Hai minna-san! Na is back*ga ada yang nanya*! Setelah berbulan-bulan hiatus ternyata kangen juga sama FFN *peluk monitor*. Karena udah kangen berat buat posting fict, beberapa hari yang lalu aku nyoba bikin, dan jadilah fict aneh ini.
Fict ini terinspirasi dari film The Last Samurai dan sebuah manga yang aku lupa judulnya.. -_-'
Warning: AU, little OOC, mungkin berakhir dengan shounen-ai. Don't Like Don't Read!
Happy reading! ^^
.
Menjadi samurai atau rakyat biasa adalah pilihan. Mati di arena pertarungan sebagai seorang samurai atau mati di tengah keluarga sebagai orang biasa juga pilihan. Dan pilihan itu telah kuputuskan sejak kecil. Menjadi samurai, adalah pilihanku. Berjuang di jalan samurai, adalah hidupku. Dan mati setelah berjuang sebagai samurai, adalah impianku.
Pengabdian tiada akhir kepada Kaisar, berbuat seindah mungkin di waktu sesempit mungkin seperti bunga Sakura, tetap berpegang teguh pada tujuh prinsip Bushido, dan berani mati demi orang banyak. Itulah hidup bagi samurai.
Dan aku harus bisa berhasil melaksanakan itu semua. Kalau tidak, malu balasannya, dan harakiri sebagai akhirnya.
Perfect
A Naruto Fanfic by Hana Elriana
Disclaimer: Masashi Kishimoto
-CHAPTER 1-
Dua tongkat kayu beradu, memecahkan kesunyian di hamparan padang rumput Konohagakure. Kedua pemuda dengan masing-masing tongkatnya saling memandang satu sama lain. Sama sekali tak ada tatapan menakutkan lewat mata mereka. Hanya tatapan keberanian ciri khas seorang samurai. Tubuh mereka bergerak santai namun tetap waspada saat mengayunkan tongkat mereka.
Uzumaki Naruto dan Inuzuka Kiba tampak asyik memainkan tongkat mereka. Seri, tak satupun dari mereka yang bisa mengenai tubuh lawan. Saat Kiba mengayunkan tongkatnya, Naruto menangkisnya, begitu juga sebaliknya. Sekelompok pemuda lain yang duduk bersila di sekitar mereka tampak tegang. Bahkan ada beberapa dari mereka yang begitu fanatik terhadap mereka berdua hingga saling bertaruh soal siapa yang akan menang dalam hal menyerang lawannya.
Ketika Naruto mengayunkan tongkatnya ke arah pundak Kiba, pemuda berambut coklat itu menangkis dan berhasil menyentuh lengan kanan Naruto sedikit lagi kalau saja Naruto tak sigap menangkis dengan tongkatnya. Tampak senyum mulai terkembang di setiap pendukung Kiba. Naruto dalam posisi yang sangat tidak pas untuk menyerang Kiba. Dan itu berarti, kesempatan Kiba untuk menyerang lebih besar dari Naruto.
Kiba memandangi Naruto dengan seringai. Sementara Naruto membalasnya dengan tatapan kemenangan, membuat Kiba mengernyitkan dahinya heran.
"Kau memang hebat, Kiba-sama. Tapi..."
Tak disangka-sangka Naruto memutar badannya dan kembali mengayunkan tongkatnya. Tongkat berwarna coklat itu tepat mengenai lengan kanan Kiba. Hal itu menyebabkan beberapa pendukung Naruto tersenyum puas memandangi wajah-wajah penuh kecewa dari pendukung Kiba.
"Sempurna...," lirih salah satu pendukung Naruto.
Latihan antara kedua samurai itu telah usai. Dilanjutkan dengan latihan serempak para samurai lain yang daritadi menunggu. Adu tongkat pun kembali berjalan. Naruto dan Kiba tersenyum melihat rekan-rekannya lewat gazebo kecil di dekat sana.
"Naruto-sama, tadi kau hebat sekali. Aku benar-benar tidak menyangka kau akan berbuat seperti itu," ujar Kiba sambil meneguk teh hijaunya.
Naruto tersenyum sebelum meneguk teh hijaunya. Setelah teh itu sudah berkurang seperempatnya, Naruto menjawab, "Karena keyakinan, Kiba-sama. Seranganmu tadi adalah sebuah serangan yang memang sulit untuk ditangkis. Tapi karena aku percaya kalau aku bisa, aku memutar tubuhku dan berhasil. Bukankah keyakinan itu yang harus dimiliki setiap samurai untuk berhasil?! Ya 'kan?!"
Kiba ikut tersenyum melihat cengiran lebar dari sahabat masa kecilnya itu. Senyum Naruto selalu saja membuat siapapun ikut tersenyum bersamanya. Kiba akui, itulah kekuatan paling menakjubkan dari Naruto selain semangat dan keyakinannya. Mempunyai sahabat seperti Naruto, baginya, sama saja seperti memiliki buku kumpulan motivasi yang selalu menyemangati harinya. Ah, tentu saja baginya Naruto adalah buku motivasi berjalan. Karena bersama Naruto, harinya menjadi lebih bersemangat-walau ia akui bahwa ia juga sangat terganggu dengan kecerewetan temannya yang satu itu.
"Eh ya, kita kan udah nggak di tempat resmi lagi. Jangan panggil dengan sapaan –sama lagi dong! Nggak enak dengernya, merasa tua!" kata Naruto membuyarkan lamunan Kiba akan dirinya.
"Hah!? Iya. Tapi kamu kan emang tua, udah punya kumis tuh! Hahaha!"
"A-apa?! Hah, kau itu menyebalkan, Kiba!" Naruto menjitak kepala Kiba sehingga membuat pemuda itu meringis. Satu lagi yang membuat Kiba kadangkala merasa terganggu bila berada di dekat Naruto yang lagi kumat ramenya, ia akan selalu melihat Naruto dalam wajah cemberut ketika ia mengolok-oloknya walau hanya sedikit.
Cukup lama mereka berada di bawah naungan atap jerami gazebo kecil itu. Hari juga sudah semakin gelap dan latihan adu tongkat-pun telah usai. Satu persatu dari mereka mulai pulang. Begitu juga dengan Naruto dan Kiba. Karena jalan menuju rumah mereka berlawanan arah, mereka berpisah di pertigaan jalan di dekat kuil terbesar di Konoha. Sambil melambaikan tangan, mereka tersenyum dan menuju ke rumah masing-masing.
"Tadaima!" seru Naruto di depan rumah dengan gaya Jepang yang sangat kental. Ia melepaskan bakiaknya dan berjalan masuk. Seorang anak kecil berlari tergopoh-gopoh menyambutnya.
"Okaeri, Naruto-nii!" seru anak itu sambil menubruk tubuh Naruto.
"Hehehe. Konohamaru, kau ada di sini rupanya. Mana Kakek Jiraiya?"
"Itu di dalam, lagi menyiapkan makan malam."
Naruto tersenyum sambil mengacak-acak rambut bocah itu. Dibawanya masuk Konohamaru ke dapur. Di dapur, seorang pria bertubuh besar dengan rambut putih panjang yang terurai agak berantakan tampak sibuk dengan tungkunya. Panci besar yang ada di atas tungku mengepul, menandakan bahwa masakan sudah matang. Benar saja, ketika Naruto dan Konohamaru duduk bersila di belakangnya, pria besar itu langsung membagi masakan berkuahnya ke tiga mangkok lalu menyerahkannya kepada Naruto dan Konohamaru.
"Kau sudah pulang ternyata, Naruto. Ini, bawa masakan ini ke meja makan. Kita makan!"
"Makan!" seru Naruto sambil tersenyum ceria. Bersama Konohamaru, ia berjalan menuju meja makan kemudian duduk bersila. Dilahapnya makan malam yang merupakan mie kesukaannya sampai bersih tanpa sisa. Ketika Jiraiya dan Konohamaru masih setengah memakan santapannya, Naruto sudah minta tambah. Ah, untuk urusan makan rupanya Naruto-lah yang paling cepat.
Sementara Jiraiya mengambilkan mie tambahan untuk Naruto, kedua anak itu mulai berbincang-bincang. Awalnya mereka membicarakan tentang enaknya masakan malam itu. Hingga pada akhirnya, Konohamaru menceritakan maksud kedatangannya ke kediaman pasangan kakek-cucu beda darah tersebut.
"Tadi Kakek Sarutobi menerima laporan dari warga Amegakure. Katanya salah satu penduduk Ame ada yang mau belajar kehidupan samurai di Konoha. Yah...karena Naruto-nii adalah samurai muda yang paling terpandang di Konoha, jadilah Naruto-nii yang harus membimbingnya," jelas Konohamaru.
"Heeh?! Terus mana dong orangnya?"
"Nanti dia akan ke sini sama Kakek Sarutobi. Jadinya aku datang ke sini buat ngasih tau Naruto-nii soal ini. Aku udah liat orangnya tadi. Menurtku...lumayan. Yah, kalau dari wajahnya, dia tampak lebih pintar dari Naruto-nii. Hehehe!"
"Dasar! Eh, tapi, orangnya kayak gimana? Laki? Perempuan?"
"Laki-laki. Dia~"
Belum sempat Konohamaru melanjutkan kata-katanya untuk menjelaskan ciri-ciri dari orang Amegakure itu, Jiraiya datang dengan membawa sebuah mangkok penuh mie. Naruto yang melihatnya langsung tersenyum lebar dan kembali hanyut dalam buaian mie.
"Naruto-nii liat sendiri aja nanti gimana orangnya. Sebentar lagi juga datang."
Naruto mengacungkan jempolnya.
* * *
"Naruto-nii! Naruto-nii!"
Perlahan Naruto membuka matanya. Ia melihat di sampingnya sudah berdiri Konohamaru dengan senyum yang terkembang. Bocah itu melonjak-lonjak sambil mengguncang-guncang tubuh Naruto.
"Ada apa, Konohamaru?" tanya Naruto sambil bangkit dari duduknya. Daritadi Naruto diam di kamarnya, merenungkan tentang dirinya dan orang-orang terdekatnya. Kebiasaan itu sudah dilakukan Naruto sejak ia masih berumur tujuh tahun.
"Tamunya sudah datang! Dia bersama Kakek Sarutobi dan pengawalnya sudah ada di ruang tamu bersama Kakek Jiraiya! Ayo kita ke sana! Mereka sudah menunggu."
"Ya. Baiklah."
Naruto dan Konohamaru pun berjalan beriringan menuju ruang tamu yang berada tak jauh dari kamarnya. Ketika menggeser pintu ruang tamu, Naruto dapat melihat calon rekannya yang memunggunginya. Penampilannya lumayan bagus menurutnya. Kulitnya putih dan rambutnya pendek. Di punggungnya terselip sebuah katana yang tak terlalu panjang.
"Itu dia sudah datang. Naruto, ayo duduklah," kata Jiraiya.
Naruto membungkuk hormat sambil berjalan menuju Jiraiya yang berada di seberang Shogun Sarutobi beserta orang dari Ame. Ketika melintasinya, Naruto dapat melihat wajah dari calon rekannya, dan itu sempat membuatnya merasa mengingat sesuatu.
"Inilah orang dari Amegakure yang ingin belajar samurai bersamamu, Naruto." Jiraiya menepuk pundak Naruto.
Naruto semakin memadangi pemuda itu. Kulit putihnya, wajah tanpa ekspresinya, dan juga rambut serta bola mata yang berwarna hitam.
Orang itu...seperti...
"Namanya adalah...Sai," lanjut Jiraiya.
Pamuda bernama Sai itu menundukkan kepalanya hormat kemudian tersenyum pada Naruto dan Jiraiya. Entah mengapa, sosok pemuda itu, sosok Sai, mengingatkan Naruto pada seseorang. Seseorang dari masa lalunya. Dan sebuah nama terlintas dalam pikirannya. Nama dari seseorang yang tiba-tiba membuat Naruto begitu rindu dengan orang itu.
Uchiha Sasuke...
"Senang berkenalan denganmu, Naruto-sama. Mohon bantuannya."
TBC
Bila ada komentar, saran ataupun kritik mari dituangkan pada kolom review! XD
Review... Review... Review...
