"Kau pulang."

Jaemin menoleh. Terganggu.

"Maaf."

Jatuh cinta pada Na Jaemin adalah hal yang salah. (Tidak, benar.)

Na Jaemin adalah; epitom dari kesempurnaan, definisi mahakarya Tuhan yang paling menonjol, personifikasi dari apa yang Lee Jeno sebut sebagai kebahagiaan, cinta abadi, napasnya, jiwanya, segala miliknya-

Seharusnya dari situ ia sudah bisa menilai. Seharusnya dari sana Jeno bisa menyadari, begini hidup Jeno jadinya. Hidup Jeno sudah lama bukan kehendaknya lagi. Hidup Jeno sudah lama ada di genggaman Jaemin.

Itu buruk, kata mereka. Itu suatu kehormatan, bagi Jeno.

Jadi Jeno tak mengerti? Apa yang salah?

(Jeno, sayang, dirimu telah menuhankan Jaemin.)

Jaemin memberinya rumah ketika Jeno memberinya ketiadaan. Apa yang Jeno lakukan sekarang hanyalah sikap tahu diuntung. Kadang mereka tidak mengerti, dan persetan, ini tidak seperti mereka harus mengerti. Karena yang Jeno ingin hanya Jaemin.


Ini bukan tipikal relasi buruk yang diromantisasi. Dasarnya Jaemin memang tidak pernah memukulnya, Jaemin tidak pernah bercumbu dengan orang lain di belakangnya, maupun pulang terlalu larut sebelum Jeno tertidur ketika menunggunya.

Tidak ada bau parfum lain atau bekas kemerahan dari gincu di alat penciuman maupun penglihatan Jeno ketika ia melingkarkan tangannya di bahu Jaemin untuk sekedar menyelami ceruk leher yang lebih muda ketika ia merenggangkan dasinya sebelum membersihkan diri.

Mata Jaemin hanya dipenuhi oleh cakrawala dan bintang untuknya. Surai merah mudanya yang mengingatkan Jeno akan perman kapas hanya akan dikecup olehnya. Bibir merah Jaemin yang seperti mawar tanpa duri hanya dimiliki olehnya. Sosok yang boleh menidurkan diri diantara lengan Jaemin yang merupakan nirwana tak lain tak bukan hanyalah ia daripadanya.

Jaemin tidak pernah melakukan itu. Dan tidak akan pernah. Itu yang Jeno percayai. Namun Jeno tahu, perihal ini, Jaemin tidak akan pernah berbohong.

Jaemin hanya, kau tahu.

Terkadang hal menjadi melelahkan, dan meski tidak secara berbohong atau menampar; mulutmu harimaumu, namun Jeno tahu, Jaemin hanya kelelahan dan perlu istirahat. Jeno, kadang lupa diri, kadang ia lupa daratan, dan tidak bisa melihat Jaemin butuh waktu sendiri.

Jaemin melayangkan jemarinya pada pangkal kerongkongan Jeno, mengeluskan pelan dengan tatapan yang Jeno-sukai. Ia membuka mulut.


"Minggir, pelacur. Bergeraklah sedikit."

Jeno tersentak, wajahnya yang sudah seperti susu memutih, namun rautnya tenang, lain hal; kontradiktif, malah, dengan bahunya yang bergetar.

"Bukankah tadi kau bilang kau mencintaiku? Ke mana perginya semua omong kosongmu itu? Apakah bersamaan tenggalam di laut bersama otakmu?"

Kadang, sesuatu bisa jadi begini. Jeno mengerti.

Senyum Jeno terasa sesak, padahal paru-parunya dipenuhi rasa antisipasi. Kartala yang tak berujung. Senyum Jeno terasa sesak, namun terangkat pipinya yang merona hingga matanya tertutup tanda mengerti.

"Maaf."

Lagi.

"Baik. Ya. Aku mencintaimu."

Kadang, kadang saja begini.


one of four.