landscape
shigatsu wa kimi no uso (c) naoshi arakawa
saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini
Hari itu adalah musim semi.
Seto Hiroko berdiri gelisah di depan pintu pagar besi hitam. Kelopak merah muda berterbangan sepanjang jalan membentang di kompleks perumahan, menyentuh sejenak bagai hembusan di poni gelap sang wanita. Ponsel lipatnya menempel di daun telinga, begitu rapat sejak ia menekan tombol hijau pertama kalinya. 'Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab panggilan' bergaung dari speaker ponsel sejak panggilan pertama. Cengkramannya pada ponsel mengerat. Masuk tidak masuk tidak masuk tidak masuk—
—Kediaman Arima melantunkan Liebesfreud, tanpa peduli dengan dunia di luar.
Dan lagu itulah yang membimbing Hiroko untuk mengumumkan kehadirannya tanpa repot-repot mengetuk pintu. Hanya mengandalkan pendengaran; semakin kencang lagu berkumandang semakin dekat ia dengan tujuannya.
"Saki, mana Kousei? Aku mau lihat dia lagi."
Berdiri di ruang keluarga, kedua tangan di pinggang, Hiroko mengutarakan maksud kedatangan tanpa tahu malu. Dramatis. Cukup untuk membuat suaminya datang menggebrak pintu depan dan menjewer kupingnya.
Wanita yang dipanggil namanya menyembul dari pintu kedap suara studio pribadi.
"Tak perlu kau minta pun aku sudah membawanya," jawab Saki setengah bercanda setengah menggerutu. Ia keluar dari ruang studio sambil menggendong sesuatu di tangannya.
Postur kurang ajar Hiroko melunak tatkala sahabatnya, Arima Saki, menghampirinya dengan selimut keibuan yang menguar darinya. Ah, kebahagiaan seorang ibu.
"Mau menggendongnya lagi?" tawar Saki meski sebenarnya tidak perlu. Ia sudah lebih dulu mengerahkan putra belianya, Kousei, kepada sahabatnya. Kedua lengan Hiroko kaku saat menyambut Kousei, kaget karena tidak dipersiapkan (seperti kali pertama). Pengalaman keduanya menggendong Kousei tak menghilangkan perasaan yang sangat ringan, empuk, rapuh, dan berharga tentangnya. Hiroko takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa bayi itu di pelukannya.
"Sayang sekali, aku baru saja meninabobokannya," jemari musikal Saki mengelus lembut rumpun tipis rambut di puncak kepala Kousei.
"Dengan Liebesfreud? Wow, anakmu punya selera tinggi. Coba pertimbangkan saranku kemarin, Saki."
Saki menggeleng lemah, senyumnya amat pahit, "Entahlah."
Jemari yang masih bermain di kulit merah Kousei tanpa maksud apapun ternyata membangunkan Kousei dari tidurnya. Kelopak mata yang selama ini terpejam kini terbuka perlahan.
Wajah sang penggendong ditarik tak kasat mata, tanpa sadar menantikan kapan mata polos itu melebar, menatap dunia yang bagaikan pelangi tak terjamah di sana.
"Ah, Kousei bangun."
Begitu cerah dan cemerlang, sejernih lautan yang baru saja lahir. Lanskap yang menyedot eksistensi; bintang-bintang berkejaran seperti buih ombak. Ada tanya mengapung di sana, khas seorang bayi. Tak ada rewel lagi tangis menginterupsi. Kousei amat tenang walau dalam dekapan seorang asing.
Salahkah bila Hiroko jatuh hati pada bayi mungil yang berada dalam dekapannya ini?
