YOUR MAN | JeongCheol Fanfiction (Ch. 1)
PDA Presents
Descriptions
Seungcheol always tried to learn, tried to know, tried to understand what his love want. He even had been ever feeling lost, separate from his love, just to realized no matter what happens;
Seungcheol is still be that Man, a Man who always stay next to him.
"Cause I am your man."
A/N: Play Boyce Avenue feat Fifth Harmony - When I was Your Man. That's the muse of this story.
.
.
.
Same bed but it feels just a little bit bigger now
Our song on the radio but it don't sound the same
When our friends talk about you, all it does is just tear me down
'Cause my heart breaks a little whien I hear your name
It all just sounds like "oooooh..."
Too young, too dumb to realize
-Choi Seungcheol-
.
.
.
Tubuh Seungcheol menggeliat kecil dibalik bed cover yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Matanya menyipit mencoba mengerjap, mengadaptasikan irisnya pada sinar lampu yang terus menyala sepanjang malam. Tak ada suara alarm yang mengusik lelapnya namun entah mengapa, isi kepala ini memerintahnya untuk segera membuka mata.
Atau mungkin, memang dirinya yang tak bisa tidur dengan nyenyak akhir-akhir ini.
Belakangan, tangan Seungcheol memiliki refleks tersendiri untuk meraba sisi kanan ranjangnya, hanya untuk menemukan tempat itu kosong tak berpenghuni. Rasanya dingin, hampa seperti hatinya yang kini berlubang dan penuh luka. Tak ada hal yang mampu mengisi kekosongan itu. Kecuali, sosok itu kembali membawa potongan hatinya dan menata ulang semua kekacauan ini. Kekacauan yang sebenarnya dibuat oleh Seungcheol.
Seungcheol masih terduduk diatas ranjang tanpa berniat pergi untuk beberapa saat. Tangan besar itu mengusap wajah kusutnya sendiri, berakhir dengan cengkraman pada surai legamnya berharap rasa pening ini bisa terurai perlahan-lahan. Seungcheol menolak menyebut dirinya frustasi walau semua orang di agensi berlomba-lomba mengatainya seperti mayat berjalan. Karena bagaimanapun, ia tak ingin seorang Choi Seungcheol di cap sebagai pria lemah yang dengan mudahnya kehilangan gairah hidup hanya karena cinta.
Cinta.
Tch.
Harga dirinya, egonya, ia kira semua itu lebih penting dari pada cinta-cintaan yang konyol.
Tapi semua berbeda jika sesuatu yang disebut cinta itu adalah Yoon Jeonghan.
Dibagian terdalam hatinya, ada palung yang berbisik mengakui segala kelemahannya, ketidaksanggupannya menanggung semua beban sendirian tanpa pemuda cantik itu disampingnya.
Harga diri, egoisme, semua jadi terdengar konyol bila disandingkan dengan Yoon Jeonghan, dan betapa berartinya ia untuk Seungcheol.
Bersama ringisan pilu dan tangisan pagi ini, Seungcheol kembali tenggelam dalam lautan penyesalan yang tak bermuara.
"I'm missing you, Mine... Missing you like crazy..."
.
.
.
Your pride, your ego, your needs, and your selfish ways
Caused a good strong person like me to walk out your life
Now you never, never get to clean up the mess you made
-Yoon Jeonghan-
.
.
.
Kembali pada masa itu, saat ia tak memiliki jadwal bersama grupnya-SEVENTEEN, Seungcheol selalu dan akan selalu memutar lagi sepenggal memori tentang dirinya dan Yoon Jeonghan. Tidak dalam hal bekerja, tapi diluar semua aktivitas yang mereka lakukan baik diatas panggung maupun dilayar kaca. Ada cerita tersendiri dibalik setiap sorotan kamera dan lighting yang mereka temui setiap hari.
Sepenggal kisah tentang Choi Seungcheol dan Yoon Jeonghan.
Sebut saja mereka berkencan. Orang terdekat mereka mengerti itu tapi pekerjaan ini sama sekali tak mengizinkan keduanya untuk mengumbar sesuatu selain status sebagai 'teman satu grup'. Tapi dibalik itu semua, Seungcheol mengenggam tangan Jeonghan dalam artian yang berbeda. Tatapan matanya yang lebih intim dari siapapun, bahkan berbagi ranjang yang sama selama beberapa tahun.
Mereka saling mencintai.
Atau kenyataannya, Jeonghan sempat mencintainya sedangkan disini, saat ini, Seungcheol hanya mengunci diri di apartemen pribadinya, masih mengagung-agungkan kalimat cinta untuk sosok itu. Sendiri.
Mereka bekerja dilahan yang sama dan itu membuat frekuensi untuk bertemu bukan menjadi suatu masalah dalam hubungan ini. Mereka bisa dekat, berbincang satu sama lain, bahkan berbagi segala hal tanpa terkecuali.
Semua terlihat sempurna dari luar. Seungcheol berdiri berdampingan dengan kekasihnya, memberikan segala hal yang ia pikir, itu semua adalah yang terbaik.
Tapi Jeonghan tak merasakan hal yang demikian.
Yang terjadi sebenarnya, hubungan ini tidak berjalan sesuai harapan. Atau parahnya, semua ini sama sekali tak bekerja dan mereka hanya terus berjalan ditempat. Itulah hal yang diteriakkan Jeonghan seminggu lalu.
Seungcheol tak mengerti dirinya.
Seungcheol tak pernah melakukan sesuatu sebagai mestinya.
Seungcheol tak benar-benar berusaha untuknya.
Dan yang terjadi, Seungcheol memang sudah berlaku brengsek, tanpa ia sadari. Ia terlalu dungu untuk menyadarinya dan belum sempat ia memperbaiki semua itu, Jeonghan terlanjur lelah dengan semua ini.
Dan Jeonghan... Pergi.
"Angel..."
Seungcheol menenggelamkan wajahnya dalam tundukkan setelah melempar kaleng ke-5 bir yang ia teguk tanpa sisa.
Ia terlihat sangat... buruk. Atau mungkin seperti gelandangan. Atau seorang pecundang yang bahkan tak bisa merangkai kata maaf untuk orang yang paling dicintainya sekalipun.
Semua tekanan ini masih belum bisa mengalahkan egonya. Ia berharap Jeonghan akan datang dengan sendirinya dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Namun seperti menunggu bulan yang mampu bercahaya tanpa bantuan matahari, Seungcheol tahu itu tidak akan mungkin terjadi mengingat semua yang telah ia lakukan pada kekasihnya.
Handphone Seungcheol kembali berdering untuk yang kesekian kali. Hari sudah petang dan sejak pagi dihari liburnya yang langka, Seungcheol tak pernah mau beranjak dari apartemen. Menjawab telfon pun ia sungkan, apalagi bila harus bertemu dengan orang lain diluar. Semua orang pasti menanyakan kabarnya tapi Seungcheol tidak mau peduli. Yang ia pikirkan, apa disana Jeonghan juga menanyakan kabarnya? Apa ia masih dipedulikan?
Rasanya seperti menusukkan ribuan jarum dipermukaan kulit saat Seungcheol kembali teringat akan sikap pura-pura Jeonghan terhadap dirinya dihadapan semua orang. Kekasihnya itu tersenyum, menyapanya, juga bersikap seolah tak ada masalah diantara mereka. Dan yang paling menyedihkan, itu semua adalah palsu. Jeonghan memanipulasi keadaan dengan sangat baik, dan Seungcheol mengikuti permainannya dengan tidak mudah. Mereka harus seperti itu bukan hanya demi karir, tapi ada hal yang lebih penting dari sekedar pekerjaan.
Jeonghan berkali-kali mengingatkannya dengan sebuah bisikkan kecil untuk tidak melibatkan SEVENTEEN dalam hal ini. Hubungan diantara mereka berdua adalah hal yang berbeda.
Inilah drama terhebat yang pernah ia lihat. Dan lucunya, segala tipuan ini bukanlah fiksi. Semua benar-benar terjadi dikehidupannya. Inilah kenyataan yang sesungguhnya bagi Seungcheol, walau ia selalu berharap ketika terbangun dipagi hari, semua penyiksaan ini lenyap seperti mimpi-mimpi buruk lainnya.
Ini pertama kalinya ia merasa terganggu dengan dering handphone yang menggetarkan mejanya selama beberapa jam terakhir. Sepertinya pesan singkat dan panggilan datang bertubi-tubi kali ini.
Dengan sisa kesadarannya yang hampir tenggelam dalam pengaruh alkohol, Seungcheol mencoba meraih handphonenya diujung meja. Dari sekian banyak deret pesan serta panggilan yang tampil, Seungcheol hanya tertarik untuk membuka pesan singkat terakhir yang datang dari Dokyeom.
'Hyung, Datanglah ke camp malam ini. Ada pesta kecil-kecilan yang diadakan agensi sebelum Pledis Tour dimulai.
Akan ada Jeonghan juga disana.
Kuharap setidaknya kau bisa memperbaiki semua ini sedikit demi sedikit.'
Seungcheol memaksa dirinya terbangun dan melawan rasa mabuk ini demi berjalan menuju kamar. Ia harus mandi dan berganti pakaian. Ia juga memiliki harapan yang sama seperti Dokyeom tadi, bahkan lebih. Ini bukanlah usaha pertama yang ia lakukan untuk membuat hubungannya kembali membaik, tapi Seungcheol selalu berharap kali ini akan membuahkan hasil.
"Tunggu aku, Jeonghan."
.
.
.
You should have bought me flowers
And held my hand
Should give me all your hours when you had a chance
Take me to every party cause all I wanted to do was dance
-Yoon Jeonghan-
.
.
.
Inilah sepotong kisah lalu sebelum kata berpisah diucapkan, sebelum Jeonghan berniat untuk mengakhiri semua ini, ketika kesabaran menjadi satu-satunya penopang untuk Jeonghan berdiri dan bertahan dibawah bayang-bayang cinta Seungcheol.
"Dear..."
Jeonghan mendengungkan panggilan sayangnya disuatu malam, dibawah payungan atap kamar apartemen Seungcheol dan mereka berdiri berhadapan didepan jendela yang terbuka.
Angin menerbangkan surai panjang Jeonghan, dan hawa dingin yang menembus permukaan kulitnya membuat ia ingin lebih mengeratkan pelukannya pada Seungcheol.
Seungcheol membalas memeluknya, meski tak seerat dan sehangat yang Jeonghan harapkan.
"Kemarin kau kemana saja seharian?"
Jeonghan memberanikan diri untuk bertanya setelah sepanjang siang ia menahan diri untuk tidak mengirimi Seungcheol pesan dan membahas soal ini.
Ia tahu Seungcheol tak suka dilempari pertanyaan.
Ia tahu Seungcheol juga punya kesibukan lain diluar grup.
Ia tahu Seungcheol senang berkumpul dengan teman-temannya.
Ia tahu Seungcheol punya sejumlah hobi yang ingin dilakukannya saat ada waktu.
Dan ia tahu, Seungcheol selalu memperingatkannya untuk tidak bersikap seperti seseorang yang suka mengekang.
Tapi Jeonghan pikir, itu semua adalah perlakuan wajar dari seorang kekasih kepada orang yang dicintainya. Orang-orang menyebutnya sebagai bentuk perhatian dan itu sangat normal untuk dilakukan.
Tapi sepertinya Seungcheol memiliki pemikiran yang berbeda, dan Jeonghan ingin mengerti hal itu. Ia selalu mencoba melakukan segalanya seperti yang Seungcheol pinta.
"Sedikit bersenang-senang diluar. Kau tahu kan Jeonghan, pekerjaan kita kadang membuatku merasa terkekang."
"Iya, aku tahu. Tapi setidaknya kau mengabariku kemana kau pergi seharian itu."
"Kupikir kita sudah membahas soal untuk tidak mengekang satu sama lain. Jadwal kita sudah cukup membuatku merasa tak leluasa dan jangan katakan kau juga ingin melarangku untuk menikmati waktu luangku diluar."
Seungcheol melepaskan pelukkan mereka. Seungcheol benar, mungkin ini adalah kali seribu mereka berdua mendebatkan hal yang sama seperti ini. Dan semua akan berakhir dengan anggukan lemah dari Jeonghan. Mereka berhenti membicarakannya selama beberapa hari dan kemudian, kejadian yang sama kembali terulang dan Jeonghan tak akan pernah menyerah untuk mengajak Seungcheol bicara.
"Tidak seperti itu, Seungcheol. Kau pikir aku juga tidak membutuhkanmu? Waktu luang kita tidak banyak..."
"Kita bisa bertemu saat bekerja bahkan tidur bersama setiap malam di apartemen ini. Apa itu masih kurang untukmu?"
Seungcheol menjauh. Tatapan sendu Jeonghan masih mengikuti saat Seungcheol berjalan menuju ranjang dan duduk ditepiannya. Nafas pria itu berhembus berat dan terdengar lelah, mungkin juga jengah.
"Dear..."
"Kau terlalu berlebihan, Jeonghan."
Seungcheol membuang tatapannya kearah lain, merasa tak perlu melihat ekspersi Jeonghan yang kini membeku dan kaku ditempatnya berdiri.
"A-apa? A-aku berlebihan...katamu?"
Jeonghan harap ia salah dengar. Mungkin saja suara guntur diluar tiba-tiba memekakkan telinganya, atau perasaannya yang kini tengah kacau membuat semua jadi terlihat tidak benar.
"Jangan terlalu manja, Yoon Jeonghan. Kita sudah sama-sama dewasa sekarang. Kukira kau mengerti posisi kita saat ini."
Bukannya menyangkal semua pertanyaan itu, Seungcheol malah memperparahnya dengan kalimat-kalimat tajam yang semakin membuat Jeonghan kesulitan bernafas. Rasanya tak berbeda dengan menyirami cuka diatas tubuhnya yang penuh luka. Seungcheol mengatakan semua yang ada dipikirannya tanpa beban apalagi pertimbangan.
Ia tidak pernah tahu jika Jeonghan terluka karena sikapnya.
"Maaf, karena sudah menjadi orang yang berlebihan."
Suaranya bergetar, benar-benar bergetar sampai mulutnya menggigil dan tungkai kakinya tak cukup mampu untuk membuat Jeonghan tetap berdiri tegak dengan sempurna.
"Lihat, sekarang kau terlalu terbawa oleh perasaanmu. Andalkan logika dan berpikirlah dengan kepala dingin, Jeonghan."
"Maaf, karena sudah menjadi orang yang manja dan menyusahkanmu."
Kali ini, giliran air matanya yang pelan-pelan bergulir membasahi pipi pucat itu. Tatapannya menerawang jauh penuh kehampaan. Jeonghan kira seluruh udara menghilang dan Tuhan kembali mencampakkannya dari atas langit hingga menghantam bumi. Ini menyakitkan...
"Jeonghan-..."
"Aku tak pernah memaksamu membawakanku seikat mawar meski sewajarnya kau harus melakukan itu... Aku tak pernah memaksamu untuk pergi bersamaku ke pesta atau tempat-tempat yang sebenarnya ingin kukunjungi berdua meski sewajarnya kau harus melakukan itu... Aku tak pernah memaksamu menyisihkan waktu berjam-jam untukku diantara semua kesibukkanmu meski sewajarnya kau harus melakukan itu."
Kali ini Seungcheol merasakan lidahnya begitu kelu untuk menyela walau sebenarnya ia punya kesempatan untuk itu.
"Aku tahu kau bukanlah pria yang romantis seperti yang terlihat dari luar. Jadi aku tak pernah menuntut dirimu untuk selalu bersikap manis padaku meskipun kau... Kau memang harus melakukannya sebagai pria! Sebagai pria yang katanya mencintaiku, membual dengan kalimat pembuai seperti kau tak sanggup hidup tanpaku!"
"Jeonghan, ini terdengar seperti kau menuntutku untuk jadi lelaki sempurna!"
Seungcheol sudah tidak tahan untuk terus-terusan diam tanpa melawan. Kaki jenjangnya berdiri tegak dan emosi ini membuat urat-urat disekitar leher dan keningnya mengeras.
"Aku juga tahu kau tidak bisa jadi manusia yang sempurna didunia ini!"
"Lantas apa yang kau inginkan?!"
"Setidaknya kau mencoba menjadi pria yang sempurna hanya untukku! Sempurna dalam artian cukup untuk membuatku tidak menyesal telah mencintaimu diantara semua tekanan-tekanan ini! Kau benar-benar membuatku hampir gila!"
Blast!
Setelah suara bantingan vas memecah kegentingan, Jeonghan segera berlari menuju pintu kamar namun sebelum ia membuka knop, Seungcheol terlanjur berdiri didepannya dan menghalangi Jeonghan untuk pergi dari sini.
"Kumohon hentikan semua teriakkan-teriakkan ini. Aku tak pernah berharap kita bertengkar hanya karena masalah sepele. Kau hanya sedang sensitif akhir-akhir ini, sayang..."
Kali ini Jeonghan benar-benar kehilangan kata untuk dilisankan. Tangisnya semakin deras dan kepalanya masih menggeleng tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
"Sepele katamu? Tch... Sepertinya kau memang tidak pernah paham bagaimana situasinya. Dasar idiot... Kau memang dungu. Dan sialnya, bagaimana bisa aku mencintai bahkan tergila-gila pada pria idiot ini!"
Jeonghan tak bisa menahan diri. Tangan ringkihnya memukuli dada Seungcheol meski ia masih tak tega mengerahkan kekuatannya untuk menyakiti pria ini. Seungcheol tak mau mencoba untuk melawan, karena pada akhirnya, Jeonghan sendiri yang menyerah dan tubuh kurusnya merosot duduk dilantai kamar yang dingin.
"Aku lelah... Aku lelah dengan semua sikap angkuhmu... Selama ini aku mencoba menahannya karena kukira, kesabaran bisa membuatku berdiri sedikit lebih lama dan waktu pelan-pelan akan merubahmu. Tapi ternyata, inilah batasnya... Aku sudah tidak sanggup, Seungcheol..."
Tuhan...
Setan apa yang telah merasukinya selama ini? Seungcheol membuka matanya lebar-lebar dan kenyataan yang terpampang sekarang adalah sosok Yoon Jeonghan yang tersungkur lemah didepan kakinya dan menangis tersiksa disela-sela rundungan pilu. Tubuh Seungcheol mengejang dan gemetar diwaktu bersamaan. Matanya memerah karena berusaha menahan air mata ini agar tidak tumpah membasahi wajahnya.
"Let's...break up, Choi Seungcheol..."
.
.
.
Bisingnya dentuman suara musik menambah kejengahan Seungcheol ketika memasuki ruangan gelap yang hanya disirami oleh cahaya neon warna-warni. Sinar itu menyorot dan berputar-putar dilantai, seperti penglihatannya terhadap orang-orang yang kini bagaikan berdiri dikemiringan 30 derajat.
Seungcheol menolak untuk mengakui jika dirinya masih setengah mabuk saat Vernon menepuk bahunya dan menanyakan keadaannya yang tidak terlihat cukup baik. Beberapa teman akrabnya di Pledis menyusul menghampiri dan membawa Seungcheol berjalan ketengah ruangan. Semua orang menyambutnya dengan sangat baik, seperti bisanya, tapi Seungcheol masih merasa belum benar dengan semua ini.
Tak ada sosok Jeonghan diantara kerumunan itu.
"Kemana Jeonghan?"
Tanyanya, berbisik ketelinga Jun agar suaranya tidak tenggelam dalam hiruk pikuknya pesta.
"Dipojok, seperti biasa."
"Sendiri?"
"Aaron Hyung tak pernah mau meninggalkannya seharian ini."
Seungcheol mulai merasakan kepalanya pening luar biasa. Mendengar nama itu membuatnya merasakan keruntuhan dunia dalam sekejap.
Seungcheol memang tak pernah membenci Aaron, bahkan hubungan mereka terbilang baik dan ia begitu menghormatinya sebagai Senior. Tapi untuk beberapa situasi, Seungcheol tak bisa memungkiri jika ia kerap berpikir pria itu seperti sosok penganggu yang digambarkan dalam drama-drama percintaan. And Aaron is a "real thing" in his reality. Ini bukanlah serial telivisi dimana pihak ketiga dengan mudahnya disingkirkan dan tokoh utama mendapatkan akhir yang bahagia.
Aaron tidak bisa disingkirkan. Ia sahabat terbaik Jeonghan. Itulah yang semua orang ketahui selama ini. Semua orang kecuali dirinya.
Seungcheol hanya tidak bisa percaya ketika Aaron selalu mengakui jika ia tak pernah menaruh hati pada Jeonghan.
"Aku ingin menemui Jeonghan."
"Tidak sekarang, Seungcheol. Pesta baru saja dimulai. Aku tahu kau pasti akan mengacaukan mood-nya jika kalian bertemu disaat-saat seperti ini."
"Tapi dia kekasihku!"
Dan ketika sepenggal kalimat bernada tinggi itu diteriakkan, puluhan pasang mata menjurus pada sosok Seungcheol diiringi kesunyian sesaat yang membuatnya sesak nafas. Seungcheol mulai muak dengan kerumunan ini. Ini sungguh tidak seperti dirinya. Sebelumnya ia selalu menyukai keramaian, kesenangan, dan teman-temannya adalah bagian dari kehidupan Choi Seungcheol setiap hari. Tapi kali ini... Semua sudah berbeda.
"Tidak lagi, Seungcheol."
Jeonghan melintasinya, membisikkan sebuah kalimat yang lebih terdengar seperti guntur ditengah badai ditelinga Seungcheol. Jeonghan berlalu dengan wajah sedingin es, dan disisinya...
Ada Aaron yang terus setia berdiri disinya.
Musik keras yang semula bernuansa beat kini berubah haluan menjadi lebih lembut dan menenangkan. Iramanya mampu menghipnotis siapapun untuk larut dan menggerakkan badan dengan sendirinya dilantai dansa.
Dan Jeonghan menari.
Kekasihnya sangat suka menari. Tarian adalah hidupnya, nafasnya yang berhembus bak musik dan detak jantungnya adalah hentakkan kaki dilantai dansa.
Seungcheol adalah pasangan terbaiknya selama ini dalam menari.
Tapi sekarang, gerakan tubuh itu mengalun bersama pria lain yang kini mengenggam tangannya, melingkarkan tangan dipinggang indah Yoon Jeonghan dan bertatap muka satu sama lain tanpa memperdulikan dunia sekitar.
...
Now my baby's dancing
But he's dancing with another man
-Choi Seungcheol-
.
.
.
To Be Continued
A/N: Next issue should to be the last chapter.
