Mysterius Man

.

Silahakn dibaca bagi yang suka

.

Tidak suka jangan coba-coba

.

Ini kawasan NaruHina

.

Blurb : Hinata penggemar warna ungu tertarik dalam kehidupan seorang pria bernama Naruto. Pria yang penuh teka-teki. Karena keingintahuan yang begitu besar, membuat Hinata ikut masuk dalam kehidupan tak terduga seorang Naruto.

.

Terimakasih, silahkan membaca.

.

.

"Oh ... Sial!" Dadaku benar-benar serasa tebakar. Gara-gara alarm sialan yang tidak berbunyi, hingga aku harus mengejar waktu agar tidak telat sampai kantor.

Lebih sialnya lagi, rambut indigoku tidak aku ikat. Sementara aku terburu-buru membawa motor matic ku. Dan itu sukses membuat rambutku berantakan bak manusia primitif yang nyasar di gedung tinggi bernama kantor.

"Hinata." Aku hapal benar dengan suara centil melengking yang tengah menyapaku. Ino, gadis berambut pirang panjang itu melambai mengajakku bergabung. Aku berjalan menghampirinya.

"Belum nyalon ya?" Kiba, cowok energik dan suka bicara blak-blakan itu terkikik meledek rambutku. Aku melempar pandangan kesal padanya.

"Yang pasti alarmnya rusak lagi." Sakura menyambung ucapan Kiba. Ah gadis itu memang paling perfect menurutku. Cantik, pintar, ramah dan sudahlah aku tidak ada apa-apanya. She is Miss Perfecto.

"Nih! aku udah pesenin makanan kesukaan kamu. Aku tahu kalau kamu pasti bakalan telat. Mumpung ada waktu makan dulu, gih." Memang kebiasaan Ino, selalu memesankan makanan untukku. Karena dia hapal betul kebiasaanku pasti selalu mepet sampai ke kantor.

Dan di sinilah kami berempat. Di bangku kantin paling pojok langganan kami sarapan ataupun waktu istirahat jam kerja. Ah perutku sudah bernyanyi ria, ditambah lagi bau sup yang menguar melewati hidung mungilku. Membuat perutku semakin gaduh.

Saat aku mulai menyantap sup, mataku terpaku pada satu tempat. Tepatnya di balik pintu masuk kantin. Disana aku melihat sesosok pria dangan rambut pirang sedang berdiri. Matanya menyapu seluruh isi kantin. Tanpa diduga, irisnya berhenti pas pada diriku. Oh! Gila! Jantungku sampai mau copot. Aku gugup, mataku berkeliaran, sepertinya aku sudah ketahuan mengamatinya.

Ku lirik kembali pria yang rupa-rupanya memiliki mata biru langit itu. Dan yang membuatku semakin gugup. Ia berjalan menghampiri meja di mana tempat kami duduk. Aku semakin keringat dingin.

"Sakura-chan." aku berjengit. Entah kenapa jantungku semakin menjadi-jadi. Walaupun yang dipanggilnya adalah Sakura. Suaranya serak-serak dan err... Sedikit seksi menurutku.

Semua mata tertuju pada Sakura. Tapi aku benar-benar merasa panas dingin. Pria bermata biru itu kini berdiri di antara aku dan Sakura.

Mata Sakura seketika melebar, dengan wajahnya yang semringah. "Naruto? Ini beneran kamu? Kamu berubah banget," pekik Sakura.

Cengiran itu menyamarkan wajahnya yang dingin. "Nggak usah berlebihan Sakura. Aku tetap Naruto yang sama."

Aku mengamatinya, tapi bola mataku langsung aku alihkan saat ia akan melihatku.

"Apa kabar Sir. Kupikir kamu masih di London. Kapan balik?" tanya Sakura. Kupikir mereka memang sudah saling mengenal lama.

"Belum lama ini." Manik birunya mulai mengitari penghuni meja ini.

"Kamu nggak lagi oplas, kan?" Sakura mengamati Pria itu dari atas sampai bawah.

Ia tersenyum miring. "Oplas? Macam artis Korea? Pastinya aku nggak bakal bikin wajahku jadi plastik murahan."

"Naruto, kenalkan ini Ino, Kiba dan itu Hinata." Sakura menunjuk kami satu per satu.

"Hai semua ..." sapanya. Ya dia terlihat cool. Tapi aku masih belum mengenalnya, siapa tahu ada sesuatu yang berbeda dari dia. Seorang homo mungkin.

"Kamu ke sini kerja? Ouch! Jangan bilang kamu sekarang sudah jadi big bos ku yang baru." Sakura seakan mengintrogasinya.

"Big bos? Yang benar saja. Beliau nggak mungkin ngasih jabatan instan. Aku sama aja kayak kalian. Harus dari bawah." Suaranya terdengar sinis.

Big bos? Jabatan instan? Beliau? Pikiranku sekelebat menangkap bahwa, jangan-jangan dia anak Pak Bos.

"Hey, aku boleh gabung?" tanyanya pada kami. "Kalian ... Satu divisi?" Ia mengangkat alisnya.

"Tidak, aku dan Ino bagian finance. Sedangkan Sakura dan Hinata bagian marketing." Kiba mulai mnyerocos sok akrab. "Tapi, walaupun kami beda, kita tetep satu. Iya kan guys." cerocosnya lagi.

Ino memutar bola matanya. Merasa ngeh dengan sikap Kiba yang SKSD. Sedang aku masi terdiam, mengamati sup ku. Seakan-akan ada sesuatu yang menarik di sana.

"Kamu ..." Seketika jantungku bergerilya. Saat ia menunjuk padaku. Wajahnya menyelidik. "Aku melihatmu tadi. Cewek yang mengendarai matic ungu."

Melihatku? Kapan? Oh my God jantungku ingin meledak. "Kamu tadi yang kebut-kebutan itu, kan?" Suaranya yang dingin, hampir membuatku pingsan di tempat.

Kiba terkikik. "Mungkin dia mantan pembalap Moto Gp, kebut-kebutan."

Aku melirik sebal pada Kiba. Ia memang senang membuatku gerah dengan ucapannya.

"Menurutku, seorang wanita itu harusnya kalem. Merasa aneh aja melihat wanita kebut-kebutan." Dengan santainya ia berucap.

Aku siap-siap menyemprotkan protes. Aku mendelik pada pria yang terlihat kebule-bulean tersebut.

Namun belum sempat aku bicara, Ino mendahuluiku. "Sekalem-kalemnya wanita. Kalau lagi kepepet waktu, otomatis kebut-kebutan lah daripada harus membangunkan macan tidur."

Aku benar-benar berterimakasih pada Ino. Ia terdiam sejenak. Irisnya terlihat muram dan sadis, berbeda jauh dari warnanya yang biru cerah. "Kalian akur ya, walau berbeda divisi."

"Bagaimana tidak akur. Kita masuk perusahaan Papamu itu barengan. Yah biasalah anak baru pasti di bully. Dan kita merasa senasib." jelas Sakura.

Aku membelalak mendengar penjelasan Sakura. "Wowowowow! perusahaan Papamu? Jadi Naruto ini anaknya Big boss?" Celetuk Kiba, mencondongkan tubuhnya kedepan. Ah aku merasa beruntung juga punya teman yang sok akrab dan suka kepo macam Kiba. Paling tidak dia bisa membantuku mencari tahu siapa pria maskulin di sebelaku ini.

Senyum samar menghiasi wajahnya yang muram. Pertama kali melihatnya aura yang di pancarkan pria ini sungguh gelap. Berbeda dengan penampilan dan wajahnya yang berkilauan. "Iya, tapi itu perusahaan Papa bukan aku."

"Iya, gimana kabar Sara?" Sakura bertanya lagi.

Entah kenapa mendengar nama wanita itu aku merasa sedikit panas. Namun aku belum tahu, siapa itu Sara.

"Aku, udah nggak tahu lagi kabar dia." Ia melirik padaku. Please guys, help me! Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya.

"Loh! Emang dia kemana?" Sakura menopang dagu.

"Aku udah nggak tahu lagi. Dan nggak mau lagi berurusan sama dia." Wajahnya dingin.

"Oke deh oke. Aku nggak akan tanya dia lagi." Sakura mulai menyerah.

"Kapan mulai kerja? Sekarang?" ucap Sakura mengalihkan topik. "Di bagian apa?" sambungnya.

"Mungkin marketing."

"Wah! Kita samaan dong." Sakura nyengir.

"Naruto," ucap seorang pria paruh baya. Tiba-tiba saja berada di tempat kami berkumpul. Siapa lagi kalau bukan Big boss.

"Beliu manggil. Aku, duluan yah. Good luck buat kalian semua." Ia pun pamit.

"Sepertinya hari ini bakal ngaret jam kerjanya." Sakura berujar santai.

"Kamu, sepertinya sudah akrab banget sama anak big boss?" Aku bertanya pada Sakura seraya menikmati sup ku kembali.

Sakura tertawa garing. "Dia teman sekolah waktu SMA. Dulu penampilannya ngga gitu banget. Lagipula dia aneh, kalau ngga aneh mungkin aku sudah jatuh hati sama dia."

Aneh? Apa dia tidak normal? Jangan-jangan dia benar-benar homo. Pikiranku benar-benar penuh dengan segudang pertanyaan tentang laki-laki itu.

"Memangnya dia dulu seperti apa?" Kurasa mulutku benar-benar harus dilem. Dengan begitu, rasa penasaranku tidak bocor akibat ceplas-ceplosnya mulutku.

Semua mata menatap jahil padaku. Semuanya pasti mengira kalau aku sedang dilanda asmara.

Kiba terkikik. Aku melempar pandangan kesal padanya. "Jangan melihatku seperti itu Hinata. Ngga salah kok, kepo tentang orang yang disukai." Kiba makin terkekeh. Seakan ekspresiku ini hiburan tersendiri baginya.

Aku mendecih. "Siapa juga yang suka dengan pria sedingin es begitu. Lagipula dia terlihat menyebalkan sekali." Aku membuang muka.

Aku masih mengelak dengan rasa kagumku akan pesonanya. Tapi rasa penasaranku jauh lebih besar dari rasa kagumku.

"Iya-iya kamu ngga suka, tapi cinta." Kiba menatap jahil padaku. Sungguh rasanya ingin kusumpal mulut embernya itu.

"Sudah Kiba, jangan diledek terus. Ntar itu muka makin berantakan." Ino kembali bersuara. Semuanya menertawakanku. Walaupun begitu aku tidak pernah marah, ataupun dendam. Kita sudah terbiasa saling meledek satu sama lain. Tinggal waktunya siapa yang sial hari itu. Mungkin, hari ini memang hari tersialku.

Yang dikatakan Sakura memang benar. Jam kerja hari ini sedikit ngaret. Pasalnya, ada pengenalan karyawan baru. Siapa lagi kalo bukan anak big boss.

Semuanya berkumpul di aula kantor. Ah, dia memang keren. Semua wanita pasti akan klepek-klepek dengan kharismanya. "Liatnya gitu banget." Sakura menyenggol lenganku. Entah sejak kapan ia sudah berdiri di dekatku.

"Gitu gimana? Perasaan biasa aja." Aku menampik.

"Hinata." Suara Bu Kurenai, sang marketing manager mengagetkanku. "Meja di sebelahmu kosong kan? Itu akan jadi meja Tuan Naruto. Jadi antarkan dia ke mejanya ya."

Tunggu, artinya aku akan sering berurusan dengan pangeran aneh satu ini. Aku tersenyum palsu pada Bu Kurenai. Sejujurnya aku sendiri agak bingung dengan diriku antara beruntung atau sial. Beruntungnya aku bisa sering-sering melihat wajah tampannya. Sialnya, kurasa dia laki-laki menyebalkan, dingin, aneh, dan yah kurasa tahu sendiri bagaimana rasanya bicara dengan orang aneh yang misterius. Seperti orang bodoh.

"Ini mejamu. Kurasa urusanku sudah selesai." ucapku membalik tubuhku ingin beranjak menuju mejaku. Yang bersebelahan dengannya.

Dia hanya diam. Meneliti tempatnya bekerja. Raut wajahnya sulit ditebak, apakah ia suka atau tidak. Ia mengernyit saat membuka laci mejanya. "Apa ini?" ia mengambil sepotong roti isi yang telah menjamur. Terdapat bekas gigitan di ujung roti jamuran tersebut.

Tuhan, tolong lempar aku ke dalam laut. Ini sungguh memalukan. Sebab, roti yang menempel di tangannya adalah roti isiku tiga hari yang lalu.

"Aduh! Siapa ya yang melakukannya. Benar-benar ya orang-orang sini. Usilnya bukan main." Aku berpura-pura tidak tahu apa-apa. Dengan menyalahkan orang lain untuk menutupi rasa maluku.

Dia menatapku dingin. Seolah maniknya mengatakan kalau dia tidak percaya dengan ucapanku. "Ini masih berlaku?" ia mengeluarkan beberapa kertas lusuh dari dalam laci yang satunya lagi.

"Itu berkas sampah. Semua orang selalu memasukkannya pada meja kosong. Jadi buang saja," ujarku.

Ia mendengus, lalu merapikan mejanya yang akan ditempati hari ini juga. Dia memang cukup rajin. Daripada diriku yang sedikit tak acuh dengan kerapian. Setelahnya ia mengamati tempatku. Yah tempatku memang dominan berwarna ungu. Sebab aku memang penyuka warna ungu. Hampir setiap barang yang kupunya berwarna ungu.

"Aku masih baru, jadi aku masih perlu bantuan. Berhubung yang paling dekat itu kamu. Jadi aku akan selalu minta tolong padamu," ucapnya sinis.

Ku pikir aku akan bebas dari pangeran satu ini. Tapi kurasa ini awal cerita antara aku dengannya.

TBC