Arthur bergumam pelan sambil meraih bass bercorak Union Jack miliknya. Terjepit di antara jari tengah dan jari telunjuknya sebuah plektrum berwarna hijau. "Jadi, kau berniat untuk bernyanyi di acara perpisahan nanti?! Dan kau… Mengajakku berduet?" kedua manik kembar berwarna hijau cerah miliknya kini melebar. Gilbert menyeringai tipis.

"Mengapa tidak?! Gilbert Beilschmidt, bernyanyi dengan iringan bass Arthur Kirkland," pemuda Jerman itu mengedikkan kepalanya. "Tidak cocok kalau aku bernyanyi sementara kau memainkan biola. Lagipula kau bisa bermain gitar, kan?!"

Decakan protes terdengar dari pemuda Brit di hadapan Gilbert. "Kau sinting, Beilschmidt. Di antara ratusan murid di sekolah kita, kau memilih aku? Bloody hell, dunia harusnya segera jungkir-balik setelah ini. Scott bisa mati malu jika mengetahui aku berada di atas panggung dengan Beilschmidt sinting sepertimu."

Gilbert kembali menyeringai, kini seringaiannya lebar. Dia meraih tas bercorak hitam-putih miliknya lalu mengeluarkan selembar kertas dan melambai-lambaikannya di hadapan Arthur. "Lihat?! Scott memberi kita izin untuk manggung. Sekalipun wajahnya tetap datar seperti biasa, dia tampaknya antusias."

Kini Arthur melotot. "Tidak mungkin, git."

"Mungkin saja."

Arthur meletakkan kembali bass-nya yang belum sempat dimainkannya. "Kau benar-benar tidak berpikir panjang, git. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti…"

Gigi Gilbert bergemeletuk. "Membayangkan apa?"

"Membayangkan ketika Ketua OSIS mereka berada di atas panggung sambil berduet dengan seorang anak berandal sekelas kau. Aku harus menggali liang kuburku sesegera mungkin."


Ultimate Zone

.

Hetalia © Hidekazu Himaruya

.

AU!Gakuen. Duo!PrussUK. Slight USUK and RussPruss. Inserted some OCs and 2P!England.


Now Playing : Exciting Communication © Aomine Daiki & Kagami Taiga


.:.I would've never guessed you and I would have to sing like this.:.


Tidak ada satu pun penjelasan guru Fisika di depan kelas masuk ke otak Arthur, tetapi Arthur cukup pintar untuk mengetahui bahwa dia telah menguasai seluruh materi yang tertulis di papan tulis. Ketika seluruh temannya masih bergelut pada buku catatan dan berharap mereka tidak dipilih untuk mengerjakan satu-dua soal 'percobaan' di papan tulis, Arthur sendiri hanya duduk tegak di kursinya sambil memandang datar tiga lembar proposal pentas seni tahunan sekolahnya.

"Kirkland," ketika suara rendah gurunya menyebutkan nama pemuda pirang kelahiran Inggris tersebut, dengan berat hari Arthur terpaksa mengangkat kepalanya dan menunjukkan raut wajah 'saya-mendengarkan-Yang-Mulia'. "Bisa kau mengerjakan soal nomer tiga?"

Sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi malas, Arthur menatap papan tulis dan melihat soal yang dimaksud. Hell, itu sangat mudah baginya. "Tentu bisa, Sir."

Gurunya tersenyum puas—mirip dengan senyuman puas milik Scott Kirkland, kakak Arthur. "Maju ke depan dan kerjakan. Yang lain tolong catat."

Klise. Ini sudah kesekian ribu kalinya Arthur berjalan ke depan kelas, mengambil spidol di tangan gurunya dan mengerjakan soal itu. Sekali lagi, dia berusaha tidak menunjukkan tampang malas. Akan sangat memalukan jika dia kepergok menatap malas sejurus soal di depan matanya.

Menjadi Ketua OSIS itu memang terkadang menyebalkan. Terlebih-lebih bila kau adalah anggota keluarga Kirkland yang menjunjung tinggi darah Brit mereka—kecuali si bodoh William Kirkland tentunya, dia tidak akan peduli masalah-masalah seperti itu. Tetapi Arthur Kirkland—yang terlahir untuk menjadi lelaki dengan kepribadian dingin dan kemampuan untuk menjadi sangat sarkatik—harus tetap mengangkat dagunya tinggi sambil menatap tajam setiap manusia yang berada di jalannya. Arthur menikmatinya, tentu saja karena dia terlahir untuk menjadi seperti itu. Tetapi menjadi Ketua OSIS membuatnya harus melipat-gandakan semuanya menjadi lima kali lipat, dan lama-lama itu terasa berat.

Jika saja dia bukan Ketua OSIS, dia akan menunjukkan tatapan menusuk penuh kehinaan ke guru Fisika-nya sambil bergumam "Bloody git" tepat di depan hidung gurunya. Sayangnya, Tuhan tidak menakdirkannya untuk mempraktekannya.

Gerakan di tangannya berhenti setelah dia menuliskan angka dua di akhir tulisan. Arthur menutup kembali spidol yang telah digunakannya lalu mengembalikannya ke sang pemilik. Hening menyelimuti seisi kelas, keheningan yang disinyalir karena jawaban dari sang Kirkland pirang-bermata-hijau tersebut.

Sebuah tangan teracung di udara, membuat atmosfer hening seketika pecah. Mata hijau Arthur mendelik. Tangan dari Alfred Jones kini berdiri tegak, membuat Arthur berdecih pelan. "Kau yakin kau murid kelas sebelas, Iggy?"

Arthur benci panggilan aneh dari pemuda Jones tersebut. Tapi dia menutupinya dengan senyum tipis—senyum dengan kesan mencemooh yang amat nyata terlihat. "Jika aku bukan murid kelas sebelas, aku tidak akan berada di kelas ini, Jones."

"Cukup panggil aku Alfred," kini pemuda berkacamata yang diketahui bernama Alfred itu menyerngit tanda tidak suka. "Tapi kau mengagumkan."

Mulut Arthur bergerak kecil. "Aku yang memang mengagumkan atau kau yang kelewat bodoh." Desis Arthur samar, nyaris tidak terdengar di telinganya sendiri.

"Soal setingkat Universitas pun kau berhasil kerjakan. Itu keren, Arthur," Kini suara dingin khas Lukas Bondevik terdengar. "Dan kurasa kau jauh lebih keren ketimbang Oxenstierna dari kelas 12."

Kini Arthur buru-buru menengok kembali papan tulis. Dia mencermati jawabannya dengan seksama, dan baru kembali mengedip ketika gurunya menepuk bahunya. "Benar kata teman-temanmu. Kau itu hebat Arthur."

Arthur tidak terlalu suka dipuji, kalau boleh jujur.

Dan sialnya, Lukas benar. Dia telah mengerjakan soal setingkat Perguruan Tinggi, dia baru menyadarinya. Soal untuk mahasiswa Diploma satu—seingatnya. Arthur yakin dia pernah melihat soal seperti ini, karena itulah ia mampu mengerjakan soal itu. Apa maksud gurunya?!

Sang Ketua OSIS merasa mual. Seketika ia merasa bahwa menenggelamkan diri di Laut Baltik tampaknya jauh lebih baik ketimbang berada di depan kelas dan menjadi sorotan publik.

..

Beratus-ratus helai rambut kelabu nyaris menghalangi pandangan Gilbert seluruhnya, membuat Ludwig terpaksa harus menyelipkan poni sang kakak ke balik telinganya. "Bruder, kau tampak seperti orang yang habis dipecat dari kantornya." Gumam Ludwig. Gilbert mendelikkan mata sewarna rubi miliknya sebelum mendesah pelan.

"Aku ngantuk, Lud."

"Aku tidak menyarankan kau untuk bermain PlayStation sampai tengah malam, bruder."

Gilbert cemberut. "Kau memang tidak menyarankan karena kau terus-terusan berada di meja belajar. Bahkan kau tertidur di meja belajar tadi malam," dengus Gilbert. "Kau seperti maniak yang tengah merencanakan sesuatu, Lud."

"Setumpuk surat permohonan dari beberapa murid, tentu saja," Ludwig menghela nafas seolah pasrah akan semuanya. Gilbert menatap intens sang adik. "Mereka terlalu banyak meminta. OSIS telah mengerahkan segalanya. Dua Kirkland yang memegang kekuasaan tertinggi OSIS pun nyaris kewalahan. Kiku kalang-kabut menyaring surat-surat."

"Dasar anak OSIS," kekeh Gilbert. Dia menyandarkan kepalanya ke bahu Ludwig, hal yang sering ia lakukan ketika dirinya tengah dilanda rasa ngantuk seperti sekarang. "Tolong Lud, jangan bebani Arthur terlalu banyak. Dia sedang berpikir keras untuk menerima tawaran manggung dariku. Ketua OSIS aneh, selama ini ia yakin bahwa muncul di panggung dengan penampilan yang berbeda akan menghancurkan wibawanya."

Ludwig mengangkat alisnya lalu meletakkan pulpennya di atas selembar kertas berisikan soal-soal Sejarah Dunia. "Kau serius akan hal itu, bruder?! Akan menjadi kolaborasi yang menarik, sepertinya."

Kini Gilbert memasang wajah pura-pura ngambek. "Pertamanya kan, aku ngajak kau untuk duet. Tapi toh ternyata, kau sudah cukup disibukkan oleh OSIS." Kelopak mata Gilbert tertutup, membuatnya terlihat sedih. Ekspresi agak panik muncul di wajah keras Ludwig. Kakak-beradik ini… Kelewat brother-complex.

"Aku minta maaf, bruder. Aku akan semakin sibuk bila Arthur benar-benar akan berduet denganmu," Ludwig menepuk-nepuk rambut kelabu sang pemilik iris sewarna darah. Dia merangkul sang kakak dengan hangat, berusaha membuat Gilbert tidak mengerecutkan bibirnya lagi. "Aku malah bersyukur kau tidak masuk OSIS. Kau bisa mati gila jika bergabung dengan organisasi tersebut." Ludwig tersenyum tulus, sebuah senyum yang hanya bisa tercipta jika ia bersama Beilschmidt tertua.

Senyuman Ludwig adalah kelemahan terbesar Gilbert. Jadi Gilbert balas tersenyum, senyum tipis yang menyiratkan tanda bahwa dia mengerti kesibukan sang adik. Ludwig merupakan tipe orang yang lumayan disiplin dan keras, tapi Gilbert senang Ludwig memiliki sisi lembut bila bersamanya. Adik yang baik, selalu seperti itulah yang bergelimang di pikiran Gilbert.

Gilbert baru berhenti bersandar pada Ludwig ketika seorang pemuda berpostur tubuh tinggi masuk ke kelasnya. Dia tersenyum, tetapi aura horor tetap menggantung lemah di atas kepalanya—membuatnya disegani banyak siswa di sekolah ini. Pemuda berpostur tubuh tinggi dengan rambut yang nyaris berwarna sama dengan rambut Gilbert itu melangkah pelan menuju meja adik sepupunya, Natalya Adsvorvaski yang berada tepat di belakang meja Gilbert dan Ludwig.

Pemuda itu melewati Gilbert dan Ludwig dengan senyum simpul. "Halo Gilbert. Halo Ludwig. Semoga harimu indah."

Jika manusia bisa meleleh, sekarang sosok Gilbert telah menjadi kubangan kental seperti lilin yang telah sepenuhnya habis. Dan jika manusia bisa melayang, pada saat ini juga Gilbert akan melayang.

Tapi Gilbert hanya mengatakan "Senior Braginski." Sambil tersenyum tipis lalu berbalik untuk mengerjakan tugas Sejarah Dunia-nya yang kini terasa jauh lebih sempurna untuk menghilangkan rona tipis yang mulai muncul di kedua pipinya.

Mungkin senyuman Ludwig adalah kelemahan terbesar Gilbert yang kedua.

Gilbert tidak pernah tahu bahwa pemuda bernama Braginski yang merupakan Senior-nya itu tidak melepaskan pandangannya dari punggung sang Jerman berambut abu-abu elegan dengan iris merah darah yang berkilau bak rubi—sekalipun sang objek tampaknya sudah tidak peduli lagi akan eksistensinya.

..

Mau tak mau Arthur harus mundur ketika seseorang berbadan besar berdiri di hadapannya, menghalangi jalannya menuju Ruang OSIS dan mulai bergelut dengan pekerjaannya di jam istirahat ini. Dengan tampang datar Arthur mengangkat kepalanya. Dia tidak terkejut ketika menemukan sepasang iris biru cerah menatapnya ceria dari balik lensa kembar kacamatanya. "Menyingkir dari jalanku, Jones."

"Tidak mau. Aku ingin berada di sini." Sial, penolakan.

Arthur hendak melayangkan protes secara verbal sebelum dia menutup kembali mulutnya. Tetapi argument tidak akan menyelesaikan masalah dengan segera. Ada ribuan cara untuk keluar dari kelas dengan selamat tanpa Alfred Jones, dan yang Arthur butuhkan sekarang hanya tenang.

Belok ke kiri, berjalan tiga langkah, belok ke kanan dan jalan lurus lalu belok kiri. Rute lainnya untuk menuju pintu ruang kelas 11-B. Perjalanan itu terasa lancar sebelum tangan kirinya digenggam kuat oleh seseorang secara tiba-tiba. Arthur kaget, tetapi dia hanya membuka mulutnya sedikit dan kedua matanya melebar. Kaget secara terang-terangan terkadang terkesan tidak cocok dan membawa dampak negatif baginya, seperti terlihat bagaikan orang bodoh.

"Lepaskan tanganku, Jones," gertak Arthur. Iris biru Alfred berkilau singkat dari balik kacamatanya. "Aku ingin segera ke ruang OSIS. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sesegera mungkin."

"Kau bakalan manggung di pentas seni tahunan sekolah?!" pertanyaan yang terlontar dari mulut Alfred membuat Arthur membeku seketika. "Bersama Gilbert Beilschmidt dari kelas 11-A. Gilbert sekelas dengan Matthew, jadi aku cukup mengenal baik orangnya." Arthur teringat akan sosok Matthew Williams, pemuda pemalu dari kelas 11-A yang sebenarnya cukup baik dan mudah dimengerti sehingga Arthur lumayan menyukainya—yang sialnya merupakan sepupu dari Alfred Jones.

"Kau mengatakannya seolah aku tidak mengenal Gilbert," tukas Arthur dingin. "Keluarga Beilschmidt adalah tetanggaku, jadi aku mengetahuinya lebih ketimbang kau mengetahui Gilbert. Jadi permisi, izinkan aku untuk melanjutkan perjalananku atau aku akan menulis surat untuk kedua orangtuamu bahwa kau telah mencekal kegiatan rutin OSIS."

Alfred melepaskan genggamannya. Arthur bersyukur dalam hatinya. "Jangan dong. Kemarin kau telah mengirimi surat ke orangtuaku bahwa aku menganggu rapat mingguan OSIS, padahal kan aku hanya mau mengajak kau dan Matthew untuk pulang. Ekskul futsal sudah selesai pada saat itu." Haruskah Arthur menuliskan 'ORANG GILA' di samping nama 'Alfred F. Jones' pada buku daftar murid-murid di sekolah ini?!

"Kau langsung masuk ke ruang OSIS dan menarikku dan Matthew seperti orang kerasukan. Itu mengganggu," menghela nafas, menjelaskan hal sepele seperti ini ternyata melelahkan. Arthur kembali melanjutkan perjalanannya. "Dan untuk masalah pentas seni tahunan…,"

"Ya, kami akan manggung."

Suaranya berasal dari ambang pintu kelas 11-B. Arthur dan Alfred segera menoleh dan menemukan seorang pemuda dengan tubuh sesenti lebih tinggi dari Arthur. Dia menyeringai lebar, menyandarkan tubuhnya di daun pintu dengan kedua tangan berada di dalam saku celananya.

"Gilbert?!"

Sang pemuda dengan seringai lebar di bibirnya bersiul pelan. "Boleh pinjam sang Ketua OSIS Kirkland sebentar, Al?!"

..

"Bloody git, Beilschmidt! Aku masih harus mengurusi banyak persoalan OSIS, dan kau malah menggeretku untuk ke ruang musik?! Stupid!"

Umpatan demi umpatan melantun dari bibir Arthur—yang memang terkenal sangatlah bad mouth sekalipun dia adalah Ketua OSIS—selama Gilbert menariknya di sepanjang koridor, membuat ratusan pasang mata terpaku pada mereka. Well, melihat Ketua OSIS kalian tengah ditarik oleh salah satu dari tiga berandalan top sekolah bukanlah hal yang biasa.

Tiga berandalan top?! Bah, Arthur sebenarnya sudah muak melihat nama-nama seperti Gilbert Beilschmidt, Francis Bonnefoy dan Antonio Carriedo di daftar laporan kenakalan sekolah. Sepertinya mulut anak-anak OSIS yang mengurus BK juga tampaknya telah bosan harus menerima ketiga bocah yang mengaku sebagai Bad Touch Trio tersebut.

"Kita tidak akan tampil sempurna jika kita tidak berlatih, Art!" Gilbert berusaha membuat suaranya tidak terdengar serak, soalnya Arthur pernah berkata padanya bahwa dia benci suara serak Gilbert. "Bukankah kau tergila-gila akan sesuatu yang sempurna—sesuai yang diharapkan?!"

Iris hijau Arthur mendelik tajam. "Siapa yang bilang aku mengharapkan kita berdua akan tampil di acara pensi tersebut?! Pikir dulu sebelum berbicara, jerk," gerutunya, menghempaskan tangannya dari genggaman kuat Gilbert. "Aku tidak ingin tampil. Aku tidak mengharapkan kemampuan bermain gitarku terekspos."

Gilbert memutar bola matanya, kini ia lakukan karena jengkel. Dan jengkel adalah sebuah hal yang sangat jarang dirasakan Gilbert. "Kenapa? Permainan gitarmu itu keren, kalau boleh jujur. Aku pernah melihatmu bermain bass, gitar listrik dan gitar akustik. Kau lupa?!"

"Aku tidak lupa," nada bicara Arthur mendingin. Seketika Gilbert merasa bahwa rombongan makhluk gaib akan meneror mimpinya setiap kali ia tidur—setelah ini. Beberapa murid yang curi-curi dengar percakapan mereka kini menyingkir, jelas-jelas takut dengan aura horor Arthur yang mulai meronta keluar. "Aku masih ingat wajah kagummu saat aku memainkan ketiga alat musik tersebut, Beilschmidt."

"Kau memainkan enam senar tersebut layaknya profesional!"

Arthur menggertak, masih dengan aura horor menggantung di kepalanya. "Bass hanya terdiri dari empat senar."

Sebenarnya Gilbert merasa frustasi dengan dialog-dialog monolog ini, tapi dia tidak menyerah. Bukan Beilschmidt namanya jika bisa bertekuk lutut sebelum harapan mereka terwujud. "Aku tidak peduli," geram Gilbert, iris merahnya melebar membuat Arthur menatapnya dengan tatapan tajam yang sering Gilbert lihat saat Arthur mendapatinya kembali terdampar di ruang konseling. "Kau. Harus. Tampil. Bersamaku. Ini ultimatum."

"Ultimatum itu permintaan terakhir dan tidak terbatalkan dari sebuah negara ke negara lainnya, jika tidak dituruti akan berujung dengan perang. Apa kau tidak pernah belajar Ilmu Sosial?!" kan, bad mouth Arthur in action. Gilbert menatap sang Brit dengan datar, tidak terlalu tertarik sebenarnya akan penjelasan tersebut.

"Terserah! Aku hanya ingin kau tampil di panggung, bermain gitar denganku. Kau selalu terlihat bahagia saat memegang alat musik tersebut."

"Aku tidak akan bahagia saat berada di publik."

Alis Gilbert mau tak mau terangkat. "Untuk kesekian kalinya, kukatakan… Kenapa?!"

Mata cemerlang Arthur yang berwarna bak batu emerald memandang langit-langit koridor dengan hampa. Untuk pertama kalinya, Gilbert mendapati Arthur tengah meratap. Ya, Arthur Kirkland jelas-jelas tengah meratap. Raut wajah seperti itu nyaris tidak pernah ditunjukannya kepada murid-murid lain di sekolah ini. Mungkin Gilbert yang pertama melihatnya.

"Bermain gitar… Mengingatkanku pada Oliver."

Untuk kali pertama di dalam hidupnya, Gilbert berusaha untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak berkomentar apapun.

.

.

fortgesetzt werden...


A. N = Another songs which so match with this fanfic (hope you guys also play one of these all songs when read this fic)

- Chasing the Sun by The Wanted

- Absolutely Invincible British Gentleman by United Kingdom / Arthur Kirkland

- Mein Gott! by Prussia / Gilbert Beilschmidt

- Mazeltov by ZE:A / Children of Empire

Sincerely,

Natsumi T. (: