=Happy Reading=

.

.

Seorang anak laki-laki meringkuk di sudut ruangan. Memeluk kedua kakinya dan menyembunyikan wajahnya. Menggeleng pada siapapun yang mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Meski wajahnya tersembunyi, mereka semua tahu anak berusia tujuh tahun itu tengah menangis. Menangis dalam diam dan tidak mengizinkan orang lain untuk mendekat.

"Mingyu, ayo masuk nak!" Dalam diamnya ia menggeleng. Semakin menyudutkan tubuhnya saat seseorang menggapai lengannya. Mengabaikan wanita tua yang sedari tadi membujuknya.

"Kita harus bagaimana, eonni?" tanya wanita lain yang berusia lebih muda.

"Mungkin Mingyu masih sangat terpukul dengan kematian kedua orang tuanya. Kita akan membujuknya secara perlahan. Tapi kita tidak boleh memaksanya. Untuk saat ini, kita awasi saja dari kejauhan."

Wanita muda dan dua wanita lainnya mengangguk. Berjalan menjauh sembari menggiring anak-anak yang sedari tadi mengintip. Meninggalkan Mingyu yang masih meringkuk di sudut ruangan. Menggumamkan ayah dan ibunya dengan air mata terus menetes.

"Kau tidak lelah menangis?" Tiba-tiba suara anak kecil menyapa gendang telinganya. Namun belum mampu membuatnya mengangkat kepala.

"Aku tidak pernah menangis. Karena semua yang ada di sini tidak punya appa dan eomma. Kata Shin eomma, kalau kita menangis, appa dan eomma yang berada di surga akan bersedih."

Celotehan anak itu membuat tangis Mingyu terhenti. Mengangkat kepalanya perlahan-lahan. Menatap seorang anak laki-laki yang menatapnya polos. Senyum tersemat di bibir mungilnya.

"Tadi jariku terkena pisau. Rasanya sangat sakit sampai aku mau menangis. Tapi aku tidak menangis karena aku tidak mau membuat mereka bersedih." Ia mengacungkan jarinya yang dibalut plester. Memanyunkan bibirnya teringat rasa sakit saat jarinya terluka.

Mingyu benar-benar menghentikan tangisnya. Berganti memperhatikan wajah anak di depannya. Berambut hitam legam dan berkulit putih. Setiap berbicara, ekspresi anak di depannya berubah-ubah. Seperti saat ini, ia sudah tersenyum cerah ke arahnya.

Ia kembali teringat pada kedua orang tuanya. Ia tidak pernah menemukan anak kecil yang belum pernah menangis. Apalagi saat terluka, ia akan menangis dan mendapatkan pertolongan sang ibu. Cerita anak di depannya membuatnya kembali bersedih. Hanya saja, sedih dalam arti yang berbeda.

"Kau bisa memanggilku Wonwoo. Mulai saat ini, kau tidak boleh menangis lagi. Kata Shin eomma, kalau kita merasa sedih, kita bisa membaginya dengan orang lain. Dan kau bisa membaginya denganku. Mulai hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama-sama."

Mingyu bungkam. Bukan karena ia tidak mengerti apa yang bocah itu maksudkan. Meski masih berusia tujuh tahun, ia termasuk bocah yang cerdas. Ia diam karena tertegun dengan kalimat Wonwoo.

Bocah berkulit pucat itu seperti penolong yang Tuhan kirimkan. Ia pikir, ia akan menghabiskan waktunya seorang diri. Tapi dengan begitu tulusnya, Wonwoo datang dan menawarkan diri di tengah kesedihannya.

"Sekarang sudah malam. Ayo aku antar ke kamarmu."

Anak berkulit putih itu berdiri dari duduknya. Mengulurkan tangan mungilnya tepat ke arah Mingyu. Tersenyum tulus dan berharap Mingyu menyambut uluran tangannya.

Beberapa wanita yang memperhatikan kedua interaksi bocah itu tampak cemas. Takut Mingyu menolak dan memilih menyendiri. Namun tidak seperti beberapa saat yang lalu, Mingyu justru menerima uluran tangan Wonwoo. Berjalan menjauh ke arah kamar mereka.

"Eonni, Wonwoo berhasil mengambil hatinya. Tidak membutuhkan waktu lama, Mingyu langsung menurut pada Wonwoo. Tidak seperti kita yang sudah lebih dari setengah hari."

Wanita yang lebih tua tersenyum lembut. Memperhatikan dua bocah yang semakin lama semakin menjauh. Ia menghembuskan nafasnya lega dan menggangguk.

"Seperti itu lah Wonwoo kita. Ketulusan hatinya terpancar dengan jelas. Tidak ada yang bisa menolak ketulusannya."

.

.

"Mingyu-ya."

Ia menolehkan kepalanya ke pintu kamar. Mendapati seorang anak laki-laki yang tersenyum ke arahnya. Mendekatinya dan menyerahkan boneka kayu.

"Itu untukmu. Temanmu saat kau kesepian." Mingyu menatap boneka di tangannya dan anak laki-laki di depannya bergantian.

"Kau ingat namaku kan?" tanyanya lagi. Mingyu mengangguk.

"Wonwoo," jawabnya.

"Bukan Wonwoo. Tapi Wonwoo hyung," koreksi anak di depannya tidak terima.

"Wonwoo," ulang Mingyu sekali lagi.

"Kau harus memanggilku hyung."

"Wonwoo."

Anak di depan Mingyu menyerah. Ia tidak memaksa lagi. Membiarkan Mingyu memanggilnya sesuai keinginannya.

"Ayo kita bermain!" Wonwoo kembali mengulurkan tangannya. Tapi kali ini Mingyu menolak. Tidak seperti malam itu yang langsung menyambutnya.

"Kenapa?"

"Aku ingin di sini."

Wonwoo terdiam sebentar. Setelahnya, anak berusia delapan tahun itu beranjak dari kamar Mingyu. Menutup pintu setelah memastikan Mingyu baik-baik saja.

Bocah berusia tujuh tahun itu masih betah di tempatnya. Duduk di ranjang dengan memegang boneka kayu pemberian Wonwoo. Ia tersenyum menatap boneka kayu itu.

"Eomma... appa... sekarang aku tidak sendiri. Ada Wonwoo dan boneka ini."

Mingyu merebahkan tubuhnya di kasur. Ia masih canggung bermain bersama anak-anak lainnya. Tapi setidaknya, ada Wonwoo yang membuatnya merasa nyaman. Bukan karena Wonwoo yang mengajaknya malam itu, hanya saja ia bisa merasakan ketenangan setiap berada di dekatnya.

.

.

Saat malam tiba, Mingyu memandang nampan di tangannya dalam diam. Hanya ada nasi putih dan kuah sayur. Tidak ada telur dadar gulung dan lauk lain seperti anak-anak lainnya. Seorang anak yang ia tidak tahu namanya, mengambil miliknya begitu saja.

Pandangannya ia edarkan. Menatap anak-anak lainnya yang begitu lahap. Berada di panti asuhan membuatnya menyadari satu hal, ia tidak bisa lagi mengadu apapun yang ia rasakan. Karena mereka sama-sama tidak memiliki orang tua.

Saat jam makan siang, para penjaga panti juga makan bersama di tempat yang berbeda. Ia tidak bisa melakukan apapun. Mengadu hanya akan membuatnya semakin dibenci.

"Mingyu-ya." Tiba-tiba sebuah tangan menariknya menjauh. Berjalan ke belakang panti yang terlihat sepi.

Setelah mengajaknya duduk di anak tangga yang menghubungkan dengan pintu, Wonwoo langsung meletakkan sepotong telur dadar gulung ke nampannya. Tersenyum padanya dan memakan miliknya sendiri dengan lahap.

"Kenapa?" tanya Mingyu lirih.

"Kenapa memberikannya padaku?"

Wonwoo menghentikan kunyahannya. Berpikir sejenak dan menelan makanan di mulutnya. Menoleh ke arah Mingyu yang masih memandangi nampan di pangkuannya.

"Karena aku ingin kita makan bersama. Kau harus makan. Di tempat ini, kita tidak bisa makan sebelum jam makan meski kita kepalaran. Jadi kau harus menghabiskan makananmu." Wonwoo kembali melahap makanannya. Kembali meletakkan dadar gulung di nampan Mingyu.

Mingyu memasukkan sesuap nasi kemulutnya secara perlahan. Sesekali melirik Wonwoo yang duduk di sampingnya. Ia masih tidak mengerti dengan Wonwoo. Bocah yang lebih tua setahun darinya itu tampak berbeda. Selalu ceria dan baik pada semuanya.

Wonwoo berbeda dengan anak panti lainnya. Saat yang lainnya berbuat jahat dan menjahilinya, Wonwoo justru selalu menolongnya. Mengulurkan tangan dan membagi apapun yang bocah berkulit pucat itu miliki.

.

.

Hari ini adalah hari ketiga Mingyu berada di panti asuhan. Ia hanya berdiri di balik dinding melihat beberapa orang berpakaian formal. Ia bisa melihat seorang anak menangis. Mengulurkan tangannya dan menolak diajak pergi.

"Jangan lihat mereka. Ayo kita pergi!"

Tiba-tiba, Wonwoo muncul dan menarik tangannya. Mengajak duduk di ayunan yang mulai tampak menua. Warna catnya mengelupas di beberapa bagian, namun masih layak untuk dinaiki. Dan tidak jauh dari mereka, tampak beberapa anak berkejar-kejaran sambil tertawa.

"Kau takut melihat mereka?" tanya Wonwoo yang duduk di sampingnya. Mingyu hanya menjawabnya dengan gelengan.

"Orang-orang seperti itu sering datang ke sini. Kata eomma untuk mengadopsi salah satu di antara kita." Mingyu memilih bungkam. Ia juga pernah mendengarnya. Anak yang tinggal di panti akan pergi saat ada yang mengadopsinya.

"Sedari dulu, aku ingin seperti mereka." Sontak, Mingyu langsung mengalihkan pandangannya. Menatap Wonwoo yang tengah mengayun-ayunkan kakinya.

"Kenapa?" tanya Mingyu.

"Karena sepertinya sangat menyenangkan bisa memiliki appa dan eomma."

Mingyu memalingkan wajahnya. Ia menyetujui kalimat Wonwoo. Namun ada sesuatu dalam dirinya yang membenci kalimat itu. Ia seolah-olah tidak ingin kalimat itu terjadi dalam hidup Wonwoo.

"Kalau suatu saat ada yang ingin mengadopsimu bagaima—"

"Aku tidak mau!" Tanpa sadar, Mingyu menaikkan suaranya beberapa oktaf. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyelinap. Mingyu tidak tahu apa penyebabnya. Ia hanya anak kecil yang tidak bisa mengartikan isi hati dan pikirannya.

"Kenapa tidak mau? Kau bisa membeli baju dan mainan yang bagus. Aku saja selalu ingin mendapatkan orang tua. Tapi kenapa eomma tidak pernah menunjukkan aku pada mereka ya?"

Wonwoo memasang mode berpikir. Ia sudah sejak bayi berada di panti asuhan. Tapi sang pengasuh, selalu saja menunjukkan anak yang lainnya. Dan selama beberapa tahun berada di panti, ia sudah banyak mengenal anak yang datang silih berganti. Di panti itu, hanya ia yang berada di panti sejak bayi.

"Aku tidak mau appa dan eomma lagi. Aku tidak mau ikut bersama mereka."

Mingyu berdiri dari ayunan. Melangkahkan kakinya dan berlari ke kamar. Membuat Wonwoo kebingungan. Ia tidak mengerti kenapa Mingyu tampak begitu sedih. Sedangkan dirinya selalu berharap dipertemukan dengan orang yang mau menganggapnya anak.

.

.

"Wonwoo."

Untuk pertama kalinya dalam sepuluh hari ini, Mingyu memanggilnya terlebih dahulu. Masuk ke dalam kamarnya dengan memeluk sebuah bantal.

"Boleh aku tidur denganmu?" tanyanya ragu. Mengabaikan tatapan tiga anak lainnya yang sekamar dengan Wonwoo.

"Di kamar sepi," lanjutnya lagi.

Di panti itu, setiap anak berbagi kamar. Setiap kamar diisi empat orang anak. Kecuali Mingyu yang mendapati kamar kosong. Dua orang anak yang berada di kamarnya, diadopsi tiga hari setelah kedatangannya.

"Kalau kau mau kita berdesakan, kemarilah!" dan untuk pertama kalinya, Mingyu tersenyum. Menghampiri Wonwoo dan naik ke ranjang berukuran kecil itu.

Mereka memilih bantal Wonwoo untuk digunakan bersama. Sedangkan bantal yang Mingyu bawa, Mingyu letakkan di atas tubuhnya. Mereka berdua tidur telentang memandangi langit-langit kamar.

"Mingyu-ya, kau sudah seminggu berada di sini. Tapi kau belum pernah menceritakan kenapa waktu itu kau terus berada di pemakaman."

Wonwoo menoleh saat tidak mendapati jawaban. Justru wajah murung yang ia dapati dari bocah yang lebih muda.

"Apa aku membuatmu sedih? Maafkan aku. Kita tidak usah membahasnya lagi." Mingyu menggeleng meski Wonwoo tidak lagi melihat ke arahnya.

"Aku hanya ingin menyusul eomma dan appa," jawab Mingyu lirih.

"Kenapa? Bukannya surga itu sangat jauh?" tanya Wonwoo polos.

"Tapi sekarang aku tidak ingin menyusul appa dan eomma. Aku senang berada di sini." Mingyu tidak menjawab. Justru mengalihkan pembicaraan sambil menyunggingkan senyumnya.

"Kalau begitu, kau harus berjanji untuk tidak menyusul mereka di surga. Karena aku tidak akan bisa menemuimu. Kita harus di sini bersama." Wonwoo mengangkat sebelah tangan kirinya. Menunjukkan kelingkingnya yang membuat Mingyu bingung.

Meski ragu, Mingyu tetap ikut mengulurkan jarinya. Ia pernah melihatnya di televisi. Mereka yang berjanji akan menautkan kelingking mereka.

"Aku janji. Dan kau juga tidak boleh pergi ke sana sendiri ya?"

"Aku tidak akan kesana. Lagi pula kalau aku kesana, aku tidak akan mengajakmu. Ongkos ke sana katanya mahal karena sangat jauh. Ayo kita tidur Mingyu-ya."

Wonwoo langsung memiringkan tubuhnya ke arah Mingyu. Memejamkan mata tanpa menyadari Mingyu terus memperhatikannya.

Bocah berkulit putih itu lebih tua darinya. Tapi ia begitu polos. Mingyu yang masih berusia tujuh tahun paham bagaimana orang bisa ke surga. Seperti yang terjadi pada orang tuanya. Dan seseorang yang berada di surga, terlebih dulu mengalami mati. Dan tidak akan bisa kembali ke dunia.

Wonwoo anak yang begitu ceria. Ia selalu menolong seseorang tanpa pamrih. Ia bahkan rela membagikan makanannya pada yang lain. Saat anak itu menangis nampannya jatuh, Wonwoo dengan suka rela memberikan miliknya.

Selama sepuluh hari berada di panti, Mingyu hanya mau bermain bersama Wonwoo. Ia bisa tersenyum dan tertawa bersama Wonwoo. Tidak seperti saat bersama anak-anak lainnya. Mereka sering berkelahi karena masalah kecil. Dan berakhir mendapat hukuman dari pengurus panti.

Mingyu menerawang ke kehidupannya beberapa saat yang lalu. Meski mereka tidak berasal dari keluarga kaya, setidaknya ia pernah merasakan kasih sayang orang tua. Ia pernah merasakan bagaimana disuapi seorang ibu. Ia pernah merasakan berada di gendongan seorang ayah. Dan ia juga pernah merasakan tidur dalam dekapan hangat ayah dan ibu.

Sedangkan Wonwoo, ia tahu Wonwoo belum pernah merasakannya. Berada sejak bayi di panti, membuatnya yakin Wonwoo tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Meski masih kecil, Mingyu bisa membayangkan bagaimana pedihnya hidup Wonwoo.

Mingyu memejamkan mata saat teringat sesuatu. Kedua tangannya bersidekap di depan dada.

"Tuhan, jangan biarkan Wonwoo pergi ke surgamu lebih dulu. Aku di sini akan selalu menemaninya. Aku janji."

Di malam musim dingin itu, mereka membuat janji untuk pertama kalinya. Dan janji kedua untuk Mingyu. Janjinya dengan diri sendiri dan Tuhan.

.

.

Tidak terasa, sudah delapan bulan Mingyu menghabiskan waktunya di panti asuhan. Bersama Wonwoo, ia hidup seperti anak-anak lainnya. Bermain dan sesekali berkelahi. Meski Mingyu belum pernah mengeluarkan air matanya.

Dan sama halnya dengan delapan bulan yang lalu, Mingyu hanya mau bermain bersama Wonwoo. Mengikuti kemanapun bocah pucat itu melangkah. Menolak semua teman yang ingin bermain dengannya. Ia seperti sudah sangat bergantung dengan Wonwoo.

Bocah yang kini berusia delapan tahun itu terjaga dari tidurnya. Ia tidak menemukan Wonwoo di sampingnya. Sejak pertukaran kamar beberapa bulan yang lalu, ia sekamar dengan Wonwoo dan dua anak lainnya.

Mingyu memandang ranjang di atasnya. Temannya tidur dengan begitu lelapnya. Begitu juga dengan ranjang lainnya. Di ranjang bertingkat dua itu, temannya yang lain memejamkan mata dengan begitu pulas.

"Kemana Wonwoo?"

Tidak menemukan Wonwoo di kamar, ia memutuskan untuk keluar. Berjalan sehalus mungkin agar tidak ada yang menyadari kehadirannya.

Di lorong yang gelap itu, Mingyu berjalan tanpa rasa takut. Ia yakin anak-anak panti lainnya tengah menjelajah alam mimpi. Ia berbelok ke kanan untuk mencapai taman. Menghentikan langkahnya untuk mencari sosok bertubuh kurus itu.

Langkahnya ia lanjutkan saat tidak mendapati siapapun. Namun baru selangkah, ia langsung memutar tubuhnya. Di dekat ayunan, ia bisa melihat seorang anak laki-laki duduk di rerumputan.

"Wonwoo."

Bocah itu terlonjak saat namanya disebut. Dan langsung tersenyum menyadari Mingyu yang memanggilnya.

"Sedang apa di sini?"

"Kau terbangun?" Wonwoo balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Mingyu.

"Em... aku tadi haus." Mingyu memilih berbohong. Karena ia tidak tahu kenapa matanya tiba-tiba terbuka. Yang pertama ada di dalam pikirannya adalah Wonwoo.

"Kenapa kau di sini?" Mingyu teringat pertanyaannya belum dijawab.

Bocah yang lebih kecil darinya tidak langsung menjawab. Diam memandangi langit yang dihiasi beberapa bintang.

"Untuk melihat bintang?" tebak Mingyu.

"Kata eomma, orang tuaku ada di surga. Dan surga itu sangat tinggi. Aku tidak bisa ke sana." Mingyu diam. Menunggu Wonwoo menyelesaikan kalimatnya.

"Tapi lihat ini! Langit jadi terasa dekat. Aku seperti bisa menggapai langit."

Tangan mungil Wonwoo ia dekatkan pada matanya. Melihat dari celah jari seolah ia sedang menutup mata sipitnya. Sedangkan Mingyu masih tidak berbicara. Hanya mengikuti pergerakan yang Wonwoo lakukan.

"Hari ini aku ulang tahun. Aku ingin merayakannya bersama appa dan eomma. Tapi karena mereka berada di surga, aku jadi hanya bisa duduk dengan memandangi langit. Dari dulu, aku selalu seperti ini untuk merayakan—"

Tiba-tiba Mingyu berlari begitu saja. Membuat kalimat Wonwoo terputus karena terkejut. Kepalanya memutar mengikuti pergerakan Mingyu. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi heran. Namun tidak melakukan apapun. Hanya diam ditempat seperti tujuan awalnya.

Mingyu terus berlari tanpa menggunakan alas kaki. Meski panti asuhan minim pencahayaan pada malam hari, tidak membuatnya mengurungkan niatnya.

Nafasnya tersengal setelah berhenti di depan sebuah pagar. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sedikit berlari setelah menemukan kursi kayu yang biasa diduduki penjaga saat siang hari.

Dengan kursi itu, ia menaiki pagar yang tidak begitu tinggi. Pengawasan panti yang tidak ketat, membuatnya leluasa ke mana saja. Setelah berhasil naik ke pagar, ia langsung lompat. Mengaduh sakit saat kakinya yang tanpa alas terkena batu krikil.

"Uugh."

Ia yakin telapak kakinya terluka. Tapi Mingyu mencoba mengabaikannya. Tujuannya adalah kantor panti yang terletak di sebelah asrama mereka. Dan langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pot bunga.

Beberapa hari yang lalu, ia ingat ada seorang wanita yang menyumbangkan bunga. Dan ia mengambilnya setangkai. Meski ia tahu akan mendapat omelan bahkan hukuman, tapi ia tetap melakukannya.

Setelah mendapat apa yang ia cari, Mingyu kembali berlari. Menaiki kursi yang ia bawa dari samping kantor panti asuhan.

Bocah berusia delapan tahun itu berlari tanpa memedulikan nafasnya. Dahinya tampak berpeluh di tengah malam musim panas itu. Dan telapak kakinya yang terasa semakin sakit, ia abaikan begitu saja.

"Wonwoo." Untuk ketiga kalinya Wonwoo terlonjak karena ulah Mingyu. Tiba-tiba berdiri di dekatnya dengan menyodorkan setangkai bunga.

"Untukku?" Wonwoo menerimanya ragu-ragu. Mingyu mengangguk dengan menetralkan nafasnya. Duduk di samping Wonwoo yang memandangnya kebingungan.

"Baekap?" tanya Wonwoo lagi. Ia memandang bunga di tangannya dan wajah Mingyu bergantian. Mingyu hanya mengangguk cepat.

"Tapi untuk apa baekap ini? Aku juga bukan perempuan yang suka bunga seperti ini."

Baekap adalah bunga bakung. Atau yang lebih dikenal dengan bunga lily. Bunga yang memiliki tangkai kokoh itu mengeluarkan aroma harum. Memiliki tiga daun bunga berwarna putih yang sangat cantik.

"Aku belum bisa membelikan kado ulang tahun. Jadi aku memberikan bunga itu. Kata eomma, setiap bunga memiliki arti. Jadi bisa diberikan pada siapa saja."

"Kalau begitu, mulai saat ini aku akan menyukai bunga ini."

Mingyu tertegun mendengarnya. Ia kira Wonwoo akan membuangnya karena tidak menyukai bunga. Ia justru tersenyum dengan begitu tulus.

"Mingyu-ya, terima kasih hadiahnya. Ini pertama kalinya aku mendapatkan hadiah di ulang tahunku."

Meski kalimat itu cukup menyedihkan, tapi Wonwoo mengucapkannya dengan wajah ceria seperti biasa. Dan seingatnya, Wonwoo belum pernah menampilkan wajah sedih di depannya. Ia tidak tahu, apakah Wonwoo tidak memiliki perasaan sedih, atau karena Wonwoo sengaja menutupinya. Tapi yang ia tahu, anak kecil akan bersedih setiap apapun yang membuatnya bersedih.

"Appa... eomma... kalian lihat ini? Won-ie diberi setangkai bunga. Ini hadiah ulang tahun pertama yang Won-ie dapatkan." Wonwoo kembali mendongakkan kepalanya. Berbicara seolah-olah bisa melihat kedua orang tuanya.

"Tahun berikutnya... berikutnya... dan berikutnya lagi, kita akan merayakan bersama-sama. Karena aku pasti akan menyiapkan sebuah kado."

Wonwoo tidak bisa tidak bahagia mendengar janji itu. Untuk pertama kalinya, ia mendengar sebuah janji yang sangat ingin ia dengar. Dan kali ini ia tidak akan kesepian lagi setiap ulang tahunnya. Karena sudah ada Mingyu yang Tuhan kirimkan untuknya.

"Aku jadi tidak sabar ulang tahun lagi," ujar Wonwoo dengan polosnya. Ia tersenyum senang memandangi baekap di tangannya. Namun beberapa detik kemudian, raut wajahnya berubah. Senyumnya menghilang tanpa jejak.

"Lalu bagaimana dengan ulang tahunmu? Kapan kau berulang tahun?" tanyanya. Mingyu memberikan cengiran lebarnya. Menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Aku sudah melewatkannya. Aku lupa," jawabnya yang membuat mata Wonwoo melotot.

"Bagaimana kau bisa lupa? Hari kelahiran itu sangat penting."

"Ya hanya lupa."

"Ya sudahlah. Tahun depan kita akan merayakannya bersama-sama."

"Janji?"

"Janji."

Dan akhirnya, jari kelingking mereka saling bertaut. Kembali membuat janji di tengah malam musim panas itu.

.

.

Waktu bergulir begitu cepat. Suka tidak suka, manusia tidak ada yang mampu mengaturnya. Hanya mampu mengikuti untuk menjalani kehidupan. Begitu pula dengan bocah berusia delapan tahun itu. Selama setahun berada di panti asuhan, membuatnya menjadi pribadi yang lebih mandiri. Bersama Wonwoo, ia menjalani kehidupannya seperti anak-anak lainnya.

Bermain, sekolah, belajar, semuanya ia lakukan dengan suka cita. Meski lagi-lagi ia belum bisa menerima kehadiran orang lain selain Wonwoo, tidak membuatnya kesulitan. Baginya, Wonwoo sudah lebih dari cukup. Ia tidak menginginkan siapapun selagi ada Wonwoo bersamanya.

Siang ini, ia tengah duduk di ranjang kamarnya. Seorang diri tanpa ada seorangpun yang menemaninya. Berulang kali merotasikan bola matanya, menggigit bibir bawahnya dan bergumam sesuatu.

"Hem... apa tidak ada lagi?" monolognya. Buku di pangkuannya ia angkat tinggi-tinggi. Memperhatikan sembari berpikir keras.

"Ahh... bermain hujan!" ia berseru senang. Tapi sedetik berikutnya ia menghela nafas.

"Wonwoo tidak bisa hujan-hujanan," keluhnya.

Saat ini, ia tengah mencatat semua kegiatannya bersama Wonwoo. Kegiatan yang pernah dilakukan dan yang akan dilakukan. Ia sengaja melakukannya untuk menunjukkannya pada Wonwoo. Dengan begitu, mereka akan melakukannya tanpa ada yang terlupa.

Selama setahun, sudah banyak hal yang mereka lakukan bersama. Ia ingin melakukannya lagi. Dan masih banyak juga yang belum pernah mereka lakukan. Ia yakin dari hari ke hari, ia bisa melakukan semuanya bersama Wonwoo.

"Besok, aku akan mengajak Wonwoo makan tteokbokki, eomuk, dan juga tteok. Ahh... iya, kami juga belum pernah makan kkultarae bersama. Dan jjajangmyeon, soondubu, dan sannakji juga harus kami coba."

Tapi sepertinya, bocah tampan itu tidak puas dengan hasilnya sendiri. Ia juga mengacak rambutnya dan mendesis sebal.

"Kenapa banyak sekali tentang makanan?" keluhnya sendiri.

.

.

Di sebuah rumah mewah nan elit, seorang anak laki-laki duduk dengan tidak sabar. Berulang kali menoleh ke arah tangga. Berharap orang yang sejak tadi ia tunggu menampakan wujudnya.

"Eomma... appa... cepat," teriaknya.

"Tuan muda tidak boleh berteriak." Wanita berusia empat puluh tahun berbicara dengan lembut. Tampak khawatir melihat anak kecil di depannya.

"Eomma... appa...." Ia kembali berteriak. Dan kali ini usahanya berhasil. Seorang wanita cantik dengan rok berwarna pastel berjalan tergesa.

"Sabar sayang. Jangan berteriak seperti itu."

Tidak lama setelahnya, seorang laki-laki berpakaian formal menyusul. Membuat senyum anak itu merekah. Ia langsung berlari keluar mendahului kedua orang tuanya.

"Soonyoung sayang. Jangan lari-lari," ibunya kembali menegur penuh kekhawatiran.

"Yeobo." Ia menoleh pada suaminya. Wajah cantiknya melukiskan kecemasan yang tidak bisa ditutupi.

"Tidak apa-apa. Soonyoung sudah berjanji tadi malam." Sang suami mencoba tersenyum. Merangkul istrinya dan menyusul anak mereka yang sudah berada di mobil.

"Eomma, biarkan Soonyoung-ie yang memilihnya."

Bocah berusia sembilan tahun itu berseru senang dari tempat duduknya. Ibunya tidak langsung menjawab. Memandang suaminya yang juga ikut memandangnya. Setelahnya, ia mengangguk dan tersenyum lembut.

Selama perjalanan Soonyoung kecil tidak henti-hentinya terus berceloteh. Terkadang ia bernyanyi saat tidak ada yang ingin ia ucapkan. Kedua orang tuanya tersenyum senang melihat anaknya yang begitu ceria.

Setelah sampai di tempat tujuan, Soonyoung lebih dulu keluar dari mobil. Mata sipitnya berbinar memandangi bangunan di depannya. Sang ibu terpaksa memegangi tangannya agar ia tidak pergi jauh.

Ia tidak bertanya kemana langkah kedua orang tuanya. Hanya diam mengikuti di samping sang ibu. Meski menjadi pusat perhatian anak-anak kecil, tidak membuatnya terganggu. Ia justru tersenyum dengan begitu ramahnya.

"Selamat siang... ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita berusia tiga puluh tahun tersenyum ramah. Menyapa sepasang suami istri dengan penampilan begitu elegan.

"Saya ingin berbicara dengan kepala panti ini," jawab sang suami.

"Mari saya antar!"

Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sampai di sebuah ruangan yang terlihat rapi dari ruangan lainnya. Soonyoung melepaskan genggaman tangan ibunya karena menolak masuk. Ia lebih memilih di luar yang ditemani salah satu penjaga panti.

Sifat anak-anak yang ada pada dirinya, membuatnya tidak betah berdiam diri. Ia berjalan menjauh yang masih diikuti wanita yang bersamanya.

Tanpa mengenal lelah, ia terus berjalan mengelilingi panti. Memperhatikan anak-anak yang tengah bermain di berbagai tempat. Ada yang melakukan permainan melingkar, berkejar-kejaran, atau hanya sekedar duduk dan bermain boneka.

Ia tidak lagi bersama wanita penjaga panti. Seseorang di ujung jalan memanggil wanita itu dan meninggalkannya. Karena tidak melihat jalan, ia jatuh tersandung batu.

"Ugh... sakit." Ia mengeluh sakit saat merasakan telapak tangannya berdenyut. Tidak terluka, hanya memerah dan membekas batu kecil.

"Kau tidak apa-apa?"

Ia mendongak. Mendapati seorang anak seusianya berdiri di depannya. Bukannya berdiri, ia justru memilih duduk di rerumputan.

"Tanganku sakit," ucapnya sambil menunjukkan tangannya yang memerah.

"Kemarikan tanganmu!"

"Huh!" meski bingung, Soonyoung tetap melakukannya. Mengulurkan tangannya yang langsung disambut anak di depannya. Ia sudah berjongkok mensejajarkan tinggi mereka.

"Kenapa tanganmu dingin?" tanyanya bingung. Anak yang tidak ia tahu namanya menyatukan telapak tangan mereka berdua. Meski saat ini musim dingin, ia tidak pernah menyentuh telapak tangan sedingin itu.

"Tadi aku membantu mengompres teman yang terluka."

Soonyoung bergidik. Bukan karena membayangkan luka itu. Tapi membayangkan bagaimana dingin yang bocah itu rasakan. Tanpa memegang air es, mereka sudah merasa kedinginan.

"Karena tanganku dingin, aku bisa mengompres tanganmu dengan ini supaya tanganmu tidak sakit lagi."

Soonyoung tidak peduli apa yang bocah itu lakukan bisa menyembuhkan atau tidak. Yang ia tahu, ia sangat suka saat anak itu menyentuh tangannya. Ia sangat suka saat anak di depannya tersenyum dan menatapnya. Rasanya, ia tidak perlu canggung meski baru pertama kali bertemu.

Ia mendongak saat anak itu tiba-tiba berdiri. Mengulurkan tangannya yang membuat kedua alisnya saling bertaut.

"Walaupun salju belum turun, tapi kau bisa kedinginan duduk di rumput seperti itu."

Seolah mengerti apa yang anak itu maksudkan, Soonyoung menyambut uluran tangannya. Berdiri dan membersihkan celananya dari rumput.

"Wonwoo-ya." Keduanya sama-sama menoleh ke asal suara.

"Bisa bantu eomma sebentar?" pinta seorang wanita tua yang membawa tumpukan buku. Bocah di depan Soonyoung langsung mengangguk.

"Jangan sampai jatuh lagi ya," pesannya sebelum berlari meninggalkan Soonyoung.

Soonyoung mengedarkan pandangannya. Ternyata, ada beberapa anak yang melihatnya saat terjatuh tadi. Tapi hanya Wonwoo yang mendekati dan menolongnya. Sifat anak-anak yang malu berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal. Namun berbeda dengan Wonwoo. Bahkan bocah itu membuatnya nyaman meski itu adalah interaksi pertama mereka.

Ia kembali melanjutkan langkahnya. Menyembunyikan kedua tangannya di saku mantel berbulu miliknya. Namun suara ibunya membuat tubuhnya berbalik.

Ia berlari ke arah ayah dan ibunya. Membuat wanita cantik itu tampak cemas melihat pergerakannya. Dan langkahnya langsung terhenti melihat kehadiran orang lain. Bukan penjaga panti seperti yang ia lihat beberapa saat yang lalu. Melainkan seorang anak kecil yang sedikit lebih besar darinya.

"Sayang, lihatlah! Eomma sudah menemukan teman untukmu. Mulai saat ini dia akan menjadi temanmu di rumah."

Soonyoung kecil memundurkan langkahnya. Menggeleng keras yang membuat kedua orang tuanya bingung. Ekspresi yang ia tunjukkan menjelaskan kalau ia tidak menyukai pilihan orang tuanya.

"Soonyoung-ie tidak mau. Soonyoung-ie yang akan mencarinya sendiri. Eomma sudah berjanji akan membiarkan Soonyoung-ie yang memilihnya." Soonyoung terus menggeleng dan berteriak tidak setuju.

"Tapi sayang, kita tidak bisa lama-lama di sini. Kita harus segera pulang." Ibunya mencoba menjelaskan dengan lembut. Namun tidak memudarkan pendirian bocah berkulit putih itu.

"Tidak mau! Tetap tidak mau. Soonyoung-ie tidak mau." Ia kembali berteriak untuk kedua kalinya yang membuat sang ibu semakin panik.

"Yeobo, lakukan sesuatu! Jangan sampai anak kita seperti kemarin," pinta ibu Soonyoung pada suaminya. Laki-laki mendesah. Menepuk tangan istrinya dan mencoba tersenyum.

"Iya sayang iya. Kita akan cari lagi. Tapi eomma mohon jangan berteriak seperti itu, nak." Ucapan sang ibu membuat bocah itu tersenyum senang. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak menemukan yang dicari, ia menarik tangan ibunya untuk mengikuti langkahnya.

.

.

"Selesai!"

Mingyu berseru senang. Tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Semua kegiatan yang ingin ia lakukan bersama Wonwoo, sudah ia tulis di atas kertas putih. Yang perlu ia lakukan, menunjukkannya pada Wonwoo. Dan setelah itu, mereka akan melakukannya bersama-sama di hari-hari berikutnya.

"Aku baru sadar Wonwoo tidak terlihat sedari tadi," gumam Mingyu menelisik isi kamarnya. Bahkan tidak ada dua temannya yang lain.

Mingyu tidak langsung beranjak. Masih duduk di ranjang memandangi hasil kerjanya. Tangannya terulur untuk menggapai sebuah pena. Menuliskan beberapa kata di sudut atas kertas.

"Wonwoo pasti senang membacanya," gumamnya sambil tersenyum. Namun senyum itu hanya bertahan beberapa detik.

"Apa Wonwoo sedih karena aku tidak pernah memanggilnya hyung?" batin Mingyu. Ia teringat saat Wonwoo memintanya memanggil hyung. Namun ia selalu menolak. Dan pada akhirnya, Wonwoo menyerah untuk memaksanya. Hanya sesekali saja Wonwoo meminta saat mereka tengah tidur bersama.

"Aku takut memanggilmu hyung, Wonwoo-ya. Aku takut kau meningalkanku seperti hyung-ku," batin Mingyu sendu. Ingatannya memaksa menjelajahi waktu. Mengembalikan ke masa-masa duka saat sang kakak meninggalkannya untuk selamanya.

"Tapi kami sudah saling berjanji. Kami akan selalu bersama."

Mingyu langsung berdiri dari duduknya. wajahnya kembali cerah. Ia teringat janjinya dengan Wonwoo beberapa saat yang lalu. Dan sepertinya, ia tidak perlu merasa takut. Karena memang ia hanya anak kecil yang tidak tahu tentang takdir Tuhan.

"Mingyu."

Brak!

Ia berjengit saat seseorang membuka pintu dengan kasar. Teman sekamarnya berdiri di depannya dengan nafas terengah-engah. Membuat Mingyu mengerutkan dahinya bingung.

"Mingyu... Wonwoo." Anak itu masih terengah-engah. Hanya jari telunjuknya yang mengarah ke luar kamar.

"Wonwoo akan diadopsi."

Mata Mingyu langsung membulat. Untuk ketiga kalinya, ia merasakan sulit bernafas. Jantungnya berdegup kencang hingga membuatnya sesak. Bahkan ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar.

"Karena sepertinya sangat menyenangkan bisa memiliki appa dan eomma."

"Kenapa tidak mau? Kau bisa membeli baju dan mainan yang bagus. Aku saja selalu ingin mendapatkan orang tua"

Kalimat Wonwoo yang kembali terekam di ingatannya, membuat matanya memanas. Tubuhnya terasa begitu lemas. Hanya sekedar menggenggam kertas, ia tidak mampu. Kertas yang akan ia tunjukkan pada Wonwoo, terjatuh begitu saja ke lantai.

Tanpa mengatakan sepatah katapun, Mingyu berlari keluar kamar. Menabrak temannya sekamarnya yang masih berdiri di depan pintu. Kakinya yang terasa lemas ia paksakan untuk berlari.

Meski berulang kali terjatuh, Mingyu tetap bangun dan kembali berlari. Ia yakin lutut dan telapak tangannya terluka, tapi Mingyu tidak peduli. Yang ia inginkan adalah bertemu Wonwoo. Memastikan kalau temannya hanya berbohong. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya yang ia miliki di dunia.

Langkahnya berhenti saat onix kembarnya menangkap seseorang yang ingin ia temui. Tidak jauh darinya, Wonwoo berdiri dengan seorang anak laki-laki bermantel bulu. Tidak sepertinya yang hanya mengenakan kaos tipis. Ketakutannya kehilangan Wonwoo, membuatnya melupakan tentang musim dingin.

"Wonwoo."

Ia berlari menghampiri Wonwoo yang diam tanpa ekspresi. Ia langsung memeluk bocah yang lebih kecil darinya. Membuat anak di depannya memasang wajah masam.

"Wonwoo, Hyunsik bohong kan? Kau tidak pergi kan? Iya kan?" tanyanya pada Wonwoo tanpa melepas pelukannya. Memeluk dari samping dan memperhatikan Wonwoo yang justru menunduk.

"Wonwoo akan pergi bersamaku." Anak yang tidak Mingyu kenal menggenggam sebelah tangan Wonwoo. Menunjukkan seolah-olah Wonwoo adalah miliknya.

"Tidak boleh! Wonwoo itu milikku." Mingyu menyentak tangan bocah bermantel bulu. Mundur dua langkah menjauhkan Wonwoo dari bocah itu. Masih memeluknya erat seolah takut kehilangan.

"Tuan, kenapa tidak mencoba anak yang lain saja? Disini banyak anak yang seusia dengan anak Anda."

"Maafkan kami Nyonya Shin, tapi ini keinginan anak kami. Soonyoung tidak ingin kalau anak itu bukan Wonwoo."

"Tapi Wonwoo sudah seperti anakku sendiri."

"Saya tahu Anda menganggap semua anak disini adalah anak Anda. Tapi ini adalah hak kami untuk memilih anak mana yang akan kami adopsi."

Tangan Mingyu yang memeluk Wonwoo kembali bergetar. Ia memandangi Wonwoo yang sejak tadi enggan memandangnya.

"Wonwoo-ya, ini bohongkan? Tidak benarkan? Kau tidak akan pergikan? Kita akan tetap di sini bersama-samakan?" tanya Mingyu penuh harap. Suaranya hampir tercekat karena menahan tangis. Ia tidak bodoh untuk tidak bisa mengartikan percakapan dua orang dewasa itu.

Mingyu sekuat tenaga menahan liquid bening dari kedua matanya saat Wonwoo bergeming. Tidak menggeleng apalagi membantah. Hanya terdiam masih dengan menolak menatap wajahnya.

"Mingyu."

Wanita tua yang mereka sebut 'Shin eomma' mendekat. Memasang wajah sendu dengan mata memerah. Seolah mengerti, Mingyu menggelengkan kepalanya. Memeluk Wonwoo semakin erat meski tubuhnya terasa lemas.

"J-Jangan... jangan eomma." Perlahan, air mata Mingyu meluncur bebas. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia kembali menangis.

"Eomma... jangan biarkan mereka membawa Wonwoo." Bocah berusia delapan tahun itu memohon dengan terisak pedih. Namun wanita itu tidak mampu menjawab. Hanya diam sesekali menghapus setitik air mata di sudut matanya.

Semua yang berada di panti asuhan tahu Mingyu sangat menyayangi Wonwoo. Mereka semua tahu Mingyu sangat bergantung pada Wonwoo. Bahkan hanya dengan Wonwoo, Mingyu mau bersikap terbuka. Semua yang ada di kehidupannya, seolah tidak bisa lepas dari Wonwoo.

Sebagai wanita yang menjadi ibu mereka, ia paham bagaimana perasaan Mingyu. Tapi ia tidak memiliki kuasa untuk menolak. Karena ia tahu, proses adopsi akan membuat masa depan anak terjamin. Hanya dengan diadopsi mereka bisa memiliki orang tua.

Mingyu tidak tahu sudah berapa menit ia memeluk Wonwoo. Yang ia tahu, salah satu penjaga panti sudah membawa tas berwarna hitam. Tas yang ia tahu berisikan pakaian Wonwoo.

"Itu... itu... bukan baju Wonwoo kan eomma? Iya kan eomma?"

Wanita itu membuang wajahnya saat melihat Mingyu. Ia tidak bisa dihadapkan dengan pertanyaan bocah itu. Melihat ketakutan dan air mata di onix kembar Mingyu membuatnya berpaling.

"Eomma, Won-ie mau ke kamar. Ada yang ingin Won-ie ambil."

Mingyu tertegun saat Wonwoo melepas pelukannya. Berjalan menjauhinya dengan kepala menunduk. Tanpa memandang sama sekali. Apalagi mengucapkan sepatah kata.

Mingyu membatu di tempatnya berdiri. Hanya diam memandangi kepergian Wonwoo. Ingin berucap tapi lidahnya terlalu kelu. Kepergian Wonwoo seolah menjawab semua pertanyaannya. Wonwoo seolah menegaskan kalau bocah itu bersedia diadopsi. Pergi dengan keluarga baru dan meninggalkannya.

Ia baru bergerak saat Wonwoo kembali terlihat.

"W-Wonwoo... tidak boleh... tidak boleh pergi." Mingyu menangis terisak sambil mendekati Wonwoo yang berjalan ke arahnya. Melarang Wonwoo untuk semakin menjauh.

Tapi hatinya semakin hancur saat Wonwoo mengalihkan tangannya. Melewatinya begitu saja tanpa memandangnya. Berjalan mendekati dua orang dewasa yang akan membawanya.

Mingyu tidak tahu apa saja yang orang dewasa itu bicarakan. Fokusnya hanya pada Wonwoo. Menatap punggung Wonwoo yang sama sekali enggan menoleh. Tidak ingin menyerah, Mingyu kembali mendekati Wonwoo. Memeluk bocah itu dan menangis pilu. Menunjukkan pada Wonwoo kalau ia tidak ingin kehilangannya.

"Jangan pergi... jangan pergi... jangan pergi." Ia terus meracau. Tanpa memedulikan wajahnya yang beruraian air mata. Dadanya sampai terasa sakit karena terisak begitu pilunya.

"Nak, lepaskan Wonwoo ya. Wonwoo harus pergi dengan keluarga barunya."

Saat pelukan itu dilepas dengan paksa, ia menangis histeris. Memanggil Wonwoo yang masih tidak mau melihat ke arahnya.

"Wonwoo jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Wonwoo tidak boleh pergi." Ia menangis sambil mencoba mengejar Wonwoo. Namun penjaga panti menahan tubuhnya. Memeluknya erat yang juga ikut menangis sepertinya.

Tangan mungilnya terulur. Mencoba menggapai Wonwoo yang berjalan menjauhinya. Meski Wonwoo berjalan begitu lambat, jarak mereka semakin nyata. Membuat ketakutan Mingyu semakin menjadi.

Ia terus menagis dan memberontak. Meski tenggorokannya terasa sakit. Dadanya terasa begitu perih menahan lukanya, tidak ada yang menolongnya. Hanya diam memandangi Wonwoo yang perlahan-lahan semakin menjauh.

"Wonwoo... aku mohon. Aku mohon jangan pergi. Aku bermain dengan siapa kalau kau tidak ada?" Wonwoo masih bertahan dalam diamnya.

"Kau ingin aku panggil hyung kan? Aku akan memanggilmu hyung mulai saat ini, jadi kau jangan pergi." Usahanya masih sia-sia. Yang ia dapat hanya jarak yang semakin jauh.

"Eomma... jangan biarkan Wonwoo pergi. Wonwoo harus bersama Gyu di sini. Tolong eomma, tolong Gyu sekali ini saja. Tolong bawa Wonwoo kembali."

Para penjaga panti tidak kuasa menahan air mata. Selama ini, sudah banyak anak datang dan pergi. Namun baru kali ini begitu menyedihkan saat melepaskan seorang anak. Mereka sangat menyayangi Wonwoo yang memang berada di panti sejak bayi. Apalagi dengan kedekatan Mingyu dan Wonwoo. Dua anak yang seolah tidak pernah terpisahkan.

"Jangan menangis lagi Mingyu-ya. Wonwoo akan baik-baik saja di sana. Masih ada eomma dan teman-teman yang lain." Mingyu menggeleng. Bukan kalimat itu yang ingin ia dengar. Karena yang ia inginkan hanya Wonwoo-nya kembali.

"Tidak mau... Gyu hanya mau Wonwoo. Kembalikan Wonwoo-ku eomma."

Seolah tidak kehabisan tenaga, Mingyu terus menangis dan memberontak. Meski tenaganya hanya berbuang percuma. Tidak bisa membuat Wonwoo menoleh. Apalagi mengembalikan Wonwoo ke sisinya.

"Kau sudah berjanji padaku. Kita sudah membuat janji untuk tetap bersama. Kalau kau pergi, harus dengan siapa aku bercerita saat aku bersedih? Siapa yang akan membagikan lauknya padaku? Siapa yang membangunkan aku tidur? Wonwoo... aku mohon jangan pergi. Aku mohon tetap di sini."

Wonwoo tidak lagi bisa mendengar suara Mingyu. Jarak mereka sudah semakin menjauh. Bahkan ia sudah berada di depan pintu mobil. Berdiri menunduk dengan sebelah tangan memegangi benda di saku coat-nya.

"M-Mingyu... Mingyu... Mingyu."

Suara Wonwoo bergetar. Sambil meracaukan nama Mingyu, setetes air mata membasahi pipi putihnya. Wajahnya begitu sedih dan terluka. Untuk pertama kalinya, Wonwoo menampakkan wajah sedihnya. Dan untuk pertama kalinya, mata yang biasa berbinar cerah itu mengeluarkan liquid bening.

.

.

=TBC=

Kok aku baper sendiri ya ngetiknya? :D

Mood ku seperti roller coaster. Kemaren aku udah mutusin berhenti nulis dulu. Mau menikmati jadi pembaca aja. Jadi tinggal baca dan review ff. Tapi karena MEANIE yang buat anak gadis orang jejeritan, fantasiku jadi kemana-mana. Ide ff berseliweran di kepalaku. Mereka memang bener-bener racun. Aku benci mereka berdua yang buat aku hampir kehabisan nafas. Liat foto mereka yang matanya ditutup, aku hampir lupa kalau Wonu itu cowok. Hahaha :D Dia terlalu cancik. Duh gusti... kalau aku jalan bedua ma Wonu, pasti dia yang digodain abang tukang ojek. #plak

Aku udah buat ff Soonwoo seperti yang aku janjikan. Aku juga udah buat beberapa ff Meanie karena melihat video nista mereka. Begitu juga 'Yang Tersembunyi' last chap, sequel 'Waiting' 'My Girl' ch 2. Trus apa lagi ya? Banyak lah. Hehehe :D Jadi jangan heran kalau besok aku update terus. Tapi mood-ku lagi ga bener. Rencananya aku mau post sebagian ff ku di WATTPAD. Meski aku belum meninggalkan ffn sepenuhnya, tapi aku ga jamin post cerita baru di sini. Semua tergantung gimana mood-ku.

Untuk saat ini memang belum aku post di wattpad. Tapi bagi yang mau baca kali aja aku post, follow aja Nathania1721