Namaku adalah Hatake Kakashi.

Aku adalah seorang detektif swasta yang berasal dari kota Konoha.

Saat aku sedang berlibur demi melepaskan beban-beban pekerjaanku, aku justru malah menemui pekerjaan baru yang lebih pelik lagi.

Ikutilah kisahku...

DISCLAIMER : Masashi Kishimoto

RATE : M (Blood and Gore)

WARNING : AU, Multichapter

Fajar telah menyingsing dari ufuk timur. Burung-burung mulai beterbangan kesana-kemari bersama kawanannya. Orang-orang mulai berlalu-lalang di jalanan. Dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit.

"Enghhh...jam berapa ini?" Kutorehkan pandanganku ke arah jam dinding berbentuk lingkaran yang berada di samping ranjangku.

08.47

"Tck sial. Aku kesiangan".

Perkenalkan. Namaku adalah Hatake Kakashi. Tapi kalian cukup memanggil aku Kakashi saja. Kumohon jangan panggil aku dengan sebutan 'orang-orangan sawah', mengingat namaku memang mempunyai makna seperti itu. Well, aku adalah seorang detektif swasta yang berusia 32 tahun. Walau umurku sudah benar-benar matang, tapi aku masih memegang status bujangan.

Aku pikir wanita itu tidaklah terlalu penting. Banyak wanita yang suka kepadaku, tapi aku tak terlalu menggubris mereka. Mereka hanya akan mengganggu kelancaran dunia karirku. Kupikir seperti itu sih. Aku kini sedang melaksanakan kegiatan yang paling ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh orang yang sibuk bekerja. Apalagi kalau bukan berlibur.

Aku hari ini rencananya akan berjalan-jalan menelusuri alam pedesaan di desa ini, desa Otogakure. Seharusnya tadi malam aku tidur cepat agar aku hari ini tidak bangun kesiangan dan bisa menyaksikan pemandangan matahari terbit di tepian sawah yang membentang luas. Kelihatan childish sih, tapi mau bagaimana lagi. Otakku perlu beristirahat dengan penuh setelah aku dipusingkan oleh kasus pembunuhan berencana di kota Kiri tiga hari yang lalu.

Tapi sayangnya aku tadi malam ditraktir oleh teman lamaku yang bernama Gai, yang juga penduduk asli desa ini. Kami saling bercanda dan tertawa sambil minum arak hingga larut malam. Dan hasilnya, aku bangun kesiangan dan sukses melewatkan indahnya pemandangan matahari terbit yang sudah tidak bisa dinikmati lagi di tengah perkotaan.

Saat aku sedang berjalan pelan menuju ke kamar mandi, tiba-tiba pintu kamar tempatku menginap diketuk dari luar.

TOK TOK TOK

'Siapa?' Batinku sembari berjalan menuju pintu.

TOK TOK TOK TOKKK

"Iya sebentar" Aku heran dengan orang yang ada di balik pintu ini. Benar-benar orang yang tidak sabaran.

CEKLEK...

"Hoi Kakashi! Ayo ikut aku. Kita akan jalan-jalan pagi ini" Ternyata orang yang mengetok pintu dengan tidak sabaran itu adalah sahabat lamaku, si norak Gai.

Biar kuperkenalkan sedikit tentangnya. Dulu ketika aku masih kecil, kira-kira berumur sepuluh tahun, Gai pindah ke sekolahku dan kebetulan kami duduk satu meja. Dia tinggal bersama kakek dan neneknya di Konoha, karena orang tuanya masih tinggal dan bekerja di desa Otogakure. Selama hampir lima tahun kami sekolah di sekolah yang sama, di kelas yang sama, dan duduk di meja yang sama pula.

Itulah mengapa akhirnya kami berdua menjadi amat akrab. Walaupun sifat kami yang benar-benar bertolak-belakang sih. Gai juga menganggapku sebagai rivalnya, walaupun aku tak terlalu mempedulikan hal itu. Ketika kami lulus SMP, Gai akhirnya memutuskan untuk pulang kampungnya karena dia tidak berniat meneruskan ke jenjang SMA. Aku juga maklum, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai buruh tani di desa ini. Dan setelah itu, kami sudah jarang bertemu kembali. Paling ketika liburan semester, aku terkadang mampir ke rumahnya selama dua sampai tiga hari.

"Bagaimana rivalku? Kau siap kan?".

"Iya iya. Tapi aku mau mandi dulu ya" Jawabku dengan rasa malas karena aku baru saja bangun tidur.

Aku pun segera mandi. Setelah mandi, aku bergegas menyusul temanku itu yang sudah menungguku di depan penginapan.

"Maaf jika mandiku lama Gai".

"Oh tidak apa-apa. Ayo, kita jelajahi desa ini dengan semangat masa muda!" Tanpa pikir panjang, dengan seenaknya pria berambut bob ini merangkul pundakku dengan tenaga penuh. Yang hampir saja mengakibatkan aku kehilangan keseimbangan. Dasar.

Kami berdua berjalan-jalan berkeliling desa di pagi yang cukup cerah ini. Dalam perjalanan, Gai tak henti-hentinya bercerita tentang sejarah apa saja yang kami lalui. Entah itu toko, kedai, penginapan, jalan, rumah orang, bahkan sampai sawah dan perbukitan.

Jujur saja, menurutku desa Oto ini benar-benar asri. Disini tingkat polusinya hampir benar-benar mencapai angka nol. Bagaimana tidak? Disini, jarang sekali ditemukan kendaraan bermotor seperti sepeda motor ataupun mobil. Asap limbah paling hanya berasal dari industri kecil yang dioperasikan oleh beberapa warga setempat. Tapi sayangnya desa ini seperti kurang mampu untuk menerapkan unsur-unsur globalisasi dan modernisasi. Sinyal handphone disini hanya berkutat antara satu dan dua. Itu saja sering nol alias tidak ada sinyal.

Di desa ini jumlah kedai bisa dihitung dengan jari. Penginapan malah hanya ada dua buah, termasuk salah satunya yang aku tempati. Untung saja listrik sudah bisa sepenuhnya masuk ke Otogakure. Jika tidak, mungkin kata-kata 'primitif' layak disandang oleh desa ini.

"Woy rivalku, aku akan berkunjung ke rumah kepala desa setelah ini. Kau mau ikut tidak?" Tanyanya dengan wajah yang sumringah.

"Emm, kurasa itu bukan ide buruk. Mengingat tujuanku kemari memang untuk berjalan-jalan" Jawabku.

"Oke, ayo!".

Kami berdua akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah kepala desa Otogakure. Jalan menuju rumah yang akan kami tuju cukup terjal dan melelahkan, karena kata Gai rumah orang yang paling dihormati di desa ini berada di atas bukit. Aku heran, mau-maunya ada orang yang membangun rumah di tempat yang cukup sulit dijangkau seperti itu.

"Gai, ngomong-ngomong bagaimana dengan usaha toko kelontongmu?" Tanyaku di sela-sela nafasku yang ngos-ngosan karena medan yang menanjak ini.

"Tokoku? Hahaha. Kau tahu Kakashi? Aku selalu berjuang dan berjuang demi sesuatu yang telah aku rintis dengan susah payah" Pria norak itu menjawab dengan tangan mengepal di udara.

'Itu tidak menjawab pertanyaanku, dasar bodoh' Gerutuku dalam hati.

"Dan kau rivalku? Bagaimana dengan karirmu? Kudengar namamu makin dikenal setelah sukses memecahkan berbagai macam kasus".

Aku memutar kedua bola mataku "Yah, begitulah. Tapi sejujurnya aku sedang bosan dengan kasus-kasus yang dalam beberapa pekan terakhir terus saja menerorku".

"Nah, kita sudah sampai!".

Teriakan Gai barusan membuatku segera menolehkan pandanganku ke depan. Ke arah sebuah rumah tua yang besar dan bernuansa klasik. Aku berani jamin rumah ini dibangun puluhan tahun yang lalu.

Di depan rumah itu telah berdiri seorang pria tua, atau bisa disebut kakek-kakek yang sedang duduk di teras sembari asyik menghisap cerutunya. Mungkin dia adalah kepala desa ini.

"Sarutobi-sama!" Gai lagi-lagi berteriak lantang sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah pak tua itu.

Kakek-kakek yang bernama Sarutobi itu segera menyadari kehadiran kami berdua, dan kemudian berjalan pelan ke arah kami.

"Uhuk..uhuk, ada urusan apa kau kemari nak Gai?" Tanyanya dengan suara serak-serak pelan. Aku berani menjamin bahwa orang tua ini adalah seorang perokok berat sejak belasan bahkan puluhan tahun yang lalu.

"Saya hanya ingin menyerahkan surat penting ini Sarutobi-sama. Seharusnya saya menyerahkan surat undangan kepala desa ini kemarin, tapi saya lupa. Maaf" Gai segera menyodorkan secarik amplop kepada kakek kepala desa itu.

"Tak apa. Jujur saja, di usiaku yang sudah mencapai hampir kepala delapan ini, aku sebenarnya sudah malas menghadiri rapat yang letaknya jauh dari sini. Karena kau tahu sendirilah, penyakit rematik dan encokku sering kumat".

Tiba-tiba wajah sang kepala desa itu terheran-heran ketika memandangku.

"Kau...siapa ya? Aku sepertinya belum melihatmu sebelumnya?".

Aku pun segera membungkukan badan "Perkenalkan, nama saya Hatake Kakashi. Saya datang ke desa ini hanya sebentar, dalam rangka berlibur".

Kakek tua itu segera tertawa lirih "Khekhekhe, pantas saja aku belum pernah melihatmu anak muda. Memang sudah banyak wisatawan yang berkunjung kemari untuk berlibur, dikarenakan suasana disini yang begitu asri".

"Dia juga teman sekaligus rival abadiku, Sarutobi-sama!" Tiba-tiba Gai menepuk pundakku dengan keras yang mengakibatkan aku mengeluarkan tatapan death-glare kepadanya.

"Uhuk...begitu ya nak Gai?".

Tiba-tiba dari arah dalam rumah terdengar suara seorang perempuan yang cukup lantang "KAKEKKK! TASKU KAU LETAKKAN DIMANA KEK?".

Sosok pemilik suara lantang itu akhirnya menampakan dirinya dari balik pintu.

"Kakek sudah pindahkan ke atas lemarimu kemarin" Jawab Sarutobi-sama.

Perempuan itu langsung menggembungkan pipinya pertanda ia merasa sedikit jengkel dengan ulah kakeknya.

Pandanganku tak bisa lepas dari sosok itu. Seorang perempuan cantik yang kurasa sebagai cucu dari kepala desa itu terus membuat pikiranku terfokus ke arahnya. Rambutnya yang pirang diikat dua kebelakang, posturnya yang tinggi dan cukup mon.. maksudku sintal, wajahnya yang cantik, kulitnya yang kuning langsat nyaris tanpa cela, dan yang paling membuatku dihipnotis adalah buah dadanya itu. Besar seperti milik artis-artis blue film yang cukup sering aku tonton.

Sosok yang menghipnotisku itu tiba-tiba saja mendekat ke arah kami bertiga. Dan itu membuatku terus-terusan menelan ludah ketika melihat dadanya yang bergetar naik-turun saat berjalan, dengan nilai plus pahanya yang sepertinya sengaja ia pertontonkan itu.

"Kenalkan nak Kakashi, ini cucuku".

Perempuan cantik berdada besar itu langsung menyodorkan tangan kanannya, pertanda mengajak untuk berkenalan.

"Hai, namaku Tsunade" Ucapnya singkat.

Aku segera menjabat tangannya "Kakashi Hatake. Salam kenal".

"Ada urusan apa kau kesini Gai?" Perempuan bernama Tsunade itu melirik ke arah sahabatku dengan tatapan sinis.

"Aku ditugasi untuk menyampaikan surat penting Tsunade-chan. Hahaha" Jawab Gai lantang.

Aku merasakan ada sesuatu yang cukup ganjil ketika Gai menjawab pertanyaan Tsunade barusan. Aku tahu Gai memang mudah bersikap ramah dan easy-going terhadap siapapun, baik itu pria maupun wanita. Tapi ini lain.

"Psst Gai, ayo kita pamit. Sudah cukup lama kita disini" Bisikku pelan.

"Baiklah. Sarutobi-sama, Tsunade-chan, kami berdua pamit dulu yaaa".

Aku membungkukan badan sedikit sebagai tanda berpamitan. Sesaat sebelum aku berbalik, aku sempat melihat wajah Tsunade yang tersenyum manis kepadaku. Dan itu semakin membuatku terlena karenanya. Tak lupa juga, karena dadanya itulah celanaku merasa sesak untuk sesaat.

Dalam perjalanan pulang, aku masih terdiam memikirkan perempuan cucu kepala desa itu. Sebelum akhirnya aku membuka mulut karena sesuatu hal.

"Gai, bukankah kita salah jalur? Kenapa kita tidak lewat jalan yang tadi?"

"Kakashi..." Kata-katanya berubah menjadi lirih dan serak.

Aku pun mengangkat alis karena heran terhadap tingkahnya barusan "Hn?".

Gai menengok ke arah kanan dan kiri sebelum melanjutkan kalimatnya "Psst, kau mau tidak kuajak ke tempat yang misterius?".

"Apa maksudmu?".

"Sudah, mau atau tidak?" Tawarnya dengan wajah penuh harap.

Aku menerawang ke langit sejenak sembari berpikir. Well, kupikir tak ada salahnya aku mencoba. Mumpung saat ini aku sedang dalam rangka liburan.

"Baiklah" Jawabku singkat nan padat.

"C'mon!" Lagi-lagi sahabatku ini merangkul pundakku dengan kencang sambil menyeretku untuk berjalan. Tck, sifat hiperaktifnya dari dulu sampai sekarang belum sembuh-sembuh juga.

Setelah kurang lebih berjalan selama sepuluh menit menelusuri jalan setapak, akhirnya aku melihat sebuah kuil tua di seberang jalan sana. Kira-kira jarak dari jalan ini ke kuil itu 50 meteran.

"Itu tempat yang kau maksud misterius?" Tanyaku sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah kuil tua itu.

"Rivalku, tidak sopan kau mengacungkan jari ke arah kuil keramat itu" Gai segera menurunkan tangan kananku yang tadinya menunjuk ke arah kuil.

"Memang kenapa?".

Gai langsung merubah raut mukanya menjadi seram "Kau tidak tahu ya? Kuil Nobunaga itu adalah kuil ke..ra..maattt".

"Cih, usiamu boleh dewasa. Tapi jiwamu kekanak-kanakan. Mau-maunya percaya terhadap hal-hal mitos seperti itu" Sindirku. Jujur saja aku adalah seorang skeptis yang tidak mudah percaya terhadap suatu hal. Apalagi yang diluar nalar seperti barusan. Untuk menjadi seorang detektif handal, kita harus berusaha menajamkan logika dan akal sehat setiap saat.

"Kakashi-Kakashi. Jangan sampai kau menyesali perkataanmu barusan ya".

"Memangnya kenapa hah?" Tantangku.

"Siapapun yang bertindak tidak sopan dan melanggar aturan disekitar kuil Nobunaga, akan mendapat ku..tu..kaaannn" Lagi-lagi Gai menakut-nakutiku dengan gayanya yang malah menurutku aneh dan tidak waras.

Kupandangi kuil yang bernama Nobunaga itu baik-baik dari sini. Memang bangunannya terkesan angker dan keramat. Jendelanya sudah rusak, tiang penyangganya sudah cukup keropos, dan jaring laba-laba terlihat memenuhi di setiap sudut kuil. Daripada melihat dari kejauhan dan tidak jelas, lebih baik aku melihatnya dari dekat saja.

"Kakashi, kau mau kemana?" Gai berteriak panik ketika melihatku terus berjalan mendekat ke arah kuil itu.

'Suasana di sekitar sini memang sepi dan senyap' Batinku.

Jarak antara tempatku kini berdiri dengan kuil Nobunaga tidaklah jauh. Kurang lebih hanya 10 meter saja. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dadaku sambil berjalan mengelilingi kuil yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Sempat kulihat ada ceceran bunga dan kemenyan di teras kuil.

"Gai, kemari" Aku melambaikan tanganku sebagai isyarat agar sahabatku itu mendekat.

"Ada apa Kakashi? Sudah kubilang kan, jangan mendekati kuil ini melebihi batas. Aku tidak mau kau terkena kutukan dewa".

"Lagian siapa juga yang dengan tatapan penuh harap menawariku untuk pergi kesini".

JLEBBB

Kata-kataku barusan sontak membuat Gai menghentikan aksi rewelnya itu.

"Aku ingin bertanya sedikit. Kulihat disekitar sini terdapat ceceran bunga yang masih cukup segar dan juga ceceran kemenyan. Itu tandanya ada orang yang berkunjung kesini beberapa hari yang lalu. Tapi katamu, tak ada yang boleh mendekati kuil melebihi batas kan?" Aku bertanya panjang lebar. Jujur, aku sedikit tertarik dengan rahasia kuil Nobunaga ini. Hitung-hitung sebagai pemanasan untuk otakku agar berpikir secara analisis.

"Ada pengecualian rivalku. Kuil ini mempunyai patung dewa Tengu di tengah-tengah ruangan. Ada dua orang yang boleh memasuki kuil ini. Yang pertama adalah Bhiksu juru kunci kuil. Dan yang kedua adalah kepala desa, Sarutobi-sama"

"Tunggu. Jika Bhiksu aku paham kemana arah pembicaraanmu nantinya. Tapi, untuk apa seorang Sarutobi-sama masuk kedalam kuil ini?" Aku memasang wajah sedikit curiga.

"Sarutobi-sama setiap satu bulan sekali berdoa memohon kepada Tengu agar desa ini terus diberi keselamatan. Konon, kepala desa sebelum Sarutobi-sama pernah tidak berdoa selama satu tahun lebih dan hasilnya...desa ini dilanda topan hingga cukup banyak yang tewas" Jelas Gai dengan penuh semangat.

'Mungkin topan itu datangnya hanya kebetulan saja. Tidak ada sangkut-pautnya dengan dewa apalah itu namanya' Kataku dalam batin.

"Lalu Gai, Bhiksu penjaga kuil ini tugasnya bagaimana?".

Gai menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya "Bhiksu sang juru kunci kuil Nobunaga biasanya masuk ke dalam untuk berdoa setiap satu minggu sekali. Sekalian untuk bersih-bersih tempat ini".

"Jika kuil ini dibersihkan secara rutin, kenapa bangunannya tetap kotor dan semakin rusak? Kalian para warga tidak mencoba untuk membangun ulang atau merenovasinya?".

Gai menggelengkan kepalanya "Kuil Nobunaga adalah kuil keramat peninggalan leluhur desa. Dan ada peraturan yang menyebutkan, kuil dilarang untuk dibangun ulang atau direnovasi total".

Aku mengangguk pelan pertanda sudah cukup paham dengan cerita dan sejarah kuil yang dikenal keramat itu. Saat kutengokan kepalaku ke arah jalan, aku melihat ada seorang pak tua seumuran dengan kakek kepala desa yang sedang berjalan pelan ke arah kami. Dilihat dari pakaian dan atributnya, sepertinya dia adalah Bhiksu yang dimaksud sebagai juru kunci.

"Kalian berdua, lancang sekali telah berani mendekati kuil Nobunaga ini" Pak tua itu sepertinya merasa sedikit marah, terlihat dari nada bicaranya.

"Maafkan kami berdua Danzou-sama. Maafkan kami" Gai menundukan badan berulang-ulang sebagai tanda permintaan maaf.

"Maafkan aku" Aku hanya mengangguk sedikit. Masalahnya aku tak merasa amat bersalah atas kelakuanku. Lagian, aku hanya berdiri saja di sekitar kuil dan tidak mengobrak-abriknya. Memang itu kesalahan fatal?

"Ya sudah. Sebaiknya kalian segera pergi sebelum dewa Tengu mengutuk kalian dengan laknatnya" Ucap kakek yang bernama Danzou itu dengan suara seraknya.

Saat kami akan segera pergi, tiba-tiba angin yang cukup besar berhembus. Daun-daun bergoyang dan saling bergesekan, yang mengakibatkan suasana semakin mencekam. Tapi samar-samar hidungku mencium sesuatu. Bau...busuk.

"Gai, jangan pergi dulu" Kataku tiba-tiba.

"Memangnya kenapa rivalku? Bukankah Danzou-sama sudah mengusir kita berdua?".

Wajahku berubah serius "Bukan itu. Apakah sesaat sebelum ini kau mencium sesuatu yang ganjil? Bau seperti busuk?".

"Be..benar juga katamu. Jangan-jangan, dewa telah mengutuk kita. Bagaimana ini Kakashi? Ayo pergi, ayo" Gai langsung menggenggam erat kedua tangaku dan berusaha menariku pergi.

Aku segera menepis tangannya dan bergegas berlari mendekati kuil sedekat mungkin.

"Hey kau anak muda, jangan bertingkah kurang ajar disini" Danzou-sama berusaha menyusulku ke dalam kuil.

Aku mencoba menajamkan indera penciumanku walaupun situasi sedang tidak karuan seperti ini. Aku hirup perlahan, lalu keluarkan. Aku yakin dan tidak salah lagi. Ini adalah bau busuk yang berasal dari mayat.

BRAKKK!

Kudobrak paksa pintu kuil Nobunaga ini, dan kutetap berusaha mencari asal-muasal darimana bau mayat ini berasal. Tak peduli dibelakangku si Bhiksu galak itu sedang ngomel-ngomel tentang kutukan tidak jelas. Aku yang sudah delapan tahun menjadi seorang detektif dan sudah belasan bahkan puluhan kali menangani mayat-mayat korban pembunuhan, jelas-jelas bisa dengan mudah membedakan mana bau mayat manusia dan mayat hewan. Jika mayat hewan, baunya tak begitu pekat. Tapi ini baunya pekat, yang berarti ada sesosok mayat disekitar kuil ini.

Kulihat didepanku persis berdiri patung besar yang berwujud cukup menyeramkan sambil memegang dua buah golok raksasa. Kuedarkan pandanganku kesekeliling ruangan yang cukup gelap sambil tetap menajamkan indera penciumanku.

Kujelajahi daerah di belakang patung dewa Tengu perlahan, dan akhirnya kutemukan sesuatu. Sesuatu yang pastinya bakal membuat heboh desa Otogakure ini.

"Huekkk...huekkk" Kulihat Bhiksu itu muntah-muntah karena tak kuat menahan bau busuk yang dihasilkan oleh mayat yang tergeletak di hadapanku ini.

Kututup hidungku sembari melihat dengan pasti kondisi mayat itu. Aku sedikit terkejut dengan kondisinya. Aku sudah sering melihat mayat yang mati tertembak, tergantung, tertusuk, tapi aku baru pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri mayat yang mati dengan kondisi tubuh terbelah dua di pinggang maupun leher.

-TSUZUKU-

Tengu : Salah satu makhluk dalam legenda Jepang yang sering digambarkan berwujud elang atau gagak setengah manusia.

Terima kasih telah mau menyempatkan waktunya untuk membaca cerita ini. Silahkan bagi yang ingin REVIEW ataupun FLAME sekalipun.