Aku berjalan di lantai berwarna hitam gelap. Kepalaku menoleh kanan kiri, belakang dan depan. Mencoba mencari tahu di mana aku berada saat ini. sampai akhirnya aku tersentak melihat sesuatu di depan sana. Seorang perempuan berambut panjang pirang berbola mata biru sapphire tengah menatapku. Gadis itu mengenakan dress putih sepanjang lutut dan tidak menggunakan alas kaki. Tatapan tak mengerti di arahkannya kepadaku. Aku meneguk ludah, dia melakukan hal yang sama. Aku berjalan selangkah mendekatinya, diapun melangkah satu langkah mendekatiku. Kugerakkan tangan kananku, dia menggerakkan tangan kirinya. Hening beberapa saat sampai akhirnya aku menyadari bahwa gadis yang ada di depanku adalah pantulan diriku sendiri di dalam cermin.

Seharusnya aku senang dan lega, tapi kenyataan bahwa aku sedang bercermin malah membuatku semakin gelisah. Seharusnya aku tidak setinggi ini dan aku tidak ingat aku pernah memakai pakaian ini. lagipula ini adalah sosokku saat aku masih menjadi malaikat, bukan sosokku yang sekarang.

Kusimpulkan bahwa kini aku ada dalam alam bawah sadarku, aku pasti sedang bermimpi.

"Kh!" aku terkejut ketika tiba-tiba saja cermin itu pecah, menghilang dan tergantikan dengan sesosok bocah berumur sekitar empat tahun berambut pirang pendek bermata sama denganku. Bocah itu menengadahkan kepalanya, memandangku dengan mata berkilat-kilat.

Aku terhenyak.

Hei, memangnya ada bocah berusia empat tahun mempunyai tatapan yang bisa dibilang mengerikan itu? Matanya masih mengintimidasiku, dengan tatapan penuh amarah dan dendam. Bibirnya yang mungil terkatup rapat-rapat, matanya seolah menyalahkan kehadiranku di sini.

Aku hanya bisa terdiam tak percaya melihat bocah itu, bocah yang kuingat adalah sosokku saat aku berusia empat tahun.

'Benalkah?' pertanyaan itu merasuk ke otakku. Aku tercengang, menatap bocah itu yang tetap membungkam mulutnya. Jelas-jelas suara yang muncul di otakku adalah suara seorang bocah, tapi dia tidak terlihat sedang mengeluarkan seutas kalimat apapun.

Mungkinkah ini telepati?

'Benalkah 'ini' sosok kakak?' suara itu kembali menggema di otakku, dan bocah itu menunjukkan dirinya sendiri. Ragu-ragu aku mengangguk dan itu membuat api kemarahan di matanya semakin menjadi. Bocah itu kemudian mengarahkan telunjuknya yang mungil ke arahku.

'Belaninya kakak –" bocah itu mendesis – tentu saja dikepalaku – kemudian dari telunjuknya keluar sebuah sinar yang pastinya jika aku terkena sinar itu akan terasa sakit. Aku berusaha menghindari itu dan….

"!" aku membuka mataku. Dengan terengah aku tersenyum penuh kelegaan, berhasil lolos dari mimpi teranehku selama ini. kupikir aku lolos dari marabahaya namun sepertinya dugaanku salah ketika aku melihat kepalan tangan dengan kecepatan yang dahsyat mendekati wajahku di sertai dengan teriakan penuh semangat,

"OKIRU!"

"KYAA!"

BRUAGH! DUAGH!


A Little Wish

.

Sequel of The Fallen Angel

.

Of course SasuFemNaru

.

Happy reading! :D

.


"Bisa tidak membangunkanku dengan cara yang biasa-biasa saja, ibu!" omelanku yang pertama terlontar di meja makan kepada seorang perempuan berambut merah menyala yang masih santai mengoleskan selai jeruk di roti untukku. Perempuan yang kupanggil ibu itu memutar bola mata lavendernya dengan acuh.

"Kau tidak akan bangun kalau aku membangunkanmu secara biasa-biasa saja, Naru-chan," balasnya sembari meletakkan sepotong roti di piringku. Aku mendengus. Ibuku, Namikaze Kushina memang selalu melakukan hal-hal ekstrim dalam membangunkanku, contohnya saja pagi ini, dengan kekuatan penuh darinya, dia melayangkan tinju ke arahku yang masih tertidur pulas. Jika saja aku tidak bermimpi seperti itu, aku mungkin….

"Bagaimana jika aku mati, ibu?" kataku masih kesal. Ibuku malah menggeleng-gelengkan kepalanya sembari meletakkan seiris roti ke piring yang lain.

"Itu sih tidak mungkin," jawabnya yakin kemudian mengambil roti untuk dirinya sendiri.

"Apa jaminannya?"

"Darah Uzumaki yang mengalir dalam tubuhmu!" balas ibuku sengit, kali ini aku yang memutar bola mataku bosan.

"Ekhem, bisakah kalian menghentikan pertengkaran kalian dan memulai sarapannya?" sebuah suara berat akhirnya mengiterupsi perkelahian kami. Seorang Pria dewasa bermata dan berambut sama denganku berdehem bijaksana. Ayahku, Namikaze Minato seperti biasanya dapat menyetop pertengkaran kami. Dengan perasaan masih kesal karena ulah ibuku, aku mengunyah kasar roti yang dibuatkan ibu. Sementara kedua orang tuaku tersenyum geli melihat tingkahku.

"Kenapa ibu melihatku seperti itu?" aku bertanya dengan bingung, ibuku tampak salah tingkah. Kemudian dia menyelipkan anak rambut merahnya ke belakang telinganya.

"Entahlah, akhir-akhir, saat melihatmu aku merasa pernah melihatmu sebelumnya," ucap Kushina.

"Hah?" aku masih belum mengerti maksud kalimat ibuku.

"Ya… aku merasa rindu saat melihatmu, terkadang aku merasa kalau kau adalah adikku."

Aku menghentikan suapan di rotiku. Tercenung.

"Benarkan, Minato?" dia meminta dukungan. Ayah mangut-mangut.

"Ya, aku juga pernah merasa perasaan seperti itu. Tapi bukankah kau tidak punya adik, Kushi-chan?" tanyanya membuat Kushina mengangguk-angguk bingung.

"Ya benar, tapi entah kenapa aku merasa aku pernah punya adik… Hm… entahlah, aku bingung sendiri," ucap Kushina akhirnya. "Sudahlah lupakan saja ya Naru-chan," ucap ibu lagi.

Aku menunduk. Menggigit bibirku keras-keras. Tenggorokanku seolah tercekat.

"Gomen," satu kata itu terlempar keluar dengan sangat lirih. Ayah dan Ibuku menatapku bingung. "Gomen, Kushi-nee, Minato-nii," ucapku lagi, lebih lirih.

"Naru-chan? Kau kena –"

TIN! TIN!

"Ah! Sasuke sudah menjemputku!" ucapku sembari melompat dari kursi. Kutampakkan senyum ceriaku, mendekati ibuku dan menciumnya di pipi, begitupun pipi ayahku. Mereka menerimanya dengan senang.

"Ittekimasu~" kataku sembari berlari menuju pintu.

"Itterashai~" sahut ayahku.

"Naru-chan," aku menoleh, ibuku tersenyum memperingatkan, "Jangan merepotkan Sasuke-jisan ya?"

Jisan? Aku igin sekali tertawa mendengarnya, namun aku hanya tersenyum lembut seperti biasanya.

"Tentu saja, Ibu…" kataku lagi.

.

.

Sesosok makhluk bersayap putih lebar terlihat dari ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang itu. Makhluk itu berambut panjang pirang yang diikat ponytail. Sebelah kakinya tertekuk ke depan, menyanggah dagunya. Mata aquamarinenya menatap kosong ke depan, sampai akhirnya dia tersentak. Gadis itu berdiri dengan sempoyongan, matanya melebar. Gadis itu tertawa seperti orang gila. Berjalan sampai berada di depan pagar-pagar yang mengurungnya di tempat sesempit ini.

Akhirnya… akhirnya dia merasakan… akhirnya dia merasakan kehadirannya….

.

.

Aku mengetuk pintu mobil yang ada di hadapanku, membuat kaca mobil langsung turun dan terlihatlah seorang pemuda berambut raven yang berada di belakang kemudi. Menatapku dengan datar, aku memasang senyum terlebarku.

"Ohayou~ Sasuke-jiichan!" ucapku setengah meledek. Dia memutar mata hitam kelamnya dengan bosan.

"Berhenti meledekku, dobe," ucapnya kemudian membuka pintu mobil di sebelahnya. Aku masih memasang senyum kemudian duduk di sebelahnya.

"Itu kan kenyataan," kataku. Uchiha Sasuke tak menjawab. Menaikkan kaca jendela mobil dan mulai menyetir. Aku diam memperhatikan wajahnya. Wajahnya tak banyak berubah dari sepuluh tahun yang lalu, hanya saja raut wajah semakin tegas dan Ya… dewasa. Jelas saja, mengingat dia sekarang berusia 27 tahun. Berbeda denganku yang banyak berubah.

Sepuluh tahun yang lalu aku adalah seorang malaikat pengantar roh, namun karena aku melanggar aturan di dunia langit, sayapku dicabut dan aku dilempar ke bumi dan kini aku terperangkap di dalam tubuh seorang bocah berusia empat belas tahun.

Entah kenapa dan bagaimana hingga aku bisa menjadi manusia, setahuku, malaikat yang melanggar peraturan sepertiku tidak akan mungkin diturunkan menjadi manusia, apalagi tingkat pelanggaranku termasuk berat, menukarkan hidupku dengan hidup Sasuke, pemuda yang dulunya adalah teman sekolahku dan orang yang aku cintai.

Seharusnya malaikat pendosa sepertiku diubah kembali menjadi cahaya.

"Naru?"

Aku tersentak ketika Sasuke memanggilku. Dia menatapku dengan datar, namun matanya memancarkan kekhawatiran. Jarang sekali aku berdiam diri melamun seperti ini, tentu saja itu membuat Sasuke khawatir.

Jangankan Sasuke, akupun khawatir.

"Ya?"

"Kita sudah sampai di sekolahmu, Naru!" terangnya membuatku hanya ber"Oh" saja. Di hadapanku berdiri kokoh gerbang Konoha Junior High School.

"Kalau begitu, aku berangkat dulu," ucapku pamit, hendak membuka pintu mobil namun tidak jadi karena tanganku dicekal olehnya, dia mencondongkan tubuhku sehingga jarak kami hanya beberapa senti saja.

"Kau baik-baik saja? Kau tahu kau terlihat berbeda?" tanyanya. Mendengar pertanyaannya membuatku tersenyum. Aku mengangguk kemudian menempelkan bibirku kepadanya, sebentar saja.

"Aku baik-baik saja, teme~, tenang saja," kataku. Sasuke tidak menjawab, tapi dari matanya aku tahu dia tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Baiklah kalau begitu, maaf, hari ini aku tidak bisa menjemputmu," katanya dengan nada sesal. Aku mengangguk mengerti. Dia melepaskan cengkramannya di lenganku. Aku tersenyum kemudian membuka pintu mobil.

"Dobe?"

"Hm?"

"Suki."

Mukaku memanas ketika mendengar kata itu kelur dari mulutnya, aku berbalik menatap ekspresinya. Dia tersenyum simpul. Senyum simpul yang amat lembut.

"Aku juga," kataku kemudian aku keluar dari mobil miliknya dan berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah.

.

.

Tsunade menggebrak meja.

"Apa maksudnya ini?" tanyanya geram. Shizune, asisten yang selalu bersamanya hanya bisa menggeleng takut-takut. Tsunade kalau marah mengerikan.

"Sa-saya tidak tahu kenapa ini bisa terjadi Tsunade-sama. Beberapa waktu yang lalu, 'wadah' itu kosong, sehingga saya memasukkan –"

"Bagaimana bisa kau seceroboh ini, Shizune!" bentak Tsunade membuat Shizune menunduk, memeluk lebih erat babi pink dipelukannya.

"Maafkan saya Tsunade-sama," ucap Shizune. Sungguh dia tidak tahu kalau akan berbuntut seperti ini. melihat Shizune yang menunduk merasa bersalah, tsunade kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi, memijat-mijat kepalanya yang terasa pusing sekali. Kali ini dia harus menyelesaikan urusan yang dibuatnya ini. kalau para tetua itu tahu efek yang terjadi dalam keputusannya itu…

BRAK!

Seseorang mendobrak pintu ruang kerjanya, Iruka UmIno, menatap mereka berdua dengan horror.

"Sumimasen, Tsunade-sama, tapi ini gawat sekali," ucapnya. Tsunade merasakan firasat yang buruk.

"Katakan."

"Yamanaka… Yamanaka Ino telah…."

Dan sekali lagi, meja itu menjadi pelampiasan amarah dari seorang Tsunade.

.

.

"Uchiha-sensei?" pertanyaan itu membuat Sasuke langsung tersentak kaget. Dihadapannya seorang perawat menatapnya bingung. Tumben sekali dokter tampan satu ini melamun. "Anda baik-baik saja?" tanya perawat itu tampak cemas.

"Hn, aku baik-baik saja tapi…." Pemuda itu terdiam, entah kenapa perasaannya tidak enak. Dan seharian ini dia selaluingat dengan kekasih kecilnya. Firasatnya mengatakan aka nada hal buruk yang terjadi kepada kekasihnya itu.

Sasuke menggeleng. Menepis kuat-kuat perasaan itu. Pria itu meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa kepada kekasihnya.

Ya, tidak akan terjadi apa-apa.

.

.

Lagi-lagi aku berada di ruangan ini. ruangan yang gelap dan aku dalam wujudku yang asli. Dan di depanku lagi-lagi ada seorang bocah berambut pirang yang masih menatapku dengan tatapan penuh kedengkian.

"Kaette," tuntunya. Kali ini, mulutnya yang berbicara, tidak seperti sebelumnya. Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti apa yang dimaksud oleh bocah berusia empat tahun dihadapanku ini.

"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti. Aku berjongkok, mencoba mensejajarkan tubuhku dengan tubuh mungilnya. Bocah itu hanya diam, masih menatapku dengan tatapan kebencian. Kemudian mulutnya mendesis dan mengeluarkan suara yang sedikit-sedikit terdengar indera pendengarku. "Ore no _ kaette!" dan aku bersumpah melihat bola mata biru itu berubah menjadi merah dan taring keluar dari mulutnya.

Aku terhenyak.

"Namikaze Naru!" panggilan itu membuatku tersentak. Hatake Kakashi memandangku bosan. Aku gelagapan, apakah aku tertidur di kelas?

"Apakah tadi kau tertidur di kelasku, Hm?" dia – sensei bermasker bernama Hatake Kakashi itu – terenyum. Senyuman penuh dengan intimidasi. Aku susah payah menelan ludahku.

"Itu tidak benar sensei," ucapku mencoba berdalih. Tapi Kakashi-sensei hanya menambah lengkungan garis matanya, menambah kesan intimidasi pada diriku.

"Kalau begitu, bisakah kau maju ke depan dan mengerjakan soal ini, Namikaze Naru?"

Glek! Tamatlah riwayatku.

.

.

Aku mendengus sebal. Hari ini benar-benar hari yang menyebalkan. Sepertinya hari ini adalah hari sialku. Dimulai dari mimpi aneh itu, dihukum Kakashi-sensei , Bento yang ketinggalan dan terakhir aku harus pulang dengan jalan kaki.

Yang terakhir? Semoga saja tidak ada kejadian sial dan menyebalkan lagi hari ini, kumohon!

Lagipula, aku heran kenapa Kakashi-sensei bisa mengajar di SMP ya? Bukankah sepuluh tahun yang lalu dia adalah guru di SMAku ya? Hm… dari yang kuingat Kakashi-sensei tidak berubah, masih semenyebalkan dulu!

SSHH….

Suara angin yang berdesis di telingaku membuatku berhenti. Entah kenapa angin ini terasa tidak enak dan perasaanku tidak pernah salah.

Benar saja, ketika aku mendongak ke atas, aku melihat seseorang, ah tapi lebih kepada sesuatu, dengan sayap putih yang lebar menuju ke arahku.

Aku terhenyak. Mataku terbelalak lebar ketika makhluk itu mendarat tepat di depanku. Mata aquamarinenya menatapku dengan ekspresi senang dan bahagia. Rambut panjangnya diikat ponytail dengan poni panjang menutupi sebelah matanya.

Aku terhipnotis. Tak bisa bergerak. Mataku seolah terpaku pada gadis yang tingginya lebih tinggi dariku itu.

"Naruto-chan!" suara itu membuatku tersentak ke belakang. Dia tersenyum kepadaku, senyum yang menurutku mengerikan. Aku memperhatikan pakaiannya. Dress putih tanpa lengan sepanjang lutut, gadis bersayap dihadapanku tak mengenakan alas kaki apapun.

Tidak seharusnya seorang malaikat pengantar roh mengenakan pakaian berwarna putih dan jika seorang malaikat pengantar roh mengenakan pakaian seperti itu, maka….

"Naruto-chan, kau kah itu?" pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutnya. Gadis itu berjalan mendekatiku kemudian memelukku dengan erat.

Entah kenapa aku masih tidak bisa bergerak, aku malah semakin tidak bisa bergerak.

.

.

Sudah tidak bisa menahan lagi. Sasuke langsung menyampirkan jas dokternya. Pria berambut pantat ayam itu bergegas pergi dari ruangannya. Perasaannya semakin tidak enak. Apa yang terjadi pada Naruto?

Dia berharap Naruto akan baik-baik saja. Baru beberapa bulan saja pria itu bersama Naruto, baru beberapa bulan saja dan Sasuke berharap dia akan selamanya bersama gadis itu.

Jika sampai terjadi sesuatu pada Naruto, jika sampai Naruto kembali menghilang dari kehidupannya, Pemuda itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

.

.

"Kenapa kau ada di sini?" aku melepaskan pelukannya dariku, mencengkram kedua bahunya dan menatapnya dengan tampang sedikit terkejut. "Dan kenapa penampilanmu acak-acakkan begini, Ino?" tanyaku lagi. Yamanaka Ino, rekanku saat aku masih menjadi malaikat hanya menatapku dengan penuh emosi. Aku tidak mengerti emosi yang ditampilkan mata yang warnanya nyaris sama dengan mata milikku. luapan emosi, marah, kesal dan kebahagiaan semuanya tercampur dalam emosi yang tidak ku tahu.

Tapi yang aku mengerti, matanya menatapku penuh kegilaan.

"Karena aku merindukanmu, Naruto-chan," ucapnya kembali berusaha menyentuhku, namun kali ini aku berusaha menghindar.

"Itu bukan jawaban yang kuharapkan," ucapku tegas. Bola mataku menatap bola matanya dengan tajam.

Dan sepertinya dia tidak menyukai tatapan mata yang kuberikan.

Dia berteriak.

"Ino! Kau kenapa?" aku berusaha mencegah tangannya yang hendak mengobrak-abrik wajahnya, dia seperti orang gila, dia seperti tidak waras. Berteriak-teriak menyebut namaku, Tsunade-baachan dan entah perkataan apa lagi, aku tak tahu.

Dan beberapa menit kemudian dia menatapku dengan pandangan yang sama sekali berbeda dari tadi, pandangan penuh kebencian.

"Kenapa? Kenapa kau berkata seperti itu? Kau tidak suka melihat kedatanganku?" seluruh badannya gemetar saat mengatakan itu. "Padahal aku… padahal demi dirimu aku menjadi seperti ini! AKU BENCI PADAMU!" setelah berteriak seperti itu, dia mengacungkan tangannya kedepan, dan tiba-tiba saja di tangannya muncul sebuah pisau. Aku menelan ludahku dalam ketakutan.

Apa yang akan dilakukannya kepadaku?

"KUBUNUH KAU!" dan dia melayangkan pisau itu, mengambil ancang-ancang untuk menancapkannya kepadaku.

SASUKE!

.

.

PRANG!

Namikaze Kushina tersentak kaget ketika teh panas yang dipegangnya mendadak jatuh. Wanita berambut merah itu menatap pecahan gelas itu dengan khawatir. Perasaannya mendadak tidak enak.

Di abaikannya perasaannya itu. Kushina lantas berjongkok, hendak mengumpulkan pecahan kaca di lantai.

"Kushina-neechan, kau ceroboh sekali! Jangan langsung mengambil pecahan gelas dengan tanganmu! Bagaimana kalau jarimu terluka, Hah?"

"Eh?"

Jari Kushina berhenti udara. Kepalanya berdenyut-denyut. Apa tadi? Sekelebat memorinya mengingat sebuah suara. Suara yang akhir-akhir ini amat dirindukannya. Tapi berusaha seperti apapun, wanita yang kini berusia tigapuluhan itu tetap tidak bisa mengingat sosok dengan suara yang dirindukannya. Alih-alih mengingat wajah dengan suara yang baru saja menggema di kepalanya, wanita itu malah mengingat wajah putri semata wayangnya.

Naru…

.

To Be Continued

.

Masih bersama keGaJean tingkat tinggi bersamaku...

gak ada angin gak ada hujan aku bikin sekuelnya... sorry...

but, aku berharap daper reviewnya...

R

E

V

I

E

W

?