"Storia d'amore"
Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Story by : Alice Klein and Suki Pie
Warning : AU! OOC. And Anything :3
.
.
.
Bevanda 1 : Chamomile Tea
Midorima Shintarou x Akashi Seijuuro
.
.
.
.
"Dengan sekeping memori cantik dan secangkir teh chamomile untuk menemani hari ini. Dan tentu saja, hanya kita berdua."
.
18 Desember, 2013.
Akashi Seijuuro merapatkan mantel yang dipakainya.
Dingin.
Seharusnya ia tahu, musim dingin di London tidak akan terasa sama seperti musim dingin di Tokyo. Meski setiap jalanan dan atap bangunan di penuhi oleh salju-salju yang saling menumpuk juga bertengger di setiap ranting pohon, suhu udara di Inggris pagi ini lebih dingin dari biasanya.
Walaupun begitu, hawa yang bisa kapan saja membekukan setiap sel saraf di tubuhnya sama sekali tidak mengurungkan niat Akashi untuk datang ke kedai teh yang letaknya cukup strategis dari tengah kota. Tepatnya berada di samping jalanan London, dengan desain Victorian era yang begitu kentara membuat nilai tambah di mata para pengunjung, bahkan di setiap mata orang yang melewatinya. Dan papan dengan tulisan 'Just Tea and Time' yang digunakan sebagai nama kedainya selalu bisa membuat Akashi terkekeh geli. Well, nama itu terdengar sedikit konyol baginya.
Ting!
Denting bel berbunyi nyaring begitu Akashi mendorong pintu kedainya. Seperti biasa, kedai masih terlihat sepi, tentu saja. Mana ada orang Inggris yang mau datang di pagi hari seperti ini hanya untuk menikmati secangkir teh? Kecuali Akashi, tentunya. Dan garis bawahi kalau dirinya itu memiliki darah keturunan Jepang.
"Morning, Seijuuro,"
Akashi tersenyum, simpul. Tidak aneh ketika mendapati seorang wanita paruh baya—sekitar empat puluh tahunan—menyapanya langsung begitu pintu terbuka dan bel berdenting. Sudah menjadi kebiasaan, sebenarnya. Mendapati wanita berambut dengan beberapa uban di setiap helainya itu sudah berdiri di belakang konter, sibuk membersihkan setiap cangkir yang tersimpan.
Tidak jauh berbeda dengan desain luarnya, sang pemilik kedai dengan kreatifnya mendesain bagian interior-nya oleh berbagai hiasan kayu yang unik. Meja dan kursi terbuat dari kayu, hiasan rajutan yang tertempel di dinding, juga warna monokrom dan pastel yang menyatu. Seperti pesta kebun.
"Morning, Mrs. Wilson," sapa Akashi, membuka mantelnya dan menyampirkannya di kursi yang biasa ia tempati. Begitu masuk, dingin tidak lagi dirasakannya, "seperti biasa, Anda orang pertama yang selalu menyapaku ketika kemari,"
"Well, lihat siapa yang suka datang di pagi buta seperti ini?" balasnya ringan, dengan aksen Jepang asingnya. "Kau tahu, setiap café atau kedai seperti ini di London selalu buka pukul delapan pagi. Lalu aku? Aku membuka kedaiku pukul setengah tujuh pagi."
Akashi mendengus pelan. "Aku harap Anda tidak keberatan jika hanya satu pelanggan yang datang di jam seperti ini,"
"Oh, tentu saja tidak, Dear…" wanita itu tertawa renyah. "Aku senang kau datang kemari dan menjadi pelanggan tetapku. Ya, meskipun aku tahu kau kemari pagi-pagi sekali dengan alasan kabur."
Kedua bola mata Akashi berputar. Lagi-lagi mengenai kebiasaan kaburnya.
"Asal kau baik-baik saja, itu tidak masalah bagiku." Lanjut Mrs. Wilson sambil mengibaskan sebelah tangannya, lalu tersenyum lebar. "Jadi, morning tea untuk hari ini?"
"Seperti biasa," Akashi menopangkan dagunya dengan satu tangan, setelah itu menutup mata. "Chamomile tea yang selalu Anda buat tak pernah membuatku kecewa, Mrs. Wilson,"
"Baiklah, kau tunggu sebentar, dan… oh! Sepertinya dokter muda kita sudah menyadari kalau kau kabur, Seijuuro. Lihat, dia datang!"
Akashi membuka matanya cepat dengan kening berkerut dalam. Namun sebelum ia sempat bertanya—dan Mrs. Wilson sudah menghilang dibalik pintu dapur—suara dentingan halus dari arah pintu kembali terdengar, menarik perhatiannya. Begitu sosok itu berdiri di sana, sorot mata Akashi menajam. Datang lagi, pikirnya keki.
"Morning, Shintarou," kini giliran Akashi yang menyapa, mengikuti gaya bicara Mrs. Wilson. Hanya saja, dengan membubuhi nada sinis di dalamnya. "Kau ingin apa untuk morning tea hari ini?"
Midorima Shintarou, salah satu dokter muda di rumah sakit depan kedai teh yang saat ini didatanginya membalas sapaan Akashi dengan dengusan pelan. Sedikit kesal juga. Ditambah lagi udara dingin yang dirasakannya tadi membuatnya sebal.
Mengabaikan senyum Akashi—yang menurutnya menyebalkan—dan sapaan tadi, Midorima berjalan cepat, mendekati meja tidak jauh dari pintu namun bersebelah tepat dengan kaca jendela besar yang saat ini tengah ditempati Akashi. Begitu langkahnya berhenti di depan sang surai merah, tanpa perlu berkata bahkan mengeluarkan suara, ditariknya satu lengan Akashi. Mendapat tatapan tidak suka dari si pemilik lengan.
"Ambil mantelmu dan cepat kembali, Akashi," nada memerintah, dalam juga tegas. Tak peduli akan sorot mata tajam yang ditujukannya.
Akashi tidak suka diperintah, termasuk oleh dokter muda yang satu ini. Prinsip hidupnya selalu berbisik ia tidak boleh diperintah, namun dirinya yang seharusnya memberi perintah. Tak ada yang bisa membantahnya, baik semua suster yang menjaganya, baik oleh pasien-pasien yang ia temui, baik oleh Midorima sendiri.
"Tak perlu menarik tanganku juga, Shintarou," tandas Akashi jengah, menepis tangan Midorima yang masih mencekal lengannya. "Tidak bisakah kau bersikap santai sedikit pada pasienmu?"
Midorima mendecakan lidah, setelah itu membalas, "Tak ada kata santai dalam kamusku, Akashi. Menjaga kesehatan pasien adalah tugasku."
Rongga kedua mata Akashi kembali berputar. Malas mendengarkan omongan pria itu yang setiap hari membicarakan kode etik seorang dokter, tugasnya seorang dokter, jam kerjanya yang sibuk menjadi seorang dokter, dan tentu saja, lucky item untuk hari ini juga seterusnya.
"Duduklah sebentar di sini," Akashi kembali mengalihkan perhatiannya ke arah jendela. Menatap tumpukan hamparan salju di depan rumah sakit yang saat ini menjadi rumahnya. "Kau tahu, teh chamomile di pagi hari itu baik untuk tubuh agar tetap sehat,"
"Jangan mengguruiku tentang kesehatan,"
"Seperti kau tidak pernah melakukannya saja, Shintarou,"
"Lihat statusmu di sini, aku mengatakannya karena aku seorang dokter."
"Ya, baiklah, terserah. Aku muak dengan semua teori membosankanmu itu."
"Akashi—"
"Attention, gentleman!" suara riang dan nyaris serak itu menginterupsi perdebatan kecil mereka.
Mrs. Wilson datang membawa nampan dengan dua gelas cangkir berwarna putih gading tersimpan di atasnya. Terselip satu dua tangkai bunga matahari Asteraceae kecil di lengan cangkirnya. Sedangkan di samping satu pasang cangkir itu, terdapat beberapa makanan manis yang tertata rapi di dalam sebuah keranjang kecil.
"Kalian tahu, tidak baik menghabiskan waktu pagi dengan saling berdebat," sahutnya lembut, menyimpan nampan di atas meja, tepat di hadapan Akashi. Sepasang mata kelabunya memandang Midorima yang berdiri di sampingnya, setelah itu menepuk bahu tegap itu pelan sambil tersenyum lebar.
"Duduklah sebentar, Shintarou," sudut matanya mengerling kursi di depan Akashi, "apa artinya seorang dokter jika tidak bisa memperhatikan waktu santainya sendiri? Teh chamomile ini akan membuatmu rileks saat bekerja nanti."
Melihat binar di kedua wanita sang pemilik kedai dan Akashi yang menyeringai karena kemenangannya, Midorima menghela napas perlahan. Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau ia luluh juga.
"Baiklah kalau begitu," ditariknya satu kursi depan Akashi, lalu mendudukinya. Jari telunjuknya terangkat membetulkan letak kacatama, setelah itu meraih cangkir dengan cairan berwarna kuning kecoklatan di depannya. Namun sebelum ia menyesapnya, Midorima menarik kuncup bunga matahari yang terselip tadi, dan menaruhnya tepat di atas permukaan teh. Membuat bunga kecil itu terapung dipermukaannya.
"Coba kau seperti itu sejak tadi," sindir Akashi jahil. Melakukan hal yang sama seperti Midorima tadi pada tehnya, setelah itu menyesapnya pelan.
Midorima mendelik, memilih diam dan membiarkan cairan hangat yang disesapnya mengalir menuruni kerongkongannya. Tapi begitu meletakan kembali cangkirnya, matanya beralih pada Mrs. Wilson.
"Ma'am, aku minta lain kali jangan memanjakannya lagi seperti ini,"
Wanita bermata kelabu itu tertawa, dan Akashi lagi-lagi mendengus.
.
.
.
.
Hari ini, London mendapatkan kehangatan kecil dari sang mentari. Benar-benar kehangatan kecil sebab ini masih musim dingin dan salju masih bertumpuk dimana-mana. Setidaknya langit dapat tersenyum cerah tanpa ada kelabu yang menutupi keceriaannya.
Cahaya lembut yang menyinari mulai mengintip melalui celah-celah kecil tirai putih dan jatuh tepat di atas kelopak mata Akashi yang masih terpejam, berusaha mengusik pemuda tersebut untuk terbangun dari tidurnya. Namun, pemuda dengan rambut scarlet itu masih lebih memilih untuk meringkuk di atas ranjangnya dengan selimut. Entah kenapa tubuhnya malah merasakan kebalikan dari kondisi cuaca hari ini, dingin.
Walaupun rasanya ia ingin pergi dan mengunjungi kedai kecil itu lagi. Meminum secangkir teh dengan orang yang sama. Pemuda dengan gerutuannya, dengan nasihat-nasihatnya dan dengan perhatiannya yang telah mewarnai kehidupan Akashi belakangan ini. Seseorang yang sebenarnya... telah membuat seorang Akashi menjadi seorang manusia seutuhnya dan kembali merasakan kasih sayang serta kehangatan.
Sekali lagi. Ia ingin merasakan kehangatan itu disana.
Pintu abu-abu ruangannya pun terbuka. Akashi yang membelakangi pintu, tidak merasa tertarik untuk melihat siapa yang datang. Bahkan sekadar menolehkan kepalanya saja, ia merasa enggan.
"Tidak seperti biasanya, pagi hari ini kau menurut untuk tidak kabur, Akashi," ucap suara itu dengan tenang.
Indera pendengaran pemuda heterochrome itu terusik dan ia langsung mengenali pemilik suara tersebut.
"Tidak ada yang bisa memerintahku, jadi aku tidak perlu menuruti siapa-siapa, Shintarou," Jawab Akashi. "Lagipula, bukankah seharusnya kau senang karena kau tidak perlu susah-susah mencariku?" Lanjutnya sinis sambil berusaha bangun dan duduk di sisi ranjangnya, walaupun badannya sendiri masih memunggungi sang dokter muda tersebut.
Midorima menghela napasnya dengan kasar, "Aku kan cuma bertanya, nanodayo," jawab pemuda berkacamata itu seraya berjalan mendekati Akashi dan berdiri tepat di depan sang surai merah.
Iris hijaunya menatap lekat-lekat sepasang netra berbeda warna tersebut. Di antara mereka, tidak ada yang angkat suara. Hanya keheningan yang menyelimuti dalam waktu yang lama.
"Ada apa?" Tanya sang dokter akhirnya.
"Tidak ada apa-apa," Jawab sang pasien singkat.
"Kalau tidak ada apa-apa, bisa ceritakan kenapa kau tidak kabur seperti biasanya?"
"Cuma malas. Hari ini aku ingin istirahat,"
"Benarkah? Kenapa kau tidak—"
"Demi apapun juga, aku hanya ingin istirahat, Shintarou,"
"Hmm?"
"Tch! Hentikan pertanyaanmu yang menyebalkan itu, Shintarou!" tanggap Akashi sambil membuang mukanya kesal. Ia kabur salah, ingin istirahat juga salah. Sebenarnya pemuda berkacamata ini maunya apa, sih? Ini masih pagi, lagipula. Dan seketika mood Akashi untuk hari ini runtuh karena serentetan pertanyaan Midorima.
Midorima kembali menghela napasnya. "Maaf," ujar pemuda bersurai hijau itu. Merasa canggung, akhirnya ia kembali membuka pembicaraan, "Bagaimana keadaanmu?"
Akashi terdiam sebentar, "Aku baik-baik saja," jawabnya ketus dan tanpa memalingkan wajahnya ke arah dokter muda tersebut. Walaupun sebetulnya Akashi merasa sedikit pusing dan tangannya pun makin menarik selimut miliknya agar dapat menghilangkan rasa dingin yang sedari tadi masih ia rasakan.
Alis mata Midorima terangkat sebelah, "Benarkah?" Kembali ia lontarkan pertanyaan yang sama dan Akashi sepertinya tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya. Namun seketika Midorima mendekati sang surai merah dan meletakan punggung tangannya di atas kening pemuda tersebut, refleks karena itu sudah seperti insting dokternya. "Tidak demam, untunglah," terselip nada kelegaan dari perkataan Midorima tadi. Akashi tidak merespon karena masih merasa jengkel.
Midorima pun menurunkan tangannya dan menatap Akashi lekat-lekat. Akashi yang dari tadi merasa diperhatikan, langsung menatap Midorima balik dan memasang wajah 'ada-apa-lihat-lihat?'
"Masih kesal?"
"Menurutmu?"
"Seperti anak kecil saja,"
"Aku bukan anak kecil, Shintarou,"
Midorima menahan tawanya. Kadang rasanya menyenangkan saat menggoda pasien keras kepalanya yang satu ini.
"Well, well, baiklah kalau begitu. Aku harus pamit untuk memeriksa pasien yang lain," kata Midorima sambil beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu keluar. "Kalau kau membutuhkan sesuatu, kau bisa menekan tombol nurse call,"
Akashi mendengus, "Tidak perlu kau memberitahuku pun aku sudah tahu itu."
Midorima hanya tersenyum tipis dan menutup pintu abu-abu itu perlahan, meninggalkan sosok berambut merah yang masih tampak jengkel tersebut.
Sepeninggal kepergian Midorima, Akashi memutuskan untuk mengistirahatkan lagi tubuhnya dan kembali berbaring di ranjang. Pandangan matanya ia jatuhkan ke sebuah jam berbentuk lingkaran dengan bingkai berwarna hitam yang terpasang di dinding putih ruangannya. Jarum detik terus berjalan, jarum panjang berada di angka sepuluh dan jarum pendek menunjuk angka delapan.
Biasanya pada waktu seperti ini, Akashi masih berada di kedai kecil itu sambil menyesap teh chamomile kesukaannya. Ah, jangan lupakan juga sosok Midorima Shintarou yang selalu menemaninya meminum teh tersebut.
Diawali dari Midorima yang selalu datang marah-marah, menyuruhnya untuk kembali ke rumah sakit dan akhirnya pemuda penyuka ramalan itu akan mengalah seraya memesan secangkir teh yang sama. 'Aku memesan teh chamomile bukan berarti aku mengikuti dan peduli padamu, nanodayo!' kilah dokter muda itu dan Akashi hanya akan tersenyum jahil saat mendengar alasan konyolnya.
Tidak terasa kedua kelopak mata Akashi menjadi berat karena rasa kantuk yang menyerangnya. Tanpa peringatan, seketika gelap memeluknya dan membawa sang surai merah jatuh ke alam mimpi.
.
.
.
"—kashi,"
Perlahan iris dwi warna itu terbuka, berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke indera pengelihatannya. Setelah beradaptasi, Akashi mulai mencari sumber suara yang sudah membangunkannya dan sosok dengan surai hijau itu terlihat duduk di sebelah ranjang Akashi.
"Maaf karena sudah membangunkanmu," ucap Midorima, ada keraguan yang tak kentara di sana. Merasa bersalah begitu binar di kedua mata sang surai merah sedikit terlihat sayu.
Akashi—kesal karena terganggu dari tidur lelapnya—mendengus angkuh setelah itu mengambil posisi duduk
"Akan aku maafkan kalau kau punya alasan bagus kenapa mengganggu waktu istirahatku," jawab Akashi sambil melirik ke arah jam lagi. Jam sembilan lebih lima menit. Berarti dia baru tertidur satu jam, pikirnya.
Ya, satu jam itu akan bertambah sampai keadaannya membaik jika Midorima tidak akan membangunkannya seperti ini. Ah, tapi, setidaknya Akashi tidak marah. Karena jam tidurnya tadi sedikit membuat dirinya tidak nyaman.
"Maaf," kata itu terucap sekali lagi dari bibir Midorima, namun tak menjawab pertanyaan Akashi. Pria berjas putih itu beralih pada nampan yang tersimpan di atas meja samping ranjang pasien, karena sebelumnya ia letakan nampan itu di sana dan setelahnya membangunkan Akashi.
Kerutan heran menghiasi wajah pucat si pasien begitu tangan sang dokter mengambil poci beling berukuran lebih besar dari dua cangkir yang tersimpan di sampingnya.
"Untuk apa itu?" tanya Akashi akhirnya. Matanya tak lepas dari satu cangkir yang diambil Midorima, setelah itu menuangkan cairan kuning kecokelatan yang berada dalam poci ke arah cangkir. Membuat uap-uap tipis mengepul di atasnya.
"Katakan saja, permintaan maafku tadi pagi," entah keberapa kalinya Midorima mengucap kata 'maaf' hari ini. Jemari telunjuk dan jempolnya mengapit satu bunga matahari kecil lalu meletakannya di atas permukaan teh. Kepalanya mendongak, menatap Akashi sejenak, setelah itu memberikan cangkir porselen itu di hadapan Akashi.
Satu alis Akashi terangkat, namun cangkir itu tetap diambilnya.
Teh chamomile?
"Hati-hati, masih panas," sahutnya kemudian, melakukan hal yang sama pada cangkir satunya, meletakan bunga matahari kecil di atasnya, lalu mengangkatnya ala bangsawan Inggris. "Rasanya memang tidak seperti racikan Mrs. Wilson. Tapi rasanya tidak terlalu buruk,"
"Begitukah?" Akashi terkekeh begitu kernyitan kecil tercetak di kening Midorima. Ia mendekatkan ujung cangkir di depan mulutnya, menghirupnya sebentar setelah itu menyesapnya dalam gerakan pelan.
Tanpa sadar Midorima menatapnya—sedikit—cemas.
"Bagaimana?"
Ujung cangkir itu terlepas dari bibirnya, sampai garis tipis di wajahnya menekuk ke atas dengan geli. "Memang tidak seperti racikan Mrs. Wilson—"
Midorima meringis kecil.
"—tapi bagiku ini sudah cukup. Kau mengingatkanku akan kedainya, Shintarou."
Sang surai hijau mendengus, setelah itu terkekeh geli. "Merindukannya, eh?"
"Kenapa? Apa itu salah?"
"Tidak," sahut Midorima cepat. Salah, ia salah memilih kata. "Kedai Mrs. Wilson memang sulit untuk dilupakan,"
"Begitulah," tanpa sadar teh dicangkirnya sudah berisi setengah, binar kekecewaan melintas sesaat di matanya. Hanya sesaat. "Kapan aku mengunjungi lagi tempat itu?"
Lebih kepada diri sendiri, kalimat itu tak ditujukan untuk siapa-siapa.
"Kau baru saja mengunjunginya kemarin, Akashi," Midorima mengingatkan, "akan kuberikan izin mengunjunginya jika keadaanmu memang baik,"
Akashi mendecih tidak suka. "Penyakit thalasemia ini benar-benar menyebalkan,"
"Sembuh," sela Midorima tegas, "baru setelah itu mengeluh sepuasnya."
Iris dwi warna itu mendelik tajam, setelah itu tertutup perlahan. Kesepeluh jemari yang melingkar manis di sekitar cangkirnya mengerat tanpa disadari. Ada getar di sana, juga kerapuhan yang disembunyikan.
"Chamomile tea,"
Gumaman Akashi tadi membuat sepasang alis Midorima terangkat, bingung. Dan sepasang dwi warna yang selalu terlihat angkuh itu belum terlihat dibalik kelopan matanya. Entah apa yang Akashi coba rasakan saat ini.
"Apa?"
"Satu-satunya hal yang tak akan pernah aku lupakan," jawab Akashi lugas. Ringan dan tanpa beban sama sekali. "Dan tentu saja, London, kedai Just Tea and Time, Mrs. Wilson, bunga matahari, dan terakhir—"
Aroma tehnya, batin Midorima tanpa sadar.
"—kau," jeda sejenak, kelopak mata itu terbuka, dan menatap sang subjek lekat-lekat. "Shintarou,"
Satu tangan Midorima bergerak refleks, menangkup kesepuluh jemari Akashi yang masih menempel di permukaan cangkir. Dingin. Tangan itu dingin. Berbeda dengan suhu tubuhnya saat ini. Bahkan jemari Akashi sedingin salju di luar sana.
"Hentikan, Akashi," ada tekanan dalam setiap katanya, menahan segala rasa dan emosi. "Tak perlu dilanjutkan,"
"Shintarou,"
Iris hijau itu memohon, tanpa ada kalimat yang terucap. Batinnya berteriak akan segala kalimat agar Akashi jangan meneruskan ucapannya.
"Chamomile tea dan kau," kepala itu menunduk, senyum getir terpoles pada parasnya namun disamarkan oleh suara tawa meremehkan.
"Akashi—"
"Tidak akan kulupakan. Selalu."
.
.
.
.
"Shintarou, Shintarou …"
Bibirnya mengerang protes, guncangan pelan di bahu kanannya sedikit membuat kepalanya berputar. Begitu sadar saat ini tubuhnya terkulai di atas meja, perlahan ia menegakan punggungnya hingga mengambil posisi duduk.
"Ah, akhirnya kau bangun juga, Dear," suara halus itu mengalun khawatir. "Kau bisa sakit jika tertidur di sini,"
Midorima menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Sakit di kepalanya tidak menghilang juga, dan lagi punggungnya terasa pegal.
"Pukul berapa ini, Mrs. Wilson?" oh sial, suaranya juga terdengar serak.
"Pukul sembilan malam. Kau tidur nyenyak sekali,"
Midorima mengangkat kepala cepat dan menatap sekelilingnya. Benar saja, tak ada lagi pengunjung selain dirinya, kursi-kursi disimpan terbalik di atas meja (kecuali kursi yang didudukinya dan satu kursi di depannya), lampu dapur juga sudah dimatikan, hanya penerangan luar dan sekitarnya yang tetap menyala. Jam yang tersimpan di atas meja konter menunjukan angka sembilan lebih lima menit. Begitu matanya mendapati kalender di sampingnya, Midorima mengernyit samar.
20 Desember 2014.
Ia menoleh ke samping, Mrs. Wilson berdiri di sana, kerutan di wajahnya mulai terlihat jelas ketika sepasang mata kelabunya memaku iris Midorima cemas.
"Maaf," hanya itu yang bisa diucapkannya. Sadar akan dirinya tertidur lama di kedai—
—bahkan sampai bemimpi akan masa lalu.
"Tidak apa-apa, Dear." Mrs. Wilson mengusap punggung Midorima dalam gerakan menenangkan. Senyum simpul menghiasi wajahnya. "Aku tahu kau merindukannya, aku juga merasakan hal yang sama."
Sepasang iris hijaunya berbinar heran. Membuat senyum yang terlukis di paras wanita ramah itu terlihat semakin lebar. Namun mengandung sarat akan perih dan kerinduan yang dalam. Tidak jauh berbeda dengan sorot matanya.
Mrs. Wilson tak langsung menjawab, ia menarik kursi di depan Midorima lalu mendudukinya. Menggeser pelan satu dari dua cangkir ke hadapannya (bahkan dokter muda itu tidak menyadari dua cangkir itu tersimpan di sana). Ia terlalu kacau akan mimpinya tadi, terus berputar dalam benaknya.
"Chamomile tea," gumam Midorima tanpa sadar. Kelopak-kelopak kecil putih yang berenang bebas dalam cairan tehnya sudah tampak familiar di matanya.
Ia sudah mengenalnya. Sangat.
"Sudah lama ya,"
Kepala Midorima mendongak, namun Mrs. Wilson tak mengacuhkannya.
"Sudah lama tak ada sosok Seijuuro di sini." Wanita itu tertawa, rapuh. Dan irisnya mulai berkaca. "Tapi aku selalu bisa merasakan kehadirannya di sini. Oh, tentu saja, ketika chamomile tea bersamanya."
Midorima memejamkan mata erat.
—Ia tahu itu.
Tanpa sosok itu, yang kini telah pergi meninggalkan dunia, secangkir chamomile tea hanya akan menjadi cairan polos tanpa rasa. Mirip seperti kehidupannya sekarang yang menjadi pucat tidak berwarna serta hambar tidak terasa.
Biarkan semuanya tersimpan dan menjadikannya salah satu kenangan manis yang dirangkai Tuhan untuknya.
.
.
.
"Halo Tuan berkacamata,"
"Berhenti memanggilku dengan nama konyol itu dan cepatlah kembali ke rumah sakit, ng … aku lupa namamu,"
"Astaga, kau lupa akan nama pasienmu? Benar-benar…"
"Sebutkan saja,"
"Aku tidak suka diperintah. Ah, tapi sebelum itu, izinkan aku untuk menyesap sebentar teh chamomile di kedai ini."
"Cha—apa?"
"Chamomile, astaga. Sepertinya kau harus mencobanya sekarang. Kau tahu, pelanggan bilang, chamomile tea racikan—siapa itu? Aku lupa. Ah! Mrs. Wilson! Adalah teh terenak nomor satu di London, Shintarou."
.
.
.
"Namun sekarang hanya ada aku di antara aroma chamomile tea ini.
Tak ada lagi kita."
.
.
.
Bevanda 1 : Completato
A/N :
Alice & Suki : Halooo~~ kembali lagi dengan kamiii XDD /siapa kamu/
Well, sebenernya ini mau dijadiin kumpulan Drabble kayak Hana Kotoba, tapi gara-gara kami keasikan ngetik jadinya kumpulan Oneshot deh, kayaknya itu juga. Belum kok! Kumpulan ini belum tamat XD Dan mungkin akan berbeda cerita di setiap minuman yang adaa~~ *wink* Begitu pula dengan genre dan tag chara akan berubah sesuai cerita. Genre juga berubah, tapi romance tetap mendominasi :3
Oh ya, ada yang mau request pairnya? :3 /plak/
Dan selamat berjuang buat Neechan kami yang nanti mau mengikuti tes XD Ganbatte! *kibas pom-pom*
Dan seperti biasa,
Alice & Suki : Review please! XDD
