Disclaimer: ATLUS owns Persona 4
Genre: Romance/Hurt/Comfort/Drama/Friendship
Mist of Affection
Prologue
"Love cures people—both the ones who give it and the ones who receive it."—Karl A. Menninger
Kereta meluncur di relnya dengan kecepatan konstan. Pemandangan keindahan alam, seperti pepohonan dengan daun-daun mereka yang memancarkan pesona bagai api membara, danau yang terbentang luas dan indah, atau pesona matahari terbenam yang memperlengkap keindahan daerah tersebut, terlihat jelas pada jendela kereta.
Tetapi anak lelaki itu tidak memperhatikan keindahan alam yang silih berganti di sebelahnya. Kepalanya dikuasai oleh sebuah kisah mengharukan yang dipaparkan begitu mendetail dalam novel yang dibacanya. Ia telah membaca novel itu sekitar 3 jam di dalam kereta, membolak-balik halaman demi halaman, merasakan tekstur kertasnya yang sudah tua dan menguning di antara jemarinya.
"Kita sudah hampir sampai, Souji."
Anak lelaki itu mendengar suara sang ayah, tetapi kata-kata itu tidak benar-benar meresap dalam otaknya. Pikiran dan imajinasinya telah melayang jauh dari tempat dimana mereka berada.
"...Nak, kita harus bersiap-siap."
Suara itu terdengar lagi, dan kali ini anak itu hanya membalas dengan mengangkat sedikit alisnya tanpa benar-benar memperhatikan. Bola mata bocah lelaki itu terus bergeser ke kiri dan ke kanan, membaca tiap kata dalam novel itu dengan konsentrasi penuh. "Hmm...?" anak itu akhirnya menjawab.
"Souji... Souji." Kali ini sang ayah menjetikkan jari berkali-kali di depan wajah putranya.
"Oh... apa?" kesadaran dan perhatian Souji akhirnya terkumpul kembali pada lingkungan di sekitarnya ketika ia mendongak. Sang ayah menatapnya sabar.
"Kita hampir sampai. Sebaiknya kita bersiap-siap." Seta Yuuji mengulang kembali kata-katanya dengan sabar.
Seta Souji mengangguk patuh, kemudian menyelipkan pembatas buku pada novel yang tengah dibacanya. Sang anak lelaki menutup buku tebal itu dengan hati-hati. Yuuji memperhatikan judul novel tersebut. Dombey and Son, salah satu karya Charles Dickens.
Souji membuka lebar-lebar ransel di sebelahnya dan memasukkan buku Dombey and Son miliknya di dalam. Anak itu kemudian mulai menumpuk barang-barang miliknya yang lain dan menjejalkan semua barang-barang itu ke dalam ransel. Kereta akhirnya berhenti dan sampai di stasiun yang mereka tuju. Souji terburu-buru menutup ranselnya dan mengangkat benda itu di sekitar punggung. Ransel itu berat sekali, hingga Souji kebingungan barang-barang apa saja yang ia masukkan ke dalamnya.
Seta Yuuji telah keluar kereta lebih dahulu, dan Souji segera meninggalkan tempat duduknya dan bergabung dengan kerumunan orang-orang yang berjalan keluar dari kereta. Souji berhasil menginjakkan kakinya di stasiun ketika ia melihat Yuuji telah menunggunya.
"Nah, Souji..." Yuuji tersenyum ketika Souji menyusulnya, "...kau harus mulai mengenal kota ini. Ini Inaba."
"Selamat datang di Penginapan Amagi!"
Para wanita berkimono menyambut mereka dengan senyum ramah ketika mereka memasuki penginapan yang menjadi salah satu kebanggaan kota tersebut. Yuuji tersenyum mendengar sambutan itu, dan Souji akhirnya membalas senyuman wanita-wanita ramah tersebut.
Yuuji beserta putranya berjalan masuk menyusuri koridor yang tidak terlalu panjang menuju meja resepsionis. Sementara sang ayah berbincang-bincang dengan seorang resepsionis penginapan, Souji memperhatikan dan mengagumi bagian dalam penginapan itu. Beberapa pot tanaman hijau tergeletak rapi membentuk barisan di depan dinding. Ruang tamunya dilengkapi sofa, meja, televisi, hingga perapian. Dinding ruangan tersebut juga dihiasi foto-foto pemandangan dan para manajer penginapan tiap generasi.
"Terima kasih. Yuki-chan akan mengantarkan kalian ke kamar."
Yuuji tersenyum seraya menerima kunci kamar. Souji berjalan mengikuti Yuuji melintasi ruang tamu. Seketika, tatapan Souji maupun ayahnya tertumbuk pada sosok seorang gadis kecil yang juga mengenakan kimono. Gadis kecil itu cantik, dengan rambut hitam pendek menyapu bahunya dan bola mata hitam kelam yang indah dan sesuai dengan rambutnya. Ia mengenakan kimono berwarna merah muda yang terlihat sangat cocok untuknya. Usia gadis kecil itu mungkin sama dengan Souji.
Gadis kecil itu memaparkan seulas senyum manis pada mereka. "Halo. Saya Amagi Yukiko. Saya akan mengantarkan kalian ke kamar yang kalian pesan." Sang gadis kecil berkata ramah. Yuuji tidak bisa menahan senyum.
"Amagi Yukiko? Apa kau putri pemilik penginapan ini?" Yuuji bertanya lembut. Gadis kecil itu mengangguk, masih belum menghapus senyumannya.
Yukiko kemudian mengantarkan mereka, sambil sesekali memberikan penjelasan tentang fasilitas-fasilitas yang mereka lewati sepanjang perjalanan. Ayah dan anak itu akhirnya berdiri di depan kamar mereka. Yuuji memasukkan kunci dan memutarnya, membuka kamar itu perlahan.
Sebelum mereka masuk, Yukiko kembali menjelaskan. "Penginapan kami menyediakan pemandian air panas di bawah. Laki-laki dan perempuan memiliki jam yang berbeda. Jalanlah menuruni tangga sebelah sana..." gadis kecil itu menjelaskan sambil menggerakkan tangannya ke arah yang dimaksud, "kemudian belok kanan. Kalian akan sampai di tempat pemandian air panas. Restoran buka pada pukul lima sore hingga sepuluh malam. Kami menyediakan makanan-makanan lezat dari bahan-bahan makanan yang masih sangat segar."
Yuuji tersenyum puas mendengar penjelasan itu. "Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik, Yukiko-chan. Aku percaya kau pasti gadis kecil yang pandai."
Yukiko membalas kalimat Yuuji itu dengan senyuman malu yang tersungging tulus di bibirnya. Souji akhirnya angkat bicara.
"Terima kasih untuk informasi dan bantuannya, Yukiko-chan." Souji tersenyum sopan. Gadis kecil itu akhirnya memandang Souji, kemudian mengangguk dan tersenyum. Souji dapat melihat sedikit rona merah pada kedua belah pipinya.
Setelah Yukiko berjalan meninggalkan mereka, Souji akhirnya menghadap sang ayah. "Ayah... setelah aku menaruh barang-barangku di dalam, boleh aku berkeliling Inaba untuk melihat-lihat?"
"Baiklah. Ayah juga akan segera memulai urusan Ayah di sini. Itu lebih baik daripada kau hanya berdiam diri di dalam kamar. Jangan kembali terlalu larut." Yuuji mengingatkan putranya, dan Souji tersenyum puas.
Souji menikmati perjalanannya menelusuri Inaba. Orang tidak akan tersesat di kota kecil seperti ini. Kalau sampai Souji tersesat... nah, itu memalukan. Ia berjalan melintasi Sungai Samegawa. Hari sudah sore dan matahari terus bersinar sementara dirinya semakin tenggelam. Cahaya matahari terefleksi dalam air sungai tersebut hingga Souji nyaris berpikir sungai itu terbuat dari tumpukan kristal dan emas.
Anak lelaki itu telah berjalan dan melihat-lihat apa yang dijual di pusat perbelanjaan Inaba. Ia telah mengunjungi tempat dimana ia mungkin akan bersekolah jika urusan bisnis ayahnya berkelanjutan. Ia juga telah menelusuri Sungai Samegawa.
Tempat ini sungguh berbeda dengan tempat asalnya, Tokyo. Inaba benar-benar kota yang kecil dan... sesungguhnya, nyaris tidak ada apa-apa kecuali tumbuhan-tumbuhan hijau, udara sejuk dan segar, dan sungai yang cantik dan jernih. Inaba tidak dapat menyaingi Tokyo dalam berbagai aspek, tetapi setidaknya lingkungan mereka lebih sehat dan bersih.
Souji menghentikan langkahnya sejenak, memikirkan lokasi apa lagi yang kira-kira ingin ia kunjungi. Hari sudah mulai gelap... tetapi Souji masih ingin berjalan-jalan di luar. Anak lelaki itu berhenti di depan perhentian bus. Kemudian melihat daftar lokasi perhentian bus tersebut. Penginapan Amagi adalah salah satunya, tetapi...
Souji tiba-tiba menyunggingkan senyum puas. Anak itu kemudian dengan sabar berdiri menunggu bus sementara matahari tenggelam semakin dalam.
Anak lelaki itu merasa cukup yakin ia menyukai tempat ini.
Souji keluar dari bus dan menelusuri jalan menanjak, merasa senang menemukan sebuah bukit. Tempat itu tinggi, dan ia bisa melihat nyaris keseluruhan kota Inaba. Souji memperhatikan hamparan rumput hijau kekuningan yang indah itu di sekitar bukit. Hari itu musim gugur. Dedaunan kering menghiasi tanah dengan warna kuning dan kemerahan. Anak lelaki itu menikmati semilir angin yang membelai halus setiap helai rambut-rambut kelabunya. Tetapi ia tidak dapat berlama-lama di tempat ini, hari sudah mulai gelap.
Anak lelaki itu memutuskan ia akan melihat-lihat keindahan kota Inaba dari ketinggian, kemudian ia akan kembali ke penginapan. Souji berjalan sedikit lebih jauh dan menemukan sebuah gazebo di puncak bukit tertinggi. Ia mendekati gazebo itu, hendak duduk santai di atas kursi panjangnya, ketika ia melihat sesosok anak kecil berdiri membelakanginya, sepertinya tengah memperhatikan pemandangan kota. Jari-jari kecilnya mencengkeram pagar kayu yang membatasi bukit itu dengan pemandangan dan tepian curam.
Rambut anak kecil itu dipotong pendek dan berwarna biru gelap. Anak kecil itu mengenakan mantel musim dingin anak perempuan berwarna biru gelap yang menutupi setengah lututnya. Kaus kaki yang tidak terlalu panjang serta sepatu melindungi kakinya. Dari pakaiannya, Souji menduga ia anak perempuan.
Souji berpikir apakah gadis kecil ini sedang menikmati pemandangan di depannya atau tidak. Gadis kecil itu agak menundukkan kepalanya seperti sedang depresi. Seketika, Souji dikejutkan dengan tindakan anak itu selanjutnya. Anak itu mulai mengangkat satu kakinya dan mencengkeram pagar itu lebih erat, menumpukan satu kaki pada pagar itu. Ia memanjat pagar kayu yang membatasi dirinya dengan pinggiran curam di depannya.
Souji melebarkan kedua bola mata peraknya. Dan Souji kembali menilai dari kepala anak kecil itu yang seperti tertunduk sedih. 'Ga-gadis kecil ini berniat bunuh diri?' batin Souji panik dan tak percaya. Gadis kecil itu memanjat pagar kayu itu dan seperti ingin melompat dari puncak bukit tersebut.
Sang anak lelaki refleks berteriak panik sambil berlari secepat mungkin mendekati gadis kecil itu.
"Jangan! Jangan lompat! Jangan bunuh diri, kau harus menghargai hidupmu! Hentikaaan!" Souji berusaha mencegah gadis kecil itu. Tubuh gadis kecil itu menegang mendengar suara Souji, sepertinya terkejut.
"...Eh?" gadis kecil itu bersuara halus, kemudian menolehkan kepalanya pada Souji.
Tetapi Souji tidak sempat melihat wajah sang gadis kecil, karena ia segera memejamkan matanya dan mencengkeram pinggang gadis kecil itu kuat dengan kedua tangannya, menariknya menjauh dari ujung curam bukit itu sekuat tenaga.
Anak perempuan itu menjerit kecil, kaget dengan tindakan tiba-tiba anak lelaki yang tidak dikenalnya. Souji menariknya kuat hingga tangan dan kakinya terlepas dari pagar kayu itu dan tubuh mungilnya terhempas jatuh ke bentangan rumput, tepat di atas tubuh Souji.
"A-apa?" gadis kecil itu kembali bersuara, berusaha bangun dari atas tubuh anak lelaki misterius itu, tetapi Souji masih mencengkeram erat pinggangnya dengan tangan gemetar.
"Kau... tidak akan kubiarkan kau bunuh diri...!" Souji menahan tubuh gadis kecil itu dengan tekad kuat. Gadis kecil itu berusaha melepaskan diri dengan panik.
"Le-lepaskan! Aku tidak berniat bunuh diri! Aku tidak tahu apa maksudmu!" suara gadis kecil itu terdengar lebih keras dan jelas. Suara yang lembut dan manis di telinga Souji. Anak lelaki itu terdiam sesaat, kemudian langsung melepaskan cengkeraman tangannya secepat mungkin.
"Ma-maafkan aku!" Souji membiarkan anak perempuan itu turun dari tubuhnya, dan gadis kecil itu tidak berdiri, melainkan berlutut di dekat Souji. Souji segera bangkit dan terduduk di atas hamparan rumput. Sang gadis kecil tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Souji dengan tatapan bingung sekaligus sedikit... mencurigai. Souji sendiri juga tidak mampu berkata-kata selama beberapa saat. Ia akhirnya melihat wajah gadis kecil itu. Gadis kecil itu manis parasnya, dengan kedua bola mata yang indah dan jernih bagai kristal biru yang dilingkari warna-warna dari pesona perak.
Souji tidak menyadari wajahnya sesaat memerah, tetapi sadar bahwa jantungnya berdetak lebih cepat dibanding biasa. Setelah keheningan yang hanya diisi oleh hembusan angin dan gemerisik daun-daun di sekitar mereka, akhirnya Souji sadar bahwa sang gadis kecil masih menunggu penjelasan lebih darinya.
"...Maaf..." Souji akhirnya berhasil berbicara, menyadari suaranya terdengar agak aneh. "Kau... aku melihatmu menundukkan kepala seperti sedang... depresi. Dan yah, kau tiba-tiba memanjat pagar kayu itu, dan secara otomatis... aku berpikir kau ingin bunuh diri."
Untuk sesaat, gadis kecil itu menatap Souji seperti sang anak lelaki baru saja mengatakan hal seperti 'Hei, dengarlah! Aku makhluk gila yang baru keluar dari rumah sakit jiwa!'. Souji melihat anak kecil itu sesaat membuka mulut mungilnya, kemudian menutupnya lagi.
Keheningan selama beberapa detik, dan akhirnya anak itu kembali berbicara, mengeluarkan suara yang menurut Souji merdu dan mengalun lembut di telinganya. "...Tidak. Jangan samakan aku dengan orang-orang yang berpikir untuk mengambil jalan pintas seperti bunuh diri agar terhindar dari masalah mereka." Sang gadis kecil terdiam sejenak, kemudian Souji merasakan tatapan mata yang menawan itu akhirnya melembut. Dan gadis kecil itu menyunggingkan senyum termanis yang pernah dilihat Souji dalam hidupnya selama sembilan tahun. "...Tapi, terima kasih. Kau sungguh baik berniat mencegahku dari bunuh diri. Walaupun aku tidak berniat demikian."
"Oh... oh... ya..." Souji nyaris salah tingkah. Apa yang terjadi dengannya? Ia biasanya selalu memiliki emosi terkendali. Tetapi ia serasa menciut di depan gadis kecil ini. "Lalu... mengapa kau memanjat pagar kayu itu dan... terlihat depresi?"
"Apa aku harus menceritakannya padamu?" gadis kecil itu langsung menjawab, senyuman manisnya pudar. "...Bahkan aku tidak mengenal dirimu."
Souji menelan ludah. Jantungnya masih berdegup lebih kencang dan dia... gugup? Astaga... apa yang sebenarnya terjadi padanya?
"Kalau begitu..." Souji berhasil berbicara, "perkenalkan. Namaku Seta Souji... baru pindah kemari karena urusan bisnis ayahku."
Souji mengulurkan tangannya pada gadis kecil itu. Sang gadis kecil memperhatikan tangan itu sejenak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, tetapi akhirnya ia menjabat tangan Souji.
"Namaku Shirogane Naoto..."
"...Shirogane... Naoto..." Souji mengulang nama itu dengan bisikan yang sangat pelan. Gadis kecil itu mengangguk, kemudian akhirnya berdiri dari tempatnya.
"...Aku harus kembali..." ia berkata pelan dan halus. Souji ikut berdiri dan menyadari tinggi Naoto kira-kira hanya sekitar sebahunya saja. Tanpa berkata lebih lanjut, Naoto terburu-buru berlari meninggalkan Souji. Pada jarak tertentu, Souji berhasil mengangkat suaranya.
"H-hei! Aku... kurasa aku akan menunggumu di tempat ini besok! Pikirkan untuk menemuiku!" Souji berteriak cukup keras. Gadis kecil itu sekilas menoleh padanya, kemudian tanpa berkata apa-apa, Naoto tetap berlari meninggalkan Souji dan akhirnya hilang dari pandangan.
Souji memperhatikan kepergian gadis kecil itu dengan suatu rasa kesedihan yang tidak dimengertinya. Anak lelaki itu akhirnya menyadari sesuatu.
Ia, Seta Souji, pada usia sembilan tahun lebih beberapa bulan, telah jatuh cinta.
A.N:
Hello~ :)
Well... ternyata saya... lagi-lagi... ngepublish fic baru *dicekek* dan (lagi) ini multi-chap... yang agak panjang (yah sudahlah)
tapi saya usahain... sangat usahain... tiga fokus fic saya (LuR, Aussagen, dan... ini) akan terus berlanjut sampe selesai XD dan maaf saya belom ngereview fic" terbaru di sini :') saya akan review fic" yang udah saya baca nanti ;D yah, semenjak hari sekolah saya udah ga bisa seenak jidat kayak pas liburan kan? Orz
Dan, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang telah bersedia membaca, bahkan menyumbangkan reviewnya untuk prolog agak singkat dan... 'ga berbentuk' ini... alias... cacat dimana" Orz
Kemudian, daripada saya berbasa-basi ga jelas, mungkin sekian dulu dari saya... eh... gitu... (_ _") (apaan sih gaje)
Then, till the next chap! ;)
-Snow Jou
