Counting Days – 1 : Stuck

Direct by : Hummingyu

Written by : Crypt14


Aku tidak dapat mengingat dengan pasti, bagaimana semua kekacauan ini bermula.

Pemuda itu membuka kedua matanya. Terpaan sinar redup dari matahari diluar sana berusaha merangsek masuk dari jendela kecil yang berada didalam kamar sempitnya. Ia mendengus, menghembuskan nafas panjang. Beranjak guna merubah posisinya menjadi terduduk di atas ranjangnya. Sesaat menggaruk belakang kepalanya. Pemuda itu kembali mendengus, menatap pada jendela kecil yang berada tepat diatas kepala kasurnya. Membangkitkan tubuhnya hanya untuk mendekat pada permukaan jendela yang tampak sedikit berembun. "Salju pertama sudah turun rupanya." Gumamnya singkat. Kedua iris mata pemuda itu masih menatap pada jalan kota yang tampak begitu penuh. Ia mendecih, menatap dengan pandangan muak pada kumpulan mayat berjalan yang terus menggeram itu. "Sampai kapan mayat-mayat itu akan terus berada disana." Ujarnya pelan. Kim Mingyu, pemuda berkulit kecoklatan itu masih menatap pada kumpulan mayat berjalan yang memenuhi blok perumahan yang di huninya kini. Sesekali mendengus saat rasa jengkel yang sejak empat hari yang lalu terus di tahannya. Pemuda itu terjebak di dalam kamarnya sendiri saat wabah yang hingga saat ini masih belum di pahaminya merebak dengan cepat di kota tempat tinggalnya.

Pemuda itu nyaris terjungkal dari tempat tidurnya saat salah satu dari mayat hidup itu secara tiba-tiba berada tepat diseberang jendela kamarnya yang tertutup rapat. Menggeram tertahan yang membuat Mingyu nyaris kehilangan denyut jantungnya. "Bang*at!" Umpatnya kesal. ia merangkak mundur, berusaha mencari sesuatu untuk menutupi jendela kamarnya yang kini tengah di garuk oleh mayat hidup itu. Meraih sebuh majah dewasa yang sengaja di sembunyikannya di kolong ranjangnya, setelahnya menutupi jendela kamarnya dengan benda tersebut. Mingyu menghela nafas kasar, terbaring seraya menatap pada langit-langit kamarnya. Pemuda itu jatuh pada lamunannya sendiri.

Suara benturan terdengar cukup keras dari luar kamarnya. Mingyu mengalihkan pandangannya sejenak pada pintu kamarnya yang terkunci rapat, setelahnya kembali menatap pada langit-langit kamarnya. "Sampai kapan aku akan terjebak disini?" Gumamnya lirih. Ia beranjak, kembali mendudukan tubuhnya seraya mengalihkan pandangannya pada kotak donat yang teronggok begitu saja di lantai kamarnya. Menarik tubuhnya menuju kotak donat yang masih tersisa 2 potong itu. Ia kembali menghela nafasnya, menatap 2 potong donat dimana toppingnya sudah sepenuhnya melumer. Salah satu tangannya tergerak guna meraih sepotong donat dari kotaknya. "Hanya tinggal ini, aku harus sedikit berhemat setidaknya sampai bantuan datang." Ujarnya pelan setelahnya mengambil sebuah gigitan kecil pada donat yang berada di tangannya itu. Mingyu tampak mengunyahnya perlahan, berusaha membuat perutnya merasa kenyang hanya dengan sebuah gigitan kecil. Kembali meletakkan potongan donat yang sebelumnya berada di genggamannya pada kotaknya kembali. Mingyu kembali menghela nafas, namun sedikit terdengar berat kali ini. Beranjak mundur guna menyandarkan punggungnya pada kaki ranjangnya.

"Apakah aku akan mati." Terdengar kekehan samar dari balik bibirnya. Pandangan pemuda itu masih terjatuh pada lantai kamarnya. Sebuah senyuman miris tampak jelas pada garis bibirnya. Mingyu mengusap wajahnya gusar. Sejujurnya, pemuda itu merasa begitu khawatir dengan keadaan yang tengah di hadapinya sekarang. Ia sudah terjebak empat hari di dalam kamarnya sendiri dengan segala keterbatasan. Ia hanya memiliki 2 potong donat yang dibelinya nyaris enam hari yang lalu untuk bertahan dan setengah botol air mineral sisa. Pasokkan listrik dan air sudah mati sejak dua hari kekacauan terjadi. Mingyu nyaris putus asa pada keadaannya sendiri. Pemuda itu tidak bisa keluar dari kamarnya karena terkepung oleh kumpulan mayat hidup yang kini sudah memenuhi rumahnya, itu akibat ibunya yang pergi keluar begitu saja tanpa menutup pintu rumahnya saat berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat seluruh mayat hidup itu merangsek masuk kedalam kediamannya. Beruntung Mingyu mengunci pintu kamarnya saat itu, jika tidak pemuda itu tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya saat ini.

Pemuda itu kembali menatap langit-langit kamarnya, terlarut pada angan-angannya sendiri. Rasa nyeri yang perlahan timbul dari perutnya seakan tidak menganggu pemuda itu sedikitpun. Mingyu menghela nafas pelan, meremas perutnya keras. Rasa sakit yang menyeruak di ulu hatinya tampak belum mau menyerah untuk mengganggunya. Pemuda itu beranjak, meraih botol air mineral yang berada di atas meja lampunya. Menenggak air yang berada di dalamnya, berharap rasa sakit dari asam lambung yang di deritanya itu sedikit berkurang. Mingyu terbatuk pelan, berusaha menahan rasa nyeri yang semakin menguat. Suara geraman serta benturan dari luar kamarnya terdengar memenuhi gendang telinganya. Membaringkan tubuhnya di atas lantai dingin kamarnya, menatap nanar pada pintu kamarnya yang masih terkunci. Ia masih meremas kuat perutnya, membuat t-shirt yang digunakannya tampak kusut. Mingyu begitu putus asa, asam lambungnya terus menerus kambuh membuat ia sedikit merasa kesulitan. Pemuda itu menutup matanya sejenak, namun gebrakan pada pintu kamarnya membuat Mingyu dengan cepat kembali membuka kedua iris matanya. Geraman kasar serta pukulan keras pada permukaan pintu kamarnya membuat rasa ngeri seketika menyeruak memenuhi rongga dadanya. Mingyu memahami bahwa terus berada didalam kamarnya tidak menjamin keselamatan apapun untuk dirinya. Hanya dua kemungkinan yang akan di terima olehnya jika ia masih berada di dalam kamarnya, mati kelaparan atau mati di tangan sekumpulan mayat hidup yang cepat atau lambat akan mampu mendobrak pintu kamarnya itu dan merangsek masuk untuk membunuhnya. Mingyu beranjak, memaksakan tubuhnya untuk bangkit dari tempatnya. Memanjat ranjangnya guna mendekat pada jendela kamarnya. Sesaat ia mengintip pada balik majalah dewasa yang digunakan untuk menutupi jendela itu, setelahnya melepasnya hanya untuk menatap pada jalan disekitar tempat tinggalnya. "Bang*at! Mereka masih memenuhi jalan." Umpatnya kesal di sertai ringisan akibat rasa perih pada ulu hatinya yang masih belum mereda.

Suara gebrakkan semakin terdengar keras dari balik pintu kamarnya membuat degub jantung pemuda itu meningkat dari keadaan normal. Mingyu tidak akan menampik rasa ngeri yang begitu menghantuinya saat ini. Pemuda itu memutar otaknya, berusaha mencari solusi dari keadaanya saat ini. Suara gebrakkan yang semakin keras membuat Mingyu kembali mengumpat. Pemuda itu beranjak, membuka kunci pada jendelanya, membuka kaca itu dengan sangat perlahan berusaha untuk tidak menarik perhatian para mayat hidup itu. Ia menarik dirinya sendiri untuk meloncati jendela kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya, sejenak menatap pada rumput yang berada di bawah sana. Mingyu mengukur dengan pasti jaraknya untuk mendarat. Pemuda itu menarik nafasnya dalam setelahnya membuangnya sebelum melompat dari balik jendelanya.

Ia nyaris berteriak keras saat kakinya terpeleset ketika meloncat dari balik jendelanya, membuat bunyi retakkan cukup keras pada pergelangan kakinya. Ia membekap mulutnya sendiri, menekan pada pergelangan kakinya. Rasa sakit yang begitu kuat menggantung pada pergelangan kakinya kini, ia meringis menatap pada pergelangan kakinya yang tampak sedikit berubah posisi. "Bang*at! Kali ini aku pasti mati." Gumamnya lirih, ia benar-benar menangisi keadaannya saat ini. Mingyu merasa begitu putus asa, ia mengetahui dengan pasti bahwa kaki kirinya tidak akan mampu untuk di paksakan berjalan. Beberapa kali isakkannya terdengar cukup keras yang tanpa di sadarinya mulai memancing para mayat hidup untuk bergerak kearahnya.

Mingyu bersumpah bahwa ia yakin hari ini akan menjadi hari kematiannya. Kedua iris matanya menatap penuh kengerian pada kumpulan mayat hidup yang bergerak dengan cepat menujunya. Mingyu berusaha bangkit guna menjauh namun pemuda itu kembali tersungkur dengan keras. "Ibu, ku mohon tolong aku." Lirihnya masih menatap ngeri pada kumpulan mayat hidup yang terus bergerak cepat menujunya. Mingyu nyaris mati karena rasa takutnya sendiri sebelum sebuah letusan dari senjata api membuatnya dapat mengambil nafas lega sejenak. Para mayat hidup yang sebelumnya bergerak menujunya terhenti, dan berbalik guna mengejar sumber suara dari letusan senjata api tersebut. Seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya hanya memandang dengan tatapan datar pada kumpulan mayat hidup yang kini berlarian menujunya. Seakan tidak pernah ada rasa takut dalam diri pemuda berkulit putih itu, ia hanya berdiri diam pada tempatnya menunggu para mayat hidup itu bergerak semakin mendekatinya. Mingyu menahan nafasnya, manatap ngeri pada pemuda itu. Menunggu apa yang akan terjadi pada pemuda yang di yakini olehnya seumuran dengannya.

Suara letusan senjata api kembali terdengar bersahutan seiring dengan semakin banyaknya mayat hidup yang bergerak menuju pemuda berkulit putih itu. Mingyu terdiam, hanya menatap pada kejadian di hadapannya. Begitu banyak mayat hidup yang tersungkur dengan lubang di kepalanya sesaat setelah pemuda dengan senjata api itu mengarahkan bidikan senapannya. Pemuda berkulit tan itu masih terdiam pada posisinya, hanya menyaksikan bagaimana pemuda lainnya dengan begitu sigapnya melawan puluhan atau mungkin ratusan mayat hidup yang mengerubuninya saat ini. Keadaan yang sebelumnya hanya di lihat pada beberapa film action yang di tontonnya.

Pemuda berkulit putih itu berlari cukup cepat menuju Mingyu. Sejenak mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Mingyu. "Sudah cukup terpananya, aku rasa ini saatnya untuk lari." Ujar pemuda itu setelahnya menarik salah satu dari pergelangan tangan Mingyu untuk di kalungkan pada bahunya. Membantu pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu untuk menjauh dari keadaan yang sangat beresiko.

.

"Sudah cukup untuk memperhatikan ku seperti itu. Kau punya pertanyaan untuk di ajukan?" Mingyu masih terdiam, kedua manik matanya hanya memandang lurus pada pemuda kurus yang kini berdiri membelakanginya seraya menatap pada jendela besar ruangan itu. "Sepertinya wajah mu cukup familiar." Ucap Mingyu tenang, pemuda itu sesekali tampak meringis saat rasa nyeri yang begitu kuat menghantam pergelangan kakinya kembali. Wonwoo, pemuda berkulit putih itu terkekeh pelan sesaat, setelahnya terdengar hembusan nafas panjang dari belah bibirnya. "Tetangga baru mu, Jeon Wonwoo." Setelahnya Mingyu membulatkan matanya, masih menatap pada Wonwoo yang kini berbalik menatapnya dari balik iris mata tajamnya. "Oh, pantas saja wajah mu begitu familiar. Kau salah satu anak dari keluarga Jeon rupanya. Tunggu, bukan 'kah mereka hanya memiliki satu anak?" Ujar Mingyu kembali. Wonwoo terdiam sesaat, air mukanya secara perlahan berubah. Pemuda yang memiliki warna kulit kontras dengan Mingyu itu menatap pada lantai yang di pijakinya sejenak sebelum kembali mengangkat pandangannya untuk menatap Mingyu kembali. "Aku baru saja kembali ke Korea."

"Baru saja kembali? Kau mengikuti pertukaran mahasiswa?" Wonwoo menggeleng samar, merubah pandangannya pada jalan kota dari balik jendela besar di belakangnya. "Aku seorang tentara." Ucapnya yang tidak berselang lama membuahkan tawa keras dari balik bibir Mingyu. Wonwoo menoleh, menatap Mingyu dengan pandangan bertanya. Pemuda itu merasa tidak ada satupun kata yang pantas untuk di tertawakan oleh Mingyu. "Tentara? Sense humor mu lumayan juga, tapi aku rasa ini bukan waktu yang tepat." Ujar Mingyu, pemuda itu mengusap sudut matanya yang tampak sedikit berair. Wonwoo terdiam sejenak, hanya melemparkan pandangan datar atas pernyataan mengejek yang Mingyu lontarkan. "Kau berfikir aku membuat lelucon?" Wonwoo berucap dengan nada datar yang di balas anggukkan pasti dari pemuda di seberangnya. "Dilihat dari sudut manapun, siapapun tahu bahwa ucapan mu tadi hanya lelucon semata." Ucap Mingyu. Wonwoo terkekeh pelan, terdengar begitu berbeda dalam nada tawanya. Ia kembali memutar tubuhnya, menjatuhkan pandangannya pada kumpulan mayat hidup yang semakin tampak memenuhi jalan. "Seharusnya aku melemparkan mu pada kumpulan mayat hidup diluar sana tadi."

.

"Kau serius dengan ucapan mu tadi?" Mingyu masih menatap Wonwoo dengan pandangan tak percaya yang hanya mendapat balasan tatapan datar dari pemuda berkulit putih itu. "Maaf aku yakin kau tersinggung tapi jujur saja tidak ada satu poin pun yang membuat mu tampak seperti tentara. Aku justru berfikir kau mengemban ilmu sebagai seorang seniman lukis atau mungkin pujangga yang hanya bisa membuat kata-kata romantis." Ujar Mingyu yang di akhiri dengan kekehan mengejek. Wonwoo tampak tak menggubris ucapan Mingyu, pemuda itu hanya membuang nafasnya pelan seraya meraih kembali senjata api yang berada di atas nakas kayu disisinya. Sejenak menatap pada senapan api di tangannya sebelum mengarahkannya tepat pada dahi pemuda berkulit kecoklatan yang hanya berjarak setengah meter darinya itu. Melemparkan seringaian yang cukup membuat Mingyu membeku sesaat. "Kau tau, Kim. Aku bisa saja melubangi dahi mu saat ini jika kau tidak berhenti berkata yang seakan mengejek ku." Ucap Wonwoo sinis yang sukses membuat seorang Kim Mingyu menelan sulit air liurnya. "Jadi, aku harap kau bisa lebih baik lagi dalam memilih kata-kata untuk di ucapkan padaku." Wonwoo masih mengacungkan moncong senjatanya pada Mingyu. Pemuda berkulit putih itu menyeringai semakin lebar, perlahan menurunkan senjatanya dari arah Mingyu dan memasukkannya pada pinggang celananya.

"Lagi pula, bukankah kau seorang dokter sekaligus peneliti muda terhormat. Apakah itu sikap yang pantas untuk di tunjukkan oleh seorang yang sudah memiliki gelar sebagai seorang professor?" Wonwoo kembali menghela nafasnya, melemparkan tatapan datar pada Mingyu yang masih membeku di tempat. Mingyu terkekeh, menyapu poni dari rambutnya yang menutupi dahinya kearah belakang. Melemparkan seringaian balik pada sosok Wonwoo yang masih menatapnya. "Baiklah, aku mempercayai kau sebagai seorang tentara karena sifat mu. Disamping itu, aku juga meminta maaf untuk ucapan merendahkan ku." Ujar Mingyu santai. Pemuda berkulit kecoklatan itu kembali meringis pelan saat rasa nyeri kembali meghantui pergelangan kaki kirinya. Wonwoo mengambil langkahnya mendekat pada Mingyu. Mensejajarkan tubuhnya pada pemuda di hadapannya. Pandangannya jatuh pada pergelangan kaki Mingyu yang mulai tampak membiru. "Kau seorang dokter, tidak berniat mengobati dirimu sendiri?" Pemuda itu berbalik menatap Mingyu yang masih menunjukkan ekspresi meringis. Ia terkekeh sesaat, setelahnya mendecih pada Wonwoo. "Kau berfikir seorang dokter tidak membutuhkan orang lain untuk mengobatinya? Kami bukan Tuhan."

"Aku pikir setiap dokter menganggap dirinya lebih tinggi dari Tuhan sekalipun, apakah aku salah?" Ujar Wonwoo seraya menyeringai atas ucapannya. Mingyu mendecih kembali, menunjukkan ekspresi muak akan ucapan Wonwoo. "Bagaimana bisa kau memiliki pemikiran sedangkal itu?" Ucapnya. Wonwoo tertawa pelan sejenak, masih menatap Mingyu dengan iris mata tajamnya. "Sama seperti pemikiran dangkal yang kau gunakan saat menganggap ucapan ku tadi sebagai sebuah jenaka tolol, Kim Mingyu." Seakan termakan oleh ucapannya sendiri, Mingyu terdiam. Pemuda itu mengambil nafas panjang dan mengehembuskannya perlahan, memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah dengan seorang Wonwoo. Mingyu hanya memikirkan keadaannya sekarang, ia masih membutuhkan bantuan Wonwoo saat ini. "Kau bisa membantu ku?"

"Jika aku bisa." Balas Wonwoo acuh masih dengan pandangan yang langsung bertemu dengan iris mata Mingyu. "Aku membutukan Prokain." Ujar Mingyu masih menahan rasa sakit yang terus terasa semakin menguat pada pergelangan kakinya. Wonwoo terdiam sesaat sebelum menggubris ucapan Mingyu. "Bukan 'kan itu sejenis obat bius?" Mingyu mengangguk samar masih berusaha menekan rasa ngilu yang terus memukul pergelangan kakinya. "Sayangnya kita tidak memiliki obat seperti itu disini." Ujar Wonwoo santai. Mingyu membuang nafasnya kasar. Terdengar umpatan samar yang menguar dari belah bibirnya. "Aku tidak akan bisa bekerja tanpa obat bius." Ucapnya lirih. Pemuda berkulit kecoklatan itu membuang nafasnya gusar, sesekali menggeram tertahan saat rasa sakit yang begitu kuat terus menghantam luka dalam pada pergelangan kakinya. Wonwoo terdiam, masih menjatuhkan pandangannya pada Mingyu. Setelahnya pemuda itu mengangkat tangannya ke udara, menyentuh pelan pergelangan kaki Mingyu yang membuahkan ringisan pelan dari pemuda itu. "Selama aku menjadi tentara inti sekaligus penembak jitu di Baghdad, aku juga memiliki cukup kesempatan untuk membantu mengobati beberapa rekan ku yang terluka." Ujar Wonwoo pelan. Pemuda itu membuang nafasnya kembali. "Selama berada di zona perang kami di paksa untuk melakukan tindakan pengobatan dalam keterbatasan. Kau tahu tanpa obat bius." Ujarnya kembali, melemparkan tatapannya pada Mingyu yang masih meringis. "Bahkan kami mengamputasi setiap tentara yang tanpa sengaja menginjak ranjau tanpa sedikitpun menggunakan obat bius. Kau bisa mengerti betul bagaimana rasa sakitnya saat sebagian dari tubuh mu di pisahkan, bukan?" Pemuda itu melemparkan seringaian tipis pada Mingyu. "Kami bertahan dalam keadaan seperti itu hingga genjatan senjata diajukan. Aku bisa membantu mu untuk setidaknya mengembalikan posisi pergelangan kaki mu. Bukan kan ankle-nya bergeser?" Mingyu mengangguk samar. Sejujurnya pemuda itu merasa sedikit ngeri dengan apa yang di katakan Wonwoo, terlebih pemuda dihadapannya itu berucap dengan mimic wajah yang baginya nyaris seperti seorang psikopat gila. "Jadi, kau ingin menggunakan cara pengobatan tentara?" Tawar Wonwoo masih melemparkan seringaian pada Mingyu. Mingyu terdiam sesaat mencoba mencari jawaban pasti atas penawaran yang Wonwoo ajukan. Ia hanya merasa sedikit terganggu dengan setiap kata yang Wonwoo luncurkan, seakan pemuda dihadapannya kini memiliki maksud tersembunyi atas dirinya. "Bagaimana jadinya kau mengobati tanpa obat bius?" Ucap Mingyu. Ia merasa sedikit penasaran apa yang akan Wonwoo lakukan pada pergelangan kakinya jika ia mengambil penawaran yang di ajukan pemuda itu padanya. Wonwoo menatap sejenak padanya sebelum beralih mengedarkan padangannya pada sekelilingnya. Pemuda berkulit putih itu menggapai sebuah sapu tangan yang teronggok diatas nakas kayu tempat dimana ia menyimpan senjata apinya tadi. Menyerahkan sapu tangan miliknya itu pada Mingyu. "Kau hanya perlu menyumpalkan benda ini kedalam mulut mu." Ucap Wonwoo. Mingyu mengernyit, masih belum menangkap maksud dari perintah pemuda itu.

"Ini untuk menahan teriakkan mu. Kau tidak bermaksud untuk membuat sekumpulan mayat hidup itu mengepung kita disini bukan?" Wonwoo kembali menjatuhkan pandangannya pada sepasag iris mata Mingyu. Mingyu terdiam, mencoba memikirkan kembali pilihannya. Pemuda itu mengerti apa yang hendak dilakukan Wonwoo padanya. Ia menghela nafasnya panjang, terdengar seakan begitu besar beban yang tertahan pada pundaknya saat ini. Helaan nafas yang Mingyu hembuskan membuat Wonwoo nyaris tertawa dengan begitu kerasnya jika saja ia melupakan bahwa keduanya sedang dalam keadaan cukup genting saat ini. Bagi Wonwoo, reaksi yang Mingyu timbulkan tampak begitu konyol. "Tolong lakukan dengan cepat."

Pemuda berkulit kecoklatan itu mulai menyumpal mulutnya dengan sapu tangan yang diberikan oleh Wonwoo sebelumnya. Pemuda itu merasakan seakan seluruh saraf dalam tubuhnya menegang seiring dengan sentuhan Wonwoo pada pergelangan kakinya. Sejujurnya, ia merasa begitu ngeri dengan apa yang akan Wonwoo lakukan. Pemuda itu meringis pelan saat kedua tangan Wonwoo sedikit menekan pada pergelangan kakinya. Wonwoo menatap pada Mingyu sejenak, melemparkan seringaian yang tampak begitu jelas pada garis bibirnya. Mingyu bersumpah ingin sekali menghajar pemuda dihadapannya itu setiap kali mendapati seringaian milik Wonwoo seakan menertawai keadaannya sekarang. "Rileks 'lah, aku akan melakukannya dengan cepat. Kau siap?" Mingyu membuang nafasnya kembali sebelum mengangguk, memberikan isyarat bahwa ia siap untuk menerima apa yang akan Wonwoo lakukan. Pemuda itu menelan salivanya berat, menarik nafasnya begitu dalam. Mingyu memang seorang dokter muda yang terlalu terbiasa melihat rasa sakit pada wajah setiap pasiennya namun bukan berarti bahwa rasa sakit itu tidak membuatnya merasa takut. Mingyu hanya manusia biasa dibalik jas putih yang selalu bertengger pada tubuhnya.

"Coba 'lah untuk tidak bersuara jika kau tidak ingin mati tercabik oleh kumpulan mayat hidup diluar sana. Aku akan menghitung mundur untuk memulainya."

"Tiga…"

"Dua…"

"Satu!"

Bersambung di chapter berikutnya.


hellowww, longtime no seeee everyone xD crypt balik dgn ff baru lg /? ff baru mulu yak yg kemarin aja blm pada kelar x'D. kali ii bwa yg berbau agak cabik mencabik ya xD yg berbau jombi"an, favorit aku ini xD. di ff ini aku gk nitik point buat relationship wonwoo sama mingyu yaa tp lebih ke perjuangan mrk sma konfliknya ja jd jgn tanya aku mrk ini status hubungannya apa krn d'summary udh tertera dgn jelas yaaa xD. anyway, happy eid mubarok buat kalian yg merayakan. kalo ada yg tanya knp pas puasa kmrn aku full gk ada posting ff itu krn pas puasa aku sibuk sih, loadnya makin parah pas mau lebaran maka'a ngehold dlu ngetik ff'a xD dan baru bisa lanjut skrng nih /nyengir. gk banyak cotcot bacot deh kali ya wkwk keep review kalian aja buat kelangsungan ff'a, inget saran & kritik kalian mempengaruhi loh buat lanjut atau gknya ff ini. kalo bnyak sider aku gk mau lanjut /ngambek nih ngambek xD. okeeeeee akhir kata /? makasiyyy buat kalian yg masih setia nongkrong d'setiap ff aku terlebih yg mau tinggalin jejak" manis kalian dsni i lobeu yu so much klo kata mingyu ya xD semoga udh gk ada typo yg bertebaran yaaaa. keep review and stay tune! bye"

salam,

Crypt14