title: tourniquet
genre: suspense/mystery
rating: M
.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
notes: for A.
.
(—in other words, it tastes like chamomile )
Krista sangat menyukai minum teh beraroma chamomile.
Ia selalu menyetok beberapa dus di lemari makan apartemennya, dan tak pernah absen memperbarui stok yang mulai habis setiap bulan. Cangkir minum tehnya juga selalu dipoles hingga mengkilat; rutin diolesi air jeruk lemon segar setiap minggu.
Krista selalu meminum teh chamomile setiap sore, ditemani dengan kue-kue ringan. Ia biasanya membeli kue itu di toko roti beberapa blok dekat apartemennya, roti dan aneka pastry hangat selalu tersedia disana setiap hari.
Krista sangat menyukai teh chamomile, dan tak pernah memikirkan sesuatu yang buruk tentang itu.
Ada rumor yang beredar tentang toko bakery di dekat apartemen Krista.
Krista pernah mendengarnya beberapa kali ketika ia melewati kerumunan untuk berbelanja groseri; bisikan samar dan gosip hangat yang memberitahukan kalau toko bakery itu memiliki seorang shut-in yang tinggal di dalamnya.
Krista sendiri tak begitu mengenal arti shut-in, namun Annie memberitahunya kalau kata itu berarti semacam penyendiri, atau mungkin fobia sosial. Sedangkan Mikasa, yang keturunan Asia, mengatakan kalau shut-in berkonotasi sama dengan fenomena hikikomori di Jepang.
Krista menemukan dirinya tak begitu peduli akan hal itu, dan meneruskan berbelanja di toko itu sebagai seorang pelanggan setia. Lagipula, toko bakery itu cukup ramai, tak menyimpan kesan misterius sama sekali.
Sore itu, Krista membeli satu dus kecil éclair vanilla dengan cherry di atasnya, dan membawanya ke rumah. Seorang wanita berambut hitam, yang selalu memakai masker dan mengenakan nametag bertuliskan 'Freya' di dadanya, mengucapkan terima kasih , lalu menyodorkan kembalian.
Krista menikmati istirahat sorenya dengan nikmat hari itu, tak lupa secangkir teh chamomile hangat tersedia di tangan.
Krista pulang larut malam dari kantornya hari itu. Seperti biasa, ia melewati toko bakery langganannya sebelum memasuki belokan gang. Sudah jam sebelas malam, dan lampu di toko bakery itu masih menyala; meskipun pintunya menggantungkan tag 'closed' disana.
Krista melewati bagian depan toko itu tanpa suara, lonceng kecil yang digantungkan dengan benang di pintu toko itu berdenting kecil dihembus angin malam. Krista berjengit sedikit, mendapati kalau suara itu terdengar sedikit asing baginya.
TING, TING.
Suara lonceng; dan setelah itu hening. Krista mendengar suara benda terjatuh, dan ia melihat tali tas tangannya yang agak kendor, sehingga dompetnya yang dijejalkan ke kantung depan tas itu merosot ke bawah. Ia membungkukkan badan, mencari-cari dompetnya di jalanan gelap.
Dan saat itulah ia mendengar samar-samar suara orang sedang bersenandung dari dalam.
"Sulmare luccica, l'astro d'argento…"
Krista terdiam sejenak, menajamkan telinganya untuk mendengarkan suara itu lebih jelas.
"Placida è l'onda, prospero è il vento…"
Suara itu sopran, setiap jeda nada diselingi dengan tautan senandung menggumam yang lembut. Krista berhasil menemukan dompetnya, dan segera memasukkannya ke saku bagian dalam tasnya.
Krista berdiri, dan nyanyian itu berhenti—sama asingnya seperti ketika nada itu mulai mengalunkan wujudnya. Ia berjengit sedikit, dan mempercepat langkahnya dari situ.
Sopranis gereja di tengah malam buta? Yang benar saja.
.
Toko bakery itu perlahan mulai menjauh seiring langkah Krista yang dinaikkan temponya. Namun, tanpa Krista sadari; sepasang mata berwarna cokelat gelap mengawasi kepergian gadis itu, bulu mata palsu menempel di kelopak pucatnya.
Malam itu, Krista bermimpi tentang lautan chamomile.
Ia mendapati dirinya terbangun di antara kelopak-kelopak lembut berwarna putih; bau chamomile yang hangat menggelitik hidungnya setiap kali ia menghela napas. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, namun sepanjang mata memandang yang ada hanyalah chamomile, chamomile, dan chamomile; padang bunga yang begitu surrealis seperti sapuan cat minyak di kanvas.
Krista bangkit, dan berlari. Ia tak tahu apa alasannya, tapi sesuatu memberitahunya untuk lari. Sesuatu yang lembut terasa menggelitik kulitnya seiring dengan otot-ototnya yang saling bergesekkan; dan ia segera menghentikan derap kakinya begitu mengetahui benda apa itu.
Bajunya. Terlepas.
Krista terhenyak, ketika menyadari bahwa benang terakhir yang menutupi tubuhnya, begitu lembut bak sutra hingga gesekannya hampir tak terasa, jatuh melewati kakinya.
Oh. Sialsialsial.
Ia buru-buru menaikkan fabrik tipis serupa dress itu, sambungan antar potongannya kelihatan bak dikaitkan dengan tusuk jelujur yang dikerjakan tergesa-gesa, dan menautkan tali dress itu di bahunya. Nah. Beres.
Tapi, mengapa… kulitnya terasa begitu dingin?
Ia meraba bagian belakang punggungnya perlahan, dan mendapati kalau selain dress tipisnya; tak terdapat tali yang biasanya melingkar disana.
Ia terhenyak, dan segera menyadari kalau dirinya tak memakai pakaian dalam.
Krista mendapati dirinya gemetaran hebat; oh oh—bayangkan kulitnya yang sepucat susu itu terekspos begitu saja dan hanya terhalangi fabrikasi tipis ini; ia bahkan tak sanggup menerima hal itu. Dikencangkannya balutan dress tipisnya di tubuhnya, dan melangkahkan kakinya perlahan.
Ia tak menjumpai orang lain sama sekali disini. Krista menghela napas dalam, memenuhi paru-parunya dengan wangi chamomile yang hangat. Ia memicingkan matanya berkeliling sekali lagi, dan mendapati telinganya mendengar suatu harmoni yang tak asing.
"Sul mare luccica l'astro d'argento…"
Sedikit legato terdengar mengalun di sela-sela nada. Krista terpaku.
"Placida è l'onda, prospero è il vento…."
Melodi itu terdengar menjauh, sebelum kemudian pelayangan bunyinya terdengar lagi dan terasa mengecup lembut daun telinga Krista.
"Venite all'agile barchetta mia…."
Suara gumaman lembut dengan nada rendah; dan setelah itu, hening.
Krista terdiam, sunyi terasa begitu asing di sekelilingnya setelah nada itu memeluk udara sekejap tadi. Si gadis pirang menggigit bibir bawahnya perlahan, dan memutuskan untuk berjalan lagi menempuh padang chamomile yang entah apa ada ujungnya ini.
Krista terus berjalan, berjalan, dan berjalan; ketika sebuah papan dari kayu oak yang keras membentur telapak kakinya. Ia berjengit sedikit, dan mundur sejenak untuk melihat apa itu.
Krista mendapati ukiran serabutan yang terpahat di papan oak itu; dan menyentuhkan jarinya kesana.
Kurva-kurva anonim itu segera bergerak dengan kasat mata, menautkan diri satu sama lain—membentuk segurat relief yang bisa dimengerti.
YouarethevalkyrieIsearchthroughtheseyears
Krista mengernyitkan kening, menyentuh relief itu sekali lagi; namun kali ini tak terjadi apapun. Ia terdiam sejenak, memutuskan kalau tulisan itu mungkin bukan sesuatu yang patut untuk dipusingkan.
Tapi anehnya, jemarinya seakan takluk untuk menyentuh papan itu sekali lagi—dan bunga-bunga chamomile segera memudar dengan hembusan angin berbau kelembutan.
[ di batas antara kesadaran dan ketidaksadaran—Krista membuka mata; terbangun ke dalam realita. ]
Pagi harinya, Krista bergegas pergi ke kamar mandi dengan langkah berat. Rambutnya terasa lebih kusut dari sebelumnya; anehnya badannya tak berkeringat sama sekali.
Ia menyalakan shower, dan di tengah derasnya air, Krista memikirkan mimpinya semalam.
Apa maksud dari semua chamomile itu?
Krista mengangkat bahu, mencoba menyingkirkan segala spekulasi itu dari benaknya. Selesai membilas, ia segera mengenakan handuk—dan keluar.
.
Ketika ia membuka lemarinya, Krista menemukan dress yang dikenakannya di padang chamomile semalam, hanya saja tali yang mengaitkan dress itu ke pundak sudah dipotong.
Krista berjengit, dan mundur beberapa langkah. Ia buru-buru mengambil blazer dan rok taffeta-nya, lalu menutup pintu lemari dengan benturan keras.
.
.
Tanpa Krista sadari, sepasang mata berwarna cokelat kehitaman menatapnya dari sela-sela lubang angin; bulu mata palsunya telah ditanggalkan dan berganti dengan kelopak botak yang rapuh termakan waktu.
[ Bau chamomile yang manis menguar di udara. ]
.
.
To Be Continued
.
notes ii: thanks for reading. to a particular person who would take a special particular test, good luck.
(depok, 2014)
