Tokyo, autumn.

.

"Sensei! Boneka teru-teru!"

Tetsuya tersentak pelan, lantas menaruh kardus berukuran cukup besar yang tengah dibawanya tidak jauh dari rak terdekat. Ia bisa merasakan seseorang menarik ujung celemeknya, jemari-jemari kecil yang mengerut manis, dan binar antusias bahkan sebelum ia berbalik untuk memastikan.

Dan dugaannya tidak meleset—mungkin.

Bocah kecil, rambut hitam legam, sepasang bola mata berwarna abu.

Tetsuya mengernyit. Sudut hatinya spontan bertanya; siapa dia?

"Sensei?"

Oh. "Kazunari-kun," sahut Tetsuya akhirnya, sempat mengulas senyum kecil. "Kau membuat teru-teru bozu lagi?"

Mendapat respon yang lima detik sebelumnya tidak ia dapatkan, Takao Kazunari nyengir lebar. "Malam ini hujan akan datang!" katanya semangat. "Tapi karena okaasan akan kesusahan kalau hujan, aku jadi harus membuat boneka teru-teru!"

"Hmm… begitukah?" Ia berlutut sejenak, mensejajarkan tingginya dengan tinggi Kazunari. Walaupun bentuk wajah bocah di hadapannya itu tidak terlalu jelas, bahkan dalam jarak sedekat ini pun, Tetsuya berusaha meyakinkan diri. Bahwa anak kecil yang terdaftar di sebuah tempat penitipan anak dan menjadi tempat kerjanya itu memanglah seorang Takao Kazunari.

"Un!" Kazunari mengangguk semangat. "Okaasan itu tidak tahan dingin, lho, Sensei. Jadi aku harus—"

"Wah, di sini ternyata. Kazu?"

Yang dipanggil menoleh spontan, bisa dibilang sangat cepat—malah. Lengkap pula dengan bola mata abunya yang berbinar tanpa ragu. Terlampau senang.

"Okaasan!"

Sebenarnya, ini adalah malam yang klasik bagi Kuroko Tetsuya.

Tepat ketika pukul enam sore menjelang dan matahari tenggelam di ufuk barat, Tetsuya selalu mendapatkan pemandangan yang sama. Suasana yang sama. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya dengan sama pula. Dan senyum simpul yang biasa dipolesnya kala beberapa orang tua menjemput anak mereka di tempat penitipan anak.

Semuanya sama.

Kecuali wajah-wajah itu.

Tetsuya terkadang merasa asing, merasa tidak mengenal dengan berbagai wajah yang dilihatnya, namun ia tidak pernah membantah.

"Terima kasih ya, Tetsuya-kun."

Ia lantas mendongak, setelah itu berdiri perlahan ketika ia menyadari bahwa sosok Kazunari telah berlari lebih dulu ke arah sumber suara. Di mana seorang wanita berdiri anggun di ujung genkan, berbalut rok lipit selutut dan blazer hitam, dengan tas kantor yang tersampir di bahu kanannya. Air mukanya lelah, kentara sekali. Namun senyum bahagia ketika menyambut kaki-kaki kecil yang berlari ke arahnya sama sekali tidak pudar.

Ah, ibunya Kazunari, pikirnya. Sadar ketika celotehan Kazunari mulai terdengar lebih bersemangat. Untuk itu Tetsuya segara menyahut, "Terima kasih kembali, Takao-san. Hati-hati di perjalanan."

"Sampai besok, Sensei!"

Seulas senyum sebagai balasan terakhir, Tetsuya melambaikan tangan ketika Kaz unari melakukan hal serupa sampai sosoknya menghilang di balik tikungan gerbang penitipan. Pemuda berambut biru muda itu menghela napas panjang, teringat akan waktu luang yang akhirnya ia dapatkan setelah semua anak dijemput dan pulang—

"Kuroko-sensei,"

—oh, atau tidak sama sekali.

Tetsuya segera berbalik, melirik awas saat ia mendapati bocah selain Kazunari yang terakhir dilihatnya. Kali ini, wujudnya seorang gadis kecil. Berambut pirang dengan sepasang bola mata hazel berbinar cerdik. Tetsuya tidak tahu persis emosi seperti apa yang terpancar dari mata gadis itu, tidak juga berusaha menebaknya. Akan tetapi, karena gadis itu memanggilnya dengan nada agak semangat dan sedikit lebih rasa kantuk, Tetsuya terpaksa menduga bahwa gadis mungil itu sedang berusaha bersabar dalam menanti.

Terlebih lagi, perlu waktu seratus dua puluh detik sampai akhirnya Tetsuya mengenali si gadis kecil lebih jauh lagi. Atau ia memang berusaha mengingat siapa orang itu dan siapa namanya.

Bola mata hazel itu, ya, hazel yang cerdik.

"Mia-chan," sahut Tetsuya halus, memberi isyarat agar gadis itu mendekat. Ia segera berlutut tidak jauh dari genkan saat Mia berhenti di depannya. "Belum ada yang menjemput?"

Pertanyaan retoris, sebenarnya. Tapi toh, anak kecil tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Okaasan tidak bisa menjemput hari ini," jawabnya riang, lengkap dengan deretan gigi susunya ketika ia nyengir lebar. "Jadi Mia dijemput Ojichan."

Tetsuya mengangguk paham. Lagipula, ia sedikit lupa bagaimana rupa Ibunda dari bocah mungil di hadapannya ini. Miris, astaga.

"Mia terakhir yang dijemput, ya?"

Tersentak pelan, Tetsuya menunduk. Hanya untuk menatap langsung iris hazel si gadis kecil, sebelum akhirnya melirik ke arah jam dinding yang tertangkap matanya. Pukul delapan malam. Itu berarti, masih ada satu jam yang tersisa sebelum ia membereskan tempat penitipan lalu menutupnya.

"Ne, ne, Kuroko-sensei," panggil Mia kemudian, berhasil menarik kembali perhatian Tetsuya ke arahnya. "Sebenarnya, Mia senang sekali hari ini. Karena Ojichan yang akan menjemput Mia. Oh, tidak, tidak, bukan maksudnya Mia tidak suka dijemput Okaasan. Tapi, sudah lama sekali Mia tidak bertemu dengan Ojichan. Aneh ya, meskipun Mia sering melihat Ojichan di buku-buku yang dibaca Okaasan, Mia tetap ingin melihat Ojichan yang asli."

Tetsuya, mau tak mau, terkekeh geli. "Memangnya, pekerjaan Ojichan Mia-chan apa?"

"Model!" Hazel cerdiknya berbinar lebih cerah. "Apa Sensei belum pernah melihatnya? Ojichan itu—ah! Itu dia!"

"Miacchi!"

Suara itu nyaring, melengking dengan caranya sendiri, namun tidak menyembunyikan bass dan berat yang terselip di dalamnya. Tetsuya mendengar langkah kaki yang belari—bukan, bukan anak kecil—lebih berat, lebih mantap, bergesek di antara sol sepatu dan kasarnya aspal jalanan. Fokus matanya tak lagi memandang Mia, tepat ketika akhirnya ia berdiri lalu berbalik. Menoleh dengan penasaran sampai iris biru langitnya memandang sosok yang dimaksud si kecil Mia.

Ia seorang laki-laki yang tinggi, matang, berada di antara umur dua puluh tiga atau dua puluh empat, mungkin? Tetsuya pikir, karena teringat akan jawaban Mia beberapa detik lalu, postur laki-laki di hadapannya itu memanglah pantas disebut model; tegap, bahu lebar, tapi kurus. Rambutnya pirang, nyaris mirip seperti gadis kecil di sampingnya. Hanya saja, pirang laki-laki itu lebih ke arah kuning yang dijaga dengan baik. Parka cokelat muda yang dipakainya tampak kasual, tetapi fashionable di saat yang sama. Jins hitam dan convers putih, bonniehat hitam, sampai piercing perak yang tersemat di telinga kirinya.

Mata mereka bertemu dalam detik berikutnya. Lagi-lagi ia menemukan warna hazel yang cerdik. Dan kali ini, Tetsuya bisa melihat sorot kebingungan serta menilai yang terlintas dalam iris mata itu.

Tetsuya mengernyit.

Ia tidak pernah memperhatikan seseorang dengan begitu teliti seperti ini sebelumnya. Ia juga tidak merasa mengenal laki-laki itu—ah, tunggu, atau mungkin sebaliknya?

Ini aneh. Ada sesuatu yang mengetuk senar ingatannya. Dan Tetsuya berusaha mengingat lebih keras lagi, satu hal yang akhir-akhir jarang dilakukannya. Bahkan nyaris tidak pernah dilakukannya. Namun, entah mengapa, Tetsuya mendapati kesan bahwa ia pernah menemui laki-laki itu jauh sebelum pertemuan tidak sengaja yang terjadi malam ini. Kesan yang begitu jauh, jauh, dan Tetsuya yakin ia tidak pernah mencoba untuk melupakannya.

"… Kurokocchi?"

Dan ketika ia mendalami lebih jauh iris hazel itu, Tetsuya sedikitnya merasa yakin.

Ia pernah mengenalnya.

.

.

.

"Serendipity"

Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Serendipity © Suki Pie

(Alternative Universe. Shounen-ai. Rated T. Maaf jika ada kesamaan tempat, nama tokoh, adegan, atau kata yang tidak disengaja.)

.

Fanfiksi ini didekasikan untuk event Miragen+ Big Bang 2016. Yang sudah di-pubblish sebelumnya di AO3 dan diberi ilustrasi yang cantik sekali oleh Kak Ash (Ashrey) XD

.

.

"Saya tidak mendapatkan keuntungan materiil macam apa pun atas pembuatan fanfiksi ini."

.

.

.

"Waah, sudah lama sekali, ya. Kira-kira, delapan atau sembilan tahun, mungkin? Setelah kelulusan SMP, aku tidak pernah melihatmu lagi. Sekarang, aku tidak menyangka bisa bertemu Kurokocchi di sini."

Ada waktu dua puluh menit yang terbuang ketika Tetsuya memperhatikan Mia tampak sibuk memasang sepatu dengan kepayahan, membenarkan ransel yang melorot di bahunya, lalu menerima uluran laki-laki pirang yang disebutnya dengan panggilan Ojichan.

Omong-omong, Tetsuya ingat sekarang. Setelah ia mencoba menggali dasar ingatan terdalamnya dengan susah payah dan meneliti setiap garis wajah laki-laki pirang itu (bahkan sama mata memicing ngeri), sederet nama tak asing berhasil melintas dalam benaknya. Well, tidak sepenuhnya ingat dengan benar juga, sih. Berterima kasihlah kepada Mia, dan segala rentetan pujian dan kalimat senang tentang pamannya yang menjemput, juga nama yang sempat diucapkannya, Tetsuya sedikit mendapat petunjuk.

Kise Ryouta namanya.

Teikou. Klub basket yang terlupakan. Dan sosok asing dalam teritori hidupnya.

Dan jangan salahkan ia karena tidak bisa mengingatnya dengan mudah hanya karena alasan delapan tahun lebih telah lama tidak bersua.

"Kebetulan yang mengejutkan, Kise-kun," balas Tetsuya kalem. "Terus terang saja, aku juga tidak menyangka orang yang dimaksud Mia-chan adalah kau."

Ryouta ikut terkekeh. Tidak sadar ketika Tetsuya memperhatikannya dengan lekat seolah mendapat kesan yang sudah lama terkubur. Mungkin seperti; bahkan suara tawa dan cara tersenyumnya pun belum berubah. Masih sama seperti dulu. Jika memang Tetsuya yakin sepenuh hati, jika ia tidak ragu terhadap ingatannya.

"Miacchi ini keponakanku, anak kedua dari pernikahan Nee-san." Ryouta menjelaskan tanpa diminta, tapi Tetsuya tidak merasa keberatan. "Nee-san sibuk dengan pekerjaannya. Karena kebetulan sekali waktuku sedang luang, aku jadi menyempatkan menjemput Miacchi di sini. Yaa… meskipun terlambat sedikit, sih. Tapi, hei! Tapi ini bagus, kan? Aku bisa bertemu Kurokocchi lagi!"

Ryouta, dengan rahang tegas dan tulang pipi jelas ketika bibirnya melengkung melankolis, mata yang semakin mengecil bahkan tersembunyi di antara dua pipinya, hingga deretan gigi putih menyebar rata begitu lekukan bibir berganti menjadi cengiran lebar, menyadarkan Tetsuya.

Tetsuya tentu tak bisa berterus terang bahwa wajah laki-laki itu sempat buram di matanya (bahkan sampai detik ini). Akan tetapi, ia juga menyadari bahwa lengking suara dan cara bagaimana Ryouta bersikap memaksanya agar terus mengingat.

"Kurokocchi?"

Bahu Tetsuya tersentak pelan. Malam semakin larut ketika raut wajah Mia mulai tidak sabaran untuk segera pulang, menarik ujung parka Ryouta sebagai bentuk protes. Gadis kecil itu mengantuk, sepertinya.

"Kurokocchi… " panggil Ryouta sekali lagi, terdengar agak ragu. "Masih ingat padaku, kan?"

Bola mata Tetsuya melebar. Sedetik memang, tapi tetap saja pemuda Kuroko itu terkejut. Orang dengan mudah berspekulasi bahwa pertanyaan Ryouta adalah wajar. Sebagaimana hal yang sering kali diucapkan ketika kau bertemu dengan seorang teman yang telah lama tidak berjumpa. Itu wajar, sungguh. Sewajar ketika Tetsuya kembali bertemu pandang dengan Kise Ryouta dan ia merasa asing. Merasa tidak mengenal. Dan Tetsuya tak merasa bersalah sedikit pun seandainya Ryouta sadar akan kejanggalan kecil darinya itu.

Sewajar ketika Tetsuya tahu, bahwa pertanyaan Ryouta adalah sungguh-sungguh. Tak ada kesan main-main dalam nada suaranya. Tak ada basa-basi yang melintas. Termasuk cara bagaimana Ryouta memandangnya dengan begitu lekat.

Jeda itu terjadi tidak lama, namun cukup terasa berat ketika akhirnya Tetsuya—dengan segaris lengkung bibir yang sangat simpul—menyahut kalem. "Tentu, Kise-kun."

Simpel. Dan Ryouta cukup memahami. "Senang mendengarnya." Cengirannya belum luntur. "Iya, iya, Miacchi. Ayo kita pulang—astaga, sudah mengantuk?" Ryouta tertawa kecil, tak mengacuhkan protes yang terlontar ketika ia menggendong gadis kecil itu di punggung lebarnya. "Nah, Kurokocchi,"

Ryouta mengerling jenaka ke arahnya.

"Mungkin ini terdengar klise, tapi aku tetap ingin mengatakannya,"

Sebelah alis Tetsuya terangkat.

"Senang bertemu denganmu lagi, Kurokocchi."

Laki-laki itu tersenyum lebar, lebar sekali. Tetsuya bahkan tak ragu mengantar kepulangan mereka sampai pintu gerbang penitipan anak. Mengucap salam perpisahan dan selamat malam, hingga lambaian tangannya berhenti begitu sosok Ryouta dan Mia menghilang di balik tikungan jalan.

Kise Ryouta.

Nama itu menyusup perlahan dalam benak Tetsuya.

Kise Ryouta.

Namun, sedetik setelah ia mencoba mengucapkannya, Tetsuya lupa akan parasnya.

.


~oooOOOooo~


.

"Ups. Apa aku datang terlalu cepat?"

Esoknya, sepuluh jam sebelum akhir pekan dimulai, Tetsuya sedikit dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang—jika bisa dibilang—mendadak; atau mungkin ia tidak pernah menduga akan kedatangannya. Tetsuya mengenal suaranya dengan baik, tetapi perasaan asing yang dirasakannya ketika ia melihat laki-laki berambut kuning itu datang dan menyapanya tanpa tedeng aling-aling tidak menghilang.

Tetsuya mengerutkan kening sejenak, bertanya-tanya apakah ia mengenalnya, atau mungkin pernah melihatnya sebelum ini, namun hasilnya nihil.

Buram. Wajah di depannya seakan buram.

"Ini aku, lho, Kurokocchi."

Bahu Tetsuya menegang. Ah.

"Kise-kun," bisik Tetsuya, agak ragu. Sudut matanya refleks melirik piercing perak yang tersemat manis di telinga—yang ia yakini sebagai—Ryouta, sebelum bibirnya mengulas senyum tipis. "Doumo."

Ryouta tampak kasual hari ini (atau mungkin laki-laki pirang itu memang begitulah adanya). Mampir dengan kedua tangan dijejalkan ke dalam saku jaket parasitnya, juga kupluk hitam yang bertengger di kepala dan membuat Tetsuya geli melihatnya. Tidak jauh seperti malam kemarin, Tetsuya mendapati Ryouta telah berdiri di depan genkan, sendirian. Mendahului kedatangan para ibu yang biasanya sengaja datang tepat waktu.

"Aku tidak menyangka Kise-kun akan datang lagi," lanjut Tetsuya, tidak bermaksud meyinggung atau melarang. "Omong-omong, kau benar," angka jarum dilirik sejenak. Masih ada tiga puluh menit sebelum anak-anak dibolehkan pulang. "Tidak ingin datang terlambat seperti kemarin?"

"Astaga, itu pujian macam apa. Lagipula, aku sengaja mengambil cuti kerja hari ini." Kise meringis kecil, tapi tidak menghentikan dirinya untuk tertawa. Tetsuya membiarkan laki-laki itu mengikutinya masuk, menunggu di dalam ruang tunggu khusus sembari menawarkan secangkir teh kamomil hangat. Ryouta dengan halus menolak, namun Tetsuya bersikukuh. Bukan maksud untuk pilih kasih dengan orang tua yang lain, katanya. Tapi karena kedatangan Ryouta hari itu bisa dikatakan sebagai reuni kecil kedua mereka. Lagipula, waktu seribu delapan ratus detik sampai Mia keluar tidak sebentar. Tetsuya juga kebetulan memiliki waktu luang, ia baru saja berganti shift dengan rekan kerjanya yang lain. Maka, tak ada salahnya jika ia menyambut Ryouta sebagai teman lama.

Ruang tunggu itu tidak lebih dari ruang tamu yang terpisah dari beberapa ruangan lainnya. Baik itu ruang bermain atau ruang karyawan. Ryouta mendapati dirinya seperti berada di dalam rumah era Victoria, dengan gaya perpaduan antara Queen Anne dan tradisional Jepang era Kyoto. Siapa pun yang masuk dan melihat akan berpikir, pemilik tempat penitipan pasti memiliki selera desain interior yang terbilang unik.

"Tapi aku terkejut, lho. Kurokocchi bekerja di sini."

Tetsuya membalas kelakar itu dengan gumaman kecil. Ia terlalu sibuk menuangkan teh hangat ke dalam cangkir milik Ryouta sebelum melakukan hal yang sama ke cangkir miliknya. Aromanya menguar kuat, perpaduan serbuk teh dan sari bunga kamomil.

"Sebenarnya, aku tidak benar-benar bekerja di sini." Tetsuya menjelaskan simpel. "Ini tempat penitipan anak yang dikelola paman dan bibi. Kebetulan setelah lulus SMA, karena tidak ada hal lain yang harus kulakukan, jadi ya… ikut membantu di sini."

Ryouta mengangkat sebelah alis heran. "Setelah lulus SMA? Kurokocchi tidak ikut ujian masuk—" bibirnya mendadak bungkam. Ryouta menggigit mulut bagian dalam, terlebih ketika kening Tetsuya mengerut samar dan raut wajahnya sempat menegang dalam seperkian detik. "Maaf, maaf, aku tidak bermaksud bertanya ke sana. Aduh, maksudku—"

"Tidak apa-apa, Kise-kun," sela Tetsuya datar. "Aku memang sengaja tidak melanjutkan dan mengikuti ujian masuk universitas. Lagipula, bekerja di sini cukup menyenangkan."

"Oh."

Uap tipis mengepul dengan perlahan, merambat indra penciumnya dengan hati-hati ketika Ryouta meraih cangkir yang disuguhkan. Matanya tampak awas mengawasi pemuda biru dengan apron khusus yang dipakai dan berdiri tidak jauh darinya itu. Ia juga diam-diam menebak bahwa gaya berpakaian seorang Kuroko Tetsuya tak pernah berubah sejak dulu.

"Kise-kun sendiri?"

"Ya?" Ryouta mendongak.

Mungkin Tetsuya tidak menyadarinya, Ryouta juga hampir tidak menyadarinya—mungkin. Hampir, saat ia melihat segaris simpul terbit di paras Tetsuya dan canggung yang sempat mampir di antara mereka lenyap dalam sekejap.

"Mia-chan bilang, kau sukses dengan karier modelmu, Kise-kun. Aku senang mendengarnya." Nada itu tulus, benar-benar tulus. "Mia-chan sepertinya benar-benar mengagumimu."

"Ah, mengenai itu. Well, Kurokocchi sendiri mungkin bisa melihatnya? Bukannya aku sombong-ssu, hahaha." Tangan dikibaskan dengan asal. "Aku jadi penasaran, apa mungkin Kurokocchi pernah melihatku di majalah-majalah tertentu?"

Tetsuya terkekeh, mengambil posisi duduk di depan Ryota dengan meja berkaki empat sebagai pemisah. "Maaf, Kise-kun. Tapi aku tidak terlalu suka dengan majalah,"

Ryouta tertawa ringan. "Aku tahu itu!" serunya riang, "Kurokocchi sekali, bukan?"

"Tidak juga," jawab Tetsuya lugas. "Kise-kun saja yang suka berasumsi sendiri."

"Hei, hei, memangnya aku tidak mengenal Kurokocchi saat SMP dulu? Nah, mungkin tidak seakrab yang Kurokocchi pikirkan. Tapi aku selalu melihat Kurokocchi. Apalagi saat berada di klub—ah! Bagaimana dengan Kurokocchi? Masih bermain basket sampai saat ini? Atau, Kurokocchi melanjutkan kegiatan klub basket sewaktu di SMA?" Lagi-lagi Ryouta tertawa. "Kalau Kurokocchi bertanya, tentu saja aku ikut. Yaa… tidak sampai lulus juga, memang. Tapi aku tetap menyukai basket-ssu!"

Ada beberapa hal—atau mungkin sejauh yang Tetsuya pahami saat Ryouta berbicara—yang ia dapatkan mengenai pribadi Ryouta hari ini. Tetsuya mungkin agak kesulitan dalam mengingat bentuk lekukan wajah Ryouta dalam satu kali tatap, namun ia cukup ingat dengan interaksi-interaksi yang terjadi; baik hari ini mau pun pertemuan kecil mereka kemarin malam. Meski masa-masa SMP dalam sel kelabu otaknya terlihat samar, Tetsuya berusaha menggalinya sekali lagi.

Kise Ryouta tipe orang yang mudah mengalihkan pembicaraan. Semua itu terlihat jelas dari cara bagaimana laki-laki itu tidak terlalu fokus pada satu topik pembicaraan hingga akhir. Ia adalah tipe orang mengatakan sesuatu secara langsung yang terlintas dalam kepalanya saat itu juga. Mengatakan, melupakan, lalu mencari topik lain. Namun, tak dapat Tetsuya pungkiri, bahwa laki-laki itu selalu bisa menghidupkan suasana obrolan yang menarik di setiap pergantian topik yang terjadi. Gayanya mungkin terkesan memamerkan diri, tapi tidak terlihat angkuh.

Hanya saja, Tetsuya merasa bahwa Ryouta terlalu banyak mengungkit topik yang seharusnya tidak boleh dibicarakan. Bukan maksud melarang atau topik itu sesuatu yang bersifat sensitif, tetapi karena Ryouta tidak terlalu memerhatikan keadaan di sekitarnya. Atau mungkin Ryouta seakan-akan tidak memahami bagaimana perasaan orang yang diajaknya berbicara.

"… sayang sekali Kurokocchi keluar. Padahal waktu itu sedang kejuaran nasional. Jujur saja, aku tidak ingin Kurokocchi keluar. Apalagi tiba-tiba menghilang begitu-ssu. Ah, tapi mari lupakan saja itu, sekarang aku senang melihatmu lagi. Omong-omong mengenai basket, bagaimana dengan yang lainnya? Seperti Akashicchi dan Midori—"

"Kise-kun."

Ucapan Ryouta tidak tuntas. Itu terjadi seperkian detik yang cepat ketika Ryouta mendongak, melupakan sejenak cangkirnya yang tak hangat lagi, dan menikmati setiap sekonnya kala iris mata berbeda warna bersirobok spontan dalam satu garis lurus. Tetsuya tidak berusaha menebak makna dari manik hazel itu, tidak juga berusaha menerka apa yang sebenarnya Kise Ryouta pikirkaan sekarang ini.

"Maaf, Kise-kun," lanjut Tetsuya kemudian, getar suaranya halus namun terkesan sinis. Ia lekas berpaling, memutus kontak mata dengan Ryouta dan memandang jauh ke luar jendela tidak jauh dari tempatnya duduk. "Mungkin—ah, tidak, tapi memang—terdengar tidak menghargai. Mungkin juga dibilang kurang ajar. Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak bisa mengingatnya, Kise-kun."

Bola mata Ryouta melebar.

"Nama-nama yang kausebutkan tadi, aku sama sekali tidak mengenalnya."

Lantas, hening yang terjadi selanjutnya seolah membungkam Ryouta tanpa tedeng aling-aling. Namun bukan Kise Ryouta namanya jika laki-laki itu tidak bisa menguasi keadaan canggung yang tiba-tiba mampir dengan cepat.

"Tidak mengenalnya?" Sedikit penekanan di akhir kata. "Tapi, Kurokocchi—"

"Sudah waktunya anak-anak pulang," potong Tetsuya, berdiri dengan agak terburu-buru. Tersadar akan jarum jam yang berdetik di dinding ruangan. "Kise-kun tidak ingin membuat Mia-chan menunggu, kan? Akan kupanggilkan setelah dia keluar. Oh, kau boleh menghabiskan tehmu dulu, Kise-kun."

Ryouta mengerjapkan mata. "Kuro—"

"Senang mengobrol dengan Kise-kun lagi. Tapi lain kali… " Tetsuya berhenti sesaat, menarik napas sepanjang mungkin, lalu mengembuskannya perlahan. Ia menoleh dari balik bahu kirinya sambil menatap balik Ryouta yang telah memandangnya lebih dulu. "… Kise-kun harus lebih memahami keadaan sekitar."

Tidak ada tanggapan setelahnya. Tetsuya juga tidak terlalu mengharap balasan ketika ia meninggalkan Ryouta.

.


~oooOOOooo~


.

Bel interkom ditekan berulang kali. Bunyinya monoton dan mengganggu. Bahkan terdengar sangat berisik pada jam-jam larut seperti ini.

"Iya, iya, sebentar. Aku datang!"

Momoi Satsuki berdecak sebal, menyelipkan sepasang slipper di kaki telanjangnya, dan berderap cepat ke arah pintu utama apartemen. Tangan kirinya sibuk mengusak rambut basah merah mudanya dengan handuk, ia baru saja mandi beberapa menit yang lalu ketika bunyi bel interkom apartemennya berteriak usil. Dan kini, begitu tangan lainnya yang bebas berhasil meraih kenop pintu lalu membukanya, ia spontan tertegun beberapa sekon.

"Ki-chan!" pekik Satsuki, antara heran dan bingung. "Kenapa tidak bilang-bilang akan datang?" Kalimat 'ada apa datang kemari' atau 'kenapa kau di sini' sudah lama terhapus dari kamus hidupnya. Khusus untuk seorang Kise Ryouta.

"Maaf mendadak-ssu," Ryouta nyengir lebar sembari mengangkat bungkusan plastik di tangan kanannya. "Aku harap sebungkus takoyaki hangat tidak membuat Momocchi takut, maskudku, berat badan."

"Astaga, kau membuatku terkejut, Ki-chan." Satsuki jelas mengabaikan pernyataan akhir Ryouta. Ia mundur selangkah sebelum berkata, "Ayo cepat masuk."

"Sankyu, Momocchi."

Ini hal yang wajar bagi Satsuki. Gadis itu tak pernah menolak kedatangan Ryouta meski waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat, tepat malam hari. Sebagai manajer seorang model, tentu ia dilatih untuk bersikap sigap di saat-saat tertentu. Terutama untuk memenuhi kebutuhan dan memahami keadaan model yang ia pegang. Hari ini, misalnya. Dan kebetulan sekali kondisinya dalam keadaan prima.

"Harusnya Ki-chan menelepon, atau paling-paling mengirimku pesan. Siapa yang bilang hari ini akan cuti, huh? Ditelepon olehku saja tidak mau, tapi sekarang tiba-tiba datang. Dasar labil," ocehan Satsuki teredam saat ia menghilang dari balik pintu dapur. Bunyi denting gelas yang beradu terdengar nyaring, disusul dengan pintu kulkas yang terbuka dan ditutup keras, sampai Satsuki kembali muncul dan membawa dua gelas tinggi dengan botol air mineral yang terjepit di lengannya. "Apa salahnya sih memberi kabar?"

"Ponselku mati," jelas Ryouta singkat. Terkekeh ketika gadis berpakaian t-shirt putih dan celana tidur magentanya itu mendelik tajam (padahal tangannya sibuk menaruh gelas dan botol mineral di atas meja). "Tidak akan kuulangi, sungguh."

"Katakan itu pada seseorang yang sudah mengatakannya berulang kali,"

"Ayolah, Momocchi,"

"Kebiasaan burukmu, Ki-chan." Satsuki mendengus, lantas menempatkan pantatnya di atas sofa yang lebih empuk. Sedangkan Ryouta berada tidak jauh darinya. "Jadi, ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?"

Ryouta mengernyit. "Apa kedatanganku ke sini untuk itu?"

"Ekspresimu menjelaskan semuanya," Satsuki nyengir. "Aku memang tidak pernah bisa menebak jalan pikiran Ki-chan secara akurat. Tapi, setidaknya, aku mencoba menebak."

"Ya Tuhan, kapan manajerku berubah profesi seperti ini? Momocchi, kau tidak ingin berpindah jadi psiko—"

Handuk basah dilemparkan. Bekas rambutnya dengan aroma ceri yang menguar.

"Tidak lucu, Ki-chan,"

"Aku tidak melucu, Momocchi."

Satsuki mengibaskan tangan dengan tidak sabaran. "Cukup basa-basinya. Kau selalu seperti itu, tidak pernah fokus pada satu hal. Sekarang, kalau Ki-chan tidak ingin—"

"Iya, iya, maaf," Ryouta mengalah. "Beri aku istirahat sebentar, astaga. Kau tahu, aku baru saja menjemput Miacchi tadi. Jadi sebelum datang kemari, aku harus bertemu dengan Nee-san dan mendengar omelannya yang cerewet itu."

(Sebenarnya Satsuki sadar, walau Ryouta menutupinya serapat mungkin, bahwa maksud dari kalimatnya itu ditujukan juga untuknya.)

"Lalu, kenapa tidak langsung pulang ke rumah saja?"

Jeda sejenak, lalu, "Itu," tawa kecil mengudara. "Seperti yang Momocchi—"

"Lupakan saja, kau lama." Cibir Satsuki, lantas mengalihkan pembicaraan. "Mia itu keponakan Ki-chan, bukan?" tanya gadis itu akhirnya, penasaran.

Anggukan samar sebagai jawaban (Ryouta bahkan sama sekali tidak mengacuhkan selaan Satsuki tadi). "Un. Momocchi memang belum bertemu dengannya, tapi dia gadis kecil yang imut," ia tertawa lepas. "Dan kau tahu Momocchi, saat aku menjemputnya tadi, aku bertemu dengan seseorang."

Satsuki menegakkan punggung, sadar akan perubahan nada suara Ryouta yang lebih dalam. Perasaan gadis itu lebih peka. Ia bisa mengerti lebih gesit kala binar mata di sepasang manik cokelat Ryouta mulai berbeda. Selintas memang, tapi itu sesuatu yang penting untuk Satsuki sadari. Karena, jauh di dalam analisisnya, Satsuki terkadang seolah-olah melihat Ryouta menjauh. Jauh darinya, jauh dari kenyataan di depannya, dan jauh dari hidup yang berjalan. Bukan, itu bukan sesuatu yang bersifat lamunan atau apa. Hanya saja, sikap Ryouta yang terlihat seperti tidak mengenali dirinya itu membuat Satsuki cemas.

"Pertemuan biasa dengan seorang teman SMP, well, tidak ada yang istimewa."

Sebelumnya, Ryouta tidak pernah terbuka seperti ini pada siapa pun—kecuali dirinya. Satsuki telah dituntut untuk menjadi pribadi yang dengan senang hati mendengarkan setiap masalah dan keluh kesal sang model. Faktanya memang ia memerlukan waktu yang cukup lama, jauh sebelum ia bekerja kepada Ryouta. Karena tipe pilih-pilih yang berakar pada dirinya, Satsuki merasa lebih sering tidak cocok. Dan semua itu mulai berhenti ketika ia bertemu dengan Kise Ryouta pada masa satu tahun silam.

"… yang jelas, mungkin aku sedikit membuatnya marah tadi."

Satsuki tersentak pelan, mengerling dengan panik kala suara Ryouta menembus gendang telinga dan memecah lamunannya. "Kenapa, Ki-chan? Apa yang kaulakukan?"

"Nah, soal itu... " Tengkuk digaruk gugup, kentara bahwa Ryouta sendiri pun kebingungan dengan jawabannya. "Aku juga tidak tahu persis. Yang kuingat, pembicaraan kami berjalan dengan biasa saja. Saking biasanya sampai aku sendiri yang terlalu banyak berceloteh. Tapi tiba-tiba saja, Kurokocchi—"

"Kurokocchi?"

"Ah ya, Kurokocchi. Dari Kuroko Tetsuya."

"Hm, hm," kepala Satsuki manggut-manggut, tapi tidak menanggapi terlalu jauh.

"Kembali lagi soal dia yang marah, mungkin saat itu aku baru saja mengatakan sesuatu tentang masa SMP dan teman-teman lama. Ya, hanya itu. Tapi kenapa Kurokocchi terlihat tidak suka, ya? Apalagi sampai memotong pembicaraan. Bukan khasnya Kurokocchi sekali."

Ki-chan seperti bocah, pikir Satsuki. Tetapi, karena sikap satunya itu memang jarang diperlihatkan pada publik dan penggemar-penggemarnya, Satsuki tidak merasa heran atau cemas. Ia bahkan merasa lega karena Ryouta mau mempercayainya, sekecil apa pun itu.

"Kau tahu Ki-chan," raut wajah Satsuki serius. "Ada waktu di mana kau harus bisa menahan segala hal yang ingin kau katakan, dalam keadaan apa pun. Tidak perlu sesuatu yang bersifat menyinggung atau menyakiti, tapi kau sendiri yang harus tahu bagaimana keadaannya, Ki-chan."

Terus terang saja, Satsuki bukannya ingin menganggap bahwa Ryouta itu semacam pria yang tidak peka. Tidak, tidak. Ryouta boleh saja dibilang professional dalam pekerjaan modelnya, apalagi jika menyangkut caranya memikat banyak penggemar (dan kebanyakannnya itu adalah kaum hawa). Pemuda Kise itu boleh saja mengumbar senyum selebar mungkin di depan flash kamera, di lembaran majalah, bahkan dalam sebuahinterview. Namun, dusta adanya jika Satsuki sendiri tidak mengakui bahwa perasaan Ryouta menjadi sangat lamban terhadap keadaan sekelilingnya.

"Coba ingat baik-baik, Ki-chan." Sebenarnya, Satsuki tak mengerti ia jadi terbawa pada arus pembicaraan. "Bagian mananya yang membuat temanmu itu terlihat marah?"

Ryouta seperti bocah, spekulasi itu enggan berhenti dalam benak Satsuki. Karena keadaannyalah yang memaksa Ki-chan seperti itu.

Satsuki hanya tidak mengerti. Belum mengerti.

.


~oooOOOooo~


.

"Akhir-akhir ini, teman Kuroko-kun tidak pernah absen, ya."

Gadis itu biasa dipanggil Aida Riko.

Tetsuya mengenalinya dengan cukup cepat dari cara bagaimana ia melihat potongan rambutnya yang pendek dan berwarna cokelat. Mudah mengenali Riko tanpa harus kebingungan, terlebih karena gadis itu memiliki potongan rambut lain dari yang lain.

"Maksud Aida-san, Kise-kun?"

Riko tanpa ragu mengangguk. Mengambil beberapa balok mainan yang berserakan dan menaruhnya ke dalam kotak khusus. Ruang bermain berantakan bukan main, baru saja selesai dipakai ketika akhirnya anak-anak dipandu untuk bermain di luar. Tetsuya menoleh dengan enggan, matanya menerawang begitu ia memandang taman belakang yang terpisah oleh pintu kaca jendela. Lalu di luar sana, di antara kaki-kaki kecil yang berlari dan lengking teriakan riang, Ryouta menggabungkan diri.

"Teman lamamu?"

Lamunannya pecah, Tetsuya lekas mengalihkan pandangan. "Bisa dibilang, ya," jawabannya agak tak yakin. "Apa menurut Aida-san kedatangan Kise-kun sedikit… " Tetsuya menghindari kontak mata. "… mengganggu?"

Sebelah alis Riko terangkat. "Kenapa harus mengganggu?"

Sulit mengenalinya hanya dengan satu kali tatap.

"Seperti yang Aida-san katakan tadi, Kise-kun tidak pernah absen mampir," bahkan dapat dihitung ada sepuluh kali akhir-akhir ini. "Bukannya melarang Kise-kun untuk datang kemari, tapi karena dia—"

"Tanpa sadar ikut bermain dengan anak-anak di sini?" Riko menyela telak, lalu tersenyum karena tebakannya benar. "Menurutku, itu tidak apa-apa. Beberapa anak di sini juga sudah ada yang mengenal Kise-kun. Paman dan bibimu juga tidak protes, bukan? Ambil sisi baiknya saja, Kuroko-kun."

Tetsuya tertegun sejenak.

Ambil sisi baiknya saja. Well, jika sisi baik itu adalah kedatangan Ryouta secara mendadak meski dengan alasan menjemput Mia sekali pun, Tetsuya terkadang sulit mengerti mengapa laki-laki pirang itu mau repot-repot datang tiga jam sebelum waktu pulang. Ditambah lagi, karena hubungan mereka disebut sebagai teman lama, Ryouta jadi lebih memiliki akses luas memasuki tempat penitipan. Rekan-rekan kerjanya pun dengan mudah mengenal Ryouta.

(Terlebih karena Kise Ryouta adalah model. Ya, model. Dan, oh, sifat supelnya yang tinggi.)

Adakala Ryouta sengaja mampir meski Mia sendiri akan dijemput oleh kakak perempuannya. Alasan seperti; 'ingin mengobrol dengan Kurokocchi-ssu' atau 'pulang bersama selesai kerja' dan baru-baru ini dengan modus 'aku perlu rekomendasi buku dari Kurokocchi. Antar aku ke toko buku, ya' yang sering kali Ryouta ucapkan. Semua itu ditawarkannya dengan begitu ringan dan lugas. Seolah-olah Ryouta tahu bahwa Tetsuya tak kuasa mengucap penolakan.

Dan Tetsuya kadang bersikap labil. Sisi lain ia tidak bisa menolak kedatangan Ryouta, namun sisi lainnya pula ia seolah menolak karena Tetsuya masih perlu waktu untuk mengenali wajah Ryouta lebih cepat. Untuk itu, ketika tanpa sadar Tetsuya mengiyakan semua ajakan yang diberikan Ryouta, benaknya kembali berperang dengan kalimat; ini hanya reuni kecil, ini hanya reuni kecil.

Sebab, Tetsuya sadar, bahwa ada saat di mana kesibukan Ryouta sebagai model kembali datang dan frekuensi pertemuan mereka perlahan akan berkurang. Atau tak berlanjut sama sekali.

"Kurokocchi!"

Satu panggilan nyaring, dan pikiran Tetsuya lagi-lagi menjadi buyar. Ia bahkan tidak sadar dengan kedatangan Ryouta di ruang bermain.

"Hari ini Nee-san akan datang menjemput Miacchi. Untuk itu, kau ada waktu kosong pulang nanti, kan?"

.


~oooOOOooo~


.

Tetsuya menghela napas, lagi.

Ia mengamati diam-diam bagaimana Ryouta melahap olahan daging yang diapit dengan salada dan segarnya tomat, dibaluri pedas-asamnya saus kental, dan bagaimana sepasang roti bernama burger itu tergigit di antara gigi geraham Ryouta. Waktu belum terlalu larut saat Tetsuya menginjakkan kaki di Majiba, restoran cepat saji itu, dan dengan segala kesibukan para pengunjung juga bau panggangan yang menguar.

Dia tampak menikmatinya. Tetsuya tidak berusaha mengingat bagaimana eskpresi Ryouta, namun ia gatal ingin mencoba. Mengabaikan fakta bahwa ingatan tentang pahatan, gurat, ekspresi, kernyitan, bahkan tatapan seseorang tidak akan—dan mungkin tidak akan pernah—bisa diingatnya dengan mudah.

"Ada sesuatu di wajahku?"

Bola mata bergulir pelan. "Tidak," sahut Tetsuya datar. "Kise-kun lahap sekali, aku jadi mual melihatnya."

Astaga, kejamnya.

Namun Ryouta tergelak bebas. "Aku malah tidak tahan ingin menjejali Kurokocchi makanan. Setiap kemari, vanila milkshake itu yang selalu dibeli Kurokocchi. Ukurannya jumbo pula. Memang tidak berubah, ya."

"Menurutmu begitu?"

Bahu berkedik spontan. "Tentu saja, aku mengingatnya dengan baik."

"Aku tidak tahu Kise-kun mengingatnya, tapi terima kasih."

Kening mengernyit. "Kenapa harus berterima kasih?"

"Sebagai apresiasi." Intonasi suaranya tidak berubah; datar dan tanpa ekspresi. Bahkan ketika Tetsuya menyesap sejanak vanilla milkshakepesanannya, raut itu tak menunjukkan perubahan. "Aku sendiri ragu apakah aku mengingat satu atau dua hal tentangmu. Kalau boleh jujur, aku sempat tidak ingat orang yang menjemput Mia-chan waktu itu adalah kau, Kise-kun."

Tetsuya tertegun, dalam hati mengucap kalimat maki sepuas mungkin.

Ada apa dengan mulutnya yang bodoh itu? Mengapa ia mengungkit hal yang seharusnya tidak boleh ia ungkit di hadapan orang lain? Bagaimana jika ia salah berbicara? Bagaimana jika ia menyinggung perasaan Ryouta secara atau tidak sadar? Bagaimana jika Ryouta marah? Bagaimana jika—

"Aku mengerti, Kurokocchi."

Kesepuluh jemari pada lingkar gelas plastik milkshake-nya mengerat tanpa sadar. Tatapan Tetsuya menerawang ketika melihat Ryouta, hanya untuk memastikan bahwa sepasang hazel yang kerap kali memancarkan binar riang itu tidak meredup. Tetsuya tidak bermaksud, sungguh. Namun semua itu berhasil membuat bibirnya bungkam kala garis tipis pada paras Ryouta menekuk dengan begitu ringannya.

Seringan Ryouta terkekeh dengan mata menyipit dan kekehannnya berubah menjadi tawa kecil.

"Sejak awal aku bertemu Kurokocchi, aku sudah bisa menebaknya."

Kapan lebih tepatnya? Tetsuya mengerutkan kening. Kapan tepatnya ia pertama kali bertemu dengan Kise Ryouta? Saat jenjang menengah pertama dulu, tapi lebih spesifiknya... kapan? Tetsuya sama sekali tak menemukan wajah Ryouta pada masa-masa itu. Atau bagaimana mereka bertemu, atau pada keadaan seperti apa, atau juga dengan siapa dan atas alasan apa ia harus bertemu Kise Ryouta?

"Kurokocchi seolah menutup diri—ah, bukan seolah lagi, tapi memang selalu menutup diri. Well, aku memang tidak mengenal Kurokocchi sedekat itu, apalagi kita tidak pernah ditempatkan di kelas yang sama. Tapi karena Kurokocchi mengikuti klub, sedikitnya aku tahu."

"Klub, ya," Tetsuya merenung sejenak. Soal klub, ia jelas mengingatnya. Informasi itu menyelinap dengan gesit dalam memorinya. "Kalau tidak salah... basket?"

"Ya?"

"Klub yang kuikuti," Tetsuya tak ragu. "Klub basket."

Ryouta menatapnya, lama. Dan Tetsuya seakan mendapati kesan bahwa laki-laki pirang itu tengah berusaha menebak jalan pikirannya saat ini.

"Basket," ulang Ryouta, mengonfirmasi. "Kukira Kurokocchi melupakannya."

Kesalahan fatal. Karena tepat pada saat itu, Tetsuya mendeliknya dengan tajam.

"Tidak, tidak, bukan itu maksudku," pungkas Ryouta panik, terlebih begitu Tetsuya tak lagi menaruh minat pada pembicaraan mereka. "Err... bagaimana mengatakannya, ya. Kalau tidak salah, Kurokocchi keluar klub sebelum kelulusan, bukan? Waktu itu aku tidak mengerti kenapa Kurokocchi tiba-tiba menghilang, padahal aku—maksudku, kita semua—selalu mencoba memahami keadaan Kurokocchi. Selalu, sungguh. Tapi, kenapa?"

Suaranya mengecil, terselip ragu dan sikap demi menjaga perasaan. Dan Tetsuya, meski tidak ingin mengakuinya, sadar bahwa perkataan Ryouta sebelumnya berhasil mengetuk relung hatinya yang telah lama beku.

Ryouta benar. Kenapa?

(Dan pernyataan asing itu menyusup tanpa peringatan. Tanpa diminta. Tanpa aba-aba.)

Apa yang membuatnya ia menarik diri dari kehidupan di depannya?

"Coba dengar ini, Kurokocchi. Pertemuan kita memang belum lama, itu juga terjadi karena suatu kebetulan. Tapi, bisakah sedikit saja Kurokocchi menghilangkan pikiran bahwa keadaan Kurokocchi tentang pro—"

"Lupakan, Kise-kun."

Rasa manis vanila dan lembutnya susu mulai terasa hambar, Tetsuya berdiri dengan tergesa-gesa. Ia tak lagi menaruh perhatian pada vanilla milkshake-nya, tak juga terhadap ke mana perginya arah pembicaraan Ryouta, dan tak pula pada suasana Majiba dengan pelanggan yang berkurang. Tetsuya tidak ingin mendengar lanjutan kalimat Ryouta, atau konklusi dari pernyataan yang akan Ryouta katakan. Ia sama sekali tidak ingin mendengarnya.

Ryouta ikut berdiri, raut wajahnya sempat kecewa ketika Tetsuya meninggalkan kursi dan berjalan menuju pintu keluar.

"Kuro—"

"Kita pulang saja."

.


~oooOOOooo~


.

"Ki-chan! Cepat bangun!"

Oh, Ya Tuhan. Adakah hal yang lebih menyebalkan lagi ketika kau beruforia dengan duniamu sendiri, atau mimpi, atau apa pun itu sampai akhirnya lengking nyaring tanpa belas kasih itu menembus gendang telinga dengan paksa? Membuyarkan segala gambaran dalam benak dan—

"Ki-chan! Banguuuuuuuun!"

—ah, mari lupakan. Lagipula, percuma jika Ryouta menyangkal. Ia hanya perlu meyakinkan diri bahwa mengganti manajer hebat dan cekatan macam Momoi Satsuki adalah tindakan tolol. Ya, ya, ia hanya perlu meyakinkan diri.

"Berisik, Momocchi." Ryouta akhirnya mengerang, lantas berteriak parau begitu gorden kamar tidurnya disingkap kejam dan berkas-berkas cahaya sialan itu memasuki korneanya tanpa ampun. "Demi Tuhan, ini hari libur, Momocchi. Tidak ada jadwal pemotretan, aaaaargh!"

"Tapi bukan berarti kau harus bangun siang juga, Ki-chan. Bangun terlalu siang itu tidak baik bagi model."

Satsuki bersikukuh, tetapi Ryouta mengabaikan dan dengan enteng kembali menarik selimut lebih ke atas lagi; menutupi tubuhnya sepenuh mungkin. Terserahlah apa yang dikatakan gadis cerewet itu, Ryouta mengantuk.

Omong-omong, ini adalah keadaan yang klasik. Terbilang saking biasanya seperti kedatangan Ryouta sendiri yang mengunjungi apartemen Satsuki pada malam hari. Klasik, karena mengunjungi tempat satu sama lain tanpa pemberitahuan sekali pun, adalah hal yang lumrah. Seolah kenyataan mengumumkan bahwa hubungan mereka tak ubahnya seorang adik-kakak tanpa harus sebuah deklarasi resmi.

"Tunggu,"

Gagal terlelap, Ryouta menyingkap selimut dengan cepat. Gerakannya itu terbilang spontan saat ia dengan mudah terbangun dan mengambil posisi duduk. Matanya bergulir gesit, melirik Satsuki yang tengah asik bersenandung kecil dan berjalan mondar-mandi di lantai kamar luasnya. Dari lemari menuju meja rias, lalu ke arah rak buku, sebelum berhenti di depan cermin besar.

Dibandingkan dengan pekerjaannya sebagai manajer, hari ini Satsuki terlihat lebih muda dan santai (tidak, tidak, Ryouta tidak bilang gadis itu tua). Celana jins biru dongker, sweater rajut berwarna merah muda pastel, dan sepasang earphone yang menjejal telinganya.

"Momocchi kenapa bisa ada di sini?" Pertanyaan telak. "Aku tidak merasa meminta Mo mocchi kemari."

"Memang," jawab Satsuki lugas. "Tapi seseorang menelepon dan memintaku untuk datang kemari,"

Ryouta berspekulasi. "Nee-san?"

"Un," Satsuki berbalik dengan perlahan. Gadis itu tidak menyembunyikan sesuatu, dan Ryouta lekas paham tanpa penjelasan lebih. Ada sesuatu pada ekspresi wajah gadis itu. Sesuatu yang menyadarkan Ryouta akan rasa iba dan simpati. "Aku tidak akan bertanya, Ki-chan. Aku juga kemari hanya untuk memastikan keadaanmu."

"Meh," cebik Ryouta sinis. "Seperti anak kecil saja, eh?"

"Ki-chan—"

"Lalu, siapa yang membukakan pintu untukmu? Di bawah sana,"

"Eh? Ah, ya—Ibumu, Ki-chan. Ya, ibumu."

"Tidak ada sesuatu yang aneh?"

"Apa maksudmu?"

Jari telunjuk diangkat, berhenti sejenak saat ujung jemari menyentuh sudut kanan bibir yang melengkung; manis, manis sekali. Namun Satsuki tidak suka melihatnya.

"Warna biru, misalnya? Atau lebam kecil?"

Satsuki mematung. Gadis itu bahkan nyaris memekik dan menahannya cepat dengan kedua tangan membekap mulut. Sinar matanya belingsatan, air mukanya panik, tetapi Ryouta menanggapinya dengan sangat, sangat tenang. Layaknya menghadapi sesuatu yang wajar terjadi, atau memang seperti itulah yang seharusnya terjadi.

"Ki-chan," bisik Satsuki parau, kentara sekali ragunya. Ia menarik napas pelan-pelan, mengembuskannya dengan hati-hati, lalu berkata. "Kita lupakan saja dulu, ne?"

Ryouta tertawa keras. Suaranya cukup membahana di sekitar dinding kamar tidur dan sekat kosong di antara mereka. "Astaga, Momocchi, wajahmu aneh sekali."

Bibir digigit getir. "Ki-chan ..."

"Ya, lupakan saja, lupakan saja. Itu bisa membuatmu syok, Momocchi." Nada suaranya riang, sangat riang. Siapa pun yang mendengarnya tahu bahwa Ryouta adalah tipe laki-laki yang tak pernah mempermasalahkan sesuatu yang kecil. Atau hal sepele.

(Namun tak dapat dipungkiri pula, bahwa gurat-gurat yang tercetak pada paras Satsuki sedang mengatakan implikasi.)

"Nah, sekarang," sahut Ryouta kalem. Mengalihkan pembicaraan dengan begitu mudahnya. "Ada berita baru apa, Momocchi? Sampai kau repot-repot datang kemari."

.


~oooOOOooo~


.

"Acara reuni Teiko?"

Undangan bewarna putih aksen biru muda dibaliknya dengan penasaran sampai Tetsuya mendapati sederet kalimat resmi yang dicetak dengan apik. Neneknya bilang, kertas tebal itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu, tersimpan manis di kotak pos, tepat ketika sang nenek sedang asik menyibukkan diri dengan segala kusutnya benang rajut hingga membentuk syal wol hangat.

"Teiko itu sekolahmu yang dulu, bukan?"

Suaranya jelas, bibirnya terlihat keriput, dan Tetsuya melihat cincin perak bermata rubi yang tersemat manis di jari manis wanita tua yang tengah asik di kursi goyang belakang teras rumahnya—yang ditempati berdua—itu. Tetsuya mengenali sang nenek tanpa perlu waktu, tentu saja. Neneknya yang sehat. Walaupun ia tetap melihat paras wanita beruban itu dengan pandangan yang samar.

Cincin itu, pikir Tetsuya. Ciri yang paling menonjol untuk mengetahui bahwa wanita itu memang ibu dari ibu kandungnya sendiri.

"Begitulah," jawab Tetsuya enggan. "Tapi ini mendadak sekali."

"Apanya yang mendadak, Nak?" Benang wol ditaruh hati-hati, di atas meja kecil tidak jauh dari kursi goyangnya. Sadar ia tidak mendengar jawaban selanjutnya dari Tetsuya, sang nenek memberinya isyarat untuk mendekat dan mengambil tempat duduk di sampingnya. Namun Tetsuya dengan sopan menolak, bahwa tidak akan lama lagi ia akan keluar membeli persediaan bahan makanan. Terakhir kali ia mengecek kulkas, isinya tak kurang atau lebih selain salada dan wortel yang menumpuk rapi, sekotak susu yang jarang disentuh (untung tidak basi, bagusnya), botol-botol mineral, dan beberapa olahan mentah yang Tetsuya sendiri bingung harus diapakan. Sekilas terlihat penuh, tapi berjaga-jaga sebelum kehabisan ada bagusnya juga.

"Acaranya, tentu saja." Jeda sejenak, lalu, "Lewat delapan tahun terhitung, setelah aku lulus dari SMP."

"Kau terlihat tidak ingin menghadiri acara reuni itu,"

Suara Neneknya terdengar jenaka, meski menyelidik terselip dengan selintas. Tetsuya melirik sang nenek hati-hati, terlihat sibuk kembali dengan segala benang wol dan pola-pola rajutan rumit yang baru saja diambilnya.

"Kenapa Baa-san berpikir aku tidak akan datang?"

Nenek Tetsuya mengerling. "Aku tidak bilang kau tidak akan datang," sahutnya puas, " tapi kau hanya terlihat tidak ingin menghadirinya."

Mau tak mau, Tetsuya tersenyum tipis. Ibu dari ibunya itu, walaupun berada ditapak umur tujuh dekade—atau mungkin lebih—diam-diam masih memiliki daya pikir yang tajam. Dia tentulah wanita yang suka sekali mengamati keadaan sekitarnya.

"Begitukah?" Tetsuya menarik hoodie tebal yang menggantung di hanger khusus, lalu memakainya. Selang lima detik ponsel diraihnya hanya untuk membaca beberapa notifikasi yang masuk; pesan singkat dari rekan kerjanya, pemberitahuan layanan satelit, dan beberapa di antaranya pesan sayang dari bibinya mengenai keadaan sang nenek.

"Terlihat jelas, anak muda," balas Nenek Tetsuya kalem. Begitu kalem sampai-sampai merajut pun menjadi pekerjaan paling mudah di dunia. "Tidak perlu memaksakan diri untuk datang, jika memang tidak ingin. Tapi menurutku, ini acara yang tidak sering terjadi. Kau mungkin ingin bertemu dengan seorang kawan lama, misalnya?"

Kawan lama... ya.

Entah mengapa benaknya seakan memiliki gerak autopilot sendiri untuk menemukan bayang-bayang Ryouta di dalamnya—tidak, bukan wajahnya, tapi ciri khas yang dimilikinya. Laki-laki itu termasuk jajaran kawan lama, bukan?

"Kalau Baa-san membaca pikiranku, aku akan lebih senang menemani Baa-san di sini."

"Ah, jangan terlalu memanjakan wanita tua, anak muda," balasan neneknya tidak terlalu membuat Tetsuya terkejut. Sudah biasa. "Jangan jadikan hal itu alasan kalau kau sebenarnya takut."

Gerakan pada layar ponsel terhenti, Tetsuya statis tiga sekon, sebelum akhirnya ia tertawa kecil. Pengontrol emosi yang baik sekali, atau paling tidak, begitulah pikir Nenek Tetsuya. Cucunya itu terkadang cerdas menyembunyikan perasaan, tapi payah ketika berdusta.

"Merasa takut itu wajar, lumrah di setiap diri manusia, tapi akan tidak baik jika terjadi terus-menerus."

"Baa-san pasti mengerti," tanggapan Tetsuya mengawang. "Kita lihat saja nanti, berubah pikiran di saat-saat tertentu juga tidak ada salahnya."

"Nah, aku tidak terlalu memaksakan, Tecchan."

Seulas senyum dipulas lugu, tak perlu sahutan lebih. Neneknya itu memang dan pasti mengerti.

Setidaknya, Tetsuya berharap begitu.

.


~oooOOOooo~


.

Ada masa dimana Tetsuya melakukan keisengan kecil, dan ia berdalih dalam hati bahwa ia melakukannya karena kebetulan memiliki waktu senggang. Misal seperti sengaja melewati jalan yang lebih jauh sepulang berbalanja, mengambil rute yang memakan waktu, dan menikmati setiap detik yang berharga itu seorang diri.

Orang biasanya tidak terlalu memerhatikan keadaan sekitar, namun Tetsuya mempunyai tipikal yang satu ini.

Ia menyukai tapak-tapak jalan yang dilaluinya, karena ia mengingatnya dengan mudah. Warna abu itu, permukaan kasar dan gesekan sol sepatu para pejalan kaki; monotonis, diabaikan, tetapi nyata; kerikil-kerikil mini yang terkikis, genangan di tempat acak, bahkan tumpukan daun mapel dengan kuning, oranye, dan cokelatnya yang mencolok. Musim gugur disambut hangat oleh Tokyo, dan Tetsuya menyukai warna juga aroma yang sering kali menguar bebas. Campuran petrikor dan sisa-sisa daun kering.

Kadang, Tetsuya tak ubahnya seorang turis tersesat. Ia mengamati, yang kebanyakan dari mereka adalah benda mati, atau interaksi yang hidup dan mati, atau sesuatu antara manusia dengan benda mati. Dan dari pilihan-pilihan sepele itu, Tetsuya tidak terlalu mempedulikan interaksi dengan orang-orang sepertinya. Percuma, pikirnya. Pandangan Tetsuya seolah mengabur ketika memandang lekuk wajah seseorang. Ia melihat, namun tidak mengingat. Ia menatap, tetapi bertanya-tanya siapa mereka.

Miris sudah pasti menjadi nama tengahnya. Maka, jangan salahkan seorang Kuroko Tetsuya jika ia, dalam keadaan apa pun, baru atau pun lama, mengenal atau tidak, terlihat lebih senang menarik dan menutup diri serapat mungkin terhadap kehidupan sosial.

"Hup!"

Tepat ketika Tetsuya sadar bahwa jalan pikirannya selama ini tak pernah menemukan ujung, langkah kakinya mendadak berhenti. Itu terhitung selama sepuluh detik sejak ia menoleh dengan gerakan patah-patah, sedikit enggan dan ragu, hingga jeruji-jeruji tak asing di matanya itu mengingatkan Tetsuya akan sesuatu.

Lapangan basket.

Terletak tidak jauh dari taman kota berada. Kursi-kursi di sisi lapangan, dua tiang ring sebagai penghasil poin, dan tong sampah yang membisu. Lengkap dengan semburat oranye di ufuk barat yang mampir dengan sangat, sangat perlahan.

"Yosh! Three point!"

Dan alto riang yang ditangkap gendang telinganya, hingga Tetsuya berpaling secara impulsif, menengadah diam-diam hanya untuk menangkap bayang-bayang karena sinar senja yang menyorotnya. Kaki lincah yang berlari itu, pantulan bola karena dribble gesit itu, benturan aspal dan karet, dilalui decit sepatu yang disengaja, lalu—bang! Poin yang didapatkan.

Terakhir, Tetsuya mendapati kilau-kilau pirang itu jatuh, menyentuh keningnya dan bulir keringat yang mengalir. Dan ketika mata mereka bersirobok pada sekon selanjutnya, Tetsuya refleks mengernyit; samar.

Warna hazel yang memikat.

Namun Tetsuya tak dapat menghilangkan kesan bahwa iris kembar yang dipandanginya itu menyimpan sejuta cerita yang sengaja disembunyikan. Kosong, menerawang, misterius, namun menarik dengan caranya sendiri.

"Oh!"

Dan ketika senyum lebarnya tersungging, Tetsuya mundur perlahan.

... siapa?

.


~oooOOOooo~


.

"Akui saja, Kurokocchi. Kau tadi tidak mengingatku, kan?"

Bundar oranye dilempar asal, memantul dengan gerak parabola simpel, dan menggelinding acak lalu berhenti di ujung sepatu Tetsuya. Pemuda biru muda itu membungkuk sejenak, mengambilnya, dan dilihatnya sesaat begitu jari-jarinya merasakan tekstur yang kasar.

"Tidak baik berkata seperti itu, Kise-kun," ujar Tetsuya akhirnya, datar seperti biasa. "Jangan seenaknya mengambil kesimpulan."

"Aku hanya bertanya, hanyabertanya, sensitif sekali," Ryouta merajuk. Bibirnya maju beberapa senti, "kalau begitu, biar kuganti. Kenapa Kurokocchi biasa ada di sini?"

"Memang kenapa jika aku ada di sini?" Tetsuya beringsut maju, mendekati kursi panjang terdekat sembari menaruh kantong belanjaan di atasnya. "Lagipula, ini tempat umum, Kise-kun."

"Ya Tuhan," Ryouta menepuk kening dengan gaya dramatis. "Sulit sekali berbicara dengan Kurokocchi. Baiklah, lupakan saja. Ini kebetulan yang lucu, ya? Kurokocchi sedang libur, kan?"

"Seperti yang Kise-kun lihat," balasannya cukup normal. Tidak mengiyakan, tidak pula menyalahkan. "Lalu, Kise-kun sendiri?" bola basket dilemparkan, lantas ditangkap Ryouta dengan tangkas.

Ryouta nyengir. "Sama sepertimu, ini waktu berhargaku, kau tahu?" Ia segera melesat lincah, berlari memutari Tetsuya, men-dribble dengan gerakan yang cepat, berhenti di momentum yang cocok, dan dunk di akhir aksinya. Bang! Bola masuk dengan mulus hingga jaring-jaring ringbergoyang.

Bola mata Tetsuya berbinar. Ada sesuatu yang mengetuk sudut hatinya dengan manis, mengantarkan Tetsuya pada masa-masa ia berdiri di lantai licin gedung olahraga sekolah, decit sol sepatu yang tak ada hentinya, dan bagaimana bola karet oranya itu dilempar, memantul, menggelinding, bahkan tergenggam di antara jemari-jemarinya.

Semua itu menyusup layaknya kaset video yang sengaja diputar ulang.

"Bernostalgia, heh?" suara Ryouta menariknya kembali ke alam nyata. "Kurokocchi ingin mencoba?"

Tetsuya tidak suka dengan nada meremehkan Ryouta, tetapi pertanyaan itu diacuhkannya.

"One on One, misalnya?"

Satu tarikan simpul, dua sudut berlawanan yang menekuk geli, dan Tetsuya membiarkan tubuhnya bergerak cepat sebagaimana yang diperintahkan kedua kakinya. Ia merebut bola di tangan Ryouta dengan gesit, melakukan dribble selincah mungkin, dan menghindari di waktu-waktu tertentu begitu Ryouta tergiur oleh permainannya. Ryouta adalah pemain yang handal, atau begitulah pikir Tetsuya. Semua itu terlihat dari cara bagaimana laki-laki itu melakukan defend dengan tegas, perhitungan merebut bola dengan akurat, sampai kejelian matanya mengikuti arah ke mana perginya bola di tangan Tetsuya.

Ryouta terlihat begitu bebas. Tetsuya melihat hal-hal sepele itu dengan jelas. Bagaimana gerak tubuhnya, kerlingan tajamnya, kedipan yang terjadi di bawah bulu mata lentik itu, juga seulas senyum yang tak pernah berhenti terbit pada parasnya. Buram, memang. Tapi ia melihatnya.

Dia adalah Kise Ryouta.

Dan Tetsuya tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya mengenai seseorang. Apa yang dikatakan oleh otaknya adalah benar. Laki-laki pirang itu, yang berlari di antara lapang kosong dan pantulan bola secara acak, adalah Kise Ryouta.

"Sejak dulu, aku selalu mengagumi Kurokocchi. Selalu." Di sela-sela napas terengah dan lelah yang mulai mampir, Ryouta bercerita. "Harus kuakui, kemampuan menghilang Kurokocchi memang hebat,"

Bola direbut halus, Ryouta mengerang ketika Tetsuya berlari sejauh dua meter di depannya. Melakukan dribble dengan begitu ringan.

"Tapi," lanjut Ryouta kemudian, melakukan offense begitu posisi Tetsuya bersiap-siap melakukan shoot. "Aku ragu apakah tembakan Kurokocchi berkembang."

Bang.

Perkiraan Ryouta tidak meleset.

Tepat dua sekon Tetsuya melakukan shoot, bola itu tak pernah masuk melewati jaring. Seperti waktu itu, seperti di arena yang sama ketika gymsedang ramainya, seperti kemampuan Tetsuya selama ini. Namun Ryouta tak pernah sekali pun bermaksud menyinggung perasaan Tetsuya. Meskipun Tetsuya sendiri tak terlalu mempermasalahkannya.

Tetsuya mengerang kecil, gelak tawanya membahana sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti. Membiarkan benda mati bundar ajang nostalgianya itu menggelinding perlahan, membentur tong sampah terdekat; bisu, dan Ryouta sengaja mengabaikannya.

"Kemampuan Kise-kun tidak pernah berubah," Tetsuya menarik napas dalam-dalam, mengahalau sesak di dadanya. "Masih kuat seperti dulu."

"Kalau tidak salah, aku pernah bilang kalau aku sempat melanjutkan basket di SMA," jelas Ryouta lancar, "tapi setelah itu, kemampuanku menjadi tumpul karena berhenti begitu saja."

Belum ada tanggapan. Mereka menepi dengan tubuh kelelahan, mengingat faktor usia masing-masing sudah melewati angka dua puluh. Namun, keduanya sama-sama puas. Sama-sama tidak menyesal. Dan sama-sama terbawa suasana layaknya masa muda ketika umur belasan tahun.

"Kise-kun tetaplah Kise-kun, tak ada yang berubah dari hal itu."

Ryouta tidak membalas, tidak juga menyahut riang seperti biasanya.

Tetsuya tidak terlalu menganggap penting suasana canggung yang tercipta secara mendadak di antara mereka, berpikir bahwa Ryouta sebenarnya menanti.

"Kadang, aku merasa iri pada Kise-kun."

Barulah saat itu, Ryouta menoleh. Matanya melebar penuh dengan rasa tidak percaya.

"Memang benar, aku sulit mengingat Kise-kun dengan mudah, apalagi saat Kise-kun datang dengan tiba-tiba," tidak, tidak, arah pembicaraannya tidak melenceng. "Tapi, terlepas dari semua itu, Kise-kun terlihat..."

Helaaan napas terdengar.

"... begitu bebas."

Ketika Tetsuya ikut menoleh dan membalas iris hazel milik Ryouta, ia terpaku.

Ada yang salah. Sesuatu yang menyusup di balik warna madu Ryouta, melintas dengan begitu apiknya dan nyaris tidak terdeteksi. Tetsuya boleh saja berkata bahwa pahatan mata, tulang hidung, rahang tegas, pipi tirus, juga belahan bibir yang dilihatnya saat ini terlihat samar. Tetapi faktanya, Tetsuya bisa mengenali makna di balik binar sepasang mata Ryouta.

Mata itu menerawang. Kosong, seperti mata orang mati. Tidak berekspresi, namun menyimpan sejuta luka yang tersembunyi. Ryouta tak ada di sini. Pikiran laki-laki itu berkelana jauh. Ryouta duduk di sampingnya, namun jiwanya gamang. Tetsuya bertanya-tanya; apa yang sedang kau pikirkan, Kise-kun?

"Menurutmu begitu?"

Tetsuya mengernyit.

"Apalagi yang harus kujelaskan, Kise-kun?"

Kau tidak sepertiku, Kise-kun. Tidak sepertiku. Kau tidak berbeda.

"Well, bagaimana menjelaskannya, ya? Mungkin terdengar klise, atau Kurokocchi sudah sering mendengarnya. Ada saat dimana," Ryouta menelan ludah susah payah, "sesuatu yang Kurokocchi lihat dan simpulkan ternyata tidak seharusnya begitu. Atau memang bukan seperti itu kenyataannya. Tidak, tidak, bukan maksudnya aku melarang Kurokocchi beragumen. Aku hanya merasa kalau ..."

Senja hari itu sepi. Dan Tetsuya tak berniat untuk merusaknya.

"... kata bebas yang Kurokocchi katakan tadi kurang tepat—ya, seperti itulah."

Tetsuya, pada detik ketika akhirnya ia sadar akan perubahan nada suara laki-laki itu, refleks meraih ujung jaket Ryouta. "Apa aku salah berbicara?"

"Tidak!" elak Ryouta, "tidak sama sekali. Kurokocchi jangan cemas, aku hanya berusaha meluruskan saja." Ia tertawa riang. Begitu riang sampai-sampai Tetsuya sendiri tidak yakin apakah tawanya nyata.

"Tapi—"

"Nah, kita lupakan saja apa yang kukatakan tadi. Maaf membuatmu bingung, Kurokocchi."

Batin Tetsuya berperang, kenapa harus meminta maaf kalau kau memang tidak bersalah? Walau akhirnya Tetsuya harus menyimpan pertanyaannya itu di ujung lidah dan mengikuti arus yang diberikan Ryouta untuknya. Tak apa. Lagipula, hubungan seperti apa yang dimilikinya bersama Ryouta sampai ia harus bertanya sejauh itu?

Obrolan mereka terputus oleh hening, ketika Ryouta beringsut dan mengambil bola basket yang telah lama dilupakan, membisu dalam percakapan mereka. Ia lantas menengadah, memastikan bahwa langit belum benar-benar malam dan sinar lembayung masih membayang.

"Oh, aku jadi ingat." Hening itu pecah oleh Ryouta. "Akhir pekan minggu depan nanti, ada waktu senggang?"

"Tergantung," jawaban Tetsuya tak lebih dari tiga sekon, pemuda itu langsung bangkit dan meraih kantong plastik belanjaan. Waktunya pulang, sebelum keadaan menahannya lagi. "Senggang seperti apa yang Kise-kun inginkan?"

Ryouta meringis. "Aku tidak tahu waktu senggangmu bisa terbagai macam-macam bentuk,"

Tetsuya, sadar tak sadar, tertawa dibuatnya. "Memang ada apa, Kise-kun?"

Bahu berkedik ringan. "Kurasa Kurokocchi tahu, acara reuni SMP Teiko."

Ah, benar juga. Sekarang, Tetsuya jadi menyesalkan pertanyaan sebelumnya. Sekarang, ia sedikitnya tahu ke mana perginya arah pertanyaan Ryouta.

"Tidak."

"Eeeeeeh? Aku kan belum bilang apa-apa."

"Tapi aku tahu maksud, Kise-kun," Tetsuya berbicara dengan nada biasa, sungguh. Tapi terdengar sangat menyebalkan. "Sepertinya aku sibuk hari itu."

"Bohong! Kurokocchi pasti bohong-ssu. Berbohong itu tidak baik, lho."

"Berisik, Kise-kun." Tetsuya berjalan melewatinya, melangkah di sepanjang jalan keluar lapangan. "Kalau mau, Kise-kun bisa cari orang—"

"Kurokocchi sedang tidak menghindar, kan?"

Langkah Tetsuya berhenti. Statis tanpa aba-aba.

"Maaf kalau ini terdengar lancang," Ryouta tak memberinya waktu untuk membalas. "Tapi, pernahkah Kurokocchi memberikan kesempatan satu kali saja? Bukan untukku, bukan juga untuk siapa pun, tapi untuk Kurokocchi sendiri. Tidak lebih."

Ryouta tidak memohon untuk kepentingan dirinya sendiri. Tetsuya sadar akan hal itu meski ia bersikeras menolaknya. Ia bisa saja menyematkan kata egois pada nama tengah Ryouta, namun Tetsuya sama sekali tidak menemukan dirinya bahwa apa yang dikatakan laki-laki pirang itu adalah salah.

"Ne, Kurokocchi, jangan takut."

"Aku tidak takut, Kise-kun."

Senyum sang model dipoles lugas. "Kalau begitu, percayalah. Kalau Kurokocchi takut, kenapa tidak mencoba menggali ingatan yang baru saja?"

Percayalah.

Ah, inilah Kise Ryouta. Yang dengan mudah mengucap dusta kecil untuknya.

.


~oooOOOooo~


.

Nyatanya, Ryouta selalu menang.

Bukan dalam artian layaknya ia mendapat penghargaan model terbaik, atau tawaran gaji yang besar, atau juga pesan-pesan manis yang diberikan para haters-nya. Ryouta memberikan perhatian khusus untuk kemenangan yang satu ini.

Hari itu, tepat ketika tujuh hari yang lalu ia bertemu Tetsuya dan mengajaknya datang bersama di acara reuni Teiko, Ryouta tak sedikit pun merasa ragu. Tetsuya mungkin menolak ajakannya. Kemungkinan itu memang tidak mustahil. Namun, dalam persentase keyakinan Kise Ryouta, ia memberikan nilai delapan puluh terhadap penolakan Tetsuya.

Tetsuya sempat menolak ajakannya tanpa tedeng aling-aling. Tetapi Ryouta selalu menang.

"Tidak apa-apa kan, Momocchi?"

"Apanya tidak apa-apa!? Dasar bodoh!"

Model pirang itu berjengit sesaat, nyaris melepaskan earphone yang tersemat manis di kedua telinganya jika suara sang manajer di ujung sana tidak lekas melunak.

"Ayolah, cuti satu minggu lagi tidak akan menjadi masalah, bukan?" pinta Ryouta, agak merajuk di akhirnya. Dengan tidak sopannya membayangkan bagaimana ekspresi Satsuki saat ini. "Kau harus tahu Momocchi, acara reuni itu kesempatan langka untuk bertemu kawan lama. Kenapa Momocchi tidak mengerti, sih?"

Satsuki mendengus gusar. "Bukannya aku tidak mengerti, Ki-chan,"

Ryouta manggut-manggut, fokusnya terbagi antara suara nyaring Satsuki dan beberapa kaset musik yang tersimpan rapi di lemari penyimpanan kamarnya. Omong-omong, Ryouta sibuk membereskan lemari kaset-kasetnya itu tepat sebelum Satsuki menelepon. Dan ketika gadis itu menghubunginya, rasa malasnya langsung menyerang tanpa ampun.

"Tapi kau sudah terlalu lama mengambil cuti," lanjut Satsuki cemas, "aku juga tidak tahu harus memberi alasan apa lagi kepada agensi."

"Katakan padanya hanya sampai minggu depan, atau setelah acara reuni selesai, sungguh," Ryouta mendesah pasrah. "Sekarang, aku benar-benar sedang menghargai waktu cutiku, Momocchi."

"Selalu saja berkata seperti itu," gerutu Satsuki, "aku tidak akan ragu kalau Ki-chan punya kekasih, hubungan kalian tidak akan bertahan sampai satu bulan."

"Astaga, kejamnya," walau begitu, Ryouta tetap tertawa. "Momocchi kalau dendam padaku langsung datang saja. Tidak perlu mengancam,"

"Aku serius, Ki-chan."

"Baiklah, baiklah," alto dalam suaranya melembut. "Aku serius kali ini. Sampai acara reuni SMP-ku selesai."

Dengusan samar kembali terdengar, datangnya dari arah yang sama. "Aku pegang kata-katamu, Ki-chan. Kalau sampai—"

"RYOUTA!"

Ucapan Satsuki terputus. Ryouta mematung panik kala dsenting beling yang pecah di bawah sana terdengar. Lalu teriakan histeris ibunya yang menggema.

"Hentikan!" Lagi, sesuatu yang dilempar dan pecah. "Ryouta!"

Di sisi lain, panggilan panik Satsuki di ponselnya tidak berhenti.

"Ki-chan? Tunggu! Ki-chan!"

Namun, Ryouta tak mendengar. Ia dengan cepat melesat maju ke arah pintu, nyaris membanting ponsel begitu ia berlari terburu-buru dan menuruni anak tangga. Secepat ketika Ryouta mengikuti insting otaknya, menemukan sosok rapuh ibunya bersimpuh sambil menangis di ruang tengah. Secepat teriakan histeris itu kembali menggema, ketika satu tangan pria tua di depannya melayang tanpa tedeng aling-aling, dan secepat pula bagaimana Ryouta melemparkan diri, merentangkan kedua tangan di seluruh tubuh ibunya, memeluknya erat, dan sekuat tenaga menahan segala jeritan di ujung tenggorokan kala panas dan nyeri menjalar langkas di area punggungnya.

"Hentikan! Hentikan!" Ibunya semakin histeris. "Ryouta! Ryouta!"

"Menyingkir Ryouta! Kau berani melawanku, hah!?"

Ryouta bungkam. Tak ada suara yang berani dikatakannya, tak ada protes, tak ada aksi yang dilakukannya selain merengkuh wanita rapuh meski berontak untuk melepaskan diri.

"Sudah kubilang, menyingkir!"

Bahkan ketika pukulan itu berubah menjadi sebuah tamparan, dari tamparan beralih pada tendangan yang diikuti serentetan kalimat maki dan kutukan, Ryouta tetap bergeming. Mengabaikan ibunya yang semakin histeris; memohon ampun untuk berhenti. Dia anakmu, dia anakmu. Ryouta menggigit bibir, tidak boleh, ia tidak boleh menangis. Aku yang melahirkannya. Jangan melukainya, jangan melukai anak kita.

Sekujur tubuhnya sakit, ia seperti pesakitan, tetapi Ryouta tidak mengeluh.

Kumohon, hentikan. Ryouta, hentikan. Ikuti apa kata ayahmu.

Ryouta tidak pernah mengeluh.

.


~oooOOOooo~


.

"Sudah memutuskan, anak muda?"

Langkah Tetsuya terhenti, dari niatan kaburnya, dari ponsel yang sedari tadi menjadi fokus utamanya. Nenek Tetsuya duduk seperti biasa, di atas kursi goyang depan televisi tepat di ruang tengah. Alat rajut berada di pangkuannya, namun Tetsuya tahu bahwa pikiran wanita tua itu bisa menjadi terbagi dua dan memiliki fokus tinggi di masing-masing keadaan. Tetsuya tak berani bertanya jauh, tinggal menunggu sebentar lagi dan bibir keriput neneknya kembali berkicau.

"Dalam hal apa?"

Atau tidak sama sekali.

(Tetsuya bisa menjadi pribadi yang tidak sabaran, kalau boleh.)

"Mendatangi acara reuni itu, apa lagi." Afirmasi dalam nada suaranya tidak bertanya, tidak pula menebak-nebak. "Kulihat tadi kau mengecek ponselmu terus, Tecchan. Bahkan sampai makan malam selesai, ponsel itu tidak pernah lepas." Tetsuya bersumpah ia dapat melihat sudut bibir neneknya tertarik usil. "Menunggu seseorang?"

"Ah, soal itu," sial¸ Tetsuya mati kutu. "Begitulah, Baa-san. Aku baru saja berubah pikiran, kurasa."

"Hm, hm." Sang nenek mengangguk beberapa kali. "Keputusan yang bagus, anak muda."

Dalam hati, Tetsuya berharap hal yang sama.

.


~oooOOOooo~


.

Pukul 11.58 sebelum mendekati tengah malam. Dan malam itu dingin.

Ryouta merapatkan mantel yang dikenakannya.

Ia berjalan di antara padat khalayak umum, gemerlap kehidupan Tokyo di malam hari, dan lampu-lampu jalanan yang meredup ketika ia berjalan di sepanjang trotoar kawasan terisolir. Memang tidak terlalu terpencil, walaupun pada akhirnya langkah Ryouta berakhir di tempat yang sama.

Tempo lalu, ketika ia dan Tetsuya bermain one on one dengan begitu bebasnya.

Lapangan basket itu sepi, tentu saja. Namun Ryouta menyukai keheningan yang menyusup di sela-sela epidermis kulitnya yang mendingin, meski sekujur tubuh terlindungi oleh hangatnya mantel. Tidak ada yang bisa dilakukannya, tidak ada. Kecuali ...

... oh.

Satu tangan merogoh saku, begitu tipisnya ponsel dalam genggaman, ia meraihnya. Layar ponsel disentuh terburu-buru, jarinya gemetar, gemetar, tetapi Ryouta berhasil membuka ikon kunci dan menggesernya sampai deretan aplikasi papan tombol angka memenuhi layar. Ryouta ingat, ia mengingatnya. Pertemuan kesekian kalinya bersama Tetsuya yang berakhir dengan nomor dan alamat email masing-masing saling ditukar.

Nomor satu.

Ryouta menaruhnya di nomor satu. Setelah ia—dengan berat hati—menggeser posisi Satsuki jadi yang kedua.

Angka ditekan lama, tidak sampai dua detik dan panggilan terhubung. Sampai ponsel menempel hati-hati di telinga kirinya.

Tunggu, batinnya menegur. Bagaimana jika dia sudah tidur? Terlelap dalam mimpi. Bagaimana jika panggilannya tidak sampai?

Dering pertama, belum ada tanda-tanda akan diangkat.

Bagaimana jika dia tidak mendengar?

Dering kedua, masih sama. Harapannya tipis sekali.

Kurokocchi, kumohon angkat.

Dering tiga—pip, hening sejenak, lalu—

"... Kise-kun?"

Akhirnya, Ryouta menelan ludah susah payah. Tak ada satu pun—ia ulangi—tak ada satu pun hal yang bisa membuatnya selega ini selain mendengar suara datar seorang Kuroko Tetsuya ketika Ryouta benar-benar di ambang batas untuk menyerah.

"Halo? Kise-kun?"

"Ya, ini aku." Ryouta mencoba tertawa. Ia harus tertawa dan terdengar bahagia. "Maaf mengganggumu malam-malam sekali, Kurokocchi."

Tetsuya menghela napas, mungkin pemuda itu tidak keberatan. "Tidak apa-apa, kebetulan sekali aku juga belum tidur," katanya pelan, "ada apa meneleponku, Kise-kun?"

Bahu Ryouta tersentak pelan. Benar juga, untuk apa ia meneleponnya?

"Entahlah," kepala mendongak perlahan, memandang horizon tak terbatas dengan hitam dan biru dongker sebagai kanvasnya. "Hanya ingin memastikan, mungkin?"

Jeda sejenak, lalu, "Maksudmu, acara reuni lusa nanti?"

"Hm, hm," gumam Ryouta, tidak terlalu jelas. "Kurokocchi bisa, kan?"

Lagi, hela napas dilakukan. Kali ini lebih berat dan pasrah. "Kise-kun sudah menanyakannya berulang kali, kenapa sekarang harus bertanya lagi?"

Ryouta tertawa. Ia benar-benar tertawa sekarang.

"Sudah kubilang, bukan? Hanya memastikan." Ryouta lantas berjongkok, menyerah pada kakinya yang terasa pegal, setelah itu menumpukan dagunya di antara kedua lutut yang menekuk. "Well, mengajak Kurokocchi ke acara reuni itu tidak mudah, kau tahu. Jadi aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas i—"

"Kise-kun," panggil Tetsuya tiba-tiba; janggal. "Ada apa?"

Jemari pada ponsel mengerat tanpa sadar. Demi Tuhan, berhentilah bertanya. Ryouta memahami pertanyaan itu, ia memahaminya dengan sangat. Memahami nada simpati dan khawatir yang terselip ketika Tetsuya bertanya dengan begitu polosnya. Ryouta mengerti.

"Tidak ada apa-apa."

Namun, mengapa bibirnya kerap kali mengucapkan dusta yang sama?

Ada hening untuk sekon yang tidak ingin Ryouta hitung. Dan suara menenangkan Tetsuya kembali mengudara.

"Kise-kun yakin?"

Bibirnya gemetar saat Ryouta mencoba terkekeh. "Sangat."

Kebohongan lagi. Dan ia begitu tolol, begitu tolol, karena dua pelupuk matanya mulai terasa panas.

"Baiklah, karena ini sudah sangat malam, sampai sini saja, ya, Kurokocchi." Ia tidak mau memberi Tetsuya kesempatan. Dadanya terlalu sesak jika Ryouta bersikukuh untuk melanjutkan. Ia tidak tahan, cukup. "Sekali lagi, maaf mengganggumu malam-malam."

Tetsuya tak langsung menjawab, walaupun pada akhirnya ia membalas dengan ragu. "Selamat malam, Kise-kun."

Ryouta memejamkan mata, lalu tertawa getir. "Selamat malam."

Pip—sambungan dimatikan.

Ponselnya menempel dengan setia, genggaman kelima jarinya enggan berpindah, dan Ryouta tak melepasnya dengan terburu-buru; sampai ia menyerah, sampai ia tak lagi berpikir, sampai lengannya bergerak dengan begitu perlahan dan jatuh di sisi tubuhnya.

Sampai Ryouta sadar bahwa ia benar-benar sendiri dengan sesak menggerogoti relung hatinya.

Sampai Ryouta meyakinkan diri bahwa ia tak boleh menangis.