AUTHOR'S NOTE:
Mungkin ada keterkaitannya dengan FF aku sebelumnya? Who knows?
Enjoy reading~
***GINTAMA milik SORACHI***
Cuaca Oedo pagi ini mendung dan udaranya sedikit dingin. Langit tampak gelap diselimuti awan hitam yang tebal. Kelihatannya sebentar lagi akan turun hujan.
Masih terlalu pagi untuk bangun, tetapi Gintoki sudah tidak berniat kembali ke alam mimpinya. Yang ia lihat di sana hanya sesosok pria bersurai hitam yang entah bagaimana keadaannya sekarang, ia tidak tahu.
Gintoki terduduk di futonnya, menggaruk sedikit kepalanya yang tidak gatal, dan ia meraih sesuatu dari lubang hidungnya dengan jari kelingking. Matanya yang terlihat seperti mata ikan mati itu menunjukan dengan jelas betapa malasnya creature yang satu ini.
Perlahan, ia menoleh ke arah jam beker yang berbentuk seperti adik yang bertengger di sela pahanya, di bawah sana. "Masih jam 6 ternyata," gumamnya malas.
Ia pun melangkah keluar kamar lalu menuju dapur untuk merogoh sekotak susu stroberi kesukaannya dari dalam kulkas.
Perlahan ia buka kotak susu tersebut dengan menyobek ujungnya sehingga bisa langsung diminum tanpa menggunakan sedotan. Diliriknya lemari tempat menyimpan bahan makanan dan semacamnya, namun yang ia cari tidak di sana. Yang ada hanya selusin sukonbu milik Kagura.
Dengan malas ia menuju ke ruang tamu dan duduk di sofa kemudian menyalakan TV. Selama beberapa saat ia mengganti-ganti channel, tidak ada yang menarik, katanya dalam hati lalu mematikan TV.
Untuk beberapa saat, matanya tertuju pada hamparan awan tebal yang menutupi langit, melayangkan pikirannya jauh dan bebas menciptakan bayang-bayang pria yang dulu biasa dilihatnya hampir setiap pagi hari ia membuka mata.
Terlampau asik dengan bayangan yang ia ciptakan sendiri, tanpa disadari, ototnya mulai melemas dan rileks. Perlahan kedua matanya terpejam dan kepalanya terkulai di sandaran sofa.
"Gin-san, bangun! Sarapan sudah siap," panggil seseorang sambil menepuk perlahan bahu Gintoki.
"Hmmm..."
"Jangan hmmm saja. Aku sudah memasak sup miso dan ikan goreng seperti yang kau minta kemarin," kata orang itu sambil melangkah ke ruang makan yang kemudian berbalik sebentar melihat Gintoki, "kalau tidak cepat nanti keburu dihabiskan Kagura, lho," katanya sambil membenarkan kaca mata dan melanjutkan langkahnya.
Sontak Gintoki terbangun dan bergegas menuju ruang makan, "Aaa... Kagura jangan ambil jatahku!" Katanya cepat lalu meraih mangkuk dengan nasi yang masih mengepulkan asap dan dengan satu langkah singkat melahap sejumlah banyak nasi menggunakan sumpit di tangan kanannya.
"Tidak ada aturan seperti itu aru! Siapa cepat dia dapat aru," kata Kagura polos sambil terus menyuap nasi ke dalam mulutnya.
Shinpachi hanya tersenyum melihat tingkah kedua orang terdekatnya itu. Sesekali ia juga membantu Kagura menyendokkan nasi ke mangkuknya yang mulai kosong, sementara orang yang bersangkutan terus mengunyah tanpa henti.
"Gin-san, apa rencanamu hari ini?" tanya Shinpachi tiba-tiba.
"Tidak ada. Ini hari minggu dan kita libur hari ini (pekerjaan Yorozuya tidak pasti, kadang hari Minggu ada job, tergantung situasi)." Gintoki menyumpit sebagian kecil daging ikan kemudian melahapnya perlahan. Semua itu ia lakukan jauh dari kata anggun, ia melakukannya dengan penuh rasa malas yang tergambar jelas di wajahnya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar ke taman? Sekalian ajak Sadaharu main, kasian dia di rumah terus," ajak Shinpachi.
"Itu ide yang bagus!" Kagura menimpali dengan mulut yang masih penuh dengan nasi.
"Kunyah yang benar baru bicara! Tch..." tegur Gintoki sambil menyentil dahi Kagura dengan pelan dan membuat yang bersangkutan cemberut. "Kalian saja yang pergi, aku mau melanjutkan baca Jump dan tidur siang," lanjutnya.
"Gin-chan kebanyakan tidur aru. Kata orang kalau kebanyakan tidur nanti cepat tua."
"Tidak berlaku bagiku."
"Baiklah, kalau begitu sehabis aku beres-beres Kagura dan aku akan pergi ke taman," kata Shinpachi sambil menyeruput kuah sup miso dengan tenang.
"Guk!" sahut Sadaharu yang baru saja menghabiskan makanannya.
Seperti hari Minggu biasanya, taman kota dipenuhi oleh pengunjung, baik tua mau pun muda. Ada yang sekedar mengobrol ringan, berjalan santai, atau pun bermain di arena bermain. Sadaharu memanfaatkan kesempatannya kali ini untuk 'menandai area' sekian banyak tempat seperti di bebatuan, pohon, bahkan bangku taman. Untungnya tidak ada orang yang ia 'tandai'.
Sementara itu, di pinggir taman dua majikannya sedang asik duduk di bangku dengan wajah datar. Antara mengantuk, malas, atau bosan.
"Shinpachi, aku ingin es potong," kata Kagura memelas.
"Tidak ada, kita harus berhemat di saat-saat krisis seperti ini,"
Memang semenjak kejadian yang menimpa Oedo, kekacauan dan ketidakstabilan terjadi. Namun begitu tetap saja taman kota dipenuh orang-orang yang sekedar ingin melepas penat... dan mungkin juga melepas rindu dengan orang yang mereka sayangi.
"Leader!" sapa seseorang dari ujung sana sambil melambaikan tangannya yang diikuti dengan kibasan indah rambutnya.
Kagura dan Shinpachi langsung menoleh ke sumber suara sambil menyapa balik. "Oh... Zura/Katsura-san!"
"Kalian sedang apa di sini? Mana Gintoki?" tanyanya bertubi-tubi setelah mendekati posisi lawan bicaranya.
"Gin-chan sedang malas keluar rumah. Ada apa, Katsura-san?" kata Shinpachi sambil melirik pada sebuah amplop berukuran sedang yang ada di tangan kanan Katsura.
"Hmm.. ada sesuatu yang mau aku berikan padanya. Tapi mungkin nanti saja,"
"Zura, Gin-chan akhir-akhir ini terlihat lemas dan malas. Apa kau tahu kenapa?" tanya Kagura tiba-tiba.
Katsura mengerenyitkan alisnya dan berkata, "bukannya dia sejak dulu memang sudah pemalas?"
"Aku tahu itu, tapi kali ini tidak biasa, aru. Seperti ada yang ia pikirkan."
"Meskipun selama ini sudah biasa terlilit hutang pun Gin-san tidak pernah terlihat semurung itu," tambah Shinpachi.
"Begitu ya... mungkin ia sedang patah hati," celetuk Katsura sembarangan.
"Mana ada! Walaupun begitu Gin-chan tenar di kalangan wanita, aru! Aku tahu beberapa wanita yang tertarik padanya!" kata Kagura sombong, berusaha menyelamatkan harga diri Gintoki.
Katsura hanya diam sambil melirik ke arah Elizabeth yang sedari tadi berdiri di belakangnya, seperti memberi tanda bahwa mereka memikirkan suatu hal yang sama.
"Ngomong-ngomong, Katsura-san, apa kau nganggur hari ini?" tanya Shinpachi.
"Tidak juga, sebenarnya aku dan Elizabeth sedang menjalankan suatu misi rahasia," kata Katsura sambil berpose sok keren dan menggunakan kaca mata hitam yang entah darimana ia dapatkan.
Kagura yang sedari tadi bosan pun langsung tertarik dengan apa yang Katsura katakan, ia langsung bangkit dari bangkunya dan meraih kerah Katsura, "Aku ikut! Kau cukup membayarku dengan es potong aku akan membantumu!"
Katsura yang sedikit tercekik karena tingkah Leader-nya itu pun mendorongnya sedikit. "Kalau begitu, beritahu aku..."
Katsura, Kagura, Shinpachi dan Elizabeth beserta Sadaharu pun merimbung seperti sedang melakukan rapat rahasia.
Matahari mulai tenggelam, langit mulai berubah warnah keoranyean, silaunya menerobos masuk melalui jendela dan menyentuh kulit wajah Gintoki yang sedang memejamkan mata. Di tangannya, majalah Jump terbalik seperti habis dibaca. Ia menggosok ringan matanya yang sudah tidak mengantuk lagi lalu mengalihkan pandangannya ke arah matahari terbenam itu.
"Cepat sekali..." batinnya.
Ia pun melangkah menuju kamar mandi untuk melakukan ritual kecil kemudian menuju pintu rumah dan mendapati bootsnya tergeletak berantakan. Ia meraih bootsnya itu dan mengenakannya. Semua itu ia lakukan dengan sangat lambat seperti tidak bertenaga.
Setelah selesai mengenakan bootsnya, ia melangkah keluar rumah dengan malas menuju ke suatu tempat yang selalu ia kunjungi belakangan ini.
"Irasshaimase!" sapa seorang pelayan wanita paruh baya yang melayani di suatu toko kecil. Di sana terlihat tidak begitu ramai pun tak bisa dikatakan sepi.
Gintoki pun perlahan mendekati tempat yang biasa ia duduki setiap datang kekedai itu, tanpa harus menoleh-noleh ke tempat duduk lainnya. Untungnya, tempat itu tidak ada yang menempati. Seperti setiap orang yang mengunjungi kedai itu tahu kalau di sekitar jam yang sama tempat itu adalah 'miliknya' seorang.
Tempat duduk yang dimaksud adalah tempat duduk yang berada di sisi tempat masak pelayan, lebih ke ujung di dekat tembok. Di sana, ia biasa memesan menu favoritnya dan beberapa gelas sake.
Kedai ini menjadi salah satu tempat nongkrongi favoritnya belakangan ini. Bukan hanya karena menu spesial kesukaannya, tetapi juga karena suasana yang ditimbulkannya setiap kali datang ke sini. Entah kenapa ia merasa selalu mencium aroma pria itu di sana, dan merasa pria itu juga duduk di sampingnya seperti dulu. Melahap menu spesial masing-masing bersama. Ahh... sudah berapa lama ya? di benaknya ia selalu mengucapkan pertanyaan itu di setiap detik pertama ia terduduk di kursinya.
"Seperti biasa?" tanya pelayan tua itu pelan dan sopan.
"Iya," jawab Gintoki sambil mengangguk dan memberi senyum seadanya untuk menunjukkan kesopanan. Wanita tua itu pun membalas senyumannya dan segera menyiapkan hidangan.
Tidak sampai beberapa menit, wanita tua itu muncul kembali di hadapan Gintoki dan menghidangkan Uji Gintoki. Gintoki langsung mengambil sumpit dan hendak menyumpit beberapa butir nasi yang diatasnya dibubuhkan dengan kacang azuki.
Lalu ia berhenti sebentar, dan menoleh ke arah wanita tua itu, "Baa-san, bisa aku minta itu?" pinta Gintoki sambil melirik ke suatu sudut meja yang diatasnya terletak sebotol cairan kuning.
"Eh...? Kau maksud ini?" wanita tua itu mengambilkannya dan menaruhnya di hadapan Gintoki.
"Mmm... Arigatou," dalam beberapa saat ia mengamati botol itu lalu dengan perlahan Gintoki membuka penutupnya dan menuangkan isinya di atas makanannya. Seketika ia menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan.
Dengan menutup kedua matanya, ia melahap habis makanan itu dengan cepat-cepat, berharap tidak ia muntahkan kemudian. Setelah mangkuknya kosong, ia segera menyambar segelas air putih di sebelah kanannya kemudian meneguknya dengan cepat.
"Hampir saja aku mati," kata Gintoki sambil mengusap bibirnya dengan lengan kimononya.
Dari belakang sana, sesosok berambut hitam panjang dan seekor bebek bulat besar (?) berjalan perlahan ke belakang Gintoki.
"Oiii...!" ia menepuk punggung Gintoki dengan cukup keras sampai-sampai Gintoki merasa ingin memuntahkan kembali apa yang baru saja ia makan.
"TEME...!" Gintoki berbalik dan hendak menjambak rambut pria itu sebelum akhirnya si bebek menengahi dan mencoba menenangkan Gintoki
Kalau tidak tenang kau akan mengganggu pengunjung lainnya - tulis makhluk itu di suatu papan putih yang selalu ia bawa.
Gintoki pun kesal, "memangnya siapa yang sudah mengganggu pengunjung di sini dan hampir membuatnya memuntahkan makanannya, hah?!" ancamnya sambil merenggut kerah hakama pria itu.
"Haii...haii... Gintoki tenangkan dulu dirimu!" kata Katsura gugup. Setelah Gintoki melepas cengkramannya dari kerah hakamanya, ia mengajak Gintoki untuk duduk kembali dan mengobrol sebentar. "Aku ada sesuatu untukmu" kata Katsura sambil mengeluarkan suatu amplop berukuran sedang dan menyerahkannya pada Gintoki.
"Apa ini? Bukan bom kan?" kata Gintoki sambil mengamati amplop itu.
"Buka saja!" suruh Katsura sambil memesan sake ke wanita tua.
Gintoki membuka amplop itu secara perlahan dan menoleh ke dalamnya. Untuk beberapa saat ia terdiam, dan Katsura diam-diam memperhatikan ekspresi sahabatnya itu sambil meneguk sake yang ia pesan.
"Gintoki..." kata Katsura hampir berbisik sambil terus memperhatikannya.
Gintoki yang tidak ingin siapa pun tahu apa yang dipikirkannya sekarang pun hanya tersenyum pada Katsura. "Dari mana kamu mendapatkan ini?" tanyanya.
"Rekanku yang kebetulan melihat mereka dan melaporkannya padaku," kata Katsura singkat lalu hendak membayar ke wanita tua sebelum Gintoki menyentuh tangannya untuk menghentikannya.
"Biar aku yang bayar," kata Gintoki sambil mengibaskan amplop itu di depan wajahnya. Katsura pun tersenyum dan menepuk pundak Gintoki perlahan sebagai tanda '+terima kasih' dan 'sampai jumpa'. Katsura dan Elizabeth pun melangkah meninggalkan Gintoki.
Di ujung pintu, Katsura menoleh sebentar ke arah Gintoki yang sedang memesan satu dari beberapa sake mahal yang dipajang di dinding kedai.
"Darimana ia mendapat duit sebanyak itu?" pikir Katsura yang heran namun tidak begitu ambil pusing dan melanjutkan langkahnya keluar.
Sementara itu, Gintoki melihat ke arah segelas sake yang ia pegang. Dari sake itu terpantul bayangan wajahnya yang bila dilihat sekilas tanpa ekspresi, namun bila diperhatikan baik-baik, salah satu ujung bibirnya terangkat sedikit dan matanya berkilau.
Di bawah tangan kanannya, di tas meja, amplop yang diserahkan padanya itu ia jaga. Seperti barang berharga yang tidak ingin ia perlihatkan kepada siapa pun.
"Kau lebih baik cepat kembali, Baka..." katanya pelan sambil meneguk sake itu perlahan.
Tidak peduli seberapa lamanya,
Aku akan menunggumu di sini.
Memastikan tempat ini tetap menjadi rumah kita,
Dan menempatkan harapan di atas janji-janji,
Kau akan datang...
Suatu hari nanti.
FIN.
