Saya tidak memiliki apapun...

000

Hanya secarik kertas dengan noda hitam bersambung yang memperlihatkan betapa sunyi hatinya tanpa sosok yang ia cintai. Dan betapa ia merindukannya. Hanya dia yang paling ia rindukan.

000

Pernahkah dirimu merasakan apa yang sekarang kurasakan. Gejolak dari hatiku yang datang tiba-tiba. Yang selalu datang setiap aku menatapnya. Mata birunya memancarkan sesuatu yang aneh, sesuatu yang unik, sesuatu yang manis. Pandangan itu, mata itu memancarkan senyum asli nan ikhlas. Sayang, kini ia tidak jelas, terselubung kabut kegelisahan.

Aku butuh dirimu, aku rindu gejolak itu. Wajah sendumu, aura kegelisahan sampai padaku, sampai menyesakkan dada. Tidak tahukah dirimu seberapa dirimu mempengaruhi hariku? Setiap malam yang kuhabiskan sendirian di atas kasurku yang dingin, tanpa keberadaanmu. Kulitku merinding akan dinginnya malam, sementara tetesan air mataku yang tak terbendung membasahi wajahku.

Aku merindukanmu.

Dalam 24 jam-ku, tiada menit denganmu. Bar yang kita dirikan bersama sudah lama terlelap, barulah kau pulang. Suara deru mesin motormu hanya terdengar kapan? Jam 3 pagi. Kau tak pernah meluangkan waktu, kau tak pernah bertemu dengan keluargamu. Seventh Heaven hanya bagaikan tempatmu meluruskan punggung selama 2 jam. Setelah itu? Kau pergi, lagi.

Aku merindukanmu.

Tiap hariku, kujalankan tanpamu. Tahukah dirimu bahwa itu sangat berat, sungguh berat sehingga menindih paru-paruku, sebegitu sesaknya. Air mataku sekarang jarang mengalir, hanya nafas sesakku yang terdengar. Betapa hampanya diriku tanpamu.

Aku merindukanmu.

Keseharianku, rutinitasku, selalu monotone. Bangun, mandi, menyiapkan sarapan, mengantar Denzel dan Marlene sekolah, terdiam di atas salah satu kursi bar, menjemput Denzel dan Marlene, mengisi ulang minuman, beres-beres, lalu pergi tidur. Selalu begitu, tiap hari. Setidaknya, mimpi dalam tidurku berbeda tiap malam. Namun intinya sama, senyum indahmu yang begitu kurindukan. Kau selalu ada di dalam malamku, kadang dalam mimpi buruk, kadang dalam mimpi indah.

Aku merindukanmu.

Aku rindu sosok ceriamu. Sosokmu saat kita masih belia, saat kita sering bermain di sumur tua di dekat rumahmu. Rumah lama kita, haha, betapa bahagianya kita dulu. Senyum, canda, dan tawa, selalu bersama kita. Kuharap kau belum melupakan itu. Dan kuharap kau bisa kembali seperti dulu. Bukannya aku tidak menyukai kelakuanmu, namun bukankah lebih baik jika kau memaafkan dirimu. Toh itu semua bukanlah salahmu.

Kapan? Kapan aku bisa tertawa lepas lagi denganmu? Kapan aku bisa melihatmu lepas, melihatmu tersenyum tanpa beban? Kapan aku bisa bersamamu lagi?

Aku merindukanmu, Cloud. Hanya dirimu.

Kumohon. Kembalilah.