Pairing: (Slow) Gray x Lucy
DISCLAIMER: Fairy Tail is owned by Hiro Mashima
"Permainan pianomu indah seperti biasanya, Lucy," Ms. Elise memuji.
Aku tersenyum lebar. Bermain piano sudah menjadi keahlianku sejak kecil. Mum menyuruhku untuk ikut kursus piano saat aku baru berumur lima tahun. Meski waktu itu anak-anak seumuranku hanya bermain, bermain, dan bermain, aku selalu rajin melatih kemampuan musikku. Dari yang bisa kuingat, aku ingin sekali menjadi pianis profesional.
"Terima kasih," balasku. Aku kembali ke tempat dudukku diiringi tepukan tangan teman-teman.
Kelas musik sebentar lagi selesai, dan akulah yang selalu tampil terakhir. Ms. Elise bilang aku tidak perlu belajar banyak lagi, hampir setara dengan profesional sehingga tidak begitu banyak kesalahan yang kubuat. Biasanya sih begitu.
Deringan bel menandai usainya sekolah hari ini, membuat para siswa menghambur keluar.
"Kau hebat, Lu!" seru sahabatku dengan ceria. Meet Levy. Dia sudah menjadi temanku sejak setahun yang lalu. Kami sering menghabiskan waktu di toko buku atau perpustakaan berjam-jam hanya untuk mencari bacaan. Terkadang kami juga berlatih musik bersama. Dia pemain keyboard. Ya, nggak beda jauh denganku. Menurutnya, keyboard itu lebih ekspresif ketimbang piano, karena dia bisa menggunakan berbagai jenis suara, seperti suara terompet, suara drum, suara gitar, dan hampir segala alat musik yang ada di bumi ini.
Koridor-koridor sekolah saat pulang sekolah selalu macet. Semuanya mengarah ke lobby untuk pulang ke asrama, kecuali beberapa orang termasuk kami. Berjalan melawan arus dengan terburu-buru sungguh melelahkan.
Aku dan Levy belok kanan, sementara teman-teman yang lain belok kiri mengerubuti tangga. Akhirnya jalan menjadi agak sepi. Aku menatap jam tanganku. Jam 13.00. Belum terlambat. Melewati laboratorium biologi dan sampailah kami di tujuan. Ruang OSIS.
"Hai, Lucy, Levy. Kami sudah menunggu kedatangan kalian," seorang cewek menyapa kami ketika kami membuka pintu. Aku menyapanya kembali.
Cewek yang menyapaku dan Levy tadi itu Mira, si Sekretaris OSIS. Meski usianya yang termasuk muda, ia sudah bekerja sebagai model di majalah Sorcerer Magz—majalah yang cukup tenar di kota ini. Oleh karena itu dia mengambil kelas drama, modelling, dan fotografi di sekolah ini.
Seperti biasa, anggota OSIS didominasi oleh murid-murid yang berprestasi dan langganan menjadi pemenang dalam berbagai kompetisi. Bukannya aku menyombongkan diri, tapi kenyataannya begitu. Namun dibandingkan teman-teman yang lain, aku ini masih nggak ada apa-apanya.
Bisa dibilang aku, Levy, Erza, dan Mira itu beruntung. Di tahun pertama kami ini, kami berempat telah menjadi anggota OSIS, bahkan Erza dan Mira menjadi pengurus.
"Pertama," Erza si Ketua OSIS membuka rapat, "kita akan membahas tentang kegiatan belajar-mengajar." Topik pertama yang dibahas di awal bulan selalu sama. "Bagaimana dengan switching?"
Switching adalah istilah kami saat guru-guru mata pelajaran khusus berhalangan hadir sehingga kami terpaksa mengajar sementara. Setiap hari Senin sampai Rabu kami mendapat pelajaran wajib seperti matematika, sastra, dan semacamnya. Sedangkan hari Kamis dan Jumat kami mengikuti pelajaran khusus—mata pelajaran yang telah kami pilih sewaktu kami masuk sekolah ini.
Cowok bernama Loki dari divisi MPD (Modelling, Photography, Drama) mengangkat tangan. "Jadi, tadi pagi, Mr. Evan—guru fotografi kita—sudah mengkonfirmasi cuti selama sebulan mulai minggu depan untuk merawat ibunya yang sedang sakit di luar kota.
Erza berpikir sebentar. "Hm," gumamnya. "Aku akan meminta daftar murid fotografi ke TU besok pagi. Setelah kuberikan daftarnya, kalian divisi MPD silakan tentukan sendiri siapa pengajarnya."
Inilah hal tersulit menjadi OSIS di SMA Fairy Art. Kami bukan hanya memastikan para siswa mematuhi peraturan dan mengurus acara sekolah, serta rapat setiap hari Kamis sepulang sekolah. Tapi kami merangkap sebagai pengajar. Lebih tepatnya asisten guru atau pengajar tambahan atau pengajar pengganti atau apalah kalian mau menyebutnya. Rasanya agak canggung kalau aku mengajari murid senior di sekolah ini.
Aku beruntung karena hanya pernah menggantikan guru sekali. Mengajar kelas musik selama dua hari saja melelahkan banget. Apalagi sebulan. Untung Ms. Elise jarang cuti.
Sejam berikutnya, akhirnya rapat selesai. Kami para cewek berjalan bersama menuju ke asrama perempuan. Beberapa cewek di belakang terus-terusan bergosip. Tapi aku nggak bisa menahan diri untuk nggak mendengarkan.
Dalam asrama, satu kamar kebanyakan ditempati tiga atau empat orang. Ada juga yang hanya dua. Aku sekamar dengan Levy, Mira, dan Erza. Kami berempat sudah berteman baik sejak bulan pertama di sekolah ini. Meski belakangan Erza semakin sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai ketua OSIS serta jadwal Mira hampir selalu penuh dengan pemotretan dan pentas drama, kami berempat masih bisa menyisihkan waktu hang out bersama.
Sabtu hari yang cukup membosankan kalau kau anggota OSIS dan punya prestasi. Saat siswa yang lain libur, kami harus pelatihan di sekolah untuk mempersiapkan kami menggantikan guru matpel khusus waktu mereka berhalangan.
Kami berlatih menari, menyanyi, bermain musik, fotografi, dan lain-lain. Itu wajib. Di sini semua dituntut untuk bisa menguasai segala bidang. Ya... Setidaknya bisa kalau kau tidak menguasai. Sedangkan di minggu-minggu berikutnya kami mempertajam kemampuan di bidang masing-masing.
Hal positif dari pelatihan awal bulan yang bodoh ini adalah instrukturnya! Instruktur pelatihan berbeda dengan guru. Bisa dibilang pelatihan ini semacam ekstrakurikuler.
Kami semua berkumpul di aula, menunggu Jellal, instruktur dance yang ganteng—inilah yang kumaksud!
"Maaf aku sedikit terlambat." Jellal menerobos pintu. Canggung banget kalau kami memanggilnya 'Mr'. Dia baru saja lulus Fairy Art tahun lalu namun prestasi menarinya sudah terkenal sampai kancah internasional. Ia juga sering memenangkan kompetisi-kompetisi dance saat ia masih sekolah dulu. Mantan ketua OSIS pula—jabatan Erza saat ini.
"Sebelum kita mulai latihannya, aku ingin mengumumkan sesuatu." Aku memasang telinga. Jellal melanjutkan, "Kurang lebih dua bulan lagi akan ada Magnolia Cup, dan kalian akan ikut kompetisi itu!"
Erza kelihatan kaget banget. Mungkin karena biasanya dia orang pertama yang tahu informasi tentang beginian.
"Principal Makarov sengaja menyuruhku yang memberitahu kalian karena ketua OSIS kita yang satu ini pasti bakalan kalang kabut kalau tahu akan ada lomba lagi. Dia ingin memberimu setidaknya a few days of peace."
"Maaf kami terlambat!" Dua orang cowok berdiri di pintu yang masih terbuka itu.
Mereka maju mendekati Jellal, satunya berambut pink dan satunya berambut hitam. Bukan OSIS sih. Tapi mereka termasuk andalan Fairy Art dalam kompetisi.
"Nggak papa. Kita belum mulai apa-apa. Silakan duduk, Natsu, Gray."
Natsu yang berambut pink dan Gray yang berambut hitam duduk bersila di sebelahku.
"Did we miss something?" Gray bertanya.
Aku menggeleng. "Jellal baru saja mengumumkan kalau kita akan ikut Magnolia Cup."
Jellal berdeham. "Kita lanjutkan yang sebelumnya. Jadi, untuk lomba menari individu, seperti biasa, Erza, Natsu, Gray. Lomba menari berpasangan, Alzack dan Bisca. Lomba piano, Lucy. Lomba band, Levy, Jet, Droy, Elfman. Lomba menyanyi, Mira. Dan akhirnya, lomba fotografi, Loki."
Kebanyakan yang terpilih sudah langganan. Sepertinya kami harus bekerja keras.
"Oh ya, Lisanna, bagaimana latihan harpamu? Sudah siap?" Aku lupa kalau Jellal juga ketua instruktur pelatihan. Tugasnya selain membacakan nama anak-anak yang ikut lomba, ia juga harus memantau latihan. Lisanna besok akan mengikuti lomba harpa se-Fiore.
"Siap!" Lisanna menyahut. "Ugh.. Semoga saja aku bisa mengalahkan Ikaruga."
"Hm, Freed, Bixlow, dan, Evergreen? Apa Laxus sudah memberitahu soal pentas drama di Magnolia Theater?"
Freed yang menjawab. "Ya. Tenang saja, Jellal, kami sudah memikirkan konsepnya. Tinggal memilih pemeran-pemeran yang lain."
Musim lomba telah dimulai, padahal semester dua baru berjalan tidak sampai sebulan. Setelah ceramah singkat yang memotivasi, Jellal menyuruh kami yang ikut Magnolia Cup berkumpul di dekat piano.
"Baiklah. Ketentuan-ketentuan lombanya sudah kuketik." Ia membagikan kertas kepada kami. Isinya sama semua dan terbagi ke beberapa kategori lomba.
Mungkin inilah sebabnya dia terpilih menjadi ketua instruktur. Dari semua guru yang kukenal, Jellal-lah yang paling perhatian pada murid-muridnya, ngajar juga nggak terlalu kaku.
Di kertas itu tertulis aku harus memainkan lagu berdurasi antara lima hingga sepuluh menit secara medley. Kali ini aku harus memilih lagu-lagu yang cukup sulit supaya bisa juara 1. Kuharap setidaknya aku mengalahkan Juvia dari Phantom Art itu.
TO BE CONTINUED
