terkesan manly, tapi tidak ada yang mengatakan hal itu bila melihat dua kancing atas kemeja yang sengaja di buka itu. Iruka keluar dan Hikari langsung bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya.

"Silahkan duduk." Ino pun duduk di sebelah Hikari. Itachi ikut mendudukkan dirinya di sofa didepan pasangan ibu dan anak itu.

"Ibu."

"Kau berhutang penjelasan padaku, Hika." Ino menyipitkan matanya melihat sang putri.

Ino beralih pada Itachi.

"Selamat..." Ino melihat jam tangannya kemudian melanjutkan "... pagi menjelang siang. Saya Yamanaka Ino. Ibunya Hikari."

Itachi tertawa mengejek. Membuat Ino menatapnya tajam. Ia paling benci di tertawakan.

"Drama yang bagus."

"Apa maksud anda?" tanya Ino.

"Jangan membodohiku. Aku ingin bertemu dengan orang tua Hikari. Kenapa kau yang datang?" ujar Itachi. Hikari pun memandang heran pada senseinya itu.

"Saya masih belum menangkap maksud anda." Ino masih bersikap sopan walaupun dalam hati ingin mencakar wajah tampan pria itu.

Itachi menatap Hikari.

"Sudah ku bulang aku ingin bertemu dengan orangtua Hikari. Tunggu... kau benar-benar ibu Hikari? Bukan kakaknya atau saudaranya? Kalian memang mirip tapi..."

"Tapi apa, tuan?" Ino mulai jengah.

"Kau terlalu muda, nona." Kini Ino yang tertawa.

"Aku sangat tersanjung, tapi aku benar-benar ibunya. Silahkan tanyakan guru-guru yang ada di sekolah ini. Kau guru baru?" Itachi mendapati dirinya merasa malu. Namun sebenarnya ia masih belum percaya. Wanita cantik ini masih sangat muda! Pria itu kemudian berdeham.

"Baik. Putrimu..." Itachi masih enggan mengatakan kalau Hikari adalah putri dari wanita cantik di depannya ini.

"Ya?" tanya Ino dengan senyuman manis yang membuat Itachi goyah.

"Dia menyerang senpainya."

"Benarkah? Kapan?" tanya Ino santai.

"Baru dua puluh menit yang lalu."

Ino beralih pada Hikari.

"Benarkah itu?" tanyanya pada Hikari.

"Hm."

"Aku minta maaf atas kelakuan putriku, umm siapa nama anda?"

"Uchiha Itachi."

"Ya, Uchiha-sensei. Tapi ku rasa Hikari punya alasan kenapa ia melakukan itu pada senpainya."

"Ya, dia bilang karena para senpainya itu menghina anda, ibunya."

"Benarkan? Kalau saja mereka tidak menghinaku, mungkin Hikari tidak akan menyerang mereka."

"Tapi tetap saja. Dia bisa melapor pada guru sehingga senpainya itu mendapat hukuman yang pantas. Bukannya menyerangnya seperti seorang preman."

"Oke. Sayangnya putriku bukan orang yang suka mengadu. Kalau dia bisa menyelesaikannya, kenapa harus meminta bantuan orang lain?" Itachi merasa emosinya naik saat wanita itu selalu menjawab perkataannya.

"Menyerang orang lain anda bilang menyelesaikan? Apa itu yang anda ajarkan pada putri anda? Menyelesaikan masalah dengan kekerasan?" Itachi mendapati suaranya semakin naik.

"Kekerasan terkadang di perlukan, Uchiha-sensei. Menjadi orang yang lemah lembut bisa membuat kita terinjak-injak." Dan sayangnnya Ino menjawab dengan nada santai. Sejak awal wanita itu memang santai menghadapi Itachi dan pria itu kini merasa jengah.

"Yamanaka-san."

"Ya, Uchiha-sensei?"

Itachi menghela nafas panjang.

"Saya akan memberikan sanksi pada Hikari." Ino tersenyum manis.

"Apa anda punya hak untuk memberikan hukuman pada Hikari? Setahu saya, wali kelas Hikari adalah Ebisu-sensei dan guru BP adalah Iruka-sensei." Itachi diam. Memang benar adanya kalau dia bukan wali kelas dan juga guru BP. Dia hanya guru baru. Seharusnya ia menyerahkan tugas ini pada guru BP ataupun wali kelas.

"Anda benar. Kalau begitu kasus ini akan saya alihkan pada Ebisu-sensei."

"Baiklah, saya akan ke ruang guru untuk bertemu dengannya. Saya permisi dulu, Uchiha-sensei." Ino menekankan kata terakhirnya dan tersenyum manis pada Itachi. Hikari pun dengan senyuman yang sama membungkuk hormat pada Itachi dan itu semua membuat Itachi marah sekaligus malu.

Kedua ibu dan anak itu keluar dari ruangan itu dan menuju ruang guru yang bersebelahan dengan ruangan Itachi. Dan Itachi melepas kepergian keduanya dengan decakan sebal.

"Berapa orang yang tadi kau serang?" tanya Ino pada Hikari saat mereka baru sampai ke parkiran sekolah.

"Satu orang sih." Ino kemudian memeriksa wajah dan leher anaknya.

"Kau yang menang kan?"

"Tentu saja, bu. Kalau aku kalah berarti bukan aku yang di panggil ke ruang guru."

"Bagus. Kalau orang tuanya besok datang, telepon ibu. Oke?"

"Oke. Hati-hati, ibu."

.

.

.

Itachi akan menemui ayahnya saat ini. Ia melewati ruang guru dan melihat ibu dan anak yang tadi menjadi lawannya keluar dari ruangan guru dengan Ebisu-sensei mengantarnya. Dan apa itu? Kenapa Ebisu-sensei terlihat malu-malu? Ino pun pamit sedangkan Hikari kembali ke kelasnya.

Itachi menghampiri Ebisu.

"Hukuman apa yang anda berikan pada Yamanaka, Ebisu-sensei?"

"Err, dia dan ibunya minta maaf dan merasa menyesal. Jadi aku tidak meberikannya hukuman."

"Apa?"

"Dia bilang tidak akan mengulanginya lagi."

"Kenapa yang ku tangkap kalau anda sudah jatuh pada pesona ibunya hingga tidak memberikan anak itu hukuman? Wanita itu menggoda anda?"

"Err.. Itu..."

"Seharusnya ada bisa profesional, Ebisu-sensei." Itachi meninggalkan guru yang menurutnya tidak profesional itu.

"Jadi dia menggunakan kecantikannya untuk menggoda para guru sehingga Hikari tidak mendapat hukuman? Dasar wanita licik." Itachi mengguman pada dirinya sendiri.

Itachi sudah sampai ke ruangan ayahnya yang ada di gedung lain di sebelah selatan sekolah itu. Setelah melewati staf yayasan, pria tiga puluh tahun itu memasuki ruangan ayahnya. Ayahnya tampak sedang memeriksa berkas.

"Kau sudah datang. Duduklah."

"Ya, ayah sedang apa?" Itachi mendudukkan dirinya di kursi yang ada di depan ayahnya.

"Memeriksa proposal mengenai perlengkapan olah raga. Bagaimana hari pertamamu?" Pertanyaan ayahnya membuat Itachi mengingat tentang Hikari dan ibunya.

"Luar biasa." Ibu dan anak itu memang mebuat hari pertma Itachi luar biasa.

"Aku harap kau betah di sini. Kau tahu kalau aku ingin kau menggantikanku kan?"

"Tidak sekarang, ayah. Ayah masih kuat bahkan untuk menghajar orang." Fugaku terkekeh.

"Ayah, aku punya permintaan." Fugaku menutup berkasnya dan memberikan fokusnya pada sang anak.

"Apa itu?"

"Bisakah aku menjadi wali kelas untuk kelas delapan A?"

"Sebenarnya tak masalah. Tapi kenapa kau tiba-tiba meminta hal itu?"

"Hanya ingin menambah pengalaman saja."

"Baiklah. Aku akan meminta Tsunade untuk mengurusnya."

"Terimakasih, ayah."

'Kita lihat sampai dimana kalian bisa mempermainkanku,' Itachi membatin sambil mengangkat sudut bibirnya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Ehem Ehem...

Bukannya update malah bikin yang baru.

Harap jangan ngelemparin yana pake tomat, karena sebaiknya tomatnya kalian lemparin ke abang Sasu.

Mau nanya kenapa saya bikin fic yang bisa di bilang kebalikan dari fic SYMBMM? Monggo di review..

Imelda Yolanda-san, ini nih fic yang saya bilang. Hehe.

Salam

Yana Kim ^_^