This Is Too Much
Menerangkan : Manga NARUTO milik Masashi Kishimoto
Peringatan : TYPO, OOC, dll
3 Tahun 4 hari
"Aku tidak tahu Sakura. Dia tidak menelponku sejak hmm… entahlah!"
Aku mengigit bibir menahan senyum sambil memperhatikan kening bertaut Naruto yang tengah sibuk mengecek telpon genggamnya karena pertanyaanku barusan. Aku bertanya tentang bagaimana kabar tunangannya. Aku terkikik pelan sambil menyeruput minumanku, meliriknya geli saat matanya sedikit melebar ketika sepertinya sudah menemukan apa yang dicarinya.
"Empat hari…" bisiknya pada dirinya sendiri, sepertinya takjub tidak percaya. Keningku ikut bekerut, masa dia baru sadar?
"Heh.. tidak heran beberapa hari ini aku merasa begitu damai…!" Ucapnya terdengar santai… aku hanya menghela napas dan menatapnya datar ketika mendengar itu. Masa sih Naruto..?
Kami sedang makan siang bersama di sebuah rumah makan yang di rekomendasikan seorang kawan. Ramen di tempat ini sangat terkenal, katanya banyak orang yang datang jauh-jauh dari seberang benua hanya untuk mencicipinya. Dan tentu saja seorang pencinta ramen seperti Naruto tidak akan pernah melewatkannya.
"Apa kau harus menunggunya menelpon untuk memberimu kabar keadaannya?" Aku memutar bola mata menatapnya bosan sambil meniup kepulan kuah ramen dihadapanku. Siapa yang tidak tahu seberapa besar ego seorang Naruto Uzumaki…? Dia tidak akan pernah mengakui seberapa ia perduli.
"Telpon lah dia, tanya bagaimana keadaannya!" Aku menasehatinya bak induk ayam, kebiasaan lama yang begitu susah hilang. Naruto selalu berkata kebiasaanku ini sangat menyebalkan, ia selalu berkata kalau dia bukan anakku yang perlu ku ajari dalam semua hal.
Naruto hanya mendengus kemudian memasukkan kembali telpon genggamnya ke dalam kantong kemeja yang ia kenakan. Menegaskan padaku kalau ia tidak akan melakukan sesuai nasehatku. Dasar Naruto, ia tipe yang tidak suka membuat dirinya seolah menurut pada pendapat orang lain.
"Bagaimana denganmu…? Sudah menemukan tempat yang pas untuk tinggal?" ucapnya mengubah topik pembicaraan.
"Yah.. akhirnnya aku menemukan tempat yang menurutku paling strategis." Aku tersenyum simpul berharap tidak menunjukkan lelahku padanya, aku mengingat kembali bagaimana perjuanganku untuk bisa sampai disini. Pindah ke negeri ini bukan perkara mudah untukku, begitu banyak yang harus ku korbankan. Tapi setidaknya dengan begini aku bisa membuka hidup baru disini, jauh dari masa lalu. Jauh dari Sasuke…
"Maafkan aku karena tidak bisa membantumu mencari tempat tinggal dan lainnya Sakura!" Naruto terlihat benar-benar menyesal. Aku mengibas-ngibaskan tanganku sambil tersenyum kecil, justru merasa tidak enak karena membuatnya merasa seperti itu. Ia sudah melakukan begitu banyak untuk membantuku hingga detik ini.
"Tidak perlu mengkhawatirkan itu Naruto, kau sudah sangat banyak membantuku. Dari mulai mengepak dan pengiriman barang sampai dengan tiket pesawat dan membayar tempat tinggalku. Apa lagi yang bisa kuminta darimu?" Ucapku dengan wajah penuh terimakasih dan sedikit perasaan tidak enak.
"Itulah yang harusnya dilakukan oleh seorang sahabat!" tukasnya sambil tersenyum lebar. Ku perhatikan entah disadarinya atau tidak Naruto kembali mengeluarkan telepon genggamnya dari kantong kemudian meletakkannya disisi mangkuk ramennya yang mengepul hangat. Matanya sesekali menatap lekat benda itu.
"Aku akan membayarnya kembali Naruto, ingat itu!" aku berkata lantang. Tidak ingin menerima semua bantuannya ini begitu saja. Ia hanya terkekeh mengangguk menanggapi perkataanku. Aku sudah berkata padanya kalau aku akan membayar semua dengan mencicilnya.
"Ya… aku tahu, babak belurpun aku tidak akan bisa meyakinkan mu sebaliknya!" sambil mengucapkan itu kulihat Naruto kembali melirik layar telepon genggamnya yang masih hitam gelap, tidak menunjukkan apapun. Aku mengulum senyum melihat tingkahnya. Naruto begitu gelisah, ingin rasanya mengucapkan itu kedepan wajahnya, tapi ku urungkan niatku karena itu hanya akan membuat dia menyangkalnya mati-matian. Perasaan cinta-bencinya pada Hinata adalah sesuatu yang selalu membuatku tersenyum kecil.
"Hallo, Sakura…, Maaf mengganggumu pagi-pagi buta begini." Tiba-tiba benakku memutar sebuah kalimat yang hampir kulupakan. Keganjilan nada suara lembut pelan yang tidak biasa kudengar dari 'sosok itu' membuat kalimat ini semakin terdengar mengawang, seperti mimpi.
"Ngomong-ngomong Hinata tahu kan kalau kau sedang melakukan perjalanan bisnis dan bukannya sedang berlibur denganku?" ucapku ketakutan baru saja menyadari. Kebetulan punya tujuan yang sama membuat kami berangkat bersama empat hari yang lalu. Kemudian berpisah dibandara menuju tempat tujuan kami masing-masing, Naruto tidak bisa banyak membantuku selain bantuan materi karena dia juga punya banyak urusan disini.
Tiba-tiba aku merasa sangat khawatir. Nafsu makanku mendadak hilang saat benakku memutar kembali kejadian beberapa hari yang lalu. Perasaan tidak enak membuncah di dasar perutku, saat pelan-pelan baru bisa menyadari maksud kata-kata Hinata yang menelponku di pagi buta.
"Kenapa…? Apa dia menelponmu? Apa Hinata marah-marah padamu? Astaga aku harusnya tahu ini akan terjadi, Hinata diam mencurigakan seperti ini pasti ada apa-apanya!" Naruto meletakkan sumpitnya juga karena melihat reaksiku.
"Tidak.. Tidak Naruto! Dia sama sekali tidak melakukan itu." Sergahku cepat dengan mata membulat. Naruto menghemuskan napas lega.
"Hanya saja, iya pasti akan selalu tahu entah bagaimana. Aku hanya tidak ingin ia salah paham kepada kita." Ucapku mengerutkan kening.
"Tolong bukalah matamu….! Lihatlah dia… , lihat bagaimana pengorbanannya untukmu." Harusnya aku tahu… oh tuhan nada bicara itu tidak seperti nada bicara penuh kebencian yang biasa ia tujukan padaku. Hinata terdengar begitu lelah dan putus asa.
"Jangan mengkhawatirkan hal yang tidak perlu." Naruto mengabaikan kata-kataku begitu saja.
"Jangan begitu Naruto!" aku mendelik tidak setuju, semakin panik.
"Kau harus lebih perhatian, Hinata itu sensitif!" Aku harap ketakutanku tidak terbukti.
"Seperti yang kau katakan," ucap Naruto kearahku.
"Walau bagaimanapun dia akan tahu, jadi untuk apa repot-repot memberikan kabar?" ia mulai mengangkat sumpit untuk menyeruput ramennya yang sempat terabaikan. Hanya Hinata yang bisa membuat Naruto kehilangan nafsu makannya seperti tadi bahkan walaupun itu adalah ramen kesukaanya.
"Akan berbeda ceritanya kalau itu ia dengar dari mulutmu sendiri Naruto…"aku menatap Naruto nanar berharap dia segera menelpon tunangannya untuk menjernihkan kesalah pahaman yang kucurigai saat ini tengah terjadi tapi ia hanya mengangguk mengiyakan, mengabaikan.
"Dia akan tahu dari detektif sewaannya, selama ini aku tidak pernah punya privasi Sakura!" ucap Naruto menghirup makanannya santai, tidak tahu kalau aku tengah dilanda kepanikan. Justru itulah yang sedang ku khawatirkan saat ini. Bagaimana kalau Hinata berikir yang tidak-tidak karena laporan salah dari detektif swastanya itu?
"Hinata sama sekali tidak menghormati ruang pribadiku. Bagaimana mungkin aku tidak kesal kalau akan selalu ada dua pasang mata yang membuatku selalu merasa diawasi!" Ucap Naruto cemberut. Keposesifan Hinata memang selalu ia keluhkan pada kami, kawan-kawannya.
"Itu karena dia sangat mencintaimu Naruto!" Ucapku membela gadis berambut indigo itu, pelan-pelan tertunduk saat kata-kata Hinata kembali terngiang ditelingaku.
"Sudah sejak lama sekali!" Aku berucap menambahkan, pelan, tidak fokus, ketakutan saat semakin mengingat jernih kata-kata Hinata yang kudengar sambil setengah tidur waktu itu.
"Kau sudah tidak adil padanya Sakura! Kau tidak seharusnya memanfaatkan kebaikan hatinya seperti itu…!" Mataku berair, hatiku sakit saat kecurigaanku semakin menjadi-jadi.
"Naruto… maafkan aku…!" Aku menahan tangis ketika mangatakannya. Wajah marah Hinata yang menahan tangis kembali terlintas dibenakku, aku sangat sering melihat raut itu. Kebenciannya padaku itu…. Oh betapa aku sangat ingin ia sadar bahwa semua itu tidak beralasan. Tapi lihatlah sekarang apa yang kulakukan… aku kembali bergantung pada Naruto. Maafkan aku… tanpa kusadari aku selalu berada diantara kalian.
"Baiklah…! Cukup sudah!" Naruto meletakkan kasar sumpitnya ke atas meja. Aku mengangkat wajah dan mendapati Naruto tengah manatapku serius.
"Apa yang dikatakannya kali ini padamu..?" Rahangnya mengerat marah. "Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu saat ini Sakura!"
"Hinata kan…? " Matanya menyipit menatapku, menantangku untuk mengatakan sebaliknya hanya agar dia bisa mengetahui aku tengah berbohong.
"Apa ia berkata kasar…? Memaki…? Mengancam..? Katakan Sakura!" Naruto menuntut jawabanku gusar.
Naruto selalu menomor satukanku. Ia selalu merasa khawatir untukku, menjagaku dengan sangat baik. Memastikan aku selalu punya kawan saat Sasuke membuatku patah. Aku memandang lekat mata biru Naruto yang terlihat khawatir. Ia pasti takut aku kembali mendengar makian dan cacian yang sebelum ini selalu dilancarkan Hinata padaku setiap kali ia merasa tidak aman dan cemburu padaku. Sebenarnya Hinata melalukan itu hanya karena ia terlalu mencintai Naruto, aku sungguh sangat mengerti itu sejak dulu. Itulah kenapa aku tetap bertahan dan memaklumi semua kelakuannya selama itu tidak menyakitiku secara fisik. Dan bagiku yang sudah tumbuh bersama Naruto sejak bayi sikap Hinata ini begitu kekanak-kanakan.
"Tidak Naruto…! Sama sekali tidak!" Tapi sebenarnya ia menelpon hanya karena mengkhawatirkanmu, ia menelpon karena ia ingin aku tahu… mataku seperti baru benar-benar terbuka.
"Selama ini Naruto selalu mencintaimu…!" Suara Hinata begetar… seperti orang yang sudah begitu lelah dan kepayahan. Selama ini kami semua selalu menganggap kecemburuan Hinata padaku yang berlebihan ini sangat tidak masuk akal dan tidak beralasan. Hapir semua kawan kami menentang hubungan Naruto. Kawan laki-laki kami menganggapnya aneh, sedangkan kawan wanita kami menganggap Hinata itu angkuh. Tapi...
"Hinata Benar…!" Aku menggigit bibir menahan tangis.
"Sakura…! Katakan apa yang sudah dilakukan Hinata padamu?" Naruto berbisik lembut membujukku, nada berat dan rasa bersalah kental menguntai pertanyaan itu.
"Aku sudah tidak adil padamu Naruto…, Maafkan aku..!" Aku tertunduk malu. Sekian ratus kali Naruto selalu ada untukku, sekian juta kali kalimatnya selalu menenangkanku. Aku harusnya tahu,.. tidak..tidak… sebenarnya aku sudah lama merasakannya, naluriku bilang kau sudah jatuh cinta. Hanya saja tidak ingin mengakuinya, karena hubungan persahabatan ini begitu berharga, aku tidak ingin membuat hubungan kami berubah. Aku tidak menyadari kalau hal ini mungkin menyakitinya, tidak ingin mengakui kalau aku menyakiti Naruto dan juga…. Hinata maafkan aku.
"Berikanlah sebuah kesempatan untuknya…" Itu adalah kalimat terakhir gadis itu sebelum ia memutuskan sambungan… Air mataku mengalir semakin deras. Naruto terlihat sangat khawatir, ia menggerutu tentang tindakan Hinata yang kelewatan. Menebak dan menerka salah situasi saat ini. Tissu putih segera menyapu pipi berairku dengan lembut.
"Hinata itu agak tidak stabil Sakura, tolong maafkanlah dia…! Aku akan mengingatkannya agar tidak mengganggumu lagi.. berhentilah menangis, apapun yang dikatakannya sebenarnya dia tidak bermaksud begitu!" untaian kata maaf terus ia suarakan atas nama Hinata.
Kelabatan ingatan wajah Naruto yang khawatir serta ketulusannya menjagaku terus beruntai membuatku semakin tergugu dalam tangis. Berapa banyak aku sudah menyakiti pria ini?
"Hinata tidak marah ataupun memaki Naruto.." Aku meraih tangannya yang sibuk mengusap air mataku, menghentikan gerakannya. Naruto menatapku nanar, berusaha mengerti apa maksudku sebenarnya, kenapa aku bereaksi seperti ini. Ia kebingungan.
Haruskah aku memulai..? Apakah aku bisa membuka hati untuknya..? Aku tahu Naruto sangat menyayangiku. Dia tidak akan pernah menyakitiku, tapi…
"Sebuah kesempatan untuknya…!" suara memelas Hinata kembali terdengar. Apa dia sudah merelakan Naruto untukku? Laki-laki yang selama ini sudah diperjuangkannya setengah mati ini? Tapi kenapa…?
"Haruskah kita mencoba Naruto..?" ucapku hilang arah, hatiku berkata menegurku, ragu. Mata Naruto melebar mendengar pertanyaanku. Ia menyentak tangannya dari genggamanku.
"Apa yang kau bicarakan Sakura?" Ia menatapku heran, seperti ketakutan. Sesungguhnya mungkin sudah mengerti dan bisa menebak apa maksudku.
"Apa kau ingin mencoba bersamaku..? Sebagai keka.."
"Hentikan…!" Bentaknya memotong kata-kataku, aku menggigit bibir terdiam menatap mata birunya yang menatapku kecewa.
"Cukup…! Apapun yang ingin kau katakan ini kumohon hentikan…" Ia menunduk dan memijat pelipisnya.
"Untuk semua yang sudah kau lakukan untukku Naruto,seharusnya aku sada…"
"Sakura….!" Ia mendelik kearahku. " Demi tuhan, setan apapun yang merasukimu sekarang kumohon hentikan…!" Akupun diam, tidak berani lagi mengatakan apapun.
"Aku akan segera menikah Sakura….! Hanya tinggal sebentar lagi… " Ia menatapku dengan senyum kecil dibibirnya. Aku mengangguk cepat menanggapi. Didalam hati bersyukur pada reaksi Naruto, entah mengapa aku merasa sangat lega.
"Kurasa mengasihaniku sekarang sudah agak sedikit terlambat!" Mendengar kalimatnya itu aku langsung membuka mulut bermaksud menyangkal, aku tidak mengasihaninya…!
"Tidak..! Dengarkan aku…" Ia mengangkat telapak tangannya kedepanku, mengisyaratkan agar aku tidak menyelanya.
"Kita… " ucapnya sambil menggerakkan telunjukknya padaku dan dadanya sendiri, mengisyaratkan sesuatu diantara kami "..tidak akan berhasil!" kemudian ia terkekeh pelan.
"Menurutku orang yang paling cocok untukmu memang adalah Sasuke." Aku mengerutkan kening cemberut mendengar kata-katanya, aku tidak setuju.
"Dia memang terkadang sangat brengsek… tapi dia sangat mencintaimu, dia bisa melawan separuh dunia hanya untuk bisa bersamamu." Ucapnya dengan wajah penuh pengertian. Aku membuang muka, menolak mendengarkan pembelaan Naruto untuk Sasuke.
"Apa kau tahu, ia bekerja di lima tempat kerja sampingan yang berbeda agar bisa membeli tiket dan menyusulmu kemari. Mikoto Baa-san membekukan semua rekening dan kartu kreditnya…!" Aku membelalak menatapnya tidak percaya.
"Kau memberitahukan padanya tentang keberadaanku?" Ucapku kesal pada Naruto yang hanya mengangguk menjawabku. Kenapa Sasuke malakukan itu..? Padahal aku sudah berusaha sejauh ini untuk pergi dari hidupnya.
"Tidak ada perusahaan yang berani menerimanya bekerja karena takut pada kekuasaan Uchiha… Sasuke yang malang!" Naruto terkekeh setengah menikmati penderitaan rekannya itu. Kenapa dia melakukan itu..? Padahal aku sudah berusaha menjaganya agar tidak mengalami ini. Sasuke..? Padahal aku sudah pergi sejauh ini.
"Aku tidak akan bisa melakukan hal seperti itu untukmu Sakura…!" ucap Naruto lembut. Kemudian sambil menggeleng, ia meneruskan kata-katanya.
"Mungkin aku tidak cukup mencintaimu untuk bisa lebih memilihmu dibandingkan keluarga dan kenyamanan yang kumiliki sekarang."
"Lagi pula… Ada seseorang yang tidak akan pernah bisa merelakanku." Ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan wajah cantik Hinata yang tersenyum anggun sangat dekat nyaris menempel disisi potret wajahnya sendiri. Hal yang lamat-lamat ku ingat pernah ia keluhkan padaku, bagaimana Hinata memaksanya untuk menjadikan potret mereka sebagai halaman depan tampilan telpon genggamnya.
"Aku punya seseorang yang memerlukanku…!" Aku tersenyum kecil mendengarnya, Ya… sesungguhnya kalau ia mau, Naruto bisa saja mengganti foto itu dengan tema lainnya.
"Dia akan benar-benar gila kalau aku meninggalkannya Sakura!" Ia menghela napas lelah seolah pasrah. Tapi aku bisa melihat senyum yang sangat kecil di ujung bibirnya. Jari-jarinya melayang ringan menyentuh potret gadis itu.
Aku baru sadar, dia tidak menggantinya bukan karena ia tidak bisa menggantinya, tapi karena ia tidak ingin melakukannya. Entahlah... dia mungkin belum benar-benar menyadarinya, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas.
Hei… Apakah tadi Naruto Uzumaki baru saja menolakku…?
Tanpa kusadari aku mulai tertawa kecil sambil memandangi Naruto, lagi-lagi benakku memberikan kilasan masa lalu yang semakin membuatku tersadar.
"Kau tahu tentang ini..?" Saat Itu Naruto terlihat sangat kecewa padaku ketika aku memberitahunya kalau aku sudah mengetahui niat Sasuke yang akan mempersunting Hinata agar ia bisa memenangkan tampuk kepemimpinan Uchiha.
Malam itu Naruto datang ke apartemenku dengan niat mengadukan tindakan Sasuke padaku, dengan kalimat penuh makian kebencian pada Sasuke ia menceritakan sumber kemarahannya yang sayangnya aku sebenarnya sudah mengetahuinya. Saat itu aku dan Sasuke sudah sangat putus asa, aku ingin bisa bersama dengan pria yang kucintai bagaimana pun caranya. Meski itu harus menjadi seorang wanita simpanan pria beristri. Keluarga Sasuke selalu menghalangi dan menolak kebersamaan kami, satu-satunya cara agar kami bisa bersama adalah dengan Sasuke menjadi CEO perusahaan keluarganya yang akan membuatnya bisa melakukan apa saja tanpa harus mengikuti perintah dari siapapun.
Itu adalah kali pertama Naruto meneriakiku dan mengatakan aku bodoh serta tidak berperasaan. Aku memohon dikakinya agar dia bisa merelakan Hinata untuk di nikahi Sasuke. Aku berupaya mengajukan alasan dengan mengatakan tidak akan banyak yang berubah, bahwa pernikahan ini hanyalah pernikahan kontrak sampai Sasuke bisa mencapai tujuannya. Aku memohon agar dia bisa menunggu 1 tahun saja, dan semuanya akan kembali normal. Lagi pula, kami semua masih bisa berhubungan seperti sebelumnya, aku dan Sasuke juga Hinata dan Naruto.
"Apa kau sudah sinting…?" Makian Naruto padaku masih segar terngiang. Mendengar penjelasanku ia justru semakin marah, bahkan sampai mencengkram bahuku kemudian mengguncang keras tubuhku dengan wajah garangnya.
"1 Tahun Sakura…! Mereka akan hidup bersama selama 1 tahun. Menikah, hidup serumah… makan bersama, atau bahkan siapa tahu.. mungkin saja mereka harus tidur seranjang. Apa kau yakin mereka tidak akan berubah…?" Secubit kekhawatiran memang menggangguku ketika itu, tangan Naruto yang gemetar memegangi bahuku, serta sorot mata ketakutannya tidak bisa ku abaikan begitu saja. Tapi karena aku sudah sangat terdesak aku tetap bersikeras. Aku meyakinkannya kalau cintaku dan Sasuke tidak akan berubah, bahwa Naruto tidak perlu khawatir karena alasan Hinata menyetujui pernikahan ini adalah agar dia bisa menarik perhatian dan cinta Naruto. Aku terus memohon dan mengiba padanya… menangis dan meraung agar ia bisa mengerti keadaan kami, meminta agar dia bisa berbesar hati seperti Hinata.
Tapi saat mendengarnya Naruto justru tetawa histeris sambil berkata, "Dan disinilah aku….hahahaha… mengira saat ini aku sedang melindungimu dari kemungkinan merasa terluka akibat keegoisan Sasuke dan Hinata… Aku tidak menyangka kalau ternyata justru kau…. Sakura… aku tidak bisa percaya ini. Bagaimana mungkin kau bisa melakukan ini…?" Mata Naruto terlihat sangat sedih ketika menyatakannya.
"Aku sudah menyakitinya…. Sakura kau tidak tahu apa yang sudah kulakukan pada Hinata karena ini…!" Naruto meringis sakit membuat tangisku hari itu meledak. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukannya pada Hinata, dan sama sekali tidak berani menanyakannya. Namun aku sedikit lega karena sepertinya tidak ada yang berubah, Hinata masih bersikap sama seperti biasanya, ia masih menempel pada Naruto sampai dengan hari keberangkatan kami empat hari yang lalu pun ku lihat mereka masih bertengkar lewat telpon seperti biasanya. Tapi keabsenan Hinata empat hari ini dan telpon dipagi buta itu membuatku takut. Aku takut kalau Hinata menyimpulkan dan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat kami semua menyesal.
"Maaf Sakura…. Aku tidak akan pernah membiarkan Sasuke menikahi Hinata…!" Meski Naruto pernah mengatakan akan melakukan apa saja demi kebahagianku, ketika itu tidak perduli seberapa banyak aku memohon ia justru terus menolak sampai akhir. Juga jangan lupakan Sasuke yang terpaksa harus menggunakan kaca mata hitam selama seminggu karena biru lebam akibat tonjokan Naruto dimata kanannya.
"Dia itu drama queen..."Aku tersentak mendengar Naruto melanjutkan racauannya, berisi keluhan dan kekesalannya... yang saat kuingat-ingat lagi memang selalu tentang Hinata.
Hinata... Kau mungkin salah...
Naruto Uzumaki... sepertinya telah jatuh cinta….
Tapi bukan lagi padaku...
Apa yang sudah kulakukan...? #histeris...
"Siapa kau ibu ?" aja belum update dan sekarang sudah posting multi chap lagi...?
Tolong ampuni Hyuri... entah kenapa habis baca review di "A Little Too Much" Hyuri langsung lancar ngetik chapter ini...
Ya ampooonnn... 15 menit jadi and langsung posting deh... hedeh...
Semoga suka ya... :)
