Disclaimer : I do not own Naruto.
Warning : OOC. Angst. Versi NaruHina dari fiksi 'Not There' milik Vikakyura.
Selamat membaca.
Stolen Moment
Perang politik yang terjadi antara lima negara besar di bumi, telah membuat Naruto dan Hinata dipertemukan satu sama lain sebagai anak kecil yatim piatu yang akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama. Delapan tahun telah berlalu semenjak itu, dan keduanya telah tumbuh dewasa. Namun, apakah hubungan di antara keduanya mengalami perubahan dari saat mereka masih kanak-kanak?
Dia kuat. Baik fisik maupun mental.
Naruto.
Pikiran itu yang selalu menjadi keyakinan Hinata, semenjak ia pertama kali bertemu dengan Naruto delapan tahun lalu. Perang politik yang terjadi antara lima negara besar di bumi, telah meninggalkan banyak dampak buruk di sepenjuru dunia.
Naruto dan Hinata hanyalah salah satu dari begitu banyak korban. Perang telah meluluh-lantahkan kota tempat tinggal mereka, merenggut keluarga mereka, dan mencuri masa depan mereka. Perang itu pula yang telah menyebabkan keduanya dipertemukan satu sama lain, sebagai anak yatim piatu yang sama-sama menjalani kehidupannya dalam kesendirian. Keduanya sebatang kara.
Tak ada uang, tak ada penopang, tak ada tempat tinggal dan tak ada tujuan.
Satu-satunya yang mereka miliki, hanyalah nama masing-masing dan sebuah pakaian yang melekat pada keduanya.
Sebagai anak-anak, Naruto dan Hinata sama-sama berusaha kabur dari keterpurukan nasib yang mengekang mereka. Melarikan diri dari kota demi kota, sampai memijaki tanah negara asing, dan mulai saling menopang hidup satu sama lain.
Keduanya masih sangat muda saat itu, hanya dua bocah gelandangan berumur 10 tahun. Namun hidup memaksa mereka untuk bertahan. Sebagai anak kecil yang kehilangan segalanya akibat perang, dan sama-sekali tidak tahu apa-apa tentang hidup di dunia yang keras ini, mereka telah menyaksikan kehidupan yang mengerikan. Karenanya, baik Naruto dan Hinata sama-sama memutuskan untuk mulai tinggal bersama di tempat yang jauh dari kota asal mereka. Memulai kehidupan baru di tempat asing, tanpa bergantung pada bantuan orang dewasa.
Seperti banyak anak lain, mereka berpikir bahwa orang dewasa tidak pernah bisa dipercaya. Perdagangan anak tanpa tempat tinggal selalu terjadi di seluruh dunia, Naruto dan Hinata tidak ingin menjalani kehidupan seorang budak yang terkekang.
Kini delapan tahun telah berlalu. Naruto tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat. Ia selalu bersikap riang dan positif, tetapi kadang, bisa berubah menjadi begitu dewasa tatkala dibutuhkan. Sementara Hinata selalu menjadi gadis baik hati yang agak pemalu. Keduanya saling melengkapi.
Hinata tidak tahu apakah itu sudah menjadi sifat naruto sebagai seseorang yang berwatak ceria, ataukah hanya cara si pemuda menyikapi segala yang telah terjadi di masa lalu, untuk mengatasi semua pengalaman buruknya. Namun, meski hidup serba pas-pasan, Naruto tumbuh menjadi pemuda yang hangat. Seperti sinar mentari di pagi hari. Sementara Hinata sendiri, tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan kalem. Selalu menenangkan, seperti kesunyian malam.
Dan segalanya tampak tetap tidak berubah dari semenjak mereka masih kanak-kanak.
Saat ini, Hinata yang sudah beranjak dewasa hanya bisa memperhatikan Naruto diam-diam dari balik jendela pondok mereka. Mencuri-curi pandang diiantara kegiatannya untuk menyiapkan sarapan, sedang Naruto mengerjakan rutinitas paginya yaitu membelah balok kayu sebagai persediaan kayu bakar.
Tidak ada yang berubah. Baik interaksi di antara mereka, maupun perkembangan dalam hubungan keduanya.
Maksudnya, dua remaja tanggung yang berbeda jenis kelamin telah tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama, dan tidak pernah terjadi 'sesuatu' di antara mereka. Normalnya, akan terjadi 'banyak hal', bukan? Apalagi, keduanya tidak memiliki hubungan darah.
Sepertinya Naruto memang tidak akan pernah melakukan tindakan yang tidak senonoh pada Hinata. Meski pemuda itu memang berwatak gigih, ulet, tidak pernah menyerah dan supel, namun Naruto juga terbilang sedikit bodoh dan sangat tidak peka, terutama pada perasaan seorang gadis yang telah lama tinggal bersamanya. Tapi, itulah yang membuat Hinata suka dan merasa nyaman untuk tinggal bersamanya.
Benar. Satu rahasia kecil di antara mereka adalah Hinata sudah semenjak lama diam-diam menyukai Naruto.
Hinata bahkan tidak paham apa nama hubungan mereka. Mereka tidak bertindak sebagai kakak-adik, dan jelas sekali tidak pernah bersikap sebagai sepasang kekasih. Mereka hanya berinteraksi satu sama lain, mungkin hanya sebagai mitra hidup. Tetapi, bagi Hinata, sudah jelas bahwa Naruto adalah satu-satunya keluarga baginya, dan itu tidak pernah merubah fakta bahwa Naruto adalah orang yang selalu melindunginya.
Naruto bertanggung jawab untuk mencari nafkah dan mendapatkan uang, sedang pekerjaan Hinata adalah untuk menyiapkan makanan dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, meski kadang-kadang gadis itu ikut membantu menjadi pelayan di sebuah kedai makan di kota. Hinata selalu merasa aman dan bersyukur, meskipun nasib yang mengekangnya terbilang keras dan hidupnya sulit, karena Naruto selalu ada bersamanya.
Hinata baik-baik saja dengan keadaan hidup mereka. Namun akhir-akhir ini, ia merasa khawatir dengan Naruto. Bagaimana dengan perasaan pemuda itu? setahu Hinata, pemuda berambut kuning terang itu tak pernah mengeluh.
Selama ini, Naruto tidak pernah banyak merungsingkan keadaan hidup mereka. Mereka hidup dalam kesederhanaan sehingga Naruto harus melakukan banyak pekerjaan kasar, tetapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan mengomel pun tidak pernah mengenai masalah pekerjaan.
Hinata merasa baik-baik saja dengan kehidupan yang seperti ini. Namun bagaimana dengan Naruto?
Pernahkan ia merasa lelah dengan semua ini?
Dalam kehidupan yang sulit seperti yang sedang mereka jalani ini, menjamin kehidupan untuk satu jiwa saja sudah terasa sulit. Sedangkan Naruto harus menanggung hidup Hinata juga, sementara gadis itu merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang berarti. Belakangan ini, Hinata merasa khawatir mengenai masalah ini. Mungkin akibat bertambahnya usia gadis itu, sehingga pemikiran-pemikiran orang dewasa sudah mulai mengganggu benaknya.
Apakah dirinya hanya menjadi beban bagi Naruto?
Apa bantuan yang dapat ia tawarkan kepada pemuda bermanik biru itu?
Naruto menjadi benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, sehingga mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Kadang-kadang, Hinata sampai berpikir bahwa Naruto sangat tertutup mengenai pekerjaannya, ia khawatir jika pemuda berkulit sawo matang itu terlalu memaksakan dirinya.
Hinata masih tenggelam dalam pikirannya, sambil mengistirahatkan dagunya di satu tangan dengan bertumpu pada meja makan.
"Apa yang sedang kau lakukan, Hinata, sudah melamun pagi-pagi begini?"
Hinata sedikit melonjak saat mendengar sebuah suara serak yang sangat dikenalinya. Gadis berambut indigo gelap itu mendongak, melihat seringaian cerah khas Naruto sedang tersungging di paras pemuda itu. Beberapa butir keringat mengucur dari balik dahinya yang berponi agak jabrik.
"U-um, aku hanya . . menghabiskan waktu sambil menunggumu selesai, Naruto-kun." Gumamnya pelan. Meski mereka telah tinggal bersama, entah mengapa Hinata selalu bersikap demikian saat ia bercakap dengan Naruto. Bicara terbata sambil tersipu sendiri. Barangkali, karena kurangnya interaksi di antara keduanya?
Melihat gerak-gerik gadis itu, Naruto hanya merespon dengan cengiran, seperti biasa. Hinata melihat Naruto sudah mulai duduk di sebrangnya. Segera saja gadis itu menyiapkan segelas air lalu didorongnya gelas itu ke arah Naruto.
"Apa kau ingin makan dulu, atau mandi dulu?" tawar si gadis.
Naruto tersenyum dan menjawab. "Makan boleh juga."
Hinata tersenyum dan mereka mulai melahap makanan yang sudah tersedia di meja dalam kesunyian yang menyenangkan.
"Ah," Naruto berujar setelah ia meneguk tetes air terakhir di gelasnya, "Aku harus bekerja sampai larut malam, jadi jangan tunggu aku pulang, ya." Ucapnya pada Hinata dikala gadis itu sedang mencuci piring kotor.
Ini memang selalu terjadi satu kali di suatu waktu, saat Naruto bekerja lembur dari pagi sampai tengah malam. Tapi tetap saja Hinata tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya, "Apa terjadi sesuatu?"
Naruto menggeleng cepat. "Tidak, kok"
"Oh, oke." Respon Hinata. Ia tidak perlu repot untuk merasa kecewa meski Naruto tidak pernah mau menceritakan apa jenis pekerjaan yang sedang dilakukannya. Tetapi, kadang-kadang hal ini membuat Hinata merasa khawatir.
Kemudian, Naruto mulai beranjak dari posisi duduknya untuk segera membersihkan dirinya dengan mandi, dan menoleh sebentar saat Hinata berkata lagi.
"Aku perlu belanja beberapa bahan makanan, uumm, jadi, apa boleh aku ikut pergi ke kota denganmu?"
Naruto terlihat agak ragu dan berpikir sejenak.
"Tidak masalah." Sahutnya, melambaikan satu tangannya sambil melangkah menuju kamar mandi.
X X X
Tidak sulit mengetahui makanan favorit Naruto. Pemuda itu memang bukanlah seorang pemilih dalam hal makanan dan selalu memakan masakan yang disediakan oleh Hinata. Tetapi Hinata tahu sekali bahwa Naruto sangat menyukai ramen. Makanan itu yang selalu ia konsumsi disaat si pemuda pergi bekerja dan berada jauh dari rumah.
Tetapi masalahnya, Hinata ingin mengetahui lebih banyak tentang pemuda itu. Ia ingin lebih banyak berbincang dengan Naruto, mengenai banyak hal. Apa benda dan warna favorit pemuda itu, atau apa yang sedang dipikirkannya. Terutama apa yang dipikirkan Naruto tentang dirinya.
Tetapi Hinata selalu merasa malu untuk memulai pembicaraan dan bertanya duluan. Seringkali ia mengurungkan niat bahkan untuk sekedar bercakap ringan tatkala melihat Naruto kecapekan saat pulang dari bekerja. Alhasil, mereka jarang sekali melakukan percakapan intens apalagi seputar masalah pribadi. Jadi, apa yang telah dilakukan oleh waktu delapan tahun yang telah mereka jalani ini, ngomong-ngomong?
Keduanya bahkan masih belum banyak mengenal satu sama lain lebih jauh.
Pagi itu keduanya berangkat berbarengan menuju kota.
Mereka kadang-kadang jalan bersama seperti ini, berdampingan, sekedar pergi ke kota untuk menyelesaikan beberapa keperluan.
Tetapi pagi ini, belanja hanyalah alasan bodoh. Kenyataannya adalah, Hinata ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Naruto, karena gadis itu tidak akan bisa sekedar untuk menatap pemuda itu lama-lama malam ini. Tapi entah kenapa, Hinata memiliki perasaan buruk tentang pekerjaannya kali ini. Gadis itu segera menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran tersebut.
Mereka berjalan melewati satu-satunya jalan setapak di antara padang pesawahan padi yang teramat luas. Naruto dan Hinata sengaja memilih untuk tinggal di sudut pedesaan karena akan jauh lebih mudah untuk hidup di sana.
Naruto melangkah sambil menyimpan kedua tangan di tengkuknya seperti biasa, sedangkan Hinata berjalan sambil menunduk malu-malu. Bahkan hanya berjalan berdampingan dengan pemuda itu saja, sudah membuat hati gadis itu berdebar.
Bagaimana bisa Naruto tidak menyadari perasaan gadis itu, sih? Heran. Ah, sudahlah.
Tidak pernah ada yang tahu apa yang sedang berputar dalam benak pemuda itu, anyway.
Mereka berjalan dalam kesunyian dan hanya melakukan beberapa pembicaraan kecil saja. Itu pun Naruto yang selalu memulai duluan. Tapi tak perlu risau, karena semuanya baik-baik saja, mereka sudah terbiasa. Seperti itulah cara mereka berinteraksi. Apalagi di saat Naruto sudah mendekati mode bekerjanya seperti saat ini, pemuda itu sudah mulai bersikap waspada sehingga sikap slenge-anya yang biasa terpampang itu sudah berkurang 40 persen.
Bulir-bulir padi sudah hampir menguning. Penduduk desa akan mendapatkan panen yang melimpah tahun ini. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat, semenjak mereka pertama datang ke salah satu desa kecil di Negara Api ini. tempat yang asing dengan wajah-wajah yang asing. Sekarang semuanya telah berbeda dari masa mereka kanak-kanak dulu. Naruto dan Hinata sudah hampir mengenali semua orang dewasa di desa, yang memang terbilang hanya sedikit itu, dan sudah mengetahui setiap sudut tempat di kota.
Para penduduk banyak yang menganggap Naruto dan Hinata sebagai sepasang adik-kakak yang hidup jauh di pertengahan sawah yang luas. Mereka adalah orang-orang yang baik.
Tetapi, beberapa anak muda atau orang asing yang sedang lewat akan selalu menatap lama ke arah mereka disertai dengan bisikan atau pun kekehan. Hinata tahu pasti bahwa tatapan dan pembicaraan itu merujuk pada Naruto.
Tentu saja. Dia adalah salah satu jenis pemuda supel sekaligus tampan yang hampir sulit ditemukan di kedalaman pedesaan. Lihatlah perawakan tegap, rambut kuning terang dan mata biru cerah yang mencolok itu. Terlebih warna kulitnya yang eksotis, menunjukkan bahwa si pemuda adalah wujud seorang pekerja keras, membuat penampilannya semakin membuat perhatian orang-orang tertuju padanya.
Itu tidak masalah, tentu saja. Jujur saja, Hinata setuju dengan orang-orang itu tentang bagaimana menariknya seorang Naruto. Senyuman cerah yang selalu merekah di wajahnya itu mungkin bisa membuat gadis-gadis jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tetapi, Hinata masih merasa terganggu ketika para gadis menatap pemuda itu terlalu lama. Meski bagitu. Naruto selalu tampak tidak peduli, atau hanya tidak peka saja dengan semua perhatian yang ditujukan untuknya itu. Membuat Hinata sedikit merasa lega.
Tapi entah kenapa, Hinata dibuat risau saat ada gadis yang secara terang-terangan berani untuk mendekati Naruto. Meski Naruto tampak mengabaikannya, tetap saja Hinata merasa hatinya dicengkram kuat oleh sebuah tangan tak kasat mata.
Sayangnya, karena pikirannya selalu terfokus pada Naruto, Hinata sendiri tidak bisa menyadari bahwa sebagian perhatian orang yang berlalu lalang di jalanan pun selalu tertuju padanya. Lihatlah wajah elok, rambut gelap yang indah, manik seindah bulan, kulit putih terang, dan tubuh dengan lekuk sempurna itu. Membuat Hinata terlihat bak seorang kembang desa saja.
Kini mereka mulai memasuki gerbang menuju kota. Jalanan besar disana sudah ramai dipenuhi banyak orang.
Dan hal yang tak disangka-sangka itu pun terjadi.
Sebuah suara seorang perempuan memanggil nama si pemuda. Naruto dan Hinata sontak berbalik dan segera menemukan seorang perempuan muda sedang berjalan mendekati mereka. Hinata terhenyak di tempat, apa yang diinginkan perempuan itu dari Naruto?
Hinata perlahan menoleh ke arah Naruto dan langsung terkejut saat gadis itu melihat ada ekspresi syok di wajah pemuda itu. Mimiknya yang biasa santai tetiba berubah serius.
Cengkraman di hati Hinata terasa mengerat. Dadanya tiba-tiba berubah sesak.
Hinata mulai berkata terbata, "N-Naruto-kun, siapa-"
"Apa kau perlu bantuan dalam berbelanja?" tanya Naruto memotong ucapan Hinata. Pemuda itu bahkan tidak menoleh ke arah gadis bermata violet itu.
"Tidak, tap-"
"Oke. Kalau begitu, sepertinya kita harus berpisah disini." Potong Naruto lagi. Masih tidak menengok ke arahnya.
Hinata hanya mampu menegang dalam diam saat melihat Naruto segera menghampiri perempuan yang tadi memanggilnya itu. Hinata menelan ludah. Pikirannya sedikit terganggu saat Naruto tanpa ragu meninggalkannya sendirian di tengah keramaian kota.
Kemudian, Hinata menghirup napas dalam-dalam dan memutuskan untuk segera berbaur dalam desakan kerumunan orang.
.
.
.
Bersambung.
A/N :
Hallo semuanya.
Karena begitu banyaknya fanfic NaruHina yang tidak bisa author cek satu-satu, jadi tolong beritahu aku bila ada kesamaan ide cerita ini dengan fiksi lain.
Silahkan tulis komentar kalian di kotak review.
Terima kasih :)
