Disclaimer: Shingeki no Kyojin milik Hajime Isayama. Penulis hanya meminjam karakter dan tidak mengambil keuntungan bersifat materi dari fanfiksi ini.

.

headcanon - poetry

.

.

.


Kesatria Bintang Kejora

.

Pada kesatria berkuda yang merubuhkan dinding

dengan cakar dan taringnya yang tajam dan berbisa

.

Ingat, orang-orang yang jatuh di angkasa,

sayap-sayap mereka patah,

mimpi-mimpi tumpah,

menyiram dinding kota yang meleleh

akibat kobaran air mata dan darah

.

Saat mereka minta aku memanggul gunung,

dan aku disumpah naik takhta

Mereka mencuri mahkota kebebasanku sendiri

.

Aku sematkan lencana keberanian padamu

ketika semesta membisikkan namamu,

dan api kebenaran itu menyala,

melalap hijau yang gugur di pelupuk matamu:

ambisimu setelah dinding adalah lautan

.

Aku berjalan melintasi tali yang tertambat di bibir jurang,

ketika kau berkelana mengejar cahaya

Aku menambal harapan pada belacu usang

ketika badai menerjang istana

dan petir menampar singgasana

.

Pada bintang-bintang di langit yang melukis senyumanmu,

aku titip pesan: "apabila langit runtuh, siapa yang akan menolongmu?"

.

.

.


Puisi itu sudah dibaca berulang kali. Kertasnya lusuh. Terdapat banyak bekas lipatan dan warna putihnya memudar. Setelah menyelukkan kertas surat itu dalam saku, Eren mendongak, memandang langit Liberio. Luas tapi kosong, terang seperti kanvas biru polos. Padahal seluruh aksi manusia yang memijak bumi, tak luput dari pengawasan langit. Namun, mengapa langit tetap bersih tanpa noda? Padahal bumi sudah pekat oleh gelapnya prahara: perang, pertikaian dan kerusuhan. Jelas sekali, seniman buruk itu bernama manusia. Eren mendecih. Ia tak hendak meludahi langit meskipun ingin. Hanya orang bodoh yang berambisi menangkap angin.

Eren memejamkan mata. Baik yang di balik dinding ini, maupun di balik dinding sana: semua sama saja. Ia memutar kilas balik masa lalunya, memikirkan ironi terbesar yang telah melibatkan dirinya. Ia bersusah payah merubuhkan dinding hanya untuk menemukan realita lain, dinding di luar dinding; sekat-sekat yang mengancam kebebasan, serupa badai menerjang lautan. Tidak ada kebenaran sejati. Masing-masing orang berdiri membela idealismenya sendiri━yang menurutnya benar, lalu memukul rata semua pihak yang berseberangan dengan mereka.

Atas dasar apa mereka yakin kalau dirinya benar? Eren bertanya tetapi tak ingin pertanyaannya dijawab. Barangkali sama seperti ketika bertanya pada diri sendiri━ia tak percaya jawaban siapapunBagaimana apabila 'kebenaran sejati' yang kini didekapnya erat itu kelak berbalik menikamnya sendiri?

Dan, di antara kilas balik itu, yang merupa lelehan tinta hitam tumpah secara acak di awang-awang, samar-samar ia melihat sekelabat warna cerah: biru, pirang dan jingga. Eren tersenyum dalam diam. Itu kebenaran sejati━hanya miliknya dan satu-satunya.

Eren mengingat pertemuan terakhir dengan wanita itu. Historia melepas kepergiannya, secara diam-diam di taman belakang istana. Wanita itu tidak menangis, atau marah, atau menentang keputusannya, bahkan setelah berkata bahwa ia tak sanggup memberi janji. Ia akan kembali, tetapi bukan sebagai Eren yang dulu. Eren ingat ekspresi wanita itu saat tahu ia akan membuang identitas lamanya, dan melebur dalam ekosistem yang baru.

"Tak masalah. Aku mengerti jalan pikiranmu," kata Historia, seakan sudah tahu.

"Untuk mencapai tujuan kita, harus ada yang dikorbankan, Eren. Kurasa aku juga akan melakukan hal yang sama."

Eren ingat aroma bunga musim panas dari jendela dekat Historia duduk ketika wanita itu merajut syal abu-abu yang kini mendekap hangat lehernya.

"Tidak, Historia. Kau memang sudah melakukannya. Aku hanya mengikuti jejakmu."

Wanita itu tertegun, berhenti merajut sebentar, kemudian tersenyum. Tak berkomentar apa-apa lagi. Ia pikir ia tahu maksud Eren. Suatu hari yang terik sebelum pertobatannya jadi ratu. Mereka bergumul dengan titan aneh itu. Ayah Historia kemudian tewas di tangan puterinya sendiri.

Eren belajar dari Historia, saat wanita itu justru mengira Eren lah yang mengajarinya.

Eren kembali mengingat-ingat lagi. Ia membuka kertas puisi dan memandanginya lama. Huruf-huruf dalam tulisan itu, yang tegak kokoh seperti penulisnya, kini mengabur di matanya. Ia kembali menemukan sudut ruangan dengan jendela berbunga itu, saat Historia menuliskan puisi untuknya.

Ini semua adalah idenya. Historia menemukan bait puisi milik Eren dalam secarik kertas yang sengaja ditinggal di bawah bantal. Lalu, ketika sorenya Eren datang menyelinap melalui pintu belakang istana, ia melihat di meja wanita itu, tergeletak buku tulis dan pena. Historia terpancing, ingin menggubah puisi juga.

Eren mengawasi dari balik selimut, sementara pendar cahaya lilin menyapu wajah Historia dalam keremangan. Wanita itu meminta supaya puisi ini tidak dibaca kecuali setelah Eren berada di Liberio.

"Kenapa harus di sana? Aku ingin membacanya di sini." Eren mempertanyakan alasannya. "Kau juga sudah membaca puisiku."

"Itu karena kau sengaja meninggalkannya supaya aku baca," jawab Historia, dengan senyuman yang tersirat ancaman. Barangkali Eren ingin menggubah kecantikan Historia dalam puisi juga, mungkin nanti, untuk dirinya sendiri.

"Nah, sekarang biarkan aku fokus menulis puisi dulu."

Esoknya, ketika Eren menerima selembar amplop mungil berstempel resmi itu, ia justru terperenyak: "baiklah. Tapi kurasa, stempel ini agak berlebihan."

"Tentu saja. Ini stempel spesial dariku, Eren. Harus kauterima."

Kemudian, wanita itu mengalungkan syal abu-abu yang baru selesai dirajut. Eren senang menerima amplop mini itu, dan syal rajutannya. Hingga tiga bulan kemudian, kedua benda itu satu-satunya yang disimpan dan dirawatnya baik-baik, melebihi perhatiannya pada diri sendiri.

Sebab sejak awal, hubungan mereka terbangun di atas fondasi 'terikat benang takdir yang sama.' Eren sadar sejak lama, apabila tonggak masa depan manusia itu adalah dirinya, maka baginya, Historia lah tempat sandarannya yang pertama; kebenaran sejati yang selalu menerangi langkahya.