Petra mungkin memang salah satu lulusan terbaik yang berhasil bergabung dengan squad Levi—divisi dua investigasi, yang merupakan impiannya sejak dulu. Tetapi bagaimana jika Ia tak sengaja melakukan kesalahan biasa pada misi di hari pertamanya, sehingga Levi harus terus berada di sisinya untuk melindunginya, bahkan untuk hari-hari ke depannya? Di suatu sisi, itu membuatnya bersyukur. Namun di sisi lain, penyesalan tak bisa terelakkan.
Shingeki No Kyoujin © Hajime Isayama
.
This fanfiction is belong to me.
.
Warning : Alternate Universe, IC/OOC, (miss)typo, RivaillexPetra, Erwin's POV for the first chapter. Recon Corps (Levi's Squad) as Second Division on Investigate.
.
(I just write what inside my brain. I don't get any profit by this fanfiction. If you don't like, don't force yourself to read it.)
Enjoy Reading, Minna!
Erwin's PoV
.
.
Aku memandangnya dari ujung ke ujung—mulai dari rambut pirang oranye miliknya, sampai ujung kaki. Ia mungkin merasa canggung, maka dari itu Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Siapa namamu?" Aku bertanya. Ia mengangkat kepalanya, lalu menatapku seraya berujar, "Petra Raal. Anda bisa memanggil saya Petra, komandan. Mohon bantuannya," setelah itu, Ia membungkuk hormat. Aku tersenyum sejenak.
"Petra? Nama yang bagus untuk seorang polisi utusan terbaik sepertimu." Pujiku sejenak. Kulihat, Ia tersenyum sampai-sampai bola matanya menyipit. "Terimakasih untuk pujiannya, komandan." jawabnya. Oh iya, aku sampai dibuatnya lupa tentang arah percakapan kami yang sebenarnya. Dengan segera, aku mengulas senyum wibawa milikku.
Ah, kebetulan sekali! Tiba-tiba saja, Ia lewat di depan kami. Kukira Ia hendak menuangkan kopi seduhan Hanji ke cangkir kecilnya, lagi. Sekedar untuk menghilangkan kantuk ataupun pusing. "Levi!" seruku. Ia menoleh dengan wajah datarnya itu. Dengan alis yang bertautan, tentunya. Entah kenapa, imej itu selalu dibawanya kemana saja. Tak bosan, eh?
Aku kembali memandang Petra, sedikit memaksakan senyum. Ia menganggukkan kepala pirangnya, mengerti akan isyaratku. Padahal, aku belum berbicara apapun padanya. Tak salah lagi kalau Ia bisa terpilih masuk ke squad Levi dengan mudahnya. Rupanya aku sudah mengerti sekarang.
"Apa?" Uh-Oh. Sepertinya, orang yang barusan bersuara itu merasa terlupakan oleh kami. Ia memperbaiki posisinya berdiri, menghadapku. Lalu tetap dengan wajah datarnya, Ia menambahkan, "Kau memanggilku tadi, kan, Erwin? Kenapa tak langsung saja? Cepat bicara. Kau membuang-buang waktuku saja, tch."
Ah, benar juga. Tapi mengapa Ia mendadak menjadi secerewet itu? Tumben sekali.
Dengan tarikan napas berat sebelumnya, aku berujar, "Ada anggota baru. Mungkin kau sudah mendengar kabar ini sebelumnya. Dia akan masuk squad-mu nantinya," Sambil sesekali memandang Petra dengan ujung mata, lalu menyikut Levi, aku menambahkan, "Dia termasuk salah satu lulusan terbaik dalam seleksi langsung sebagai utusan, kau tahu." Levi mendengarkan dengan seksama. Walaupun wajahnya datar begitu, aku cukup paham bahwa Ia benar-benar tertarik.
"Mulai sekarang, kau berada di bawah perintahku, pirang." Levi buka suara. Kulihat, Ia membuat Petra agak tersentak pada kata terakhir yang diucapkannya sebagai kata ganti untuk nama panggilan.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu berujar. "Jangan terlalu dipikirkan, dia memang begitu. Seenaknya saja mengganti nama panggilan seseorang," dan sontak saja, aku dihadiahi tatapan tajam nan menusuk Levi yang menyeramkan. Kelihatannya, walaupun sudah terbiasa sekalipun, kadang aku juga merinding jika ditatap terus-terusan seperti itu.
Petra menganggukkan kepalanya pelan, kemudian aku menepuk pundaknya. "Bagus. Semoga beruntung!" ujarku, lalu melenggang berjalan meninggalkan mereka.
Nyatanya tidak berjalan seperti niatku tadi. Aku juga tak tahu mengapa sekarang aku masih duduk canggung di salah satu meja kerja yang berada paling sudut dari ruangan ini, sesekali menundukkan kepala pirangku ini—karena terlalu tinggi, mungkin. Mencoba memantau tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, dari jarak jauh, tentunya.
Sejauh ini, mereka masih diam. "Nah," kulihat, Levi tak tahan dengan suasana canggung mereka. Mungkin, karena itulah Ia mengambil inisiatif untuk bicara duluan, heh. "Siapa namamu?" lanjutnya. Sepertinya mulai terlihat seru, heh—AKH!
Kurasakan sebuah bogem mentah baru saja melayang, mengantam kepala dengan rambut kuning setengah tercukurku ini. Aku menoleh, dan kudapati seorang Hanji Zoe dengan kepalan tangan di depan wajahnya yang ceria.—tunggu, ceria?! Itu berarti…
"Bersiaplah, semuanya! Ada kasus menarik yang telah menghampiriku hari ini, kalian tahu?" teriaknya tak tanggung-tanggung, membongkar penyamaranku –yang sebenarnya sudah gagal- ini. Aku memijit-mijit pelan pelipisku, frustasi. Kenapa Ia malah muncul di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini?
"Eh? Ada apa, Erwin? Kenapa diam saja?" Baiklah. Sekarang dia menatapku—menuntutku, minta jawaban. Segera kuangkat kepalaku, menepis segala rasa malas yang sekejap saja menyerang benakku, entah kenapa.
Lalu dengan wibawa yang telah kupegang seutuhnya, aku berujar. Memberikan komando. "Bersiaplah, semuanya. Ini perintah!" sudut mataku sempat menangkap bahwa Levi sedang memandangku, lagi-lagi dengan wajah datar dan alis berkerutnya itu. Tak lupa, Petra dengan wajahnya yang terlihat sedikit bingung, sekaligus siaga.
"Ada pertanyaan?" tanggapku terhadap wajah bingungnya itu. Ia mengangkat telapak tangannya sedikit, lalu membuka mulutnya. "Engg, ano… Kemana anggota lainnya, komandan?" Aku tersenyum, anak ini benar-benar seorang pengamat situasi, rupanya.
"Anggota khusus squad Levi lainnya, Erd dan Gunther sedang menjalankan misi pengejaran khusus, Mike sedang dalam pengawasannya terhadap target dari client yang melapor kemarin." Aku mengambil jeda, lagi. "Sudah kujawab. Ada lagi?" Ia tersenyum, lalu mengangguk patuh. "Dimengerti, komandan!"
Sekali lagi, aku tersenyum, kemudian menoleh ke samping. Memandang Hanji yang masih terlihat sangat ceria dengan rona di pipinya. Aku memantapkan diriku untuk berujar pelan, "Err… Ngomong-ngomong, kali ini kita dapat kasus seperti apa?" Dan sukses, pertanyaan itu membuatnya nyengir.
"Kasus biasa di atas segala kasus biasa yang sering kita tangani, hehe." Lancar sekali Ia menjawab dengan akhiran tawa yang aneh seperti itu. Oh, perasaanku mulai tidak enak sekarang.
"Rencana perampokan Bank," lanjutnya.
Semuanya bungkam. Satu komentar dari Levi, "Mainstream di atas mainstream." Ia lalu menyelipkan senjata seadanya, lalu mengenakan jaket kulitnya. Kemudian Ia memandang Petra singkat, "Apakah persiapanmu sudah selesai?" Petra mengangguk. "Bagus!" mereka—dipimpin oleh Levi- lalu melenggang keluar ruangan, dibarengi dengan langkah Levi yang sempat terhenti, kembali menoleh ke belakang, menatap kami dengan tatapan datar anehnya itu.
"Dimana lokasi tepatnya?" Ia bertanya. "Bank Rakyat Shiganshina, Levi." Ia mengangguk. "Siap, laksanakan." Ujarnya, masih dengan wajah datar anehnya yang sama sekali tak menampakkan raut cerah, sekali saja. Acuh tak acuh, Levi meneruskan langkahnya dengan Petra yang mengekor sigap di belakangnya.
Aku masih memandang punggung Levi. Bagaimana bisa aku menjinakkannya waktu itu? Ahh, kadang aku jadi tidak mengerti secara signifikan, tapi tetap saja itu terjadi. Akulah yang memegang komando dan tanggung jawab terbesar di antara mereka. Dan saat sisi kemanusiaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, memikirkan alasan baik dari para pelaku sebagai latar belakang memang diperbolehkan, namun perhitungan sebenarnya adalah mereka—jauh lebih banyak, dirugikan atas perbuatan tersebut. Itulah tugas utama.
"Divisi Dua Recon Corps, tak salah kau menaruhnya pada bagian investigasi, Erwin. Levi tak banyak bacot dan langsung bertindak, seperti prediksi sekejapmu sebelumnya." Suara Hanji membuatku menoleh. Aku menarik sudut-sudut bibirku, lalu menjawabnya. "Begitulah. Ayo, masih ada beberapa hal yang harus kita lakukan, Hanji."
Aku menoleh sedikit, "Ngomong-ngomong, aku ingin mendengar latar belakangnya secara detail." Hanji kembali tersenyum lebar. Oh, kukira, di sinilah masalah yang sebenarnya.
.
.
.
To Be Continue
(Author's note) : Di fanfic ini, penempatan latarnya dominan berada di gedung Recon Corps yang notabene-nya adalah sebuah divisi kepolisian. Penempatan karakter Erwin sebagai Point of View merupakan suatu tantangan tersendiri untuk saya karena karakternya yang sering dibuat melenceng dari yang sebenarnya. Gomen ne, Minna-san!
(Author's bacot) :
Di tengah-tengah kesibukan yang melanda saya sebagai kelas ujian, malah sempet-sempetnya ngetik fic beginian buat refreshing, hahh... Bagaiamanapun juga, ide ini melompat-lompat terus di otak karatan saya. Dan pastinya, itu akan membuat saya lebih stress lagi nantinya. Jadi solusinya adalah dengan menuangkannya ke fanfic ini. Saya nekat mencoba terjun ke alur dengan latar kepolisian hanya berbekal informasi dari segelintir orang kepercayaan saya /lirik titan Collosal sama titan abnormal yang lagi goyang oplosan/ padahal mereka modalnya cuman dari pilem-pilem action toh. Yeah, saya juga berminat untuk terjun ke dunia kepolisian—khususnya bagian investigasi nantinya. (Padahal kerjanya diem terus di kamar kalo punya waktu luang!)
Jadi Minna, ini dilanjut apa dibiarin? /salah/ Ini dilanjut apa dihapus? (Saya udah ngetik setengah chapter selanjutnya buat jaga-jaga, sih... /maksudlu apaan coba/)
Review anda sangat menentukan, arigatou.
Sign,
Delfiana Dei
