lvl99 shamelessly present
"Forget Me Not"
Hunhan fic for BIG EVENT HUNHAN INDONESIA (event dari oa HUNHAN INDONESIA)
Main Cast : Luhan
Oh Sehun
Kim Jongin
Park Chanyeol
Park Kyungsoo
Byun Baekhyun
Pair: HunHan, Kaisoo, Chanbaek, diselingi beberapa moment crackpair
Rate : T for this chapter, will be M (NC-17) for next chapters~
Genre: Hurt/Comfort
Word counts (without a/n) : 4,5k
Warning : !AU, GS for bottom (Uke disini adalah yeoja), Mature content
Disclaimer : HunHan and other cast belong to God.
Chapter 1. Prolog –First Encounter
Boseong, South Jeolla Province –Mid Summer 2004.
Boseong. Kota kecil di ujung selatan Korea. Kota yang seakan tidak tersentuh kemajuan zaman, menyendiri di kaki gunung, menyajikan lautan hijau dari perkebunan teh ketika kau memandang ke arah gunung, dan lautan biru opal ketika kau memandang ke arah sebaliknya.
Boseong. Kota kecil ramah, dengan penduduknya yang sedikit, dan hidup sederhana. Mereka hidup sejahtera, tentu. Bahagia akan kehidupannya. Begitu juga dengan Mrs. Lu, walaupun hanya tinggal berdua dengan gadis kecilnya, ia bahagia. Luhan kecil begitu ceria dan penuh rasa ingin tau. Gadis kecil itu sering menjelajah sendiri, berpetualang ke kebun teh, atau berlari menyusuri pesisir pantai.
Hari itu, Luhan kecil sedang terpana di depan sebuah rumah megah. Rumah paling besar dan mewah di kotanya. Matanya terpaku melihat beberapa kuntum mawar dengan warna semerah darah mencuat ke luar pagar. Ia berjinjit dan menghirup aroma bunga itu. Harum, seharum aroma orang-orang berpakaian bagus yang kadang mampir ke toko kue mamanya. Ia mengusap kelopak bunga itu, lembut sekali~ Mamanya pasti akan suka. Tanpa sadar, tangkai bunga itu dipatahkannya, dan sekarang ia sudah menggenggam bunga indah itu. Luhan tersenyum membayangkan senyum yang merekah dari bibir mamanya.
"Pencuri!" Sebuah suara mengagetkannya. "EOMMAAAA! ADA YANG MENCURI MAWAR KETHUKAAN EOMMAAAA!" Bocah laki-laki pemilik suara itu menggapai tangan Luhan dari celah pagar. "Kau tak bitha kabur lagi, Pencuri!"
Luhan terkejut. Tangannya dicengkeram keras oleh tangan bocah itu. Ia melawan.
"L-Luhan bukan pencuri! Bunga ini ada di luar pagar dan- dan-"
Seorang wanita menghampiri mereka. Luhan terperangah melihatnya. Wanita itu cantik sekali, gaun berwarna pink lembut membalut tubuh ramping nan semampainya.
"Woah~ apakah eonnie bintang film?" Luhan kecil sampai lupa kalau dirinya sedang dalam keadaan gawat.
Wanita itu tersenyum lembut. Ia membuka pintu pagar dan melangkah mendekati Luhan. Mengabaikan rengekan pelan dari bocah laki-laki yang sesumbar mengatakan kalau ia pahlawan yang menangkap penjahat.
"Sehunnie, lepaskan dia." Sehun menggeleng. "Nanti dia melarikan diri."
Luhan meringis. Tangannya mulai perih karena bocah bernama Sehun itu mencengkeram tangannya dengan kuat sekali. "L-Luhan tidak akan kabur."
Setelah memandanginya selama beberapa lama, Sehun akhirnya melepaskan tangan Luhan. Luhan mendongak menatap wajah lembut wanita itu. Ia mengulurkan tangannya yang menggenggam setangkai mawar pembawa masalah itu. Wanita itu tersenyum.
"Maafkan Luhan. Bunganya begitu indah, seperti senyuman mama. Tau tau bunganya sudah ada di tangan Luhan."
Wanita itu menyentuh kepala Luhan.
"Luhan? Nama yang cantik. Mau kau apakan bunga itu setelah dipetik?"
"Mau kuberikan pada mama. Mama suka bunga, setiap Luhan pulang main Luhan akan membawakan dandelion, krokus, atau bunga camellia yang Luhan temui. Tapi hari ini Luhan tidak menemukan apa-apa." Luhan mempoutkan bibir kecilnya.
Wanita itu tersenyum lagi. "Ayo masuk ke rumah imo, di dalam ada lebih banyak bunga lagi."
Mata Luhan berbinar, tapi sedetik kemudian ia memberengut. "Mama melarang Luhan bicara dengan orang asing."
"Baiklah~ nama imo Joohyun dan pangeran kecil yang cemberut itu adalah Sehun. Sudah kenal, kan? Sekarang ayo ikut masuk~"
Jeohyun menggandeng tangan kecil Luhan dan menutup pagar. Mengabaikan protes Sehun yang mengatakan tidak seharusnya eommanya membawa masuk seorang pencuri. Luhan mendelik pada Sehun. "Luhan bukan pencuri! Luhan hanya tidak sengaja!"
Sehun menggandeng tangan eommanya yang sebelah lagi. Sambil mengomel, kenapa ia yang anaknya sendiri tidak digandeng. Joohyun tertawa pelan. Sehunnya dari kemarin memang sedang tidak mood, gara-gara liburannya harus dihabiskan di kota kecil seperti ini.
Mereka berjalan menuju halaman belakang. Luhan ternganga, ia seperti menemukan Wonderland, bunga-bunga dengan berbagai warna sedang bermekaran. Joohyun melepas tangan Luhan. Luhan melangkah dengan pelan, seakan sedang merekam pemandangan indah di depannya. Amaryllis merah, Lili putih, mawar pink, merah dan putih, Michaelmas Daisy, Forget-Me-Not dan bunga lainnya –yang Luhan tidak tau namanya. Ia menghampiri ahjussi yang sedang menyiangi rumput. "Lee ahjussi!" serunya sambil menggelayut manja di punggung ahjussi itu.
"Hei hei Lulu, apa yang sedang kau lakukan disini?"
"Ahjussi… kenapa tidak memberitau Luhan kalau bekerja di tempat sebagus ini?" Luhan mempoutkan bibirnya. Ahjussi itu tertawa, tapi langsung terdiam begitu melihat Joohyun melangkah mendekatinya.
"Lee Ahjussi, kau mengenal Luhan?"
"Siapa di kota kecil ini yang tidak mengenal si ceria Luhan?" Lee ahjussi tersenyum. "Dia anak pemilik toko kue 'Deer Lu Bakery' di dekat toko pengrajin keramik itu, nyonya besar."
Joohyun mengangguk-angguk. Luhan sudah tidak terlihat lagi, yang terdengar hanya teriakannya. Ia menoleh pada Sehun yang tengah duduk dan menikmati kue dan teh yang disajikan butler. Andai saja pangeran kecilnya bisa seaktif gadis itu. Joohyun jadi punya ide. "Sehunnie, kau bosan disini, kan? Bagaimana kalau berteman dengan Luhan saja?"
"Dengan pencuri? No no no. It's not my style." Joohyun menatapnya datar. Tiba-tiba Luhan menghampirinya sambil berlari dengan tangan tertangkup.
"Imo imo imo! Lihat ini!" Ia membuka tangkupan tangannya perlahan, membiarkan Joohyun melihat makhluk dalam tangannya. Seekor Monarch Butterfly berwarna biru cerah dengan corak hitam. Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya pelan dan terbang. Luhan tersenyum.
"Imo seperti kupu-kupu itu, cantik dan lembut." Joohyun tersenyum. Anak ini manis sekali.
Sehun mendecih. "Hei bocah, kau menyamakan eommaku dengan ulat?"
"Itu kupu-kupu! Bukan ulat!"
"Kau belum belajar metamorfothith ya? Kupu-kupu itu athalnya dari ulat!"
"Tapi yang Luhan tunjukkan pada imo itu kupu-kupu, bukan ulat! Dan yang benar itu metamorfosis, cadel!"
"Bithakah kau berhenti menyebutkan namamu? Itu terdengar menyebalkan!"
Joohyun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nah- nah, duduklah, Luhan. Minum teh bersama kami."
Luhan duduk dengan patuh. Ia kemudian membongkar tas selempang kecilnya, dan mengeluarkan beberapa buah warna-warni, berry liar berwarna ungu dan merah. "Karena imo baik, Luhan berikan hadiaaah~" Ia tersenyum lebar, memamerkan gigi kelincinya.
"Waah~ Luhan baik sekali. Boleh untuk Sehun juga?" Sehun yang sedang menatap penasaran pada buah yang baru lihat itu memalingkan mukanya.
"Boleh saja. Asal ia tidak bilang Luhan pencuri lagi."
"Nah Sehunnie, jangan bilang Luhan pencuri lagi. Luhan, kau juga minta maaf pada Sehun dan berjanji tidak akan mengambil barang orang lain tanpa izin." Luhan mempoutkan bibirnya. Ia mengulurkan tangannya pada Sehun. "Luhan minta maaf, tidak akan mengulangi lagi."
Sehun kemudian menjabat tangan Luhan sambil menggumam pelan, dan mereka tersenyum.
Pertemuan pertama yang tidak biasa, kan?
Setelah itu, Luhan pulang, membawa beberapa tangkai dari taman Joohyun untuk mamanya. Tentu saja dengan izin Joohyun, bahkan Joohyun sendiri yang memetikkannya untuk Luhan. Mama Luhan sangat senang, keesokan harinya Luhan kembali ke rumah itu untuk mengantarkan beberapa cupcake dari mamanya untuk Joohyun.
Dan sejak itu, ia sering bermain dengan Sehun. Menghabiskan waktu sore untuk menangkap kupu-kupu dan membantu Lee ahjussi merawat bunga. Walau mereka sebenarnya hanya mengacaukan pekerjaan Lee ahjussi.
Luhan jadi tau banyak tentang Sehun. Awalnya dia mengira bocah itu lebih muda darinya, karena dia lebih pendek. Tapi ternyata mereka sama-sama berumur 10 tahun, malah Sehun lebih tua 8 hari dari Luhan. Dengan bangga Sehun menyuruh Luhan memanggilnya oppa, tapi tentu saja Luhan menolak mentah-mentah. "Bocah pendek cadel sepertimu harus kupanggil oppa? Nonono!"
Keluarga Oh berasal dari Seoul, dan membeli sebuah villa besar dan beberapa hektar kebun teh di Boseong. Oh Joo Hyun menyukai lautan yang membentang di horizon Boseong. Suaminya –Oh Dong Hae seorang lelaki tampan dengan wajah ramah adalah seorang pebisnis handal yang pintar mencari peluang usaha. Ia hanya bisa menghabiskan waktunya seminggu disana, sementara Joohyun dan Sehun tinggal selama sebulan. Sehun sebenarnya tidak suka tinggal di Boseong, membosankan karena tidak ada Chanyeol dan Jongin, katanya. Tapi ia tidak mau ikut appanya pulang. Karena itu artinya akan berpisah dengan eommanya. Bukannya Joohyun egois, memaksakan kehendak untuk tinggal di Boseong. Ini karena suruhan dokternya, penyakit yang ia derita membuatnya harus tinggal di daerah dengan udara segar paling tidak 6 bulan sekali selama minimal 2 minggu.
"Eomma? Gadith bandel itu mana?" Sehun dengan nada malu-malu bertanya pada eommanya.
"Merindukannya eum~?"
"Nooooo- It's not my style!" Sehun menghentakkan kakinya.
Joohyun tertawa pelan. "Eomma ingin makan kue, mau menemani eomma membelinya?"
Sehun mengangguk. Joohyun lalu mengambil coat abu-abunya, setelah itu ia memakaikan Sehun jaket dengan corak army kesukaannya. Ia lalu menggandeng Sehun keluar dari istana megah mereka, menyusuri jalan setapak, sambil sesekali membalas sapaan dan senyuman pejalan kaki yang menyapanya. Sehun menarik-narik coat eommanya. Eommanya menoleh.
"Eomma, eomma kenal dengan orang-orang tadi? Kenapa balas menyapa dan tersenyum pada mereka?"
Joohyun tersenyum, "Eomma tidak mengenal mereka, mereka juga tidak mengenal eomma. Tapi apa salahnya tersenyum dan balas menyapa? Jangan pelit membagi senyuman, karena akan selalu ada orang yang bahagia melihatmu tersenyum." Sehun mengangguk-angguk, walaupun tidak mengerti.
Joohyun mengeratkan genggaman tangannya di tangan Sehun. Mereka terus berjalan, sampai akhirnya tiba di sebuah bangunan kecil dengan aksen kayu, terkesan klasik, di depan terpampang nama "Deer Lu Bakery". Suara bel berdentang merdu ketika Joohyun membuka pintu toko itu.
"Selamat Dataaaaang~" Suara riang menyambutnya. Sang pemilik suara melongo ketika melihat siapa yang datang.
"Omona~ Cheonsa Imo dan pangeran salju! Ayo masuk~" Luhan menuntun mereka ke arah meja yang kosong. Toko milik Mrs. Lu bukan bakery biasa, di dalamnya terdapat beberapa meja dan kursi untuk para tamu yang ingin sekedar menghabiskan waktu disana. Walau terkadang para tamu yang datang hanya membeli dan langsung pulang. Yah, apalagi yang kau harapkan dari kota kecil seperti ini? Tapi Deer Lu termasuk toko yang laris, kue buatan Mrs. Lu sudah terkenal enak. Terkadang malah ada pesanan yang datang dari Gwangju dan Seoul, dan secara rutin setiap 2 minggu sekali, Mrs. Lu akan mengirim satu paket besar berisi green tea brownies, chocolate muffin dan roll cake bermacam rasa ke Seoul.
"Sedang sibuk nona kecil?" kata Joohyun sambil mengacak rambut Luhan.
Luhan menggelengkan kepalanya imut. "Tidak, para tamunya sudah pulang sekarang, Imo mau pesan apa? Atau hanya datang menemui Luhan?" Luhan tertawa pelan.
Joohyun tersenyum, "Bisa pesan satu Luhan untuk dibawa pulang? Pangeran salju merindukannya." Ia melirik Sehun –yang ternyata sedang terpana memandangi Luhan. 5 hari terakhir ini Luhan selalu datang ke rumahnya dengan rambut kuncir kuda yang acak-acakan, poni yang diikat ke atas, muka yang tercoreng tanah, baju kaus kebesaran dan celana pendek. Tomboy sekali, Sehun cepat akrab dengannya karena ia merasa Luhan itu laki-laki, sama seperti ia berteman dengan Chanyeol dan Jongin. Tapi melihatnya seperti ini sekarang… dengan gaun terusan berwarna krem selutut, apron pink yang terikat di dadanya, rambut yang dikepang dua, dan rambut poni yang menghiasi jidat nonongnya. Ia memegang dadanya, inikah yang orang dewasa sebut dengan "jatuh cinta"? Sehun sering melihatnya ketika eomma menonton televisi.
Luhan melambaikan tangannya di depan wajah Sehun. "Pangeran salju? Kau benar-benar merindukanku?"
Setengah sadar Sehun mengangguk, namun ia kemudian meralat dengan tergagap. "A-aku merindukan berry yang thelalu kau bawa."
Luhan mempoutkan bibirnya. "Padahal aku merindukanmu. Yasudah kalau begitu." Ia menghentakkan kaki sambil berbalik ke arah dapur. Lupa mengambil pesanan Joohyun. Joohyun menggeleng-gelengkan kepala.
Luhan menabrak mamanya ketika akan masuk ke dapur. "Mama! Perhatikan jalan!" omelnya. Mamanya hanya bisa melongo, kenapa gadisnya jadi galak begitu? Ia lalu menghampiri meja Joohyun sambil tersenyum.
"Nyonya besar, kenapa repot-repot kesini? Biasanya tuan butler yang datang mengambil pesanan."
Ya, tanpa Luhan atau Sehun ketahui, Joohyun telah jatuh cinta pada cake buatan Mrs. Lu. Sejak Luhan membawakannya sebagai balasan atas bunga yang ia berikan.
"Aku rindu pada Luhan. dan tidak perlu memanggilku nyonya besar, Mrs. Lu. Panggil saja aku Joohyun."
Mrs. Lu terlihat ragu. "Joohyun…? Kalau begitu panggil aku Qian saja." Senyumnya. "Dan ini pasti pangeran tampan yang sering Lulu ceritakan~" Ia menoleh pada Sehun. Sehun tersipu malu. "Aigooo~ Kiyowoo~" Joohyun tertawa melihat pipi putra semata wayangnya memerah karena disebut tampan.
"Ah- malah jadi berbicara panjang lebar begini. Pesanan seperti biasa, Joohyun? Atau mau pesan yang lain?"
"Tidak apa-apa Qian jie, aku malah ingin berbincang-bincang denganmu, kalau kau tidak sibuk." Joohyun tersenyum, ia kemudian menyebutkan pesanannya, sambil memesan agar Luhan keluar untuk menemani Sehun.
Pesanan mereka datang, Qian duduk di antara Sehun dan Joohyun. Luhan mengekor di belakangnya. Ia duduk di dekat Sehun. Dalam waktu singkat, Joohyun dan Qian mulai berbicara dengan akrab. Sementara Sehun dan Luhan duduk diam mendengarkan, tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Sehun mulai mengetuk-ngetuk meja karena tidak sabar. Milk tea dan cheese cake nya sudah habis dari tadi, tapi kedua ahjumma cantik itu tidak henti-hentinya berbicara.
Pssst. Dug.
Luhan menendang kakinya pelan. Sehun mendelik padanya, gadis bandel ini senang sekali mencari masalah dengannya. Luhan menatapnya tanpa rasa bersalah lalu berbisik, "Mau berpetualang mencari berry bersamaku?"
Mata sipit Sehun berbinar. Ia tidak bohong waktu tadi bilang kalau merindukan berry yang sering dibawakan Luhan. Beda dengan buah-buahan yang sering ia makan di Seoul, rasanya unik, manis dan asam, tapi menyegarkan. Ia mengangguk. Luhan tersenyum. Ia kemudian meminta izin pada dua ahjumma itu.
Joohyun menatap arlojinya, pukul 2.30 siang. "Kembalilah sebelum matahari terbenam." Ujarnya. Sehun dan Luhan mengangguk.
Luhan melepas apron pinknya dan menarik tangan Sehun keluar toko. Sehun menurut. Mereka berjalan sambil menyusuri jalan setapak, diselingi ocehan Luhan sesekali. Ia bertingkah seperti pemandu wisata, dan Sehun tidak mendengarkannya sedikit pun. Ia lelah, dalam hati dia mengomel, kenapa harus berjalan sejauh ini? Kapan sampainya? Di Seoul ia tidak pernah berjalan sejauh ini, tinggal duduk manis di dalam mobil dan taraa- sampai tujuan. Tapi Sehun diam saja, ia tidak mau diejek Luhan.
Tapi sungguh ia tidak tahan.
"Kapan thampainya? Dari tadi berjalan teruth."
Luhan berhenti, "Kau sudah lelah, pangeran?" Luhan bertanya dengan nada mengejek.
Tuh kan. Luhan memang begitu orangnya—
Sehun mengerang dalam hati. Daripada kakinya putus karena lelah ia harus merelakan gengsinya. "Tidak bithakah kita ithtirahat sebentar?"
Luhan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak disini, disini terlalu panas. Di depan ada sungai, kita berhenti sementara disana. Kau masih bisa bertahan? Atau perlu kugendong?" Luhan tertawa.
Sehun memberengut. "Ayo cepat kalau begitu!"
Ia menyentakkan tangan Luhan dan berjalan memimpin. Sampai ia menemukan sungai kecil dengan pohon besar di pinggirnya. Ia kemudian berlari dan duduk berselonjor sambil bersandar di pohon itu. Luhan tertawa melihatnya.
"Sehun-ah~ Kau benar-benar lelah?" Sehun pura-pura tidak mendengar.
"Sehun-aaaaah~" rengek Luhan. Sehun menatapnya kesal. "Apa?"
"Kemari, disini menyegarkan." Kata Luhan melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam sungai yang dalamnya hanya sebetisnya itu.
"Tidak mau, nanti kau menyiramku. Kau kan nakal." Sehun kembali bersandar.
"Sehun-aaaaah." Luhan merengek lagi.
"Baiklah- baiklah." Sehun berjalan menuju pinggir sungai. "Thekarang apa?" katanya.
Luhan menunjukkan tempat yang memiliki rumput rimbun, "duduk disitu, lepaskan sepatumu dan masukkan kakimu ke dalam air." Sehun menuruti perkataan Luhan, mendudukkan pantatnya di tanah –yang ternyata empuk itu. Kemudian ia melepaskan sepatunya, meletakkannya di sampingnya dan mencelupkan kakinya ke dalam air.
Matanya membulat merasakan sensasi yang diterima syarafnya. Rasa lelahnya seakan hilang diterpa arus pelan air sungai yang dingin itu. Luhan tersenyum melihat ekspresi Sehun. Ia kemudian duduk di sebelahnya.
"Ceritakan padaku tentang Seoul, Sehun-ah."
"Apanya yang haruth diceritakan?"
"Apa saja." Kata Luhan menatap Sehun dengan tidak sabar. Luhan hanya pernah melihat Seoul lewat televisinya, melihat bangunan-bangunan tinggi, restoran dengan makanan enak, café dengan minuman warna-warni, lampu-lampu yang berkerlip bagai bintang, dan lotte world. Luhan sangat ingin kesana. Tapi mamanya hanya mampu mengajaknya ke Gwangju, kota terdekat dengan Boseong.
"…" Sehun diam. Apa yang harus ia ceritakan? Batinnya.
"Apakah disana orang-orangnya tidak pernah tidur?"
Sehun tertawa mendengar pertanyaan Luhan. "Tentu thaja mereka tidur. Kenapa bertanya seperti itu?"
"Tapi lampu dalam gedung-gedung di televisi tetap menyala walau sudah larut malam!" protes Luhan. Sehun menggelengkan kepalanya.
"Memang begitu. Tapi orang-orangnya tetap tidur di waktu malam."
"Woaaah~ berarti Seoul di waktu malam akan terlihat seperti malam penuh bintang? Keren sekali." Luhan mendecak kagum. Sehun menggeleng-gelengkan kepala melihat Luhan. Apanya yang keren dari hal itu?
"Lalu lalu lalu, gedungnya apakah benar seperti yang di televisi? Tinggi?"
Sehun mengangguk. "Temanku tinggal di lantai 39. Ayahnya pemilik gedung 50 lantai itu."
Luhan menganga. Bangunan tertinggi yang pernah ia lihat adalah bangunan lantai 10 di pinggiran Gwangju. Dan ia merasa itu sangat-sangat tinggi. Tapi lantai 50? Mungkin ia bisa menyentuh awan kalau tinggal disana. Angan-angan Luhan melayang tinggi.
"Temanmu sangat beruntung."
Sehun mendecakkan lidah. "Lebih beruntung aku, kalau tinggal di apartemen theperti Jongin begitu, tidak puath bermain, karena tidak ada halamannya. Walaupun Jongin punya kolam renang di dalam ruangan."
Luhan semakin menganga. Seoul terdengar benar-benar indah. Sehun yang melihat reaksi Luhan seperti itu tidak bisa menahan keinginannya untuk pamer.
"Halaman rumahku sangat luath. Lebih luath daripada rumah yang disini. Appa bahkan membelikanku mobil mini yang digunakan untuk berkeliling halaman."
Luhan mendengarkan dengan antusias. "Jadi kau bisa memakai mobil?"
Sehun menggaruk tengkuknya, "nng- mobil yang athli belum bitha. Tapi beberapa tahun lagi pathti bitha!" ujarnya.
"Lalu lalu lalu, kau pernah ke Lotte World?" tanya Luhan antusias.
"Tentu thaja, aku bitha kethana kapanpun aku mau!" Sehun menyeringai.
Luhan menelan ludah. Ia ingin bertanya bagaimana bentuk Lotte World pada orang yang telah kesana. Tapi ia menahan dirinya, tau kalau tidak akan bisa kesana, ia hanya akan merasa iri pada teman barunya itu. Tidak- ia sudah merasa iri sejak pertama bertemu. Apalagi ketika melihat appanya. Satu kenikmatan yang tak pernah Luhan peroleh sejak kecil. Tanpa sadar Luhan tersenyum sedih.
Sehun menatapnya heran. Kemana gadis bandel yang tadi dengan semangat bertanya tentang Seoul? Apakah ini karena dia pamer tadi? Eomma melarangnya pamer, katanya tidak baik. Sehun bingung.
Tiba-tiba Luhan berdiri. "Lelahmu sudah hilang kan, pangeran salju? Ayo kita berangkat!"
Sehun mengangguk dan berdiri, hendak memasang sepatunya.
"Jangan dipasang. Sayang kalau basah. Sekarang kita harus menyeberang sungai."
Sehun terbelalak. Menyeberang sungai dengan lebar 5 m itu? Okay, 5 m untuk ukuran anak kecil itu jauh, apalagi untuk anak manja macam Sehun. Ia menyesal mau ikut Luhan. Dengan berat hati ia menenteng sepatunya dan mengikuti Luhan langkah demi langkah.
Penderitaan Oh Sehun tidak berhenti sampai disitu. Setelah menyeberang sungai, ia harus mendaki tebing dengan tinggi 1 m. Okay, sekali lagi. 1 m untuk ukuran anak umur 10 tahun itu tinggi, Right?
Dan Luhan dengan tega menyuruhnya mendaki lebih dulu. NO WAY!
"Kau kan yang tau jalan, kenapa aku yang di depan?"
Luhan menggeleng. "Cuma mendaki saja, tidak akan tersesat!"
"NO! Kau duluan!"
"Tapi tapi tapi- Aku pakai rok." Luhan mempoutkan bibirnya.
"Lalu apa mathalahnya?" tanya Sehun tidak sabar.
"Bodoh. Bagaimana kalau saat aku mendaki kau melihat celana dalamku?" pipi Luhan sedikit memerah.
"Lalu kenapa kalau aku melihatnya? Aku tidak tertarik." Oh- Oh Sehun, kau akan menjilat ucapanmu sendiri beberapa tahun mulai dari sekarang.
Luhan memberengut. Ia kemudian memijakkan kakinya di ceruk tebing itu dan berpegangan pada rumput di atasnya. Dengan cekatan ia bisa sampai di atas dalam waktu kurang dari satu menit. Sehun membatin, pantas saja muka gadis bandel itu selalu tercoreng tanah. Harus mendaki tebing seperti ini. Ia menirukan cara Luhan, tapi dalam versi 2 kali lebih lambat. Luhan mengulurkan tangan.
"Ayo, akan kutarik kau." Tapi dasar Oh Sehun, gengsinya mengalahkan segalanya.
Akhirnya ia bisa naik ke atas. Ia kemudian menepuk-nepuk bajunya yang kotor.
"Sekarang kemana lagi?" Luhan menunjukkan semak-semak berry berwarna ungu.
"Kita sudah sampai, pilih yang ungu tua, yang hijau dan ungu muda rasanya asam." Katanya.
Sehun mengangguk. Ia memilih buah yang menurutnya sudah matang. Setelah memetik beberapa, ia duduk di bawah pohon sambil duduk tegak. Ini makanan enak, Oh Sehun. nikmatilah. Batinnya. Ia kemudian memasukkan berry itu ke dalam mulutnya.
Dan Demi Telinga Chanyeol yang caplang seperti yoda. Rasanya sungguh segar, meleleh dalam mulut Sehun dan meledakkan berbagai rasa di lidahnya. Sehun sampai memejamkan mata menikmati sensasi yang menyerang indera perasanya. Ia segera menghabiskan berry yang tersisa di tangannya dan kembali bergumul berburu di semak-semak.
"Gadith Bandel! Yang merah dimana? Kenapa aku tidak bisa menemukannya?" Ia berteriak.
Luhan balas berteriak. "Lihat ke atas, Pangeran salju."
Sehun mendongak, dan melihat Luhan sedang duduk di cabang pohon. Luhan menunjuk buah pohon itu. Merah dan kecil. Buah yang ia cari.
"Naiklah." Seru Luhan. Sehun menunduk.
"Jangan bilang kau tidak bisa naik pohon?" Luhan berseru lagi. Sehun mengangguk pelan.
"Aigooo~"
Akhirnya sore itu dihabiskan dengan mengajari Sehun naik pohon dan tidak berteriak ketika sampai di atas. Mereka menikmati matahari terbenam sambil memakan buah ranum yang manis itu.
Demi semua kenikmatan yang pernah ia rasakan seumur hidupnya, sore ini adalah yang paling indah dan nikmat untuk Sehun. Dari atas pohon di puncak bukit, ia bisa melihat pemandangan seluruh kota, permadani hijau dari kebun teh terhampar di ujung timur, laut yang berkilau ditemani langit jingga, dan kota kecil yang teduh. Di atas pohon ini, ia bisa memetik buah kesukaannya dengan sesuka hati, dan ditemani lagu merdu. Eh? Sejak kapan? Tanpa sadar Luhan bernyanyi pelan sambil memilih buah berry dan memasukkannya ke tas selempang kecilnya. Setelah penuh ia mengacungkan jarinya ke arah kota dan berbicara pada Sehun.
"Lihat, yang besar itu, rumahmu. Dan yang disana itu, tidak kelihatan dari sini. Tapi disana ada rumahku."
Pantas saja tadi rasanya sangat lelah, untuk mencapai tempat ini dari tempat Luhan, jalannya mendaki. Sehun mengangguk-angguk.
Mereka kembali menikmati pemandangan sunset. Ngomong-ngomong masalah sunset. Bukankah Joohyun bilang mereka harus kembali sebelum matahari terbenam?
Mereka bertatapan seolah saling mengerti pikiran masing-masing, dan berebut turun dari pohon.
"Omona! Cheonsa imo akan memarahiku! Mama juga!"
Sehun tidak sempat bercakap-cakap, ia hanya berpikir bagaimana bisa pulang cepat tanpa dimarahi eommanya. Ia menelusuri jalan tadi. Tapi Luhan menarik tangannya.
"Kita lewat jalan biasa, akan lebih cepat."
Apa maksudnya? Batin Sehun.
Mereka memotong jalan, alih-alih meloncat menuruni tebing tadi, Luhan mengajaknya ke arah yang berlawanan. Ada jalan setapak yang landai, tanpa harus mempertaruhkan nyawa untuk melewatinya (Okay, ini pikiran Sehun yang lebay). Lalu, tidak lama setelah itu ada jembatan untuk menyeberangi sungai, dan jalan pintas melewati lorong-lorong sempit dan Taraaa- sampailah mereka di depan bakery.
Sehun rasanya ingin menjambak rambut Luhan. Sambil terengah ia protes pada Luhan.
"Kalau ada jalan mudah theperti tadi kenapa kau mengajakku lewat jalan yang thulit?"
Luhan menyeringai, "Aku mengajakmu berpetualang, kan? Jadi harus lewat jalan mendaki, menyeberang sungai dan mendaki tebing."
Sehun speechless. Luhan benar-benar bandel. Luhan menyodorkan tas selempang kecilnya. "Ambillah, hadiahmu karena mau menemaniku." Ia tersenyum. Sehun mengambil tas penuh berry itu.
"Tidak apa-apa?"
Luhan mengangguk. "Berikan pada imo juga, jangan dimakan sendiri."
Sehun menjerit bahagia, ia memeluk Luhan. Luhan tertawa. Dan saat itu, pintu bakery terbuka menampilkan kedua ahjumma cantik yang tersenyum melihat anak-anak mereka yang sedang berpelukan.
"Walaupun kalian pulang terlambat dan berlumuran tanah, hari ini kalian dimaafkan." Joohyun berbicara dengan nada yang dibuat tegas. Tapi Qian yang tidak sanggup menahan perasaannya langsung menghampiri kedua bocah itu dan menarik pipinya. "Aigoooo~ Kiyowoooo~ Berpelukan di depan pintu~"
Luhan dan Sehun terbelalak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan masing-masing.
Joohyun menepuk kepala Luhan. "Mulai besok, ajak Sehun bermain, ya? Imo yang akan menggantikanmu membantu mama."
Luhan membulatkan matanya, ia berpaling pada mamanya. "Benarkah itu, ma? Luhan boleh bermain sepuasnya?"
Qian mengangguk, "asal jangan jauh-jauh dan tidak membuat kau dan Sehun dalam bahaya. Mama percaya padamu."
Luhan bersorak sambil sekali lagi memeluk Sehun.
Sehun terdiam. Ia senang menghabiskan waktu bersama Luhan –yang tak kalah menyenangkan jika dibanding Chanyeol dan Jongin. Tapi mengingat kejadian hari ini, sanggupkah ia menandingi stamina gadis hiperaktif itu?
Boseong, South Jeoldae –Early Fall, 2004.
Sehun memberengut. Ia tidak mau beranjak dari kursi taman. Eommanya sudah lelah membujuknya, appanya sedang sibuk di dengan ponselnya, meminta sekertarisnya mencari tiket pesawat lagi dan mengundurkan jadwalnya. Ada apa dengan pangeran kecil kita?
Donghae yang mengira putra tersayang akan bahagia karena ia tiba-tiba menjemputnya untuk pulang ke Seoul ternyata salah besar. Begitu mendengar mereka akan pulang ke Seoul pagi itu juga, Sehun mendiamkan appanya, dan duduk di kursi taman belakang tanpa bergeming. Appanya hanya bisa terheran. Sehun sudah punya rencana dengan Luhan untuk menghabiskan hari itu dengan bermain kartu dan membaca buku di rumah persembunyian mereka.
"Sehun, jangan diam begini. Appa jadi tidak mengerti apa maumu." Suara tegas Donghae membuat Sehun mendongak menantang tatapan tajam appanya.
"Appa tak mengerti. Kenapa tiba-tiba datang dan mengajak pulang ke Seoul? Aku kan sudah punya rencana sendiri!" Sehun memberengut.
Donghae memijat pelipisnya sambil menatap Joohyun. Meminta bantuan. Joohyun mengelus kepala Sehun.
"Sehun sayang, senin depan kau sudah harus masuk sekolah, kita harus kembali ke Seoul. Tidakkah kau merindukan Chanyeol dan Jongin?"
"Tapi- tapi-"
"Luhan juga akan masuk sekolah senin depan, kau mau kalah rajin dengan Luhan?"
"Tapi Luhan- dia sekarang pathti thedang menungguku. Kalau aku tidak datang dia akan teruth menungguku, ma! Eomma tau gadith bandel itu keras kepala."
"Kalau begitu pergilah, ucapkan selamat tinggal padanya. Sampaikan juga salam sayang eomma padanya dan mamanya."
Sehun langsung berdiri dengan semangat dan bersiap untuk berlari. Tapi ia segera berbalik lagi, "Eo-eomma? Tapi apa yang harus kukatakan pada Luhan?"
"Katakan padanya kau akan kembali, sayang."
"Tapi benarkah kita akan kembali? Aku tak mau membohonginya."
"Kita akan kembali liburan musim panas tahun depan, kalau kau mau."
Sehun mengangguk senang, dan belari ke luar pagar.
Donghae memeluk istrinya dari belakang dan mencium pipinya. "Nyonya Oh, mind to tell me what's happened to our lil prince? Terakhir kulihat ia tidak sabar ingin pulang ke Seoul. Kenapa sekarang dia malah begitu?"
Joohyun tertawa pelan, banyak hal yang ingin ia ceritakan pada Donghae. Tapi rasanya tak akan cukup waktu untuk menuturkan semua itu.
Satu bulan bergaul dengan Luhan membuat Sehun berubah, bocah yang awalnya tidak mau kotor dan lebih memilih untuk minum teh di taman itu berangsur menjadi anak yang aktif. Minggu pertama mereka habiskan dengan menjelajah Boseong dan mendaki bukit, berburu berry dan mencari jamur. Sehun yang tidak terbiasa mengotori kakinya awalnya merasa risih, tapi bersama Luhan yang sering menggodanya, ia jadi termotivasi. Minggu kedua, Luhan mengajak Sehun naik bus ke pantai Yulpo, saling mengubur dalam pasir dan mengumpulkan kulit kerang sebagai oleh-oleh untuk eomma dan mama mereka. Minggu ketiga, menjelajah kebun teh, dan menemukan rumah persembunyian –yang sebenarnya adalah pondok kecil pekerja yang sudah tidak ditempati lagi, dan kebetulan lagi, pondok itu berada di atas tanah keluarga Oh. Sisa minggu keempat mereka habiskan dengan menata rumah mereka, membawa selimut, bantal, membawa kue-kue, membawa mainan dan buku bacaan, lalu bersantai di dalamnya.
"Sehun menemukan hidup baru disini." Ujarnya pelan. Donghae menatapnya heran.
"Asalkan Sehun bahagia." Ujarnya sambil mengeratkan pelukannya.
.
©lvl99©
.
Cklek.
Sehun membuka pintu rumah kecil mereka, dan mendapati Luhan sedang menyapu lantai sambil membelakanginya. Luhan yang mendengar pintu terbuka tersenyum manis sambil menghampirinya. "Sehun-ah~ akhirnya kau datang juga."
Kenapa ini jadi seperti drama married-life yang sering ditonton eomma? Batin Sehun.
"Lu-lu… ada yang harus kukatakan padamu." Katanya sambil mengatur napas.
"Hng?" Luhan yang baru meletakkan sapunya menatapnya heran. "Duduk dulu, Sehun-ah." Katanya sambil memberi segelas lemonade yang ia bawa dari rumah.
Sehun duduk berhadapan dengan Luhan. "Aku tidak punya waktu, eomma dan appa menunggu."
"Appamu datang?"
"Yeah, appa menjemputku pulang."
"Pulang? Pulang kemana?"
"Ke Seoul, tentu saja."
"Kukira kau akan tinggal disini selamanya!" Luhan mempoutkan bibirnya sambil melipat tangan. "Kenapa kau meninggalkanku?" ia lalu berbalik memunggungi Sehun.
Sehun menghela napas. "Aku juga tidak mau pergi Lu, tapi eomma bilang aku haruth pergi."
"Lalu kapan kau akan kembali?" Luhan menggumam pelan.
"Liburan musim panath tahun depan, mungkin."
"Lama sekali. Padahal aku sudah membersihkan tempat ini untukmu." Luhan merengek.
"Lu…"
Luhan berbalik dan menghela napas. "Yasudah, pergilah. Tapi pastikan kalau kembali nanti kau sudah bisa berenang lebih cepat dariku!"
Sehun menyeringai. "Kau memang sahabat terbaikku~" ia lalu merogoh sakunya, mengambil sebuah liontin berbandul kepala rusa perak dan mengalungkannya di leher Luhan.
"Kata eomma, jangan ragu untuk memberikan hal yang berharga pada orang yang kau sayang." Ia tersenyum.
Luhan menyentuh liontin yang menjuntai sampai dadanya itu. "Cantik sekali… "
Ia lalu menatap Sehun dan menangkup pipinya.
Lalu…
Chu~
Ia menempelkan bibir pinknya pada bibir tipis Sehun sambil menutup mata. Sehun terbelalak. Jantungnya berdebar kencang, seakan mengajaknya keluar dan berlari pulang ke eommanya. Perutnya seakan diaduk oleh sayap-sayap tipis kupu-kupu. Apakah aku tidak sengaja menelan ulat lalu ulatnya bermetamorfosis di perutku? Batin Sehun.
Luhan melepaskan ciumannya dan menatap Sehun. "Aku tidak punya sesuatu untuk diberikan, tapi kata mama, ciuman itu tanda kasih sayang." Pipi tembamnya merona merah.
"Cepat kembali, Sehun-ah. Aku akan menunggumu."
TBC
imo = aunty / tante
cheonsa = angel
A/N: Aaaah~ so close to deadline! Shamelessly present this crappy fanfiction –with Hunhan's childhood as prolog. Selamat untuk kalian yang bisa baca sampai akhir tanpa menguap! Karena chap ini membosankan ;_; /mewek di bahu Luhan
Tenang saja, mereka ga akan seterusnya kecil kok, Sehun juga ga akan selamanya cadel, chapter depan mereka udah dewasa ^^; Silahkan ditunggu untuk part ehem-ehem- nya XD
Ah- untuk pair yang digunakan, saya cuma asal comot, Donghae itu bias di suju, kalau Joohyun tiba-tiba kepikiran aja(?) Ada yang punya saran pair lain (selain EXO) yang bisa digunakan buat tokoh parents?
By the way, ini adalah kali pertama saya nulis ff GS (dan NC hetero-pair), mohon dimaklumi. Untuk chap ke depannya saya akan terus belajar lagi biar feel ff-nya jadi lebih ngena. Jadi silahkan tinggalkan kritik dan saran di kotak review ya /membungkuk 90 derajat.
