The Illusion of The Time
Desclaimer : sampai kiamat pun ini masih punya om saya alias om Tite *plak
Chap 1
Prolog
Awan hitam berarak mendekat, menyebarkan bau hujan yang begitu pekat di salah satu kota di Jepang ini. Sang mentari sore menatap sedih dari balik gumpalan-gumpalan kelabu itu, sesekali menampakan sinarnya bagai pedang cahaya dari celah-celah sempitnya. Rintik-rintik air mulai turun dari singgasana kelabunya setelah hanya diam berarak menanti waktu, membasahi tiap bagian dari bumi di bawahnya. Memang bukanlah hal yang meyenangkan melihat langit musim panas harus tertutup awan hitam dan rintik air. Namun tidak dengan pemuda yang satu ini.
Seorang pemuda berambut jingga terang yang terus mengadahkan kepalanya menatap langit mendung, membiarkan rintik-rintik air membasahi wajahnya yang terlihat lelah. Gurat-gurat halus perlahan sirna dari wajahnya, digantikan dengan sebuah wajah damai yang menenangkan. Pemuda itu terus berdiri diam di sana, di sebuah padang rumput hijau yang luas dengan pohon-pohon cemara tinggi mengelilinginya. Angin yang bertiup lembut mulai mempermainkan helaian jingga itu dan juga rerumputan di bawahnya, masuk dalam sebuah tarian indah yang dipandu olehnya.
Mata pemuda itu masih terpejam, menyembunyikan manik-manik mata pemiliknya dalam sebuah kegelapan penuh kedamaian. Waktu terus berlalu, tak tampak pemuda itu bergerak sedikit saja dari tempatnya berdiri. Awan kelabu semakin bertambah pekat, ritik-rintik hujan menenangkan kini telah berganti dengan buliran-buliran air yang semakin deras.
Dirasakan olehnya wajah putih pucatnya telah basah oleh tangisan langit, ia pun membuka matanya perlahan dan menampakan manik-manik mata kecoklatan yang terlihat sendu. Gurat-gurat lelah di wajahnya kembali terlihat seakan ketenangan yang baru saja didapatkannya tak mampu menghilangkannya. Manik matanya menatap sedih langit hitam di atasnya, terlihat tak rela harus beranjak dari tempat itu hanya karena hujan yang semakin deras.
Segera dilangkahkan kaki jenjangnya berjalan pergi, meninggalkan tempat dimana dia selalu terdiam. Mendekat ke arah pagar-pagar hutan yang mengelilingi tanah lapang itu, menatap bosan kegelapan yang selalu melingkupinya. Semakin ia mendekat ke batas kegelapan di depannya, ia tiba-tiba berhenti, membalikan badan tegapnya menghadap sebuah pohon willow besar yang berdiri tegak di tengah-tengah lautan hijau di bawahnya. Kemudian ia terseyum walau hanya mengangkat sedikit sudut bibirnya, menatap sebuah gundukan tanah aneh tepat di depan pohon willow yang diapit akar-akar pohon besar yang menjalar keluar dari tanah.
Setelah itu, segera ia beranjak pergi, memasuki kegelapan yang terpampang di depannya tanpa rasa gentar sedikit pun kemudian menghilang di dalamnya. Meninggalkan tempat dimana ia sering menghabiskan waktunya sambil menatap langit, dan meninggalkan sesuatu hal penting di bawah pohon willow besar itu.
Namun tanpa pemuda itu sadari, seseorang berjalan keluar dari balik batang besar willow itu. Seseorang yang sedari tadi ada di sana, menunggu dalam persembunyiannya hingga pemuda dengan surai mencolok itu pergi menjauh dari tempat itu. Wajahnya yang putih pucat terlihat begitu lega, merasa kecemasannya yang berlebihan karena keberadaan pemuda tadi meghilang begitu saja dari hatinya dengan begitu cepat.
Matanya yang besar melirik kegelapan dimana pemuda itu baru saja menghilang, menatap waspada jika pemuda itu tiba-tiba saja muncul kembali dari sana. Setelah begitu lama terdiam di tempatnya dengan sikap bersiaga, ia pun tersadar bahwa kecemasannya yang berlebihan itu tak terjadi, tak akan ada seorang pemuda berambut mencolok yang akan muncul dari sana dan memergoki keberadaannya.
Sikap siaganya pun kini berganti dengan hembusan napas yang terasa berat, didudukan dirinya bersandar pada pohon willow besar yang berwarna coklat gelap di belakangnya. Diaturnya napas yang entah kenapa tak kunjung membaik, rasanya lebih seperti baru saja berlari mengelilingi kota daripada bersembunyi dari seseorang yang tak ingin ditemui, detak jantungnya pun tak kunjung kembali normal.
Dirasakannya setetes air jatuh di wajah pucatnya, dialihkan kepalanya menatap langit hitam itu. Baru disadarinya bahwa hujan yang sedari tadi telah membasahi bumi itu, rasanya begitu bodoh ketika kecemasan telah membuatnya terlena dan melupakan sekelilingnya. Sosok itu kembali hanya bisa menghela napasnya berat, menyadari betapa bodoh dirinya.
Seakan teringat sesuatu, diangkatnya tangan kanannya. Terlihat di sana bahwa ia sedang menggenggam sesuatu, menggenggam tangkai-tangkai hijau dengan kelopak-kelopak berwarna putih dengan aksen kuning di tengahnya itu bermekaran di atasnya. Lagi-lagi kecemasan bodoh membuatnya melupakan tujuannya datang ke tempat itu dan membuatnya harus bersembunyi di balik pohon willow untuk waktu yang tidaklah bisa dibilang singkat. Diletakannya bunga white chrysant itu di atas gundukan tanah di bawah pohon besar itu.
Disatukannya kedua belah tangannya, seakan sedang berdoa, matanya pun ikut terpejam seakan mencari ketenangan dalam tidakannya. Kemudian sebuah senyuman ia tampakan, ditatapnya gudukan itu lagi dengan sebuah binar kebahagiaan terlihat di mata besarnya. Entah seperti mendapat sebuah dorongan kekuatan dan semangat yang begitu besar, sosok itu langsung bangkit berdiri. Dan dengan sebuah senyum terakhir tanda perpisahan, sosok itu berlari pergi menerobos buliran-buliran air yang jatuh semakin banyak. Meninggalkan pohon willow besar yang terdiam di tempatnya, membiarkan buliran air itu menerpanya, dan sebuah gundukan dengan bunga white chrysant di atasnya. Berlari semakin menjauh menuju kegelapan yang beberapa saat lalu baru dilewati oleh pemuda dengan surai jingganya.
Kota Karakura, 100 tahun setelahnya
Langit kembali kelabu setelah bosan menampakan cahaya matahari sore dengan warna jingga terangnya, awan-awan bergumpal rapat menutup keindahan mentari sore. Bau hujan yang begitu pekat tercium menggantikan udara penuh debu yang selalu menguar tak mengenakan. Kembali angin berhembus lembut menerbangkan debu-debu itu menjauh, angin-angin yang telah membawa gumpalan hitam kelabu menutupi sang surya. Gumpalan-gumpalan itu terlihat semakin pekat, namun tak terlihat akan menumpahkan rintik-rintik airnya.
Sama seperti langit di atasnya, kota kecil yang kini berada di bawah naungan singgasana kelabu kini telah tampak sama kelabunya. Tak terlihat orang-orang yang berlalu-lalang di jalanannya, tak ada kendaraan yang mengepul-ngepulkan asap, semua terlihat begitu sunyi. Hanya terlihat beberapa orang dengan payung di tangan mereka, berjalan secepat mugkin menuju rumah masing-masing, mengharap sedikit kehangatan di balik selimut.
Tak jauh berbeda dengan yang dirasakan pemuda satu ini, seorang pemuda dengan surai jingganya yang mencolok. Sebuah payung berwarna putih itu bergoyang lembut ketika diterpa angin, berusaha melindungi pemiliknya yang kini hanya bisa memasang wajah kesalnya sambil menatap langit yang semakin kelabu.
Entah kenapa hari ini terasa begitu melelahkan, segala hal yang terjadi padanya hari ini entah kenapa seakan mencoba untuk membuat guratan lelah di wajahnya semakin dalam dan nampak jelas. Pemuda itu sekali lagi menghembuskan napasnya berat untuk yang kesekian kalinya, sekali-kali manik caramel nya menatap langit dengan tatapan kesal.
Kaki jenjangnya terus mengajaknya semakin berjalan menuju rumahnya, dengan ayunan ringan dan bunyi langkah kaki yang berderap pelan ia berjalan melewati bangunan-bangunan rumah di sekelilingnya.
Langit kelabu yang sejak tadi menemaninya kini berganti menjadi rintik-rintik hujan yang menenangkan, membasahi segala hal yang ada di bawah naungan singgasana kelabu sang tangisan langit. Kepala dengan surai itu kembali menatap langit. Diulurkan tangannya keluar dari jangkauan lindungan sang payung, merasakan dinginnya air yang mulai membasahi tangan yang mulai terlihat pucat.
Tak bisa ia pungkiri, seberapa pun sebalnya ia dengan langit kelabu yang menghalangi cahaya matahari yang sewarna dengan surainya, ia menyadari bahwa rintik hujan dan naungan kelabu di atasnya adalah hal yang bisa membuatnya berada dalam sebuah ketenangan yang membuai.
Setelah puas dengan dingin yang ia rasakan, ia kembali berjalan. Sesungguhnya ia ingin sedikit mendinginkan kepalanya, membiarkan titik-titik air menghilangkan kelelahan di wajahnya. Namun dia bukanlah orang bodoh yang akan membiarkan dirinya kebasahan saat berjalan menuju rumah sedangkan dia punya sebuah panyung yang masih bisa ia gunakan.
Ia kemudian berbelok di sebuah tikungan, tinggal tersisa beberapa tikungan lagi ia akan sampai ke rumahnya. Namun, tiba-tiba ia berhenti di tempatnya. Mata caramelnya membulat seketika, menatap suatau hal aneh yang menyapa maniknya ketika ia berbelok tadi.
Dilihatnya sesuatu hal yang merebut perhatiannya, sesosok aneh terlihat meringkuk bersandar pada sebuah tiang listrik yang berjarak tak jauh dari tempatnya terdiam berdiri. Sosok aneh dengan kain hitam yang menutupi tubuhnya yang nampak mungil. Dari balik lindungan kain hitam itu, mencuat helaian berwarna putih mencolok dari sosok itu. Pemuda itu sedikit mengerutkan alisnya, menyadari betapa mencoloknya surai putih yang terlihat begitu bersih itu. Tak disangka ada orang lain yang memiliki surai mencolok seperti dirinya. Segera ia berjalan mendekat ke arah sosok itu, matanya berkilat cemas mengamati sosok itu.
Ia langsung membuka kain hitam yang menutupi tubuh mungil sosok itu. Kini terlihat jelas siapa orang aneh yang meringkuk di bawah guyuran hujan yang sudah mulai deras ini. Sosok itu bertubuh kecil dengan kulit yang terlihat pucat karena kedinginan, terlihat pula tangan mungil itu yang mulai bergetar.
Pemuda itu langsung mengangkat sosok itu dalam gendongannya, tak ia pedulikan tubuhnya yang mulai basah karena tubuh basah yang ada dalam gendongannya. Raut wajah pemuda itu terlihat begitu khawatir, memang menemukan seseorang yang terkapar di depanmu dalam keadaan kedinginan karena kehujanan bukanlah hal yang ia harapkan.
Dapat dirasakannya, sisi kemanusiaan dalam dirinya memaksanya untuk segera membawa sosok asing dengan surai yang mencolok seperti dirinya itu. Sosok dalam gendongannya kembali bergetar kedinginan dan tanpa sadar sosok bersuari putih itu menelusupkan wajahnya ke dalam dada bidang pemuda yang menggendongnya. Seakan sedang mencari kehangatan di sana.
Sosok itu kemudian diajak berlari menembus rintik hujan, berlari semakin cepat menuju sebuah bangunan rumah sekaligus klinik yang ada di depan mereka. Dan dalam sebuah gebrakan keras dibukanya pintu rumah itu, napas pemuda bersurai caramel itu terlihat terengah-engah.
"Ichi-nii, kau ini kenapa sih... eh, ada apa Ichi-nii?" seorang gadis mungil langsung berjalan mendekat ke arah pemuda bersurai jingga mencolok itu. "Siapa dia Ichi-nii?"
"Tolong urus dia dulu, Yuzu" pemuda dengan surai jingga itu beranjak menuju sebuah ranjang singel dengan seprai putih yang menutupinya. Yuzu, adik perempuan Ichigo dengan surai coklat terangnya yang tak menampakan kemiripannya dengan sang kakak menghampiri sesosok kecil tubuh manusia yang kini sedang tertidur di atas ranjang.
" Nii-chan, siapa dia?" tanya Yuzu untuk kesekian kalinya, tangan mungilnya terlihat sibuk membuka lilitan kain hitam yang menutupi tubuh mungil di depannya.
Ichigo hanya mengangkat bahunya singkat, beranjak pergi meninggalkan Yuzu dengan pekerjaan barunya. Ingin segera pergi mengganti baju seragamnya yang telah basah kuyup karena kegiatannya barusan.
Pemuda bersurai jingga itu kembali menuruni tangga rumahnya setelah ia mengganti pakaiannya dengan kaus lengan pendek warna putihnya dan celana training panjang hitam. Dicariya sosok anggota keluarganya yang lain yang seharusnya menyambut kepulangannya.
Dirasa bahwa hasilnya nihil, Ichigo segera berjalan kembali ke klinik. Menemukan Yuzu yang terlihat sedang menyelimuti sosok mungil itu dengan selimut tebalnya.
"Karin dan Ayah pergi kemana?"
Yuzu segera berbalik menghadap kakaknya, manik matanya yang berwarna coklat gelap hanya menatap kakaknya singkat kemudian kaki kecilnya melangkah pergi masuk ke dalam rumah.
"Karin dan Ayah sedang pergi ke toko baru di dekat statsiun, katanya di sana menjual barang yang menarik. Oh ya, apa Ichi-nii lapar? Akan kuhangatkan karenya jika Ichi-nii ingin makan."
Ichigo hanya menggeleng singkat, mengikuti langkah adiknya menuju dapur. Dibukanya pintu kulkas dan diambilnya sebuah kaleng cola yang selalu tersedia di sana.
"Oh ya Ichi-nii, sebenarnya bocah itu siapa?" tanya Yuzu lagi, dia terlihat masih penasaran dengan bocah yang baru saja dibawa pulang oleh kakaknya. Manik coklatnya kini menatap Ichigo intens dan menyiapkan kepalan tangannya jika kakak laki-lakinya ini hanya menjawab dengan mengangkat bahu saja.
"Aku menemukannya di jalan."
Yuzu yang terlihat sedikit bingung dengan kata-kata kakaknya itu memiringkan kepalanya serta memasang raut wajah bingung seakan menagih penjelasan yang lebih.
Ichigo kembali menghela napasnya berat. "Aku menemukannya meringkuk di jalan, dia terlihat begitu menyedihkan. Jadi kubawa saja ke rumah" alasan yang tak masuk akal.
"Apa Ichi-nii akan membawa orang asing lagi jika melihat ada orang yang terlihat menyedihkan di depan nii-chan?" tanya Yuzu sedikit mengejek kebaikan kakaknya yang keterlaluan itu.
"Aku tidak segila itu, hanya saja mana ada orang yang membiarkan bocah sekecil itu mati kedinginan di tengah jalan begitu. Aku tidak sekejam itu Yuzu" Yuzu menghela napasnya berat, seperti yang biasa kakaknya lakukan. Entah kenapa kebaikan kakaknya itu sempat membuatnya berpikir bahwa kakaknya yang satu ini adalah orang bodoh.
"Kalau begitu, bagaimana keadaannya?"
"Dia baik-baik saja, untung Ichi-nii segera membawanya. Kalau tidak mungkin dia akan segera mati karena hipotermia*" Ichigo sedikit mengkerutkan alisnya mendengar kata-kata adiknya ini. Entah kenapa pemakaian kata 'mati' yang baru saja diucapkan adiknya ini sedikit membuatnya terkejut.
"Tapi dia tak apa kan?" tanyanya lagi.
"Tenang Ichi-nii, dia sekarang sedang tidur" kata-kata adiknya barusan sedikit memberikannya sebuah kelegaan yang terasa janggal. "Tapi rasanya aneh ya kalau ada bocah sekecil dia meringkuk di jalanan."
Yuzu terlihat menopangkan dagu dengan kedua tangannya yang mungil, terlihat sedang berpikir.
"Entahlah, yang pasti kita bisa menanyainya ketika dia bangun nanti" Ichigo segera beranjak pergi menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
"Ichi-nii mau tidur? Tidak makan dulu?"
" Tidak, aku tidak lapar. Aku sangat lelah Yuzu" ditinggalkannya adik perempuannya itu yang untuk kesekian kalinya sedang menghela napasnya berat seperti kakak lelakinya itu.
"Ichi-nii itu aneh sekali sih."
Manik matanya menatap keluar jendela, melihat langit mendung yang semakin pekat. Rintik-rintik air hujan di luar pun terdengar semakin deras, memperdengarkan nyanyian alam yang selalu saja membuat Yuzu merasa tenang. Namun sepertinya tidak kali ini. Entah kenapa ia merasakan bahwa hujan kali ini akan membawa badai.
TBC
curcolan author:
hhhhuuuuuwwwwaaaaaa... akhirnya jadi juga chap 1 nya. Apakah ff ini terlihat galau? Ya ai emang newbie, dan jelek banget kalo suruh ketik-mengetik... hiks hiks #nangis di pojokan
tapi boleh kan ai minta reviewnya, kritik, saran, flame pun boleh. Ai terima dengan senang hati kok, tapi tolong jangan terlalu pedas ya...
oh ya, hipotermia itu sejenis gejala yang diakibatkan oleh kedinginan. Biasanya tubuh terkena hipotermia jika tubuh tiba-tiba berada di lingkungan dengan suhu dingin dalam waktu yang lama. Kalau kurang jelas, readers bisa tanya ke mbah google. eheheeh
oh ya, apakah ff ini harus ai lanjutkan atau hanya ai simpan dalam schazen (nama laptop ai)? ehehehe
Mohon REVIEW, please o
