Owari no Seraph milik Takaya Kagami

Senja

Oleh Ayahina

.

.

.

Sejujurnya, sore ini adalah sore terindah selama dua puluh lima tahun hidup Guren. Ia bisa pulang kerja lebih cepat dari biasanya, terdapat diskon di kedai seberang kantor, perjalanan yang lancar dan sebuah salam dari seseorang yang selalu dirindukannya. Seolah-seolah memakai topeng kebahagiaan, Guren terus-menerus tersenyum selama hampir belasan menit. Memang mustahil jika Guren tidak senang. Lihatlah, netra yang merefleksikan dirgantara cerah itu tertambat padanya. Bibir merah muda yang dulu senantiasa melengkung manis itu kembali terbuka. Lelaki itu bangun, sadar. Tak ada lagi keheningan yang termakan oleh bau obat-obatan.

Hiiragi Shinya kembali menatap dunia setelah tertidur sekian lamanya.

"Aku bertemu Goshi di jalan. Dan asal kau tahu, dia memberi kita sekotak donat. Makanlah." Guren mengambil sebuah donat bertabur meises cokelat dan keju dan membaginya menjadi beberapa potongan. Ia menjulurkan salah satu potongan ke Shinya, menanti mulut itu terbuka.

Namun lelaki itu mengabaikan potongan donat yang berjarak beberapa senti darinya. Pandangan Shinya tetap jatuh pada sepasang bola ungu milik Guren. Sunyi kembali datang.

"Makanlah, Shinya. Atau kau mau makan roti selai? Tunggu sebentar, biar kubelikan—"

Waktu menunjukkan langit semakin gelap.

"Guren. Apa kau baik-baik saja?"

Suara selemah neonatus. Tatapan berisi penolakan. Jari-jari menggapai udara. Ketiganya menghentikan pilar kulit Guren. Ia menoleh ke belakang demi mendapati wajah anak angkat keluarga terpandang itu mengatakan padanya agar duduk tenang di kursi. Guren menurut, ia tidak bisa menolak.

"Apa yang terjadi padamu?"

"Apa maksud pertanyaanmu? Tentu saja aku sedang senang!"

Dahi Shinya berkerut. Susah payah ia membuka mulut dan berkata, "Itu bukan senyum manis ala Guren. Itu senyum yang memuakkan dan aku tidak mau melihatnya."

"Maksudku, aku senang kau baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja, ke depannya dan seterusnya—"

"Kau hanya manusia biasa, Guren."

Bagaikan hari kebalikan. Senyum Shinya seperti mentari di luar sana, menuju lenyap oleh cakrawala. Sementara kepalsuan menjadikan senyum Guren kian tidak bermakna.

Sunyi yang jatuh bagaikan hujan meteor, bertubi-tubi dan menyiksa. Untuk pertama kalinya, Guren tidak suka kehampaan ini—meskipun ia sering kali sengaja menjauhkan diri dari kebisingan manusia. Lazimnya, seorang Hiiragi Shinya senang tersenyum seolah-olah ada gulali bersemayam di wajahnya. Tertawa seolah-olah topeng kesedihan tak pernah berhasil menyergap dirinya. Dan itu mustahil. Namun, lihatlah. Senyum Shinya tak lagi sama. Melihat Shinya dililiti selang-selang pembantu hidup hanya membawa nyeri di hati Guren.

Keindahan batu kecubung itu tersamarkan oleh air mata.

"Guren, kenapa kau menangis?"

Satu tetes mengenai lantai kamar.

"Guren?"

Dua tetes.

"Shinya."

Guren meraih tangan Shinya. Kesepuluh jari itu lemah dan pucat, jari-jari yang tak pernah gagal membuatnya nyaman. Ia masih ingat bagaimana jari-jari itu menyentuhnya, memeluknya dan menjahilinya. Semuanya. Andaikan waktu berbaik hati membiarkan ia menyematkan sebuah cincin di jari manis Shinya. Andaikan hubungan ini bisa bertahan lebih lama. Andaikan saja. Dan satu-satunya yang bisa Guren lakukan sekarang adalah menggenggam tangan itu, erat.

Sejujurnya, sore ini adalah sore tergelap selama dua puluh lima tahun hidup Guren.

"Kumohon. Tetaplah hidup, Shinya."

Matahari tenggelam bersama usia Shinya yang kian kelam.

.

.

.

.

.

.

Tamat


Kepada araiiel,

Kangen.