-MUNO-

Genre : Romance & Hurt/Comfort

Rate : T

Disclaimer : NARUTO cuma milik MK-Sama.

Pairing : Naruto U & Hinata H

WARNING : OOC, TYPO BERTEBARAN, GAJE NGGAK KARUAN DAN PENULISAN HANCUR, DLL, DSB.

DON'T LIKE, DON'T READ PLEASE!

.

..

.

Cahaya mentari mulai merambat masuk melalui celah-celah jendela yang tertutupi gorden berwarna putih.

Mengusik sesosok pemuda bersurai kuning yang mulai mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk ke kelopak matanya.

Pemuda tersebut tersenyum tipis saat mendapati seorang gadis yang masih terlelap disampingnya. Sibuk menatap dan mengagumi wajah cantik gadis yang masih tertidur dengan lelapnya tersebut, membuat pemuda itu tersenyum dan bersyukur akan kehadiran gadis tersebut dalam hidupnya.

Menelusuri garis wajah sang gadis dengan jari-jari tangannya, mengagumi betapa lembut kulit seputih porselen tersebut saat disentuh jemarinya, bahkan rona merah di pipi chubbynya tidak luntur sama sekali meski dalam keadaan sedang tertidur.

Kegiatan yang dilakukan pemuda tersebut terhenti saat mendengar suara panggilan masuk dari ponselnya yang terletak diatas meja tidak jauh dari ranjang yang tengah dirinya dan sang gadis tempati.

Menggapai ponsel tersebut dengan segera, takut suara yang dikeluarkan mengganggu tidur lelap sang gadis. "Ada apa?" jawab datar pemuda tersebut saat sudah mengangkat panggilan dari seseorang di seberang telepon.

"Pulanglah Naruto.." kata seseorang diseberang telepon dengan lirih. Melirik sang gadis yang masih setia menyelami dunia mimpi, senyum manis bertengger di bibir tipis pemuda bernama Naruto tersebut.

"Kali ini apa lagi yang kau inginkan dariku.. Ayah?" Naruto tetap mempertahankan nada datar ditiap kata yang di ucapkannya.

"Ada hal penting yang harus Ayah bicarakan denganmu," Naruto mendengus mendengar perkataan Ayahnya, seakan mengejek akan alasan dibalik permohonan tersebut.

"Tidak.. Aku tidak akan pulang ke tempat yang kau sebut rumah itu!" menolak dengan tegas sambil sesekali tangan kirinya yang menganggur mengelus surai indigo sang gadis.

"NARUTO! BERHENTI BERSIKAP SESUKAMU DAN CEPAT PULANG SEKARANG JUGA!" Naruto tetap tidak menghiraukan teriakan Ayahnya diseberang telepon dan tetap asyik mengelus surai indigo yang sangat disukainya.

"Sekali kubilang tidak tetap ti-" belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya, Ayahnya sudah memotongnya.

"Bahkan jika ini menyangkut kesehatan Ibumu?" "A-apa? Apa yang terjadi pada ibu? Jawab aku Ayah!" Naruto bisa mendengar sambungan yang diputus secara sepihak oleh ayahnya. "Sial!" umpat Naruto menggenggam erat ponsel ditangannya sampai buku jarinya memutih.

"mmnghh.."gadis yang sedaritadi tertidur disampingnya mulai mengerang pelan dan membuka kelopak matanya secara perlahan, menampakkan sepasang manik amethyst yang begitu memikat.

Merasakan pergerakan kecil dari gadis disampingnya membuat Naruto menoleh dan menyunggingkan senyum kecil seraya mengecup kelopak mata amethyst yang membuatnya terpesona tersebut.

"Maaf.. Apa aku membangunkanmu Hinata-chan?" ucap Naruto sambil menarik tubuh polos gadis yang dipanggilnya Hinata tersebut makin merapat pada tubuhnya yang juga dalam keadaan polos.

"Tidak Naruto-kun.. Kau tidak membangunkanku," bibir mungil Hinata menyunggingkan senyum yang membuat Naruto gemas hingga menyerang bibir mungil Hinata dengan menciumnya.

Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin liar, apalagi melihat reaksi Hinata yang sepertinya begitu menyukai setiap pagutan yang diberikan Naruto pada bibirnya, Naruto terus memagut bibir Hinata serta tak lupa menggigit kecil bibir bawah Hinata meminta ijin agar lidahnya bisa memasuki rongga mulut Hinata yang terasa manis.

Paham akan maksud Naruto, Hinata sedikit membuka mulutnya, Naruto yang mendapat ijin dari Hinata tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut hingga lidah Naruto segera menerobos masuk kedalam mulut Hinata, bermain didalamnya dan terus menjelajahi tiap rongga mulut Hinata.

"nnggh.. N-naruto.."Hinata tidak bisa menahan desahannya ketika lidah Naruto memanjakan dirinya. Dan sepertinya permainan mereka akan terus berlanjut jika saja Naruto tidak lupa akan perkataan Ayahnya tentang kesehatan Ibunya. Melepas bibir mungil Hinata yang sudah membengkak akibat ulahnya, Naruto kemudian mengecup kening Hinata lembut.

"Mandilah.. aku akan mengantarmu kuliah," senyum Naruto menyapa penglihatan Hinata.

"N-Naruto-kun tidak kuliah?" tanya Hinata bingung menanggapi perkataan Naruto.

"Ah, maaf Hinata.. Tapi sepertinya aku harus kembali ke mansion Namikaze sekarang," jawab Naruto yang kembali memeluk tubuh polos Hinata yang hanya terlindung selimut.

"Apa terjadi sesuatu Naruto-kun?" tanya Hinata khawatir.

"Ayah memintaku pulang karena Ibu sedang sakit," jawab Naruto pelan sambil mengeratkan pelukannya terhadap Hinata.

"S-sakit? Sakit apa Naruto-kun?" tanya Hinata khawatir akan keadaan Ibu dari Naruto, lelaki yang dicintainya.

"Aku tidak tau.." menyesap wangi lavender yang menguar dari tubuh Hinata membuat Naruto merasa tenang dan nyaman meski tidak dipungkiri dia sangat mengkhawatirkan keadaan sang Ibu.

"Kalau begitu Naruto-kun harus cepat pulang ke rumah," ucap Hinata khawatir. Memberikan kecupan singkat dibibir Hinata.

"Aku mencintaimu Hinata.." ucapnya lirih di telinga Hinata.

"Aku juga mencintaimu Naruto-kun,"

. . . X0X0X0X0X0X0X0 . . .

Namikaze Naruto merupakan putra tunggal serta pewaris dari Namikaze Company. Umurnya yang tergolong muda yaitu 21 tahun serta memiliki wajah yang tampan membuatnya terkenal dikalangan wanita, tidak ada seorang wanita pun yang mampu menolak pesona seorang Namikaze Naruto, tapi sayang hati Naruto sudah dimiliki oleh gadis berparas manis bernama Hyuga Hinata.

"APA MAKSUD DARI SEMUA INI AYAH!?" seruan lantang itu terucap dari mulut Naruto saat Ayahnya memintanya menerima perjodohan yang sudah direncanakan secara sepihak tanpa memberitau Naruto.

"Kau akan dijodohkan dengan Putri Yakushi Orochimaru" jawab Minato yang menatap Naruto.

"Aku tidak bisa menerima perjodohan ini Ayah," ucap Naruto datar.

"Kenapa Naruto?" Kushina sang ibu bertanya tentang alasan sang putra yang menolak perjodohannya.

"Aku su-" belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya tapi Mintao memotongnya cepat.

"Mau tidak mau, kau tidak bisa menolaknya Naruto! Tanggal dan hari pernikahan kalian sudah kami tentukan, dan jangan lupa besok kau akan menemui calon istrimu!" Naruto membelakakkan matanya tak percaya akan apa yang baru saja dia dengar.

"Kau akan senang saat bertemu dengan calon istrimu Shion, dia gadis yang cantik," Kushina menyentuh lembut lengan Naruto, tapi sedetik kemudian Naruto menepisnya.

"Kenapa kalian memutuskan hal ini tanpa meminta persetujuan dariku lebih dulu?!" suara Naruto terdengar berat dan rendah, membuat Kushina yang berada disampingnya merasa takut.

"Kami tidak perlu persetujuan darimu Naruto, Lagipula ini semua demi ke-"

"JANGAN BERHARAP AKU AKAN MENERIMA PERJODOHAN SIALAN INI!"teriak Naruto yang sudah kehabisan kesabaran. Kushina menangis melihat kemarahan putranya, dia takut melihat Naruto yang seperti ini.

"Naruto de-"

"CUKUP AYAH! KALIAN SUDAH MEMBOHONGIKU, APA KALIAN MERASA PUAS KARENA SUDAH MEMBOHONGIKU HAH?!" teriakan Naruto menggelegar dipenjuru ruang keluarga Mansion Namikaze.

"Naruto.." lirih Kushina sebelum tubuhnya merosot dan jatuh ke lantai.

"Kushina!"

"I-ibu?!" kedua lelaki itu tampak panik saat tiba-tiba Kushina tak sadarkan diri dan pingsan, Minato segera menggendong tubuh ringkih sang istri dan membawanya ke kamar, namun sebelum itu dia berhenti dihadapan Naruto dan menatapnya tajam.

"Apa ini yang kau mau Naruto? Apa kau mau membuat ibumu menderita hanya karena sikap egoismu itu?" ucap Minato dan setelahnya meninggalkan Naruto yang tetap mematung mencerna apa yang baru saja terjadi.

. . . XOXOXOXOXOXOXO . . .

Naruto memasuki kamar ibunya dengan pikiran kosong, dilihatnya sang ibu yang kini sedang bersandar di kepala ranjang, menyadari akan kedatangan putranya, Kushina mengulurkan tangannya ke arah Naruto.

"Naruto.." ucapnya lirih. Naruto yang mendengar namanya dipanggil mulai melangkah menghampiri ibunya dan menggenggam tangannnya erat.

"Maaf.." ucap Naruto yang menundukkan kepala dengan penuh penyesalan.

"Tidak nak, kau tidak salah.. Ibu mengerti kalau hal ini pasti membuatmu terkejut, tapi percayalah kalau ini kami lakukan demi dirimu, Naruto"

"aku.. Akan menerimanya." suara Naruto terdengar begitu lirih.

"A-apa?" tanya Kushina yang tidak begitu jelas mendengar perkataan Naruto.

"Aku.. Aku menerima perjodohan ini." ulang Naruto sekali lagi dengan mengepalkan tangan kanannya kuat, menahan sesak yang menyerang rongga dadanya. Sakit. Kushina segera menarik Naruto kedalam pelukannya, sementara Kushina memeluk Naruto dengan rasa haru yang melingkupi dirinya, Naruto hanya terdiam dalam pelukannya.

Hatinya masih begitu sakit dan berat untuk menerima ini semua, dia bahkan belum mengenal gadis bernama Shion.

'Apa keputusanku ini sudah benar?' batin Naruto pedih. Pikirannya kembali mengingat sosok gadis mungil yang begitu dicintainya, Hinata. Sungguh dia tidak sanggup jika harus meninggalkan Hinata begitu saja, meninggalkan gadis yang selama hampir 4 tahun dia cintai. 'Maafkan aku Hinata..'

Disebuah kamar yang didominasi warna ungu lavender, terlihat seorang gadis bersurai indigo yang menatap langit lewat jendela kamarnya. "Naruto.." gumam gadis bermahkotakan indigo sambil mengelus lembut perutnya yang rata.

. . . XOXOXOXOXOXOXO . . .

Langit senja terlihat begitu gelap karena tertutupi oleh awan hitam, seorang gadis mungil dengan rambut indigo sepinggang menunggu kekasihnya disebuah Caffe favoritnya.

Wajahnya begitu terlihat gembira, berbeda dengan langit sore yang nampak semakin gelap. Sejak Naruto meneleponnya untuk bertemu beberapa waktu lalu, Hinata tidak bisa berhenti tersenyum, dia sungguh tidak sabar ingin memeberitahu Naruto tentang kehamilannya, dia ingin tahu bagaimana reaksi Naruto nantinya.

Apa Naruto akan memeluknya? Menciumnya? Atau mengucapkan rasa syukur karena kehamilannya ini? Hinata tidak bisa berhenti tersenyum apalagi saat membayangkan jika dirinya akan menikah dengan Naruto dan membesarkan anaknya dengan limpahan kasih sayang. Dan senyum Hinata semakin mengembang ketika melihat seseorang yang ditunggunya sejak tadi muncul dari pintu masuk Caffe dan berjalan ke arahnya.

"Naruto-kun," panggil Hinata saat Naruto sudah sampai dihadapannya.

Naruto tersenyum dan mengecup singkat kening Hinata lalu mengambil kursi tepat berhadapan dengan Hinata.

"Hinata-chan, ada sesuatu yang ingin aku katakan," Safirnya menatap Amethyst Hinata lekat.

"Eh? A-aku jg ingin mengatakan sesuatu padamu.." balas Hinata sambil memainkan jari didepan dada pertanda dia sedang gugup.

"Benarkah? Apa yang mau kau katakan padaku?" Hinata tersenyum semakin manis, dan itu tidak luput dari safir Naruto yang malah memancarkan kesedihan.

"Aku.. N-nanti saja Naruto-kun. sekarang, apa yang ingin kau katakan tadi?" tetap dengan senyumnya, Hinata bertanya pada Naruto.

"Itu.." Naruto tidak sanggup mengatakannya, dia tidak ingin menyakiti perasaan Hinata, apalagi ketika melihat senyum yang teramat manis mengembang dari bibir Hinata.

Apa ada cara mengatakannya tanpa harus menyakiti hati gadis ini? Gadis yang teramat dicintainya.

"Hinata.." Naruto kembali membuka mulutnya meski lidahnya terasa kelu dan hatinya memberontak ingin meraung.

"Y-ya?" jawab Hinata merasa ada yang aneh dengan sosok Naruto di depannya yang menunduk dalam.

"Maaf Hinata.. Tapi sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan." Naruto benar-benar tidak percaya akan apa yang barusan dia katakan.

"A-apa m-maksudmu Naruto-kun?" Ujar Hinata tak percaya, amethystnya membulat sempurna. Naruto kembali terdiam, dia benar-benar tidak ingin menyakiti perasaan Hinata, setelah terdiam beberapa saat.

Naruto mengambil amplop tebal berwarna kuning dari saku jaketnya dan meletakkannya diatas meja. Dengan tangan bergetar serta pandangan mata yang tak fokus karna berusaha menahan air mata yang akan tertumpah. Hinata meraih amplop tersebut. Sungguh hatinya langsung remuk dan hancur ketika melihat tulisan yang tercetak tebal di bagian luar amplop tersebut.

~The Wedding~ Namikaze Naruto & Yakushi Shion~

matanya terasa panas membaca tulisan itu, dan tanpa sadar. Air mata yang sedari tadi telah mati-matian dia tahan telah meleleh menuruni pipinya yang pucat.

"K-kenapa.." hati Hinata terasa amat sakit menerima kenyataan yang terpampang di hadapannya saat ini.

"Maaf.. Hinata.." Naruto tidak bisa mengatakan apapun selain kata maaf. Kepalanya tertunduk dalam dengan tangannya yang telah menggenggam erat tangan Hinata enggan melepasnya.

"D-daijoubu, Naruto-kun." ucap Hinata pada akhirnya, meski lelehan bening itu tetap mengalir dari kelopak amethystnya yang meredup.

"Hinata-chan.." mendongakkan wajahnya terkejut, Naruto tak peracaya akan apa yang baru saja didengarnya.

"K-kalau itu memang keputusan yang kau pilih, aku tidak akan menghalangimu Naruto-kun.. Kau punya hak untuk menentukan pendamping hidupmu." ungkap Hinata berusaha menampilkan senyum dengan air mata yang masih setia menganak sungai di kedua pipinya.

"Maafkan aku, Hinata.."

"D-daijoubu Naruto-kun, dan.. Apa ini undangan untukku?" tanya Hinata sambil tersenyum simpul.

"Ya." jawab Naruto singkat sambil menutup mata, seakan ingin menikmati rasa sakit di hatinya.

"A-aku akan hadir." ucap Hinata pelan sambil tetap tersenyum.

"Bukankah tadi kau ingin mengatakan sesuatu padaku Hinata-chan?" Naruto tidak tahan dengan arah pembicarban ini, jadi dia memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. Hatinya benar-benar sakit saat ini.

"L-lupakan saja Naruto-kun.. Lagipula ini bukan hal penting." geleng Hinata dan tersenyum singkat.

"Apa kau yakin Hinata-chan?" tanya kembali Naruto memastikan.

"Y-ya." angguk Hinata singkat.

. . . XOXOXOXOXOXOXOXO . . .

"APA KAU SUDAH GILA HINATA?!" teriakan itu menggema ditelinga Hinata bagaikan petir. Hinata menceritakan semuanya pada kakaknya Hyuga Neji.

"BAGAIMANA BISA KAU MEMBIARKANNYA MENIKAH DENGAN WANITA LAIN DISAAT KAU SEDANG MENGANDUNG BENIHNYA?!" teriakan demi teriakan Neji layangkan untuk Hinata, dia tidak menyangka kalau adik yang sangat di sayanginya bisa mengalami hal seperti ini.

Adik yang selalu dilindungi dan di sayanginya lebih dari apapun, kini sedang meringkuk ketakutan disudut kamarnya yang gelap dan pengap.

"A-aku me-menerima ini s-sebagai takdirku.." jawab Hinata berusaha setegar mungkin meski hatinya terasa ditusuk ribuan jarum.

"KAU..!"Neji menahan teriakannya agar tidak semakin membuat Hinata takut, jujur dia merasa hancur melihat keadaan Hinata saat ini. Hatinya meraung ingin menebas leher lelaki yang membuat adiknya seperti ini.

"Takdir? Demi tuhan Hinata, Kau sedang mengandung.. Apa kau tega membiarkan anakmu kelak lahir tanpa adanya sosok Ayah?!" kali ini Hinata terdiam, apa yang dikatakan kakaknya memang benar, apa dia akan membiarkan anaknya kelak tumbuh tanpa sosok seorang ayah?

Amethyst itu kembali menumpahkan air matanya.

Meratapi akan nasibnya serta nasib anaknya kelak yang mungkin akan tumbuh berbeda karna dia sadar, anak hasil di luar nikah akan dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang melihatnya.

"Neji, tenangkan dirimu.. Kasihan Hinata," pinta seorang wanita berambut coklat yang di cepol dua. Menyentuh pelan bahu Neji yang menegang sedari tadi.

Dia adalah Hyuga Tenten wanita yang dinikahi Neji sejak tiga bulan yang lalu.

Neji menatap istrinya sekilas dengan sorot mata terluka hingga dia kembali memfokuskan kedua netranya pada sosok sang adik yang meringkuk tak berdaya.

"Apa lelaki berengsek itu sudah tahu kalau kau sedang hamil, Hinata?" tanya Neji berusaha setenang mungkin, tapi seperkian detik matanya kembali melebar tak percaya setelah melihat gelengan lemah Hinata.

Perlahan Neji duduk disamping Hinata, tak lupa mengelus surai Indigo sang adil yang tak selembut sebelumnya. Airmata Hinata semakin deras menuruni pipinya saat Neji membawanya kedalam pelukan.

"Baiklah.. Lelaki berengsek itu tidak perlu tahu tentang kehamilanmu Hinata," ujar Neji pelan sambil terus memeluk sang adik tercinta. Hinata semakin menjadi menangis dalam pelukan hangat Neji.

Tenten yang sedari tadi berdiri didepan pintu kamar Hinata tak kuasa menahan tangis melihat pemandangan di depannya dimana Hinata yang terus terisak pilu dan neji yang memeluknya terlihat kacau. Tubuh Tenten pun merosot ke lantai. Adik ipar yang disayanginya sekarang terlihat sangat rapuh.

"Kita kembali ke Belanda." ujar Neji semakin memeluk erat tubuh ringkih adiknya yang terus terisak. Apapun yang terjadi setelah mereka kembali ke Belanda, Neji bersumpah. Dia akan melindungi Hinata dan menjadi tameng andai para Tetua mulai memandang remeh pada adik kesanyangannya.

Jika bukan karena melihat Hinata yang seperti ini, mungkin saat ini Neji sudah berada di kediaman lelaki berengsek itu dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya. 'Namikaze Naruto' batin Neji menyebutkan nama tersebut penuh kebencian.

.

..

.

-TO BE CONTINUE-

. . . . . . . . yang mau ngasih kacang monggo silaken.. (σ¬_¬)σ asal jngn ngelemparin golok aja.. (σ¬_¬)σ terima kasih untuk yang sudah sudi meluangkan waktu membaca fic abal karangan saya yang pasaran dan aneh ini.. ^o^ . . . . . .

-ASYAH HATSUNE-