Saat itu... adalah saat pertama aku bertemu dengannya...
Sebuah pertemuan singkat yang di awali dari hal yang sama...
Hanya enam puluh lima menit, tak lebih dan tak kurang...
Walaupun lebih muda dariku...
Saat itu aku bisa merasakan aura dewasa yang dipancarkannya...
Tapi sayangnya, pertemuan itu jugalah adalah yang terakhir bagiku...
.
"Enam Puluh Lima Menit"
Disclaimer: Vocaloid dan semua yang ada di cerita ini bukan milik saia, kredit masih dimiliki pemilik masing-masing. Saia cuma punya ide fic ini, .w.
Warning(s): Typo(s), AU, All Miki's PoV, dan segala keanehan yang mungkin ada
Don't Like, Don't Read.
Tombol back-nya belum minggat kok~
.
.
.
.
.
Hari itu cerah, aku berjalan dengan santai di koridor menuju kelasku. Jam di ponselku menunjukkan pukul 06.00, hari masih sangat pagi jika dibandingkan dengan bel masuk sekolahku. Tapi beban menduduki bangku tingkat terakhir memang selalu seperti ini, berangkat pagi untuk menjalani rutinitas bimbingan yang terkadang membosankan. Bimbinganku dimulai pukul 06.30, jadi aku masih sangat santai menikmati keadaan sekolahku yang masih sepi ini.
Aku mengumandangkan lagu yang kudengarkan dari ponselku pelan, menikmati setiap kehangatan nadanya yang bercampur dengan udara pagi. Musim dingin kini hampir mencapai akhirnya, jadi udaranya sudah tidak terlalu menusuk kulit. Aku menggeser pintu di depanku setelah aku menemukan ruangan dengan papan bertuliskan 3-7. Aku segera meletakkan tasku di meja dan melepas syal serta mantel hangat yang kugunakan.
Manik merah jambuku menelusuri seisi kelasku, mulai dari meja guru sampai loker yang ada di belakang kelas... masih mlompong. Aku menghela napas ringan, sedikit maklum dengan teman-temanku yang memolorkan waktu berangkat mereka. Karena sejujurnya aku juga ingin seperti mereka, 'berngkat agak siang'. Tapi sayangnya, sesiang apapun aku berangkat, pasti hasilnya aku tetaplah jadi orang pertama yang sampai di kelas.
Aku segera menduduki kursi bangku milikku dengan nyaman, membuka sebuah buku berukuran sepuluh kali delapan sentimeter yang berisi catatan hal-hal penting dalam pelajaran. Aku segera meneliti tiap pokok yang ada di sana, menghapalkan rumus dan cara penggunaannya, serta kata-kata sulit yang sering keluar dalam ujian. Itu merupakan buku keramat pemberian kakakku, kakakku mendapatkannya dari kakakku yang pertama... entah bagaimana, kurasa buku itu seperti turun-temurun di keluargaku.
.
.
.
.
Headset di kedua telingaku mengendur ketika aku mendengarkan ketukan pada pintu kelasku, aku menoleh dan mendapati ketua kelasku, Kasane Ted sedang berdiri di sana.
"Ah, pagi, Pak Ket! Tumben nih jam segini baru sampai sini?" gurauku, ketua kelasku ini memang selalu berangkat pagi. Tapi tumben dia jam 06.15 baru datang, biasanya dia sudah datang pukul 06.10. Ted mendengus mendengar gurauanku. Ia segera duduk di bangkunya yang berada tepat di depan bangku yang kududuki.
"Kau kurang kerjaan banget menghafal waktu kedatangku, kangen emangnya?" balasnya agak ketus. Aku tertawa geli, aku menutup buku yang sedari tadi kubaca sejenak.
"Heee? Memangnya aku tidak boleh kangen dengan ketua kelas paling T.O.P.B.G.T ini? Serius nggak boleh?" aku menyelipkan nada main-mainku dalam kalimat itu, sengaja memang.
"Mahal tau kalau mau kangen sama aku," ucapnya bangga. Aku mendecak sebentar dengan nada mengejek.
"Jomblo kere aja belagu," cercaku. Ted mendelik, dan aku tertawa keras melihat tanggapannya itu.
"Grr, kau itu kalau sudah ngomong kadang nyenengin kadang nyebelin ya. Sial dah," balasnya. Aku masih tak sanggup berhenti tertawa, sampai akhirnya Ted harus menjitakku agar aku berhenti tertawa.
.
.
.
'Sreet'
.
.
.
Pintu kembali terbuka, menampakkan seorang gadis berambut hijau yang sedng menatap ke arahku dan Ted bingung serta entah kenapa agak terlihat kesal.
"Kalian ini ngapain sih? Teriakan kalian itu terdengar sampai luar," Nakajima Gumi menyuarakan pendapatnya setelah beberapa saat. Gadis bermanik selaras dengan rambutnya itu memasuki kelas dan menaruh tasnya di bangku sampingku.
"Salah Pak Ket nih," tuduhku, Ted yang merasa tidak terima pun sekali lagi mendelik ke arahku. Aku balas menjulurkan lidahku padanya.
Gumi menghela napas dan memukul kepalaku dan Ted agak keras. "Sudah diam,"
Aku dan Ted pun akhirnya diam, tak lama kemudian teman-teman sekelasku mulai berdatangan dan bimbinganku siap dimulai.
.
.
.
.
.
.
Aku merenggangkan kedua tanganku ke atas, melemaskan otot-otot bahu dan punggungku yang rasanya sudah pegal-pegal karena terlalu lama membungkuk melihat buku. Aku segera memasukan buku bimbinganku ke dalam tas dan mengambil buku pelajaranku selanjutnya.
Sial, jam pelajaran pertamaku hari ini kan... Bahasa Jepang...
Aku menghela napas berat, kemarin aku kan belum ulangan Bahasa Jepang. Pasti deh sebentar lagi aku disuruh mengungsi...
"Kenapa? Males ketemu Pak Hiyama?" tanya Gumi, aku menolehkan kepalaku padanya dan menggeleng.
"Bukan males ketemu gurunya, tapi males ngungsinya." Balasku, Gumi tertawa mendengar jawabanku.
"Salah sendiri ngapain kemarin pas ujian pakai izin segala." Sambar Ted, aku memicingkan mataku padanya.
"Dasar ketua kelas nggak becus, anak buahnya lagi meratap malah ditembak sinis." Cibirku, Ted melengos, mengabaikan cibiranku sepenuhnya.
.
.
'Sreet'
.
.
"Selamat pagi, anak-anak." Sapa guru Bahasa Jepangku, Pak Hiyama Kiyoteru. "Baiklah anak-anak, hari ini kita akan mengulang materi kita, karena bapak lihat nilai beberapa dari kalian masih di bawah rata-rata."
Aku segera menyiapkan alat tulisku dan mengangkat tangan kananku.
"Iya, Furukawa?" tanya Pak Hiyama ketika melihat aku mengangkat tanganku.
"Maaf, Pak. Saya kemarin belum mengikuti ulangan." Ucapanku itu mengingatkan Pak Hiyama, beliau segera memanggilku ke meja guru dan memberikanku lembar soalnya.
"Maaf, Bapak lupa. Kau tidak apa-apa kan sendirian di ruang piket? Soalnya masih ada materi yang harus saya jelaskan pada teman-temanmu." Tanya Pak Hiyama, aku mengangguk.
"Tidak apa-apa, Pak." Aku segera mengambil kertas jawaban yang ada di meja dan menenteng kedua kertas serta alat tulisku ke ruang piket.
Ruang piket adalah salah satu ruang yang sebenarnya terpakai namun selalu sepi orang, harusnya sih ada guru piket yang bertugas mengurusi izin siswa di ruangan itu. Tapi karena guru piket dan dokter UKS sekolahku sama, jadi deh beliau lebih sering berada di ruang UKS daripada di ruang piket.
Eh? Kenapa aku boleh sendirian? Nanti kalau aku mencontek bagaimana?
Yah, maaf saja ya, aku tidak pernah mencontek dalam Bahasa Jepang. Aku selalu percaya diri karena aku bisa lancar mengerjakannya, tidak sopan mengira bahwa aku akan mencontek kalau ditinggal ulangan sendirian. Lagipula ruangan itu berada di perempatan yang menghubungkan gerbang depan dan ruang kepala sekolah, bagaimana aku bisa mencontek?
Uwah, tapi nggak jamin deh kalau pelajaran lain aku bisa bilang begitu...
Yosh, aku segera mengambil pensilku dan mengisi lembar jawabanku. Soal Bahasa Jepang kali ini cukup mudah, hanya saja jumlahnya yang bisa bikin muntah waktu lihat. Aku menghela napas pasrah, salahku sendiri juga izin pas ada ulangan.
Aku segera membaca soal pertama dan mengerjakannya, semakin cepat aku selesai, semakin cepat aku bisa kembali ke kelas.
.
.
.
.
.
Saat aku sampai pada soal ke tiga puluh dua, aku merasakan ada langkah kaki mendekati tempatku duduk. Aku menghentikan goresan pensilku dan menoleh ke sumber suara langkah kaki itu.
Mata merah jambuku bertubrukan dengan sebuah permata perak yang indah. Aku terbawa lamunanku sejenak, terserap ke dalam dua manik mata yang rasanya membuat jantungku berhenti berdetak.
"Anoo,..."
Dan panggilan ragu itu menyadarkanku dari alam bawah sadarku... aku berkedip beberapa kali dan tersenyum untuk membuat pemuda itu tidak canggung.
"Kau juga menjalani ulangan susulan?" tanyaku, pemuda yang ternyata juga berambut perak itu mengangguk dan mendekati tempat duduk yang ada di sampingku.
"Tenang saja, aku tidak akan menggigitmu kok." Ucapku main-main, dia tersenyum kecil menanggapi candaanku. "Kelas apa?" tanyaku.
Ia menatapku sejenak dan menjawab, "2-3,... kemarin saya ketinggalan ulangan Kimia karena tugas mendadak OSIS, kak."
Aku mengangguk-angguk, "Pasti berat ya jadi OSIS, semangat ya!" ucapku. Dia mengangguk dan tersenyum, kali ini senyum lembut yang terlihat sangat manis di mataku.
.
.
'Thump'
.
.
Entah kenapa senyumannya rasanya seperti pompa jantung untukku...
Masa sih aku menyukainya...?
Tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin!
Aku baru bertemu dengannya hari ini, aku bahkan belum tahu namanya! Ia juga setahun lebih muda dariku, masa aku naksir brondong sih? Love at first sight itu emangnya nyata ya!?
Aku kembali tenggelam dalam alam bawah sadarku... sampai sebuah tangan menepuk bahu kananku.
"Kak, kakak sudah berhenti menulis sejak sepuluh menit yang lalu... kalau tidak cepat nanti jam pelajarannya habis loh..." ucap adik kelasku itu.
Aku menoleh ke arahnya dan tertawa garing, jadi aku sudah tenggelam selama itu?
Aku segera kembali membaca soalku dan mengerjakan soal-soal yang tersisa...
.
.
.
.
Hening...
.
.
.
.
Keheningan menyapa selama kami terus berkutat pada soal kami masing-masing...
Aku sudah sampai soal lima puluh tiga, tujuh soal lagi dan aku akan menyelesaikan ulangan berjumlah neraka ini. Yeah!
Aku curi-curi pandang ke arah pemuda di sebelahku ini, sedikit melirik soal jenis apa yang dikerjakan olehnya karena ia terlihat begitu kesulitan.
Ah, soal mematikan Bu Iroha, jelas dia berwajah seperti itu... aku tertawa geli dalam hati. Bu Iroha adalah salah satu guru killer di sekolah ini. Beliau juga sangan tidak suka jika ada anak yang izin saat jam pelajarannya, apalagi saat ulangan. Aku bertaruh pasti itu soal khusus untuk anak yang bolos, apalagi bolosnya saat ulangan.
"Mau kubantu?" tanyaku, pemuda itu menolehkan kepalanya dan menatapku dengan mata yang berbinar-binar layaknya anak anjing yang menemukan tuannya.
"Huh? Apa boleh? Lagipula apa kakak sudah selesai dengan ulangan kakak sendiri?" tanyanya, aku mengangguk dan tersenyum.
"Beri aku lima menit untuk menyelesaikan soalku yang tersisa dan aku akan membantumu, sedikit banyak aku lebih berpengalaman dari pada kamu kalau tentang soal setan Bu Iroha–Ups..." aku segera menutup mulutku, ini adalah hal yang diketahui angkatanku saja–kami sering memberikan julukan aneh-aneh pada guru yang tingkahnya aneh juga–dan aku baru saja membocorkannya pada adik kelas... great.
Ia tertawa, "Aku tidak akan membocorkannya kok, kak."
Aku tertawa garing, "Yah, salahku sendiri keceplosan..."
Aku segera menyelesaikan soalku yang tersisa, dan kurang dari lima menit aku sudah ganti berhadapan dengan soal-soal Kimia mematikan Bu Iroha...
Aku tertawa geli saat membaca soal-soal itu, kenapa?
Karena aku pernah juga kena hukuman dengan soal yang sama, rasanya seperti sudah berhadapan dengan penjaga neraka saat mendapatkan soal itu untuk pertama kalinya.
"Soal mana yang kau tidak bisa?" tanyaku, laki-laki berambut perak itu menatapku malu-malu. "Aku tahu kok kalau soal susulan dari Bu Iroha itu jauh dari materi pelajaran anak kelas 2, kau tidak perlu sungkan." Ucapku sambil tersenyum menenangkan.
Akhirnya dia membuka mulut saat aku mengatakan hal itu.
"Soal nomor delapan dan sepuluh..."
Aku segera membaca soal yang ditunjuknya dan menelitinya, setelah itu aku mengambil kertas surat izin yang ada di depanku dan menggunakan bagian belakang surat itu untuk menulis cara mengerjakannya dengan cepat.
.
.
.
.
.
.
Limabelas menit berlalu... akhirnya aku dan pemuda perak ini berhasil menyelesaikan soal setan Bu Iroha. Ini rekor tahu! Dulu saja aku butuh dua puluh lima menit untuk menyelesaikan satu soal Bu Iroha! Tidak sopan...
"Gaah, akhirnya selesai~" ucapku gembira, aku melirik jam tanganku dan terbelalak sedikit. "Eh? Sudah jam segini? Maaf, aku harus cepat-ceppat kembali! Aku duluan ya!"
Aku dengan cepat membereskan peralatanku yang berceceran di meja, namun ketika aku berdiri... sebuah tangan menahan lenganku.
"Maaf, nama kakak siapa ya?" tanya pemuda perak itu, aku terdiam sejenak.
Ups, iya ya, dari tadi kami kan belum berkenalan...
"Namaku Miki, Furukawa Miki... kamu?"
"Piko, Utatane Piko. Sekali lagi terima kasih kak." Jawab laki-laki berambut perak itu. Aku tersenyum manis padanya, ia juga membalas senyumanku dengan senyum yang menurutku sangat indah.
"Yep, tenang saja!" aku segera berlari keluar, entah karena memang terburu waktu atau aku memang ingin cepat melarikan diri dari tempat itu karena rasanya jantungku akan melompat keluar.
.
.
.
.
.
Setelah kejadian itu...
Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya...
Hanya enam puluh lima menit waktu yang kuhabiskan bersamanya...
Dan itu cukup berhasil untuk membuatku selalu mengingatnya...
[To Be Continue]
A/N:
Yahooo minna-san!~
Kembali lagi dengan saia! Author paling awesome diseluruh jagad raya! #ditendang
Oke, oke, kembali dengan fanfic twoshoots yang saia buat dengan curi-curi waktu luang ini~
Dapet idenya ini juga pas saia njalanin susulan nih! Jadi sebenernya cerita ini kayak memories saia gituh~ *waow* #plak
Tapi tapi tapi kejadian di sini ngga murni dari apa yang saia alamin, realita itu lebih kejam dari dunia fanfic... *hiks* #dijambak
Sebenernya juga sih ini mau dijadiin oneshoot sampe sini aja...
Tapi karena ada event lain yang kayaknya pas buat dijadiin lanjutannya ini, jadi deh saia bikin lanjutannya~
Hahahaha, yahhh, dinikmatin aja ya minna-san~ *deathfish-eye* #tepar
Miki: Lah... Author tepar... *sweatdrop*
Piko: Wajar, dia begadang terus tiap malem entah kenapa...
Miki: Yahh, yaudah deh. Pi-chan, kita tutup aja ya!
Piko: Oke, mumpung author sedeng itu tumben-tumbenan bikin kita jadi Mainchara!
M&P: Baik Minna-san! Review yah! Klo engga mau juga ngga papa sih, itu author juga jarang on kok~ #woy
Miki: Oh iya Pi-chan, ucapin 'itu' yuk!
Piko: 'itu'? ... OOOOH!
Miki: Oke? Satu dua...
M&P: BUAT AUTHOR-AUTHOR YANG LAIN YANG BAKAL MENGHADAPI UN TAHUN INI, SEMOGA KITA SEMUA BERHASIL YA! LANCAR NGERJAINNYA! BENER JAWABANNYA! BAIK NILAINYA! GANBATTE MINNA!
Miki: Yosh, itu adalah ucapan author dari kmaren jadi kami pengen ngucapin juga, ganbatte minna-san!
Piko: Oke, karena kalau kita ngomong terus nanti laman ocehan ini makin panjang, jadi kita tutup dulu sampai di sini ya minna! Have a nice day!
