Hope and Faith

Fanfic SNK


Umur Karakter

Eren : 10 tahun.

Armin : 12 tahun.

Mikasa : 13 tahun.

Summary

Cerita berawal di sebuah gedung tua. Tak ada orang yang terlalu mencurigai bangunan abu-abu kusam itu sebagai markas gangster yang memiliki bisnis penjualan anak hasil penculikan. Yang mereka tahu, gedung itu adalah milik seorang kakek tua yang sangat ramah. Padahal keramahannya itu digunakan untuk memancing anak-anak masuk ke perangkap sang ketua gangster.

Eren adalah salah satu anak kurang beruntung yang terjerat tipu muslihat. Pada awalnya ia memberontak, seperti halnya anak-anak yang lain. Tetapi setelah salah satu anggota gangster memberitahunya bahwa ia telah dijual orang tuanya sendiri, ia berhenti. Ia berusaha menghilangkan perasaannya agar tak merasakan sakit lagi, dan menunggu ajal menjemput. Tak pernah satu kali pun ia memperlihatkan emosi kepada penyiksanya, bahkan ia tak lagi berteriak kesakitan, membuat dirinya ditinggalkan oleh para psikopat yang telah bosan akan dirinya sendirian di ruangan sunyi itu.

Hingga tiba hari ketika ia bertemu para calon detektif dari Recon Academy yang sedang menjalankan misi. Api kehidupan kembali menyala di kedua manik samuderanya. Bersama mereka, Eren mencari jalan pulang menuju rumah yang ia rindukan.

Disclaimer : Shingeki no Kyojin karya Isayama Hajime


Chapter 1 : Hope Part 1

Aku hanya ingin hidup normal.

Pergi ke sekolah. Belajar bersama teman-teman. Bercanda dengan mereka sewaktu makan siang. Mengobrol sampai berjam-jam tentang hal-hal sepele. Pulang bersama dan mengucapkan, "sampai besok," dengan senyuman. Kembali ke sebuah tempat yang bisa kusebut 'rumah'. Disambut senyuman hangat dari ibu tersayang dan membalasnya dengan senyumanku sendiri. Membantunya memasak makan malam kalau perlu. Menyambut ayah yang baru pulang kerja dengan segelas kopi panas. Bercerita tentang kehidupan sekolah kepada kedua orang tuaku sambil tertawa lepas. Mendengar keluhan ayahku tentang pekerjaan kantor lalu mengatakan, "tak apa, Ayah pasti bisa," untuk menenangkannya dan mendapat ucapan terima kasih dengan senyuman dari ayah. Beranjak menuju kamar setelah mengucapkan, "selamat tidur," dan mendapat ciuman kasih sayang dari ibu dan tepukan sayang di kepala dari ayah dan berbaring di tempat tidur hingga mimpi indah menyelimuti tidurku.

Tapi itu semua hanya mimpi. Mimpi kosong yang tak akan pernah terwujud.

Ya Tuhan,

Apa permintaanku ini terlalu berlebihan?


Eren terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya menggantung lelah menutupi setengah dari bola mata hijau kebiruannya. Di bawah matanya terlihat jelas kantung mata dan warna hitam yang menghiasinya. Kulitnya pucat, pucat yang tak sehat. Eren mengangkat kedua tangannya dan memperhatikannya dengan sepasang bola matanya yang kosong dan muram. Perutnya perih dan ia hanya ingin sesuatu untuk mengisinya. Apapun boleh, asalkan perut ini tak kosong seperti perasaannya yang terasa hampa.

Matanya menyapu ruangan kosong itu. Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Bahkan semut pun enggan menemaninya. Ia memeluk kedua kakinya dan meletakkan dagu runcingnya di atas kedua lutut. Ia ingin menangis, menangisi keadaannya untuk entah keberapa kalinya. Menangisi kondisinya yang terkurung di ruangan kosong yang dingin dan gelap selama entah sudah berapa lama. Tapi ia tak bisa. Tak ada lagi air mata yang bisa ia keluarkan. Ia takut jika ia menangis lagi, yang keluar adalah darah.

Dia merindukan rumahnya. Ia rindu senyuman lembut ibunya. Ia rindu tawa rendah milik ayahnya. Ia rindu bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan besok ia mendapat makanan atau tidak. Ia rindu masakan ibunya. Ia rindu bermain bersama kucing kesayangannya. Ia rindu bercanda tawa dengan ayahnya. Ia bahkan merindukan sekolahnya. Walau ia tak pernah memiliki teman. Andai hari itu tak pernah ada. Andai hal itu tak pernah terjadi.

Hari mengerikan itu telah merenggut kehidupan bahagia seorang anak berumur tujuh tahun. Memorinya tentang kejadian hari itu tak pernah hilang. Setiap detiknya telah melekat erat di dalam otaknya. Setiap malam, ia akan melihat rekaman ulang kejadian malam itu secara detail. Seakan berkata kepadanya untuk tidak akan pernah melupakan kejadian itu.

Perih.

Sakit.

Sesak.

Sepi.

Hanya ada perasaan negatif yang menyelimuti hati Eren.

Pria berkumis tebal dengan lengan kekar yang membawanya paksa ke tempat mengerikan ini berkata dengan ringannya bahwa ia telah dijual sebagai budak. Dijual oleh orang tuanya sendiri.

"Kau anak yang tak diinginkan. Kau kesal? Tenang saja, mereka sudah diurus dan tak akan pernah bisa melihatmu lagi. Ingat?" Pria itu tertawa menggelegar. Ia terus mengoceh tentang proses pembunuhan kedua orang tuanya yang tentu saja, disaksikan secara langsung oleh putra tunggal mereka.

Betapa saat itu ia ingin seluruh organ tubuhnya berhenti bekerja.

Ia ingin berteriak, menangis. Tapi ia tak lagi bisa melakukannya. Pita suaranya seperti tak dapat bekerja lagi setelah terlalu sering ia gunakan untuk berteriak ketika sebuah belati tajam menggores seluruh badannya. Air matanya seperti tak dapat mengalir lagi setelah sekian kali ia keluarkan saat beberapa tangan kasar menampar, memukuli atau menekan kuku-kuku mereka seakan ingin menembus kulit pucatnya. Psikopat-psikopat itu selalu memiliki cara dan alasan yang tak masuk akal untuk menyiksanya.

Lalu bagaimana? Bagaimana ia bisa melenyapkan rasa sakit ini? Kenapa ia tak juga mati? Matanya memanas, tapi tak ada setitik pun air mata yang muncul. Menyakitkan. Keinginan untuk melepaskan rasa perih yang begitu kuat namun tidak bisa itu sangat menyakitkan.

Eren semakin mengeratkan pelukannya ke kedua kaki kurusnya. Ia menenggelamkan kepala mungilnya semakin dalam ke kedua lututnya. Berharap hal itu dapat memberikannya sedikit kehangatan. Tudung jaket cokelat pucatnya terangkat untuk menghalangi tusukan udara dingin menelusup di antara helai-helai rambut cokelatnya.

Pintu berat terbuat dari baja yang menghalangi Eren melihat dunia luar itu menggeret terbuka. Suaranya yang berdecit keras terdengar sangat memekakkan telinga Eren yang sudah terbiasa dengan kesunyian. Seberkas cahaya menerobos masuk. Seorang laki-laki dewasa dengan tubuh besar berotot menggendong dua buah karung kecokelatan di atas kedua pundaknya. Dia menjatuhkan karung-karung tersebut dan menyeretnya masuk ke ruangan lalu kembali menutup rapat pintu baja itu tanpa berkata barang satu kata pun. Sekilas tampak seringai menjijikkan terpampang di wajah pria itu sebelum terhalang pintu baja. Eren sedikit tersentak mendengar decitan melengking yang dihasilkan pintu berat itu padahal dia sudah berkali-kali mendengarnya.

Ketika Eren kembali menenggelamkan kepalanya ke lutut, ia mendengar suara-suara pergerakan dari arah kedua karung itu tergeletak. Eren mengangkat kepalanya dengan ragu. Ada makhluk hidup di dalam karung itu. Dan ukurannya lumayan besar. Mengetahui kemungkinan akan adanya makhluk hidup selain dirinya di sel itu membuat bola mata Eren bersinar senang. Sudah lama ia tak bersosialisasi dengan makhluk hidup lain. Eren menatap karung-karung bergerak di hadapannya penuh harap.

Dari mulut karung di sebelah kiri muncul sesuatu berwarna kuning dan di karung yang satu lagi muncul sesuatu berwarna hitam. Benda itu kalau dilihat dari dekat seperti... kepala. Alis Eren terangkat. Kedua matanya sedikit membulat karena penasaran lalu anak berambut cokelat itu merangkak mendekati benda tersebut. Tangan kurusnya meraih karung di hadapannya. Ia menyentuh bagian tengah karung kemudian menepuknya lembut dengan tangan kanannya hanya untuk ditariknya kembali karena kaget mendengar suara seseorang terkikik geli.

Karung-karung itu bergerak lagi. Apa pun yang menghuni karung tersebut keluar secara perlahan dan memperlihatkan sosok mereka sepenuhnya.

Kini, di depan Eren duduk dua orang anak yang umurnya kira-kira sepantaran dengannya. Mungkin lebih tua dua atau tiga tahun. Yang satu berambut pirang. Rambutnya yang sepanjang dagu itu menyelimuti wajah bulatnya dengan sempurna. Pipi tembamnya bersemu merah muda karena menahan tawa. Bola mata biru langitnya begitu besar, membuatnya semakin terlihat seperti anak perempuan. Atau dia memang anak perempuan? Eren bingung sendiri.

Si pirang mengenakan kaus berwarna kuning yang sudah agak memudar dan dibalut dengan jaket polos berwana biru muda. Eren sempat berpikir kalau anak di depannya ini berpakaian sesuai dengan warna mata dan rambutnya. Anak itu memakai celana berwarna cokelat muda yang membalut pinggangnya hingga ke lututnya. Ia juga menggunakan sepasang kaus kaki putih hingga pertengahan betisnya dan sepasang sepatu kets berwarna cokelat kayu, sedikit lebih gelap dari warna celana selututnya.

Mengangguk pada dirinya sendiri ('sepertinya dia anak laki-laki,' pikirnya), Eren pun mengalihkan perhatiannya ke anak yang satu lagi.

Anak ini dari penampilannya tak diragukan lagi berjenis kelamin perempuan. Rambutnya yang sehitam arang meluncur mengikuti bentuk kepalanya melewati pundak kokohnya. Bola matanya berwarna abu-abu, namun kalau diperhatikan lebih jauh lagi ada sedikit warna biru di dalamnya, mengingatkannya pada seseorang. Kulitnya pucat seperti mayat. Eren sempat mengira gadis itu tak bernyawa dan bergidik ngeri sebelum akhirnya menyadari bahwa anak itu bernapas.

Eren meneliti gadis kecil di depannya lebih jauh ketika gadis itu telah berdiri tegak sekitar satu meter di depannya. Telapak kaki pucat gadis itu beralaskan sepasang sandal bersol sedikit tebal mirip bakiak dengan perpaduan antara warna cokelat dan merah yang lumayan mencolok. Ia menggunakan sehelai jaket berwarna merah muda. Di balik jaket itu, ia mengenakan blus berwarna putih susu dan sepertinya ada beberapa bercak merah di bajunya. Eren sedikit memiringkan kepalanya bingung.

"A-pa ka-kamu hab-is me-mainka-n cat?" ia tergagap dengan suara yang sangat serak. Eren menunduk malu mendengar suaranya sendiri. Entah kedua anak di depannya mendengar pertanyaan polosnya atau tidak. Si pirang terkikik pelan sementara gadis itu menundukkan kepalanya sedikit sehingga area pipi dan mulutnya tertutup syal merah darah yang ia lilitkan di sekitar leher jenjangnya. Sepertinya mereka dengar.

Anak berambut pirang akhirnya berhenti terkikik dan tersenyum lembut ke arah Eren yang menatapnya bingung sementara gadis berambut hitam di sebelahnya menelengkan kepala ke arah Eren untuk menatap mata hijau kebiruan yang tampak kosong namun masih terdapat secercah harapan. Anak laki-laki berambut pirang mengambil beberapa langkah maju mendekati Eren yang bergerak mundur sedikit demi sedikit. Alis kanan si mata biru terangkat membuat Eren tersentak lalu terjatuh dan menabrak dinding keras di belakangnya. Eren mengaduh, bola matanya menyipit menahan sakit. Luka-luka yang baru akan pulih kembali terbuka. Lebam kebiruan di punggungnya terasa panas menyengat. Terdengar suara orang terkekeh dan ketika Eren mengangkat wajahnya, sebuah tangan mungil terulur di depannya.

"Armin."

Eren menatap tangan di depannya kebingungan. Si pemilik tangan terkikik geli... lagi. Eren menatap anak itu dengan mata menyipit. Kenapa orang ini suka sekali terkikik?

"Kau tahu? Tidak sopan kalau kau tidak memberi tahu namamu ketika seseorang mengulurkan tangannya untuk dijabat dan berinisiatif untuk memperkenalkan diri."

Eren kembali menatap tangan di hadapannya kemudian pipinya memanas. Baru sadar bahwa ia sedang diajak berkenalan dan kesan pertamanya tidak terlalu bagus. Tapi, itu 'kan bukan sepenuhnya kesalahanku! Salahkan anak ini juga karena tiba-tiba menyodorkan tangan dan berkata, "Armin," dengan santainya! Aku yang sudah lama tak menyentuh dunia sosial tidak akan mengerti 'kan? Gunakan bahasa dengan baik dan benar! Eren menggerutu dalam hati.

Armin tertawa renyah, seakan telah mendengar isi pikiran anak bermata eksotis yang masih terduduk di atas lantai retak. Eren merasa pikirannya terekspos di bawah pengamatan anak laki-laki itu. Armin menarik tangannya kembali, berpikir bahwa Eren tak akan menyambut uluran tangannya.

Di antara tawanya ia berhasil mengatakan sesuatu yang bisa dimengerti. "Jadi, pfft... siapa namamu?"

Kedua pipi Eren semakin memerah. Ia lalu menjawabnya dengan nada bergetar menahan malu, "E-Eren." Beberapa detik kemudian kedua tangannya langsung ditangkupkan di wajahnya yang sudah menyerupai kepiting rebus. Ia tidak terlalu ahli dalam bersosialisasi dan selalu salah tingkah di sekitar orang yang belum dikenal.

Gadis bersyal merah yang belum juga buka suara mendekati Eren. Dari suara langkahnya, sepertinya ia sedikit ragu-ragu. Eren mengangkat wajahnya yang masih memerah untuk menatap gadis itu dan memberikan senyum termanisnya. Gadis itu berhenti mendadak di depannya, membuat Eren sedikit tersentak ke belakang, lalu menutupi kedua pipinya dengan syal.

"Mikasa," suaranya terdengar pelan dan terkesan malu-malu. Eren berpikir mungkin gadis ini sama sepertinya, kurang berani bersosialisasi. Ia kemudian teringat dengan ibunya.

Sewaktu Eren pertama kali masuk sekolah, ia sangat gugup dan selalu menunduk ketika orang lain melewati atau melihat ke arahnya. Ibunya kemudian berjongkok di depannya dan tersenyum sangat lebar dan mengangguk mantap kepadanya. Hal itu langsung meningkatkan keberaniannya. Eren tersenyum lebar persis dengan cara tersenyum ibunya di dalam ingatannya kemudian mengangguk meyakinkan, berharap hal itu dapat menenangkan gadis bernama Mikasa itu.

"Senang berkenalan denganmu." Eren tersenyum makin lebar mendengar Mikasa mulai memberanikan diri berbicara lebih dari satu kata di hadapannya. Kedua pipi merahnya tertarik ke atas mengikuti bentuk tulang pipi mungilnya.

"Y-ya." Hanya itu yang bisa ia ucapkan saat ini. Mana mungkin dia bisa menahan malu untuk ketiga kalinya kalau ia mengucapkan kalimat penuh namun yang keluar hanya suara-suara parau persis zombie di televisi. Kalau darahnya berkumpul di kedua pipinya terus, ia merasa kepalanya akan pecah.

Keheningan kembali melingkupi ruangan dingin itu. Atmosfer yang sedikit hangat langsung turun beberapa derajat. Eren bergerak-gerak gelisah. Ia sempat senang ketika akhirnya mendapat kawan bicara. Namun, suasana yang kembali sunyi ini membuatnya frustasi dan ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang dapat mengembalikan perasaan hangat di dadanya ketika ia bisa mendengar suara kedua anak ini dan berbicara dengan bahasa manusia untuk pertama kalinya.

'Melakukan apa?' suara kecil di dalam otaknya menginterupsi, membuat sang pemilik bertambah gelisah.

Eren berhenti berpikir keras. Mungkin ia bisa tahu harus melakukan apa setelah ia kembali mengamati dua anak di depannya. Dengan hal itu di pikirannya, ia mengangkat wajah dan bertatapan langsung dengan sepasang mata biru laut yang sangat observatif. Ternyata anak bernama Armin itu sudah mengambil langkah lebih dahulu untuk mengamati Eren. Wajah si mata langit menyiratkan bahwa sang objek observasi sedang dibandingkan dengan sesuatu.

Anak laki-laki berambut cokelat gelap itu sedikit gemetar di bawah tatapan menyelidik si pirang. Ia tak pernah suka dilihat orang lain terlalu lama. Kebiasaannya untuk tidak menonjol selama ini susah untuk dihilangkan. Ayahnya pernah berusaha membangkitkan rasa percaya dirinya dengan mengajaknya bermain bisbol dengan anak tetangga. Tapi, hal itu malah membuat dirinya semakin ciut karena merasa dirinya hanya menjadi beban dan membuat permainan bisbol rekan-rekannya tampak buruk. Tak ada yang menyalahkannya, tapi ia terlalu sensitif dan selalu merasa bersalah, walau itu sebenarnya bukan salahnya.

Armin berdehem, sedikit mengagetkan Eren. Si pirang melemparkan senyum minta maaf dan berkata, "Tenang saja, kami tidak akan menyakitimu kok. Kau tahu? Kami juga tawanan di sini." Armin tersenyum menenangkan.

Eren menatap si pirang bingung. Tawanan? Bukannya semua yang ada di dalam bangunan mengerikan ini sudah dijual sebagai budak? Jadi, kenapa disebut tawanan? Tawanan itu orang yang dibawa secara paksa, bukan dijual secara sukarela, pikir Eren sambil tersenyum pahit.

"Kau tidak dijual."

Sepasang manik dingin menatap balik bola mata samudera Eren yang sedikit membelalak. Tidak dijual? Apa maksud gadis ini? Jelas-jelas pria yang membawaku waktu itu berkata demikian. Untuk apa dia berbohong? Eh! Tunggu dulu! Dia bisa membaca pikiranku!

Dalam remang-remang, sudut bibir Mikasa sedikit terangkat. Di matanya, Eren itu sangat ekspresif, makanya pikirannya sangat mudah ditebak. Anak laki-laki yang lebih muda itu tak pernah gagal membuatnya terhibur sejak mereka pertama kali bertatap muka beberapa menit yang lalu.

"Mikasa benar, Eren. Kau tidak dijual, tapi diculik," Armin angkat bicara. "Sebenarnya, dari data yang kami dapat, tak ada seorang pun manusia di dalam penjara ini punya riwayat dijual, semuanya dibawa secara paksa. Yah, mereka pikir cara ini lebih menguntungkan. Kau tahu? Bawa secara paksa dan jual. Metode ini nggak butuh banyak biaya." Mikasa mengangguk, membenarkan pernyataan partner pirangnya. "Dan siapa pun orang yang mengatakan padamu bahwa orang tuamu menjualmu secara sukarela, itu bohong besar. Dia pasti berbuat begitu supaya kamu tidak akan mencoba kabur dari tempat ini."

Eren menurunkan kepalanya, memandang lutut. Kedua bola matanya menyiratkan kelegaan yang luar biasa. Ternyata orang tuanya tidak menjualnya. Sudut bibirnya gemetar, membentuk senyum kaku karena jarang dipakai.

Tapi, tetap saja. Dari mana mereka mendapat informasi seperti itu? Jangankan mendapat informasi. Anak normal tidak akan bisa mengerti hal-hal seperti ini. Jadi, siapa mereka sebenarnya? Eren menyipitkan mata waspada. Tak menghiraukan fakta bahwa suaranya kini persis zombie kelaparan, ia berusaha menyuarakan pertanyaannya.

"Sebe-nar-nya... kali-an sia-pa? Kena-pa dat-ang ke sin-i?"

Sinar mata biru muda milik Armin begitu terang, memperlihatkan bahwa pertanyaan itulah yang ia tunggu-tunggu dari tadi. Sedangkan Mikasa yang menyadari ini memutar bola matanya dan berjalan menuju Eren (yang tentu saja tersentak kaget, tak terbiasa berdekatan dengan makhluk yang bernapas) lalu menjatuhkan diri di ubin retak di samping si mata eksotis.

"Mari kita ulang sesi perkenalan kita." Armin menarik napas dalam-dalam, dadanya dibusungkan, lalu membuka mulut secara dramatis dan menjawabnya dengan ekspresi penuh kebanggaan. Sedangkan Eren melongo bingung, hanya karena sebuah pertanyaan darinya si pirang berubah sedrastis itu.

"Kami adalah calon detektif dari Recon Academy. Armin Arlert dan Mikasa Ackerman." Tangan kanannya terkepal dan ditempelkan tepat di atas jantungnya sedangkan tangan kirinya dikepalkan di belakang punggung. "Kami sedang mengemban sebuah misi penting. Top Secret. Kalau di sekolah biasa, seperti ujian kenaikan kelas. Ada pertanyaan lagi?"

Eren terperangah. Buru-buru ia mengatupkan kembali rahangnya yang terbuka lebar. Kedua pipinya memerah.

"Ah... ka-kal-au begi-tu... umm," Eren memilin-milin ujung jaket cokelat pucatnya gugup, "Ba-con Aca-demy i-tu... apa?"

Hening.

Bacon?


Sa. Ngat. O. O. C!

Seperti biasa, updatenya nggak jelas. Paling lama update... entahlah. Dan kayaknya saya memang kurang cocok bikin humor serius. -_-

BTW, tahu bacon? Itu lho sarapannya orang barat! Sering muncul di Tom & Jerry. Kalau di Tom & Jerry biasanya disajikan dengan telur mata sapi tuh. Bacon itu menurut pengamatan saya dari film Tom & Jerry adalah daging babi yang dipotong memanjang. Bisa dipanggang, digoreng, direbus, sesuai selera.

Terima kasih banyak bagi yang telah membaca. Terus ikuti fanfiction ini ya~

(= RnR =)