Naruto by Masashi Kishimoto. I don't take any material advantage by writing this story.

Alternate universe.


Sakura masih mengingat pertama kali dirinya masuk ke dalam bar adalah pada tanggal dua puluh empat September, tepat sehari setelah ulang tahun Ino yang kedua puluh satu. Ino tidak tampak sekikuk dirinya di sana walaupun saat itu sama-sama pengalaman pertama bagi keduanya. Dia memesan cocktail pertamanya dengan lancar, seolah-olah sudah sengaja menghafal namanya sebelum datang kemari. Berkebalikan dengannya, Sakura bahkan bingung dengan apa yang harus dia pesan, sehingga hanya meminta apa yang Ino pinta.

Di pengalamannya yang kedua, masih di bar yang sama, dia datang bersama Ino juga. Kali ini Sakuralah yang mengajak sahabatnya itu. Kalau latar belakang kedatangan mereka ke bar lima tahun lalu adalah perayaan legalitas Ino untuk datang kemari, sekarang kasusnya berbeda. Sakura mengalami hari yang buruk hari ini. Dia ingin melampiaskannya dengan datang ke sini. Bebannya sempat terkikis setelah tegukan margarita dari gelas pertamanya (Sakura sengaja mencari tahu dulu minuman alkohol yang tidak terlalu keras sebelum datang kemari). Namun, harinya memburuk lagi setelah Ino meninggalkannya setelah menerima telepon darurat.

Saat dia menurunkan gelasnya yang keempat dari mulut, seseorang memindahkan dompet yang dia taruh di kursi sebelah ke bawah, lantas dia menduduki kursi itu seenaknya. Sakura mengernyit. Dia memutar tubuh hingga berhadapan dengan orang itu untuk memprotes.

"Hei!" serunya. Tatapannya bertemu dengan seorang pria yang sudah menatapnya juga. Ketampanannya membuat Sakura nyaris menjatuhkan gelasnya. "Maksudku, hei." Dia mengedipkan sebelah mata setelah mengatakan sesuatu yang sama dengan protesnya tetapi dengan nada yang jauh lebih lembut.

"Hei," pria itu balas membalasnya. Sakura merasa bahwa suaranya seksi. Tatapan pria itu mengarah ke dompetnya—masih menggantung di tangannya, tidak seperti dugaan Sakura yang ditaruh di lantai. "Tasmu. Sebaiknya kau simpan di pangkuanmu saja."

Sakura lupa bahwa dia terganggu saat pria itu memindahkan dompetnya. Dia pun tak merasa meralat bahwa barang ini adalah dompet (bukan tas) merupakan sesuatu yang mesti dia lewatkan. "Oke, Tampan." Dia meraih dompetnya dan langsung menaruhnya di atas paha dengan patuh.

Pria itu terkekeh. Tawa kecilnya membuat dia semakin seksi. "Siapa namamu?"

"Sakura," dia menjawab sembari memutar gelasnya. "Namamu?"

"Hmm, namamu dapat diprediksi," katanya sambil mengibaskan rambut merah jambu Sakura menggunakan telunjuk. Sakura terkikik. "Aku Sasuke."

"Oh, halo, Sasuke! Kau tahu, kau adalah pria paling tampan yang pernah kutemui secara langsung."

Sasuke menyeringai tipis. "Secara langsung?"

"Hm. Sisanya kulihat di televisi, majalah, atau internet."

Sasuke menempelkan gelasnya pada bibir tanpa melepaskan tatapan dari Sakura. Oh, rasanya Sakura akan melakukan apa saja untuk bertukar tempat dengan gelas itu. Arah pandang Sasuke bergerak untuk menatap gelas Sakura yang kini terisi separuh sejenak, lantas tertuju lagi pada mata hijau Sakura.

"Margarita, eh?" kata Sasuke. "Percuma kau memilih minuman yang tidak terlalu keras jika yang kau konsumsi sebanyak itu."

Sakura sontak melirik gelas kosongnya yang sudah sebanyak tiga. Dia mengedikkan bahu dan mengambil gelas keempat untuk menyesap isinya.

"Aku melewati hari yang buruk, Sasuke," keluh Sakura. "Tapi itu sedikit berubah setelah aku bertemu denganmu." Dia mengedipkan sebelah matanya lagi.

Sasuke terkekeh lagi. "Sakura, kau tidak seharusnya berinteraksi menggunakan cara itu dengan pria asing yang kautemui di bar."

"Iya, Sasuke. Aku tahu. Tapi kau adalah pengecualianku." Tatapan Sakura terarah pada botol berisi minuman berwarna mirip cola yang tak dia ketahui namanya. Tadi Sasuke yang membawanya. Isinya tinggal separuh sekarang, berkurang sedikit dari yang Sakura ingat. Ingatan tentang isi botol yang sudah tidak penuh saat Sasuke duduk di sebelahnya membuat Sakura menyeringai. "Tapi kau senang 'kan diperlakukan seperti ini oleh wanita yang membuatmu sengaja berpindah tempat? Agar bisa duduk bersebelahan dengan wanita itu? Dengan aku?"

Sasuke mengedikkan bahu. "Bisa dibilang begitu."

Sakura tersenyum lebar hingga wajahnya nyaris terbelah dua. "Apakah aku membuat harimu yang buruk menjadi lebih baik?"

"Tepat sekali."

Sakura sangat gembira hingga prosesnya berdiri tampak seperti melompat. "Karena kita membuat hari satu sama lain menjadi lebih baik, kurasa kita tidak butuh ini lagi." Dia menjauhkan gelasnya yang masih terisi dan botol minuman Sasuke. Dia menyengir. "Ayo berdansa!"

Sakura menarik tangan Sasuke setelah menaruh beberapa lembar uang di atas meja bar tanpa memedulikan kembaliannya.

"Aku tidak berdansa, Sakura."

Sakura murung. "Kau tetap tidak berdansa walaupun denganku?"

"Baiklah." Sasuke berdiri. Dia pun meletakkan uang di atas meja bar dan memberi isyarat pada bartender. "Tapi waspadai kakimu, bisa saja aku tidak sengaja menginjakmu."

"Kau yang harus waspada. Kau menginjakku, aku akan menginjakmu. Diinjak high heels itu sangat menyakitkan."

"Kau seharusnya mengatakan sesuatu yang akan menumbuhkan animoku untuk berdansa."

"Terserahlah. Aku yakin kau tak akan membatalkannya."

Sasuke menyeringai. "Hn."

Sakura membawa Sasuke ke sudut yang tak disesaki banyak orang. Tangannya melingkari leher pria itu setelah menemukan posisi yang pas. Dompet yang masih dipegangnya terasa amat mengganggu, tetapi rasa terganggunya memias saat matanya menatap mata indah Sasuke. Dia tersenyum menggoda saat tangan Sasuke menempel di pinggangnya.

Saat mereka berdansa, tangan Sasuke tidak menetap di pinggangnya. Tangan besar dan hangat itu mengusap lengannya, lehernya dan tulang selangka. Sakura menahan napas setiap kali sentuhan itu menjalar dari senti ke senti. Dia pun bergidik saat tatapan Sasuke yang menggoda terarah padanya. Mata hitam itu tak hanya terpancang pada mata Sakura, menyusur leher, semakin ke bawah. Setelah sampai ke kaki, gerak matanya menyusur semakin ke atas sedikit demi sedikit hingga bersirobok dengan matanya lagi. Sakura refleks menggigit bibir bawahnya.

Jantung Sakura berdentum semakin keras saat tubuh Sasuke dicondongkan padanya.

"Kau sangat seksi, Sakura," bisik Sasuke. Bibirnya bersentuhan dengan daun telinga Sakura lantas mengulumnya sejenak. Dia mengecup kulit di belakang telinga Sakura, merambat ke lehernya, kemudian mengecap lapisan keringat di sana. Sakura mendesis dan terpejam. Tangannya yang bebas meremas rambut Sasuke.

Kedua tangan Sasuke berada di pinggangnya lagi. Kali ini tak hanya diam, tetapi meremasnya. Sentuhannya merambat pada sisi tubuh Sakura, berhenti di tulang rusuknya. Masing-masing ibu jari Sasuke membelai samping payudara Sakura. Sasuke menyeringai saat mulut Sakura terbuka. Lantas Sasuke mencium bibirnya. Sentuhan Sasuke semakin berkeliaran ke mana-mana saat wajahnya tenggelam di leher Sakura. Sakura menjambak rambut Sasuke lebih kencang, seolah-olah ingin menjauhkannya, tetapi dia justru menelengkan kepala agar Sasuke lebih leluasa.

"Mmhm, Sasuke," desah Sakura. Kali ini dia sungguh-sungguh menjauhkan wajah Sasuke dari lehernya. "Tidak di sini."

Sesaat setelah berhenti, Sasuke menarik Sakura ke mobilnya dan mencumbunya lagi di sana. Namun, Sakura mencoba untuk melepaskan diri. Sasuke langsung melemparkan tatapan heran.

"Kau masih bisa menyetir?" tanya Sakura dengan napas tersengal.

Sasuke tampak menimbang-nimbang. "Sejauh apa?"

"Sekitar dua kilometer. Tidak ada polisi. Kita ke sana kalau kau bisa menjamin perjalanan akan seratus persen aman."

"Hn. Tunjukkan jalannya."

Sakura mengarahkan Sasuke ke apartemennya. Sasuke otomatis merobek gaun musim panas Sakura yang elegan setelah mereka tiba di sana. Sebelum terlontar protes, Sasuke berbisik, "Aku janji akan menggantinya."

Itu tak cukup untuk menahan protes dari Sakura. Wanita itu baru diam setelah Sasuke membungkamnya dengan ciuman.

"Pakai pengaman. Aku sedang berada di masa subur," peringat Sakura sebelum Sasuke mendorongnya ke tempat tidur.

"Tentu," kata Sasuke. Matanya tampak tidak fokus.

Sakura tak lagi ingat untuk mengingatkan Sasuke apa pun setelah pria itu menciumnya lagi di atas tempat tidur.

.

.

Sakura terbangun untuk menemukan tempat tidurnya teramat sangat berantakan dan untuk mengalami pusing luar biasa. Dia sudah lama tidak tersiksa karena sakit kepala separah ini. Setelah mulai membaik, dia merentangkan tangan ke sisi kiri tempat tidur. Kosong dan dingin. Sakura beranjak untuk memastikan bahwa Sasuke memang sudah meninggalkan apartemennya.

Cahaya terik menyeruak melalui sela-sela tirai yang masih tertutup. Sakura membukanya lebar-lebar setelah membungkus tubuh menggunakan jubah tidur. Matanya menyipit seolah-olah indra penglihatannya alergi matahari. Sinar tertembak pada setiap objek yang lurus dengan jatuhnya sinar mentari.

Dia menemukan pakaian dalam dan gaunnya yang sobek di atas karpet. Sontak dia mematung. Kalau tadi dia hanya ingat Sasuke semestinya ada di sisinya saat dia terbangun, kini dia mengingat juga penyebabnya. Ingatan utuh seutuh-utuhnya tentang apa yang dia lakukan semalam dan separah apa alkohol mengubahnya membuat Sakura ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya. Dia tak percaya dirinya bisa berubah menjadi wanita yang lebih genit daripada cewek yang dulu dijuluki paling genit se-SMA yang tak bisa dia sukai.

Cermin memantulkan kondisi Sakura yang kacau. Rambut sebahunya kini mencuat hingga dirinya menyerupai singa jantan. Eyeliner dan maskaranya sudah luntur ke pipi. Lipstiknya masih menempel di bibir, tetapi juga meluber ke mana-mana. Memar-memar merah berceceran di sekitar lehernya; Sakura sontak merapatkan jubah tidur dan mengalihkan pandangan dari cermin setelah melihatnya. Dorongan dari dalam perutnya terasa lagi.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas. Sakura mengerang. Dia membuka travel bag-nya untuk mengeluarkan satu setel pakaian. Selesai dengan pakaian, dia linglung selama mencari handuk. Nyaris seluruh barang-barang pribadi Sakura di apartemen ini sudah dipak untuk kepindahannya ke Tokyo besok; handuk adalah salah satunya dan dia lupa menaruhnya di mana. Butuh waktu lima belas menit hingga dia menemukannya. Mandi menjadi agenda selanjutnya dan Sakura merasa jauh lebih baik setelah membersihkan tubuh (walaupun masih merasa mual dan malu setiap kali jejak merah terdeteksi matanya).

Selesai berpakaian lengkap, Sakura mengerang lagi karena dia masih harus mencuci seprai di sehari sebelum dia pindah. Dia membereskan segala yang tampak berantakan. Matanya menemukan secarik kertas di meja nakas. Tertulis:

Harus segera pergi. Terima kasih.

Dia yakin itu tulisan Sasuke. Sakura meremas kertasnya dan membuangnya seketika. Gaun musim panas elegannya—yang kini telah berubah menjadi seonggok kain sia-sia—segera menyusulnya.

Sakura mengambil gelas setelah kamarnya rapi. Dia menghampiri galon air mineral dan mengernyit saat mendapati volume air di sana hanya tinggal seperempat galon. Seingatnya kemarin tidak sesedikit ini. Ah, tetapi itu bisa saja ingatannya yang kacau karena mabuk. Sakura pun minum banyak-banyak tanpa memikirkan apa pun.

Hari itu berjalan dengan teramat datar hingga esok datang dan truk pindah tiba. Sebelum benar-benar pergi, dia menoleh ke arah apartemennya sekali lagi. Dia mengembuskan napas panjang sebelum meninggalkannya.

Satu prinsip baru terbentuk hari ini: Segala hal yang terjadi di malam itu akan ditinggal di sini, di Osaka, dan tak akan dia bawa ke Tokyo. Tak ada kelonggaran untuk itu sama sekali.

.

.

Prinsip yang baru Sakura bangun sebulan hancur sudah. Kehamilan adalah kelonggaran yang memecahkannya. Dia yakin ini disebabkan oleh Sasuke karena dia tidak berhubungan intim dengan siapa pun dalam waktu dekat selain dengan Sasuke.

Sasuke yang merupakan pria asing baginya.

Sasuke yang tak dia tahu di mana tempat tinggalnya.

Sasuke yang dia pertanyakan nama keluarganya.

Sasuke yang tak bisa dia hubungi karena dia tak tahu bagaimana caranya.

Sakura berteriak ketakutan setelah kenyataan menamparnya. Dia merasa takdir tengah menyiksanya. Malam itu adalah kali pertama dia berhubungan intim dengan sembarang orang, kali pertama dia terlibat dalam one night stand, dan langsung berakhir seperti ini. Jika ini terjadi dengan seseorang yang memiliki hubungan asmara dengannya, Sakura mungkin akan tetap takut, tetapi jelas tidak setakut ini.

Dia menangis tanpa henti sejak kabar itu menghantuinya. Targetnya untuk mulai kuliah pascasarjana tahun depan dengan memulai segala persiapan tahun ini sudah dapat dipastikan akan gagal. Penyesalan yang hanya muncul karena rasa jijik pada diri sendiri di pagi hari setelah dia intim dengan orang asing kini kembali lagi. Kali ini, dia merutuki kebodohannya dan betapa tidak bertanggung jawab dirinya. Apalagi, sekarang dia sendirian dan tak punya solusi. Satu-satunya hal yang melintas di benaknya adalah mengajak Sasuke berkomunikasi.

Hal ini hanya akan menjadi masalahnya, tak akan pernah menjadi masalah Sasuke juga selama pria itu tak mengetahuinya. Dan dia jelas tak tahu bagaimana cara membuat Sasuke mengetahuinya. Yang membuat Sakura semakin menderita adalah adanya kemungkinan Sasuke tak ingin ini menjadi masalahnya juga lantas meninggalkannya sendiri sepenuhnya. Hal tersebut membuat Sakura sadar bahwa mungkin tak akan ada gunanya dia bergantung pada Sasuke untuk menghadapi masalah ini. Dia harus mandiri, seperti dirinya di tahun-tahun sebelum bertemu Sasuke, dan mencari solusi sendiri.

Setelah mampu berpikir dengan kepala dingin, Sakura memutuskan bahwa dia tak akan menggugurkan janinnya walau masih sebesar biji jeruk sekalipun. Dia tidak bisa membunuhnya, dan gagasan tentang melakukan yang sebaliknya sungguh-sungguh membuat Sakura ingin muntah. Keputusannya diikuti oleh kenyataan bahwa dia harus menghadapi segalanya sendiri termasuk penilaian-penilaian dari orang lain tentang ini. Dia enggan memberi tahu orang tua atau Ino atau siapa pun karena terlalu takut mendengar opini mereka nanti. Selama dia masih berada di luar kota yang sungguh-sungguh asing dilihat dari segi mana pun ini, mungkin hal itu bisa teratasi.

Rencana hidupnya di Tokyo hancur sudah. Seharusnya dia berada di sini untuk mempersiapkan dan (nanti) melanjutkan studi, tetapi malah digunakan untuk ajang bersembunyi. Selama dia tak punya nyali untuk kembali ke lingkungan familier yang berisi berpuluh-puluh—atau mungkin mencapai ratus—orang yang dia kenali dengan kondisi mengandung benih dari pria asing yang dia temui di bar, dia akan terus menetap di sini.

Kepalanya sudah membentuk skenario-skenario. Dia mungkin tak akan pernah pulang kalau sudah begini. Jika benar-benar harus pulang, dia akan pulang setelah dia lulus S2. Dia akan berusaha melanjutkan studi setelah melahirkan. Harapannya anak yang dikandungnya tak mirip dengannya sama sekali, sehingga dia bisa mengatakan bahwa anak itu dia adopsi. Dia masih memikirkan skenario lain jika ternyata anaknya mirip dengannya. Skenario itu dia pikirkan sambil dirinya menjalankan hidup.

Sakura adalah lulusan jurusan geografi. Target pekerjaannya kali ini adalah pekerjaan apa pun yang tidak banyak melibatkan banyak tenaga demi menjaga kehamilannya. Dia mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar di tempat les persiapan masuk universitas dengan mata pelajaran geografi. Gajinya mencukupi dan sejauh ini hidupnya baik-baik saja—terlepas dari kondisi fisiknya yang menurun.

Semoga akan selalu baik-baik saja, begitu harapnya. Meskipun dia tahu hidup tak akan selalu baik kepadanya.


A/n:

Dasar saya menulis ini: Mau coba keluar dari comfort zone. Pfft. Mungkin yang sering baca tulisan saya bakal ngerti maksud saya. Tema kayak gini tuh bukan yang biasa saya tulis.

Ini berdasarkan prompt one night stand and falling pregnant au dan terinfluens dari overdue karya SouthSideStory. Akhir-akhir ini emang lagi ngumpulin prompt supaya rajin nulis dan nemu list prompt konsep au yang link-nya gak bisa saya cantumkan di sini. Btw, kalo mau ikutan drop prompt, silakan kirim ke bit . do /askdaffo (tanpa spasi) tapi gak janji bakal ditulis ya xD Cantumkan nama juga supaya kalo saya pakai bisa saya kasih credit. Kalo ada yang mau tanya-tanya juga silakan tanya di situ aja ehehe.

Dan soal fic ini, sebenarnya saya udah punya draf sampai 13k kata dan belum kelar. Tadinya mau dipublikasi dalam bentuk one-shot tapi saya gak sanggup kayaknya (...) udah jenuh lol. Jadi dipotong-potong berdasarkan pembagian chapter yang diusahakan satu premis setiap chapter-nya, makanya di sini saya publish cuma 2k kata doang.

Terima kasih juga sudah membaca sampai sini!

daffodila.