Disclaimer : My, my.. YGO is not mine.

Warnings : Humor garing, cerita maksa, gaje, silly, OOC to the highest, sappy fic, segala kecacatan disengaja, pairing campur aduk, satu kata, ANCUR. I've warned you.

Jika sudah membaca warnings diatas dengan seksama, dan tetep keukeuh masih pengen baca… ingat, resiko kerugian moriil maupun materil pasca membaca fic ini anda sendiri yang tanggung! Mwahaha! *plakk

So, take your time and enjoy~!

"Ayo cepat bangun!" Aku merasa tubuhku seakan digoncang gempa tektonik (?) oleh seseorang. "Jeez.. apa sih.. aku masih ngantuk, biarkan aku tidur 10 jam lagi..," jawabku tanpa membuka mata sedikitpun, dengan suara parau sarat kemalasan sambil menutup kepalaku rapat-rapat dengan bantal. Mencoba tidur kembali. Sumpah, aku benar-benar lelah setelah hampir seminggu ini menemani–sekaligus jadi kuli angkut—Anzu berburu sale besar-besaran brand favoritnya (untungnya bukan Victoria's Secret), dan sepertinya bangun siang di akhir pekan itu bukanlah suatu dosa besar, bukan? Mengingat segala 'siksaan' yang menguras tenaga fisik plus menempa mental yang menderaku di minggu ini, rasanya tidaklah berlebihan untukku cuti satu hari saja, kan? Hhh

"Today's going to be one of the biggest historic day of yours! Get your ass up!" Sayangnya orang ini tidaklah sesimpatik yang kuperkirakan. Sekarang ia malah menarik lenganku dengan satu tarikan tangan yang membuat punggungku bergemeretak cukup.. aww sakit, memaksaku duduk. Man.. dia ini niat sekali ya menggangguku? Dan apa tadi? Hari bersejarah? Aku?

Aku menguap lebar selagi aku meregangkan tubuhku yang masih SANGAT letih lesu lunglai. Jangan tanya tentang punggungku yang seakan retak terbelah-belah gara-gara 'senam peregangan' tadi. Ouch.

Aku mengedipkan mataku beberapa kali, menajamkan pandangan mataku yang masih terlihat buram. Kemudian aku menatap penuh angkara murka pada.. tunggu sebentar. Aku menyipitkan mataku, sekadar untuk meyakinkan saja.

Atem?!

"What the hell are you doing here?!" Aku memekik kaget campur kesal. Hell, lagian ngapain pula dia ada disini? Di lain pihak, Atem selain gak niat buat ngejawab juga tidak merubah ekspresinya sama sekali. SAMA SEKALI. Gak ada tuh rasa gusar atau kaget sedikitpun di mukanya, dan yang terpenting..

Ya Tuhan, apa dia gak merasa bersalah gitu barang secuiiiiil saja?

Aku menarik napas sedalam yang kubisa.

"DIMANA SOPAN SANTUNMU, HAH! MASUK RUMAH ORANG PAGI-PAGI BUTA BEGINI, BORO-BORO MENCET BEL, KAU MALAH SEENAKNYA MEMBANGUNKANKU! YOU F*CKING ASSHOLE! ROT IN THE FU*KING HELL, YOU MOTHERF*CKER!"

Ups.

Tapi, jika aku mengira dia akan tersadar lalu cepat-cepat minta maaf sambil menjilat kakiku –daripada kusuruh jilat kakus—, aku ternyata salah besar.

"Lah, untuk apa aku melakukannya? Aku kan termasuk keluarga, lebih tepatnya aku ini sau-da-ra-kem-bar-mu, eh? Lihat, aku punya duplikat kunci rumahmu kok." Telunjuk kanannya memutar-mutar kunci yang dimaksud. Kurasakan sebelah mataku berkedut-kedut menahan marah.

Dasar maling!

"Tapi.. meskipun KAU keluargaku apalagi KEMBARANku, kau harusnya tahu itu tidak berarti kau bebas bertamu ke sini..—" aku menengok alarm di samping ranjangku dan kurasakan mataku membulat sebesar piring. "..—pukul 5 PAGI, kan? Ya Tuhan, Atem, dengar, aku sedang capek-capeknya karena aku merelakan diriku menjadi 'kuli panggul' belanjaannya Anzu selama hampir seminggu ini, dan aku SANGAT berharap bisa beristirahat dengan layak dan bangun siang hari ini. Jadi karena itu, kuminta dengan hormat, tolong kau angkat kaki dari kamarku.. SEKARANG JUGA," mataku menyipit selagi aku mengucapkannya –dengan suara bergetar menahan murka—sebisa mungkin tanpa terlihat emosi, tidak seperti scene sebelumnya.

Tapi mungkin hari ini memang hari sialku. Benar-benar SIAL.

"HE-HEI! A-APA YANG KAU LAKUKAN BODOH! TU-TU-TURUNKAN AKU! YOU STUPID JERK! KALAU MAU KELUAR, KELUARLAH SENDIRI! GAK USAH BAWA-BAWA GUE JUGA! WOI!"

Karma, ini pasti karma!

Jadi, karena selama seminggu ini aku 'memanggul' belanjaan Anzu terus kali ini giliranku yang 'dipanggul', gitu? Tapi, yang membuatnya lebih buruk adalah, scene dramatis –sumpah, ngerasa mirip sinetron kacangan di TV— ini malah jadi tontonan (atau fans service?) gratis nan menghibur di mata para tetangga, jika dilihat sorot mata mereka yang mirip komik jadul macem Candy-Candy. Bling-bling gitu, deh.

Dan lebih sialnya lagi, dari antara mereka malah aku bisa melihat segerombolan gadis –memakai ikat kepala dan bawa-bawa spanduk bertuliskan 'I LOVE MONARCSHIPPING' yang berteriak-teriak histeris saat melihat kami, ada yang memotret dengan hapenya, ada juga yang nosebleed parah sampai tepar begitu saja begitu kami melewati mereka. Aku punya feeling jangan-jangan kami dikira pasangan yaoi incest, DAMN!

Yang membuatku takjub adalah di tengah kerusuhan bak konflik Mesir minus tembak-tembakan itu, ekspresi Atem masih keukeuh adem ayem, berbeda dengan mukaku yang berubah-ubah entah antara cengok, jawdrop, facepalm, blushing mampus, pengen nangis saking malunya, sampai.. ARRRGH! HECK! Kalau begini caranya aku harus mati, lebih baik aku mati dipenggal pisau guillotine saja!

Sekali lagi, aku hanya bisa berfacepalm ria di bahu Atem.

Today's going to be a long long long (TRAGIC) day.

Aku akhirnya diturunkan di sebuah lobi hotel mewah setelah diajak kebut-kebutan –sehabis 'dilarikan paksa' oleh gorilla yang ironisnya mengaku sebagai kembaranku—super ekstrim dengan sebuah Bentley Continental GT V8 (untung bukan V12) karena supirnya (baca: Atem) adalah fans hardcorenya Initial D, gayanya mengemudi layaknya kami ini buronan di film Fast & Furious yang sedang dikejar-kejar Interpol, FBI, CIA, apalah namanya. Bagaimana rasanya, katamu?

Hell.

Aku merasakan mual dan pening yang terasa memberatkan kepalaku. Shit, aku terdengar seperti orang hangover yang habis berpesta lajang semalam suntuk. Bahkan, aku tidak bisa berdiri tegak dan jalanku sempoyongan. Rasanya jalanan yang kutapaki terbuat dari jelly dan semua hal yang kulihat disekitarku distort.

Lebih baik diayun Kora-Kora 1000 kali dengan kecepatan penuh.

Daripada menjemput maut dengan mobil yahud.

Aku merasakan tubuhku ditarik –diseret tepatnya—dengan agak kasar oleh tidak lain dan tidak bukan, ya Atem-lah. Siapa lagi emang?

Entahlah, apa ini hanya aku atau kalian juga merasakannya…

…perasaanku gak enak. Sangat.

Ternyata aku hanya 'diseret' ke ruang ganti. Tadi aku sempat memikirkan kemungkinan gila kalau aku bakal kehilangan keperawa—ralat. Keperjakanku disini. Ya Tuhan, aku tidak bisa menahan rasa panik dan gemetar saat membayangkannya. Untuk kedua kalinya dalam hari ini, aku benar-benar kepengen nangis. Entah tangis lega dan bahagia karena sepertinya tidak ada kejadian buruk yang bakalan terjadi lagi. Atau tangis nelangsa karena ada kemungkinan kalau bakalan ada lagi! Aku mengacak-ngacak rambutku yang tadinya sudah cukup acak-acakan gegara 'acara ngebut' tadi, jadi makin berantakan saja.

Damn, I'm fucking frustrated!

Aku diinstruksikan untuk mengganti pakaianku dengan jas yang tadi disodorkan sang stylist. Well, kuakui seleranya bagus juga, terlihat simpel dan elegan walaupun aku tidak begitu suka warna putih, sih. Aku agak kagum melihat pantulanku di cermin. Agak terkejut saat menyadari jas maupun kemeja dan celananya terlihat seperti didesain hanya untukku, benar-benar pas. Kubiarkan diriku tersenyum sedikit.

Walaupun agak aneh juga jika aku masih bisa tersenyum, mengingat aku tidak tahu alasannya kenapa aku harus ada di sini dan memakai pakaian ini. Dikasih undangan juga kagak, ujug-ujug maen diseret ke sini. Caranya brutal banget lagi.

"Woi! Lama amat, ganti baju atau semedi, kau?" suara Atem yang herannya beraksen Batak (?) sontak membuyarkan lamunanku. "APAAN NIH?" Nada suaraku naik beberapa oktaf nyaris terdengar seperti pekikan cewek saking kagetnya. Tepat di depan pintu besar itu, entah darimana dan kapan datangnya, Mana langsung menjejalkan sebuah… buket mawar (?) putih ketanganku.

"Kau harus memegangnya sampai nanti acara lempar bunga, loh," aku mengernyit bingung sambil menatap buket bunga di tangan kananku.

Acara lempar bunga?

Mataku membulat sempurna mendengarnya. Tunggu, TUNGGU SEBENTAR.

"Atem, Mana… May I ask something? What's going on here?" Tanyaku agak ragu. Suaraku lebih terdengar seperti berbisik daripada bertanya. Atem dan Mana saling bertukar pandang tak percaya.

"Ha? Sudah sejauh ini, kau masih belum tahu?" balas mereka dengan nada –wow-are-you-crazy-man?- Aku menelan ludah dengan susah payah, siap mendengarkan kemungkinan paling buruk.

Kurasakan jantungku berdebar keras sampai terasa agak nyeri. Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi pelipisku. Oh Tuhan, semoga ini bukan..

"Ah, kalian masih disini?" Kami bertiga refleks langsung menoleh ke sumber suara.

"Kaiba?" Aku menatapnya tidak percaya. Yang dipanggil boro-boro menanggapiku, malah ia meneruskan jalannya dan berhenti tepat di sebelahku, masih terus berbicara pada pasangan berkulit tan itu.

"Sudah kalian berdua masuklah sekarang. Tamu-tamu yang lain pasti sudah berkumpul semua di dalam, sebentar lagi kami juga akan masuk, oke?" Atem dan Mana serentak mengangkat ibu jarinya sambil berlalu. Tapi, aku bisa melihat sekilas Mana mengedipkan matanya ke arahku, sambil tersenyum ia berbisik 'good luck' yang membuatku bertanya-tanya apa maksudnya.

Lebih baik, aku tanyakan saja pada brunette jangkung di sebelahku.

"Errr..ehm, Kaiba?" Ia menoleh ke arahku agak menunduk. Oke, salahkan dia yang terlalu tinggi!

Kaiba mengangkat kedua alisnya seraya terkejut, "Yami, masa kau lupa ini hari apa?"

"Ya, hari Kamis, masa kau tidak tahu?" balasku sarkastis. Di luar dugaan, ia hanya menggeleng pelan lalu tersenyum lembut ke arahku.

HA? Seorang Seto Kaiba, CEO kunyuk ngeselin yang itu, tersenyum? Apa sebentar lagi manusia akan punah dimakan Ra? JANGAN!

Pintu megah di hadapan kami terbuka menampakkan undangan yang terlihat sangat familiar dan kini mereka sedang bersorak riuh dan bersuit-suit ria –ini pasti Jou atau Varon— menyambut kami, sementara ia mengucapkan kalimat yang menurutku terdengar seperti kutukan. KUTUKAN.

"…hari ini adalah hari pernikahan kita. Bagaimana mungkin kau bisa lupa?" Aku menatapnya horror. Frightened.

JEGEEEER!

Dan yang lebih miris, ironis dan tragis. Dari kejauhan aku melihat brunette lainnya dengan rambut bob sebahu dan sepasang sapphire indah sebiru lautan, terlihat sangat cantik dalam balutan gaun halter bernuansa nude, tersenyum bahagia sambil dirangkul oleh... Varon?

Jika memang rahangku bisa membentur lantai, ini timing yang sungguh sangat tepat.

Aku sedang berpikir apakah bunuh diri dengan menggigit lidah itu ide yang cukup bagus?

Tidak, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Inilah saatnya untuk..

"HUWAAA~! THERE'S NO WAY IN FUCKING HELL I'M YOUR BRIDE, YOU FREAKY CEO! Aduh~!"

Anzu hanya menatap heran ke arah Yami yang kini sukses berpose headstand –gagal— dari sofa dengan ekspresi horror dan keringat dingin bercucuran. Setidaknya, kepalanya tidak jadi sasaran teflonnya Anzu.

"Wo-woah i-ini dunia nyata kan?" Yami dengan paniknya menengok ke kanan-kiri, sukses membuat Anzu memutar bola matanya, menggelengkan kepalanya sambil terkekeh geli. Ia sepertinya harus menjadi istri teladan yang membantu suaminya untuk tenang.

"Need some help, boy?" tanya Anzu dengan seringaian khas chesire cat, seraya jemari rampingnya mencubit gemas pipi sang mantan pharaoh.

Atau menjadi troll wife.

"A-A-AWW~ ADUH! IYA IYA, A-A-AKU SUDAH BANGUN, S-STOP IT, PLEASEE~" Anzu melepaskan 'capitan' mautnya lalu berjalan kembali ke pantry melanjutkan kembali kegiatannya membuat sarapan, meninggalkan Yami yang sekarang mengelus-ngelus pipinya seakan-akan baru disundut setrikaan.

"Sepertinya Kaiba-kun tidak lupa mampir ke mimpimu ya." Yami hanya mendengus sambil tersenyum sinis.

"It's the worst dream I ever had…" Anzu terbahak mendengarnya. "Biar kutebak, kau menikah dengannya dan bagian terburuknya… kau jadi pengantin wanitanya, right?"

"Hhh.., ya kau be—tunggu, dari mana kau tahu?" tanya sang pemuda bermata delima itu heran. Ia meneguk segelas susu dingin, berharap mimpinya tadi ikut lenyap seiring ia menelannya.

"Tadi kau mengigau sambil menyebut-nyebut (baca:menghujat) namanya dengan mesra, loh~"

BRUUUSSH!

~fin

A/N: Oke, oke, gimana menurut readers? Apakah lebih bagus atau malah jauh lebih ancur dari sebelumnya? Soalnya sih jujur aja lebih enjoy waktu ngetik yang ini daripada yang versi Anzu, somehow. Dan kali ini, masih betah nulis dari POV tokoh utama, laen kali pengen deh bikin dari sudut pandang orang ketiga serba tahu. gak tau sih kapan..

Finally, thanks for reading! Mind to review? ;)