Aku tak tahu apa yang merasukiku kini. Yang pasti, sekarang aku hanya ingin terus lari dan bersembunyi dari realita tak masuk akal ini. Sejuta makian sekali pun tak akan kuambil pusing. Karena yang kuinginkan cuma satu...melenyapkan perasaanku padanya untuk sementara. Ya, hanya sementara.

.

.

.

.

DON'T LIKE, DON'T READ

Title : She

Disclamer : Masashi Kishimoto

Warnings : OOC, AU, Typo (s) dll

Maaf kalau jelek :)

Story by: Bii Akari

Dedicated for: Snow's Flower Birthday ^o^

.

.

.


Sakura's POV

Rintik-rintik hujan yang sedikit tajam terus menghujam bumi tanpa perasaan dengan beramai-ramai. Cih, mereka bilang, hujan itu anugerah dari Tuhan. Anugerah seharusnya tergolong hal baik 'kan? Lalu...mengapa perasaanku semakin kalut seperti ini. Karena hujan. Ssh, hujan yang berlalu lalang di hadapanku. Mengguyur luka menganga di hatiku dengan sensasi perih.

Bodoh 'kan? Aku begini hanya karena sesuatu hal yang sengaja kulakukan. Aku sungguh ikhlas meminjamkannya. Tapi tolong, jangan ambil dia selamanya. Dia...lebih berharga dari apapun di dunia. Milikku satu-satunya.

Kutatap awan kelabu yang bergelantungan malas di atas kepalaku. Tak terjangkau memang, meski jika aku mendongak, awan gelap itu terasa begitu dekat. Dekat, bahkan terasa menyatu dengan diriku yang telah dibanjiri hujan. Bodoh 'kan? Aku begini karena mereka.

"SAKURA!"

Teriakan seorang laki-laki. Kuabaikan. Karena saat ini, aku tak ingin melihat wajahnya. Aku jamin, emosiku akan semakin meninggi jika pria itu menampakkan wajahnya di hadapanku. Ini permasalahan pribadiku, menyangkut diriku—hanya diriku. Aku yang bodoh karena beradu mulut dengan diriku sendiri. Sisi kewanitaanku mencela habis-habisan keputusanku sebulan yang lalu itu. Sementara sisi yang lain, terus bertahan dengan keinginan munafiknya—munafik, karena berusaha tegar menerima kenyataan.

Kupeluk erat-erat kedua lututku dalam posisi jongkok. Kepalaku menunduk, menyusup masuk dalam celah kecil antar paha dan dadaku. Tangisku kembali pecah. Lembab kursi taman di punggungku sama sekali tak kuhiraukan. Masa bodoh. Sekalipun sekarang kiamat, aku tak akan keluar dari sini. Tidak, jika dia masih berdiri di sana.

"SAKURA, DI MANA KAU?!"

Suara baritone itu kembali menggelegar, menyaingi petir yang menyambar atap gedung-gedung pencakar langit. Terselip keputusasaan dari caranya memanggilku tadi, entah putus asa mencariku atau—hal lain yang tak ingin kupikirkan.

"SAKURA!" Lagi, dia belum menyerah. Memang benar jika semua orang sepakat penyebutnya keras kepala. Berhujan-hujanan ria seperti itu dan berteriak bak orang kesetanan sama sekali bukan gayanya. Dia bukan pribadi seperti itu. Sedikit ngilu hatiku mendengar jeritan suaranya yang semakin lama semakin parau. Jujur, aku takut dia sakit. Ya, aku mengkhawatirkannya, jauh melebihi diriku sendiri. Salah kah, jika aku merasa khawatir memikirkan kondisi suamiku sendiri, eh?

Benar. Dia—laki-laki yang tampak gila itu—adalah suamiku, sejak setahun yang lalu. Aku sangat menyayanginya, sebagaimana aku menyayangi cabang bayiku ini. Hm, tak ada yang tahu akan hal ini. Tapi, aku benar-benar hamil. Aku hamil. Sekali lagi, aku hamil dan bahkan suamiku tak tahu tentang hal ini. Miris?

Baru saja aku hendak menyampaikan kabar gembira ini padanya. Tapi, tebak apa yang kutemukan? Suami kebanggaanku itu tengah bercumbu dengan wanita lain. Saling melumat bibir masing-masing dengan penuh nafsuh. Aku tahu. Inilah resikonya jika berani meminjamkan suamimu sendiri kepada wanita lain. Hanya saja...apa harus mereka berkelakuan seperti itu? Sekalipun harus, mengapa aku harus melihatnya, eh? Seandainya aku tidak melihat hal itu, ini semua akan menjadi lebih mudah.

Lama merenung di balik semak, aku pun kembali menajamkan pendengaranku. Tak ada. Hanya suara tetesan air yang terdengar. Musik terpilu yang menghiburku saat ini.

"Keluarlah, dia sudah pergi."

Seorang pria datang. Memayungiku dengan wajah yang tersenyum paksa. Air mataku kembali meleleh, membayangkan bagaimana perasaan pria di dekatku ini.

"Sudahlah, tak apa. Jangan menangis seperti ini. Kau tahu sendiri 'kan, ini resiko yang kita ambil." Lagi, dia tersenyum menenangkan, padahal kutahu pasti perasaannya masih jauh lebih sakit dibanding aku saat ini. Kuangkat tubuhku yang terasa berat—lelah menerima siraman hujan. Lalu kutarik paksa sudut-sudut bibirku agar sedikit memetakan garis melengkung. Sepintas garis, karena kuyakin ini tak terlihat seperti senyum jenis apapun.

Pria beriris jernih itu menarikku agar duduk di kursi taman. Payung di genggamannya sengaja ia lepas, terjun bebas begitu saja dari cengkramannya. Merasa dirinya sudah cukup berantakan sepertiku, ia pun kembali melemparkan senyumnya ke arahku. Kali ini, senyum penuh rasa lega—yang kubalas dengan sama leganya. Memiliki orang yang bernasib sama denganmu rasanya memang melegakan, setidaknya kau tidak sendirian menghadapi semuanya.

"Pura-pura bersikap dewasa itu ternyata susah juga." Aku mulai mengeluh, berusaha keras menepik rasa ngilu itu agar tak datang kembali. Pria di sebelahku menoleh, memamerkan senyum mengejeknya—yang selain untukku juga kuyakin tertuju untuk dirinya sendiri.

Dia mengangkat kedua lengannya menuju sandaran kursi kami. Irisnya menerawang, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh menyentuh kulitnya. "Kita tidak berpura-pura, Sakura." Aku mendecih, sangat tidak pro dengan elakannya itu. "Kita mencoba, meski susah kita tetap mencoba menjadi dewasa," tambahnya tenang, seolah beban yang ditanggungnya telah ia lempar jauh-jauh.

Aku teringat, kala pertama kalinya aku bertemu dengan pria ini. Dia begitu kekanakan, boros kata, dan pencemburu. Ya, itu kesan pertamaku ketika bertemu dengannya dua tahun yang lalu. Tapi hei, lihat dia sekarang? Tak ada yang akan percaya jika dia adalah bocah tengik brengsek yang hampir menghabisi nyawaku dua tahun yang lalu.

Masa lalunya suram, eh? Tidak juga. Dia hanya terlalu dibutakan oleh cinta. Bahkan sampai tak menyadari bahwa yang ia perjuangkan bukanlah cinta yang ada padanya, melainkan cinta wanita yang dicintainya. Miris, bukan? Dia nekat membunuh, bahkan mungkin melakukan apapun—hanya demi wanita yang selalu menganggapnya pengganggu.

"Kita mencoba, dan kita gagal."

Aku masih tak mau kalah, berupaya menyadarkan laki-laki di sampingku agar sedikit peka. Meski aku tahu, dia hanya sedang berpura-pura tidak peka.

"Dalam usaha," lirikan nakal dari pria di sampingku sedikit membuatku mendengus. "Tak ada yang namanya kegagalan," dan diakhiri dengan kekehan khasnya yang menyebalkan.

"Cih, lalu ini apa, hah? Keberhasilan yang tertunda?" Aku ikut terkekeh, menertawakan ocehan konyolnya tadi.

Pria itu terdiam. Entah berpikir, atau sudah kehabisan kata untuk meladeniku. Aku pun ikut memandang langit, meski merasa sedikit terganggu saat beberapa tetes air itu menyapu bersih iris emerald-ku. "Hei, Suigetsu," panggilku lirih, masih sambil menengadahkan wajah. "Apa kau menyesal melakukan ini?" Kulirik Suigetsu dari ujung mataku. Rahangnya sedikit mengeras, air mukanya pun berubah sendu.

"Mungkin," jawabnya ragu. Sedikit memicingkan mata dan aku dapat melihat pundaknya yang ikut bergetar. "Aku akan sangat menyesal jika setelah ini dia sembuh dan mendadak membenciku," cengiran sok tegarnya itu lagi. Yang bergegas kuhina dengan lirikan sinisku. Lihat 'kan? Suigetsu memang sudah jatuh terlalu jauh dalam pesona wanita itu.

Aku mendengus besar-besar, kepalaku makin lama terasa makin berat saja.

Satu tepukan pelan di bahu kananku, yang berhasil memancing kepalaku untuk menoleh. "Kau menyesal melakukannya?" tanya Suigetsu balik, berusaha mengorek isi hatiku yang terdalam.

Bodoh. Aku terkekeh paksa. "Kau bercanda?" Kekehanku makin menjadi. Oke, mungkin ini terlihat sedikit menyedihkan. "Aku tak pernah merasa se-menyesal ini sebelumnya," sambungku pilu, seraya menunduk menatap ujung sepatuku. Sepasang kakiku asyik bermain di bawah sana, saling berayun bergantian guna menetralisir kegundahanku.

Suigetsu menyenggol pelan lenganku dengan sikunya. "Jadi kau ingin menyerah terhadap pasienmu sendiri, dokter Sakura?" godanya lancar, memaksaku untuk membalas senggolannya dengan kekuatan yang sepuluh kali lebih besar.

Oke, satu fakta terungkap. Dia—wanita itu—adalah pasienku. Pasien yang dipercayakan kepadaku. Amanat—singkatnya. Huh, apa seorang dokter boleh menyerah atas pasiennya sendiri? Apa dokter diperbolehkan menyerah?

"Tentu saja tidak!" kutatap galak Suigetsu yang masih sibuk mengerang kesakitan akibat kelakuanku tadi. "Karin pasti akan sembuh, dia wanita yang kuat," desisku sedikit bergetar. Menyebut nama wanita itu kini terasa sangat sulit, lidahku bagai kelu dengan sendirinya.

Suigetsu kembali merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, sebelah tangannya mendekap tubuhku dari samping. "Baguslah~" serunya girang, sedikit menghibur hatiku yang cukup stress menghadapi ini semua. "Berjuanglah, dokter!" Dan kali ini, dengan seenak dengkulnya, Suigetsu mengguncang-guncang bahuku—seolah menyemangatiku dengan kekuatannya yang berlebihan.

Yahyah~ terserah dia saja. Tak heran dulu Karin menyebutnya pengganggu, terkadang dia memang bersikap terlalu menyebalkan seperti sekarang.

TIK

TIK

Hujan perlahan terhenti, sepertihalnya tangisanku yang mulai pudar semenjak perbincanganku dengan Suigetsu dimulai. Kuhembuskan perlahan karbondioksida itu keluar dari mulutku, berharap bebanku bisa sedikit lebih ringan lagi.

BUK

Merasa pundak kananku berat, secara spontan wajahku kulempar ke arah kanan. Seulas senyum perlahan membingkai wajahku yang basah kuyup. Pria itu bersandar di sana, terasa berat meski nyaman. Tak ada respon, Suigetsu bahkan tak mengizinkanku melihat wajahnya saat ini.

"Sebentar saja, kumohon." Ah, ayolah, nada bicara Suigetsu sekarang berubah drastis, terbesit lemah dengan indikasi sakit hati yang sangat parah. Oke, mungkin hujan berhasil mengaburkan kesedihan Suigetsu sebelumnya, namun tepat ketika hujan mulai mundur, pria berambut cerah itu seakan menuai kembali beban-beban tak kasat mata yang semula dipanggulnya. Yah~ apa boleh buat. Mengingat dialah satu-satunya teman senasib yang kumiliki sekarang, kurasa berbagi pelukan tak masalah sama sekali.

.

.

.

TBC


Author's line:

Oke, ini memang sangat absurd *nyemplung ke akuarium* gomeeeeen .

Masih sangat belum jelas memang, I knew O.O9 Ini masih awalnya prolog (?) Chapter depan mungkin flashback, mungkin juga nggak :/ Liat ntar aja deh ya? *ditabok* APA PENYAKIT KARIN? Itu akan kejawab di chapter depan, nanya seribu kalipun gabakal kujawab :p SIAPA SUAMI SAKURA? Kayaknya yang ini udah ketebak deh, coba liat summarynya~ fufufu~ ADA APA SEBENARNYA? Nah, yang ini nih, mungkin udah ada yang bisa ngejawab apa yang sebenarnya terjadi. Ngeliat dari scene to scene, kupikir cluenya udah ada kok X'P #dibakaaar

KENAPA ADA IKLAN SENS*DYNE YANG MUNCUL? Wakakak~ ada yang nemu nggaaaak? *nopang dagu kalem* Ini fenomena aneh memang, tapi gaada satupun dari fic-ficku yang ter-pub dalam kondisi normal, pasti ada keanehan yang nyempil XP

Saya lagi kena webe, susah nulis fluff atau romance gitu :''3 sukanya yang H/C ato Angst gini :'( Berhubung mood lagi buruk, pake banget -_-"

Diksiku jelek? Maaf, galau memang nggak bisa jadi alasan, tapi tetep aja, harap maklumi kelabilanku :') Fic MC-ku yang lain belum bisa diupdate dulu, meski udah maksa, ide mentok dan gitu-gitu aja, maaf T^T

Ahya, fic ini buat ultah Snow yang udah lewaaaaaat berbulan-bulan *nyengir* maaf, Snow~ *peluk kecup Snow* kuharap ini nggak begitu mengecewakan, mengingat ada kata 'TBC' di akhir cerita itu wkwkwk *ngakak nista* tau sendiri kan problemku? Susah buat OS yang normal #duar

Tapi janji, ini gabakal jadi MC yang panjang kok :'D Chapter depan? Mungkin diupdate setelah ujianku selesai minggu depan, doain lancar yaa~ ^^

Kritikin aja se-kritik-kritiknya, karna kayaknya nggak begitu sesuai dengan yang kamu request, tapi kuusahain SasuSaku jadi lebih dewasa nantinya XP

Maaf kalo idenya pasaran, dan feel Angst-nya belum ngena *terjun ke kolam*

REVIEW yaaa~ ^^

Arigatou :)