"Hibari-san."

"Ya?"

"Maukah kau berjanji satu hal padaku?"

"Apa itu?"

"Apa pun yang terjadi, tolong jangan tinggalkan aku."

"Tentu saja, aku akan menemanimu sampai kapan pun."

"Arigatou, Kyoya."

"Hn, Tsuna."

.

.

.


Disclaimer : Akira Amano-sensei, tidak mungkin saya

Rating : T (untuk sekarang)

Pairing : always 1827 XD

Note : alur kecepetan, author masih baru dan belum berpengalaman, mungkin AU, chara death, dan selalu gaje.. ._.

A/N : sekiranya cukup segitu dulu, arigatou untuk yang sudah berkunjung dan selamat menikmati.. :)


.

.

.

See You In The Next Moon

.

.

.

Moon 1 : Please, Don't Leave Me Alone

.

.

"Hah.. Hah…."

Seorang pemuda dengan api berwarna oranye di dahi yang sedang membara tengah berlari di tengah derasnya hujan malam itu seorang diri. Mata caramelnya menatap sayu. Rona merah di pipinya memudar. Tangannya menggenggam sebelah tangannya yang terluka dengan darah yang masih mengalir. Kulit kakinya sudah sobek, hingga sebagian daging dan sesuatu berwarna putih di dalamnya terlihat. Seakan tidak peduli dengan itu, dirinya terus berlari menghindari hujan timah-timah kecil nan panas di belakangnya.

"Kau mau ke mana, Vongola Decimo?"

Tidak, dirinya tidak boleh menghiraukan suara itu. Yang ada dipikirannya saat ini adalah—

—Keselamatan guardiannya.

"Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Kau akan mati sebentar lagi."

Hujam timah panas itu semakin menggila. Acuh saja jika tidak sampai pada tujuannya. Yang penting membuat pemuda itu tidak bisa lari ke mana-mana.

Dewi fortuna mungkin sedang berpihak pada dirinya saat ini. Secercah cahaya sesaat dilihatnya. Di ujung jalan itu, ada persimpangan gelap yang entah kenapa terasa mencurigakan. Penasaran, dan butuh tempat bersembunyi, dia berbelok ke sana.

Kedua irisnya seketika terbuka lebar. Tidak percaya akan apa yang sedang dilihatnya saat ini.

Keenam guardiannya—

—Tumbang.

"Mi—minna."

Suaranya seakan tercekat. Keenam guardian—ah—kelima teman baiknya, terluka parah dengan luka di sekujur tubuh mereka. Di dekat mereka, berdiri seorang guardian lagi, Cloud Guardian lebih tepatnya. Orang itu dengan susah payah mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang mulai tidak terkendali. Pegangan pada tonfanya sudah goyah sejak tadi. Kedua maniknya hampir seluruhnya tersembunyi. Napasnya tidak teratur. Luka ada di mana-mana, kepala, tangan, dada, perut, kaki, dan lain-lain.

"Hoo~, akhirnya boss kalian datang juga."

Terdengar suara baritone seorang pria di depan sang Cloud Guardian. Selain dia, terdapat pula beberapa orang dengan pakaian yang sama. Senjata mereka masih terpampang di sana.

"Tapi, percuma saja, kalian semua akan mati saat ini juga."

Sang pemuda tadi, hanya bisa diam dengan mulut bergetar—juga tubuhnya. Akalnya masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa teman-temannya yang sangat kuat itu bisa dikalahkan dengan mudah oleh musuh.

"Kyo—Kyoya."

Dirinya berusaha memanggil nama sang Cloud Guardian yang tinggal sedikit lagi memejamkan matanya. Terlihat olehnya, sang Cloud Guardian itu menoleh ke arahnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Tiba-tiba, kedua mata sang Cloud Guardian membulat. Sekejap, dia langsung hendak berlari ke belakang—ke tempat si pemuda berdiri.

Sang pemuda yang terkejut, refleks menengok ke belakang. Irisnya juga ikut membulat. Tatkala, dia melihat jika sebuah peluru sedang terbang tepat ke tengkoraknya.

Semua terjadi hanya dalam sesaat. Hanya direfleksikan dengan slow motion.

CRASH!

Pemuda yang tadinya hanya pasrah memejamkan matanya, kini membuka semua kelopak matanya lebar-lebar. Keterkejutannya bukan hanya sampai di sini, dia masih hidup.

Kurang dari satu detik, dia jatuh terduduk dengan sesosok yang menimpa tubuh mungilnya. Sosok itu menutup tirai penglihatannya. Dia menyentuh dada kiri sosok itu perlahan. Mengangkat tangan itu hingga sampai di depan matanya.

Darah. Hanya itu yang terlintas di pikirannya.

"Tsu—Tsuna—yo—shi—,"

Suara dengan napas tertahan itu begitu memilukan di pendengarannya. Jujur, dia tidak ingin mendengarnya tapi hati kecilnya tidak berkata demikian. Dia sangat, amat sangat ingin mendengar suara orang itu.

Kekasihnya—Hibari Kyoya, sang Cloud Guardian.

"Da—dai—jou—bu?"

Dia menggenggam tangan sang kekasih, yang masih berlumuran cairan merah pekat itu.

"Aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu?"

Tersirat rasa khawatir yang mendalam di mata pemuda itu. Membuat sang kekasih memudarkan senyum lembutnya.

"Ja—ngan pasang—hah—ekspresi—hah—seper—ti i—itu."

Genggamannya semakin erat. Merubah ekspresinya sesuai dengan keinginan sang kekasih—tersenyum manis.

"Aku akan segera mengakhiri semua ini, tolong bertahanlah."

Hibari memasang senyum lembut yang diperlihatkan hanya untuk kekasihnya itu.

"Ma—af, se—perti—nya, a—aku hanya bi—sa sam—pai di—si—ni."

Si pemuda tersentak. Manik caramelnya mulai berkaca-kaca. Menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Jangan, jangan berkata seperti itu. Kau sudah berjanji tidak akan meninggalkanku."

Isakan, itu yang terdengar kemudian. Hibari menatap sang kekasih dengan intens. Lalu, mengisyaratkan agar si pemuda mendekat ke wajahnya. Pemuda mungil itu menurut. Dan apa yang diterimanya kemudian, membuat air matanya semakin tidak terbendung lagi.

Ciuman. Hanya sebuah ciuman lembut. Namun, kali ini rasanya berbeda. Meski masih ada kehangatan, rasa asin darah lebih mendominasi. Tapi, itu cukup untuk menenangkannya.

"A—ku me—mang tidak a—akan me—ninggal—kanmu. A—ku a—kan sela—lu me—nemui—mu di malam bu—lan di—tema—ni se—bu—ah bin—tang y—yang pa—ling te—rang."

"Menemuiku, di malam bulan ditemani sebuah bintang yang paling terang?"

Cloud Guardian itu mengangguk lemah.

"OHOK!"

Tiba-tiba ia terlonjak. Darah ia muntahkan dalam volume yang tidak sedikit. Jantungnya yang terkena tembakan tadi, sudah tidak bisa diajak kompromi.

"Kyo-Kyoya!"

Tidak menghiraukan jeritan sang kekasih, Hibari memberi senyum paling lembut yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya.

"Sa—yonara, Sa—wada Tsu—na—yoshi. Te—taplah hi—dup. A—ku men—cintai—mu."

Dengan kata-kata itu, sang Cloud Guardian itu pun menutup kelopak mata yang menyembunyikan iris kelamnya. Napas yang tadinya bisa terlihat akibat menimbulkan uap, kini tidak ada lagi. Tangan yang digenggam sang kekasih tertarik gravitasi bumi dengan perlahan. Bibir yang masih memasang senyum lembut itu, memucat.

Sawada Tsunayoshi—kekasih Hibari Kyoya, tidak bisa lagi menahan amarah yang sejak tadi bergumul di hatinya. Isakannya terdengar semakin jelas. Air matanya pun makin mengucur dengan deras, melebihi derasnya hujan yang membasahi sekujur tubuhnya.

"AAAAAAAAARRRRRGGGGGHHHHHHHHHHHH!"

Menjerit dalam diam. Kelima guardian lainnya sontak tersadar dari pingsan mereka saat mendengar jeritan menyakitkan itu. Bahkan, musuh mereka pun sempat membeku saat mendengarnya.

Hibari Kyoya, meninggal saat menjalankan tugas. Laporan selesai.

"Yurusanai."

Tsunayoshi, sang Vongola Decimo, bergumam tidak jelas seperti merapalkan mantra di telinga orang-orang di sekitarnya.

"Kalian semua… TIDAK BISA DIMAAFKAN!"

Seketika, dying will flame-nya kembali membara. Tetapi, kali ini berbeda, pikir kelima guardian yang masih setengah sadar di belakang boss mereka itu.

Rasanya seperti—

—Penuh amarah dan dendam yang terselimuti kegelapan.

Vongola Decimo langsung berlari ke arah orang yang sudah membunuh kekasihnya, pimpinan musuhnya. Dia langsung menghajar orang tersebut tanpa ampun. Layaknya serigala kelaparan. Bukan, layaknya singa yang kehilangan pasangannya.

Serangan demi serangan terus diluncurkan dengan membabi buta. Kawan musuh mereka itu pun yang tadinya meremehkan sekarang gemetar ketakutan. Melihat pimpinan mereka sudah setengah hidup di bawah sang Vongola Decimo.

Puas dengan sang pimpinan, sang boss mafia itu langsung melesat ke arah anak buah musuhnya itu.

"X—BURNER!"

"Aaaaakkkhhhh!"

Seketika, orang-orang itu berteriak kesakitan. Tembakan api dying will paling kuat milik Tsuna itu dengan telak mengenai tubuh mereka. Dan langsung menyelimuti apa pun yang dikenainya.

Tidak cukup, rasa sakit mereka tidak apa-apanya dibanding rasa sakit Kyoya.

Dengan pemikiran itu, pemuda mungil ini kembali melancarkan serangannya. Tentu saja, pada orang-orang yang telah menyakiti guardiannya—kekasihnya. Entah ini hanya perasaan saja, atau memang serangan Tsuna semakin mengganas dan liar?

Kelima guardian Vongola generasi ke-sepuluh itu hanya bisa menonton adegan 'semi-pembunuhan' yang dilakukan oleh boss mereka dengan tatapan terkejut, takut, sekaligus senang. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa pada Tsuna yang sedang dilanda emosi balas dendam itu.

Balas dendam memang menakutkan.

Tidak berselang lama, terdengar suara tembakan yang langsung mengenai lengan Tsuna. Seketika, boss mafia muda itu pingsan. Perlahan-lahan, dying will flame-nya meredup dan sarung tangannya berubah seperti semula.

Naas, orang-orang yang telah dihajar Tsuna tadi, juga pingsan. Lebih tepatnya, berada di persimpangan antara hidup dan mati.

"Sial, aku terlambat."

Sayup-sayup, kelima guardian Vongola yang masih tidak berdaya itu mendengar suara gumaman seorang bayi. Tidak lain dan tidak bukan adalah tutor boss mereka sendiri.

"Reborn—san?" panggil sang Strom Guardian, Gokudera Hayato.

Reborn—bayi itu, melangkah dari mulut gang gelap itu menuju ke arah sang Cloud Guardian yang masih tergeletak di sana. Menatap sebentar, lalu beralih ke muridnya.

"Aku akan memanggil bantuan. Setelah kalian beristirahat, ceritakan apa yang terjadi."

.

.

.

Ruang kesehatan, Vongola Head-quarter…

Saat ini, para tim medis kepercayaan Vongola family sedang merawat kelima guardian generasi ke-sepuluh yang terluka sangat parah. Bahkan, masih ada yang tertidur atau mungkin pingsan(?).

"Aku mengerti. Jadi, saat kalian sedang menuju ke sini, tiba-tiba kalian diserang oleh seseorang yang mengaku bernama Byakuran dan anak buahnya?" tanya Reborn. Dia sedang duduk di sebuah kursi dengan meja kayu persegi panjang di depannya.

"Ya. Jujur, kami kira, kawasan dengan radius 10 kilometer dari Vongola Head-quarter sudah aman. Karena itu, kami sama sekali tidak memiliki persiapan apa pun untuk menghadapi mereka," jawab Gokudera—Strom Guardian yang sudah dirawat semua lukanya. Orang yang mengaku tangan kanan Vongola Decimo ini duduk tepat berhadapan dengan Reborn.

"Seharusnya, apa yang kau katakan itu benar."

Gokudera mengernyitkan dahinya, "Maksud Reborn-san?"

"Bodoh, tentu saja tentang keamanan. Wilayah seluas 15 kilometer dari Vongola Head-quarter sudah dipasang alat-alat pengintai dan berbagai macam perangkap untuk musuh. Jika ada orang-orang yang tidak memiliki hubungan dengan Vongola memasuki kawasan itu, maka otomatis akan langsung diberi perangkap gratis," terang Reborn, mengelus kepala Leon, hewan pelihara—ehem—partnernya.

"Tunggu dulu, 15 kilometer katamu?" tiba-tiba, terdengar seruan dari Yamamoto—Rain Guardian.

Reborn mengangguk. "Ya."

"Kalau begitu, seharusnya keberadaan mereka sudah terdeteksi kan? Bagaimana cara mereka bisa ada di sana?"

Reborn terdiam, menatap para guardian yang sedang memberinya tatapan penasaran itu satu persatu. Menghela napas sekali.

"Itulah yang tidak kuketahui. Tim investigasi Vongola sedang menyelidiki tentang hal itu. Percaya dan tunggu saja."

Gokudera menggerutu, Yamamoto mengangguk pasrah.

CKLEK!

Seorang wanita dewasa bersurai sakura kelabu baru saja keluar dari balik pintu di belakang Reborn. Pintu yang menghubungkan sebuah ruangan lagi khusus untuk perawatan intensif, begitu tulisan di sana.

"Dasar bocah."

Wanita itu mengumpat seraya berjalan menuju ke kursi di samping Reborn.

"Ada apa, Bianchi?"

Wanita yang dipanggil Bianchi oleh Reborn itu menoleh sesaat, sebelum meraih cangkir berwarna putih tulang miliknya lalu menyesap kopi di dalamnya.

"Tsuna. Dia terus mengigau memanggil si Cloud Guardian."

Mendengar nama rekan seperjuangan disebut, lima guardian Vongola Decimo itu hanya mampu menunduk atau terisak. Teringat akan peristiwa yang belum ada 24 jam mereka alami itu.

"Mengigau? Memangnya dia kenapa?" tanya Reborn.

"Suhu tubuhnya tiba-tiba naik drastis, mungkin dia tidak tahan berada di bawah hujan terlalu lama. Lagipula, sepertinya tadi dia terlalu memaksakan kekuatannya," jawab Bianchi lesu.

"Yah, itu wajar. Meskipun memiliki kekuatan besar, tapi daya tahan tubuhnya lebih rendah dari bocah seusianya," timpal Reborn, juga menyesap kopi miliknya sendiri.

"Ini semua salahku. Seharusnya sebagai tangan kanan Juudaime aku lebih waspada," Gokudera mengepalkan kedua tangannya rapat-rapat, menenggelamkan wajahnya di antara surai peraknya, menyesali apa yang telah terjadi.

"Jangan salahkan dirimu, Gokudera. Ini salah kita semua, jika saja kita tetap membawa senjata, pasti tidak akan berakhir seperti ini," sahut Yamamoto.

Reborn menggebrak meja secara tiba-tiba, mengagetkan semua manusia di dalam ruangan itu.

"Ke mana senjata kalian?"

Menelan ludah paksa, Gokudera menjawab dengan sedikit gugup.

"Saat memasuki wilayah kekuasaan Vongola, kami bertemu dengan seseorang yang mengaku salah satu anggota kita. Dia berkata, ada baiknya jika kami semua menyegel box Vongola kami dan memasukkannya ke sebuah kotak khusus yang dibawanya. Awalnya kami percaya, tapi si Hi—Hibari itu tidak. Dia memaksa untuk membawa sendiri box Vongola kami. Orang yang kami temui itu menentangnya. Akhirnya, Juudaime memutuskan memasukkan box Vongola kami ke sebuah box khusus untuk menyimpan box weapon," sedikit tercekat saat menyebut nama sang Cloud Guardian.

"Lalu, di mana box khusus itu?"

Yamamoto dan Gokudera—guardian yang masih bisa ditanyai, berpandangan sejenak. Terbesit rasa ragu dari pandangan mereka. Namun, saat melihat Reborn yang sudah menyiapkan sebuah palu hijau bertuliskan 2 ton (salah satu perubahan Leon) di tangannya, mereka langsung berkeringat dingin.

"I—itu, kalau tidak salah ada di kantung jas yang dipakai Hi—Hi—Hibari," sama seperti sang Strom Guardian, Yamamoto juga seperti susah menyebut nama kakak kelasnya itu.

Reborn berdiri, lalu berjalan pergi menuju pintu keluar.

"Kau mau ke mana?"

Mengacuhkan pertanyaan dari Bianchi, Reborn menutup pintu kayu itu dengan keras, hingga foto berbingkai eboni di samping pintu itu retak dan hampir jatuh.

Foto?

Ya, foto Vongola Decimo ditemani keenam guardiannya saat sedang berlibur bersama di pantai dengan ekspresi bahagia. Dan tentu saja, yang berada paling dekat dengannya adalah kekasihnya, Hibari.

.

.

.

Reborn memasuki sebuah ruangan gelap dengan AC bersuhu rendah. Beberapa sudut ruangan itu membeku akibat rendahnya suhu yang diatur. Walau begitu, dia hanya memakai setelan jas dan celana panjang hitamnya saja.

Di tengah ruangan itu, mata hitamnya bisa melihat dengan jelas sebuah ranjang—mungkin—dengan sebuah gundukan besar tertutup kain putih. Perlahan-lahan kakinya dilangkahkan menuju ranjang itu tanpa rasa takut sedikitpun.

Hawa dingin semakin menusuk, tapi entah kenapa bayi ini sama sekali tidak merubah ekspresi dinginnya. Kabut yang sedikit demi sedikit mengudara mulai menutupi pandangannya. Namun, tak menghentikan langkah kaki kecilnya yang terus bergerak lurus.

3 langkah kemudian, dia sampai di sisi ranjang itu. Melompat naik. Meraih ujung kain yang menyelimuti sebuah benda besar di sana, hendak dibuka tapi sedikit ragu menjalari pikirannya.

Perlahan-lahan, ia membuka kain putih itu. Mengekspos sesosok pemuda tampan bersurai raven dengan kedua kelopak mata yang tertutup. Menatap wajah pucat itu sejenak, lalu beralih ke jas hitam yang masih dikenakan pemuda itu. Merogoh saku di dalam jas, akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Sebuah box weapon Vongola berwarna putih yang diyakini itu adalah box khusus yang dimaksudkan sang Strom Guardian tadi.

Menyelimuti sosok raven itu kembali, hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sebelum kakinya mencapai setengah jarak antara ranjang dan pintu, ia berhenti sebentar.

"Hibari, terima kasih, kau sudah melakukan tugasmu dengan baik. Sayonara."

Reborn pun melanjutkan perjalanannya menuju pintu keluar. Lalu, dengan perlahan ia menutup pintu besi itu.

Tanpa dia sadari, di dalam ruangan itu ada sesosok bayangan yang tengah memasang senyum—err—menyeringai.

.

.

.

TOK! TOK! TOK!

"Juudaime! Tolong buka pintunya!"

TOK! TOK! TOK!

"Anda belum makan sejak tiga hari yang lalu!"

DUAGH!

"Kalau Anda tidak segera membukanya, saya akan membukanya secara paksa!"

DUAGH! BRAAK!

Pemuda bersurai silver—diketahui bernama Gokudera Hayato yang mengaku-ngaku bahwa dirinya tangan kanan sang Vongola Decimo, menendang pintu kayu yang baru kemarin diperbaiki. Di tangannya terdapat sebuah nampan dengan berbagai makanan dengan porsi tidak terlalu banyak di atasnya. Langkahnya tegap namun dipercepat. Menuju ke tempat Juudaime-nya berada dengan tergesa-gesa. Setelah sebelumnya menaruh nampan tadi di atas meja kecil di samping ranjang king size milik Tsuna.

Ya, dia baru saja mendobrak pintu kamar Juudaime—Tsuna.

Sedangkan, objek yang diteriakkan oleh Gokudera tadi sedang duduk di depan jendela dan menatap apa yang ada di luar sana, entah itu apa. Tatapannya kosong, lebih seperti melamun. Tidak merubah posisi tubuhnya sedikitpun walau Gokudera sudah ada satu langkah di belakangnya.

"Juudaime."

Tsuna masih diam. Tidak bergeming barang 1 milimeter.

"Juudaime?"

Nada bicara Gokudera terdengar seperti bertanya. Tsuna masih tidak bergerak. Layaknya makhluk hidup yang kehilangan indera pendengarannya.

"Juudaime!"

Dengan sedikit kasar, Gokudera menarik bahu mungil Tsuna ke belakang. Bermaksud agar Juudaime-nya mau melihatnya walau hanya 1 detik.

Namun, apa yang diharapkannya justru terjadi sebaliknya.

Tsuna langsung ambruk ke lantai dengan mulusnya. Reflek, Gokudera menggunakan sebelah tangannya yang bebas untuk menangkap kepala pemuda mungil itu supaya tidak membentur lantai. Ekspresi penuh keterkejutan tampak jelas di wajahnya.

"Ju—Juudaime!?" serunya, berusaha membangunkan Tsuna yang ternyata sudah menyembunyikan kedua iris karamelnya.

"Apa yang terja—,"

Kalimatnya berhenti saat matanya menangkap sebuah benda cair berwarna merah mengalir perlahan di pergelangan Tsuna. Ditelurusi arah aliran cairan itu, hingga sampai pada genangan dengan cairan yang sama tepat di bawah kursi tempat Tsuna tadi duduk.

"Sialan!"

Dia segera menggendong Tsuna ala bridal style lalu berlari secepat mungkin keluar dari kamar mewah itu.

.

.

.

"Dasar, ini sudah yang kelima kalinya dalam satu bulan ini," gerutu seorang wanita bersurai panjang sakura kelabu dan memakai kacamata renang(?)—maaf—biasa—Bianchi.

Dia sedang memasang alat bantu pernapasan pada seorang bocah lelaki mungil bersurai coklat caramel jabrik yang tengah terbaring lemah di atas kasur. Lengan bocah yang diketahui adalah Tsuna ini diperban, tepatnya di pergelangan tangan.

CKLEK!

Pintu itu terbuka, menampilkan sesosok bayi dengan jas, celana, dan topi fedora hitamnya—Reborn.

"Terjadi lagi?" tanya Reborn, melompat ke kasur Tsuna lalu duduk bersila di sisi pemuda itu.

Bianchi mengangguk. "Aku sudah muak dengan kebiasaan barunya ini."

Reborn memandang raut pucat muridnya dengan seksama. Menghela napas. "Sepertinya, aku memang harus melakukannya."

Bianchi yang tadinya masih terus memandang ekspresi tidur Tsuna, beralih menatap Reborn dengan pandangan bingung. "Melakukan apa?"

"Akan kuberitahu nanti. Datanglah ke ruang pertemuan 10 menit lagi."

Bianchi hanya balas mengangguk. Reborn tersenyum, mengelus ujung kepala muridnya beberapa kali, sebelum beranjak meninggalkan ruang perawatan itu.

.

.

.

"Jadi, begitulah. Karena itu, aku memanggil kalian ke sini untuk meminta persetujuan kalian."

Reborn menatap satu persatu para guardian Vongola muda itu. Ekspresi yang ditunjukkan mereka berbeda-beda. Gokudera yang shock. Yamamoto yang terkejut. Ryohei yang mengangakan mulutnya. Chrome yang menutup mulutnya dengan kedua mata yang terbuka lebar. Dan Lambo yang tampak cuek-cuek saja—maklum, masih balita. Juga Bianchi yang menjatuhkan rokok imitasi(?)nya karena mulutnya terbuka.

"Bagaimana?"

Reborn mulai tidak sabar karena sudah beberapa menit mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

"WOI!"

BRAAK!

Satu gebrakan pada meja itu berhasil menyadarkan orang-orang yang malah bengong itu. Yang sadar pertama kali adalah Bianchi.

"Ka—kalau aku sih, setuju saja. Itu lebih baik daripada aku harus merawatnya setiap hari."

Lalu, Gokudera, "Tapi, apakah itu aman, Reborn-san?"

Reborn hanya mengangguk—ceritanya dia lagi ngambek.

"Yah, aku juga setuju. Aku tidak ingin melihat Tsuna terluka lebih dari ini," sahut Yamamoto, yang tersadar kemudian.

"Hm! Aku setuju dengan extreme!" seru Ryohei, walau rasanya jawabannya ini sedikit tidak nyambung.

"A—aku menurut saja," ucap Chrome yang juga baru sadar.

"Reborn! Lawan aku!" sudah bisa dipastikan jawaban absurd dan tidak nyambung ini adalah milik bayi bau sap—uhuk—Lambo. Sayangnya, diabaikan oleh yang bersangkutan.

"Baiklah, jadi keputusannya adalah 'setuju'," ujar Reborn, sudah kembali ke mode hitman-nya.

BRAAK!

Pintu tak berdosa di belakang Reborn duduk itu tiba-tiba terbuka secara paksa. Dari balik pintu itu tampak seorang om-om(?) dengan wajah disensor (dia orang tak dikenal, jadi lupakan saja) berdiri dengan terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Reborn, menoleh ke belakang.

"Hah—Begini, Reborn-sama! Decimo! Decimo mengurung diri lagi di kamar beliau! Kami tidak bisa membukanya dari luar! Apa yang harus kami lakukan!? Kami takut kalau terjadi sesuatu pada beliau!"

Reborn berdiri, sesaat setelah Gokudera berdiri dan hendak berlari langsung ke kamar Juudaime-nya.

"Biar aku yang urus, kalian tunggu di sini saja."

Gokudera menggeram tidak setuju. Walau begitu, dia menurut dan kembali duduk dengan ekspresi kesal di wajah—lumayan—tampannya.

Reborn kemudian keluar dari ruang pertemuan di Vongola Head-quarter itu dengan orang tak dikenal tadi di belakangnya.

.

.

.

"Tsuna."

Tidak ada jawaban.

"Dame Tsuna."

Tetap tidak ada.

Kesabarannya habis, dia pun langsung menendang pintu kayu itu hingga engselnya lepas. Dan—ekspresi dinginnya berubah menjadi terkejut walau tidak begitu kentara.

Di hadapannya, keadaan kamar sang murid begitu kacau. Vas-vas bunga yang tadinya berdiri manis di atas meja kini menjadi pecahan-pecahan tajam di lantai dengan air dan bunga-bunganya berserakan. Bantal sudah terkeluarkan isinya. Selimut sobek-sobek di bawah ranjang. Cermin di dinding retak dan beberapa bagiannya juga jatuh ke lantai. Dinding-dinding sudah terkelupas, seperti dipukul atau dicakar berulang kali. Dan kondisi nista lainnya.

Sedangkan, sang pemilik kamar sedang duduk bersimpuh di dekat jendela yang terbuka lebar dengan tirai yang menari-nari dihembus angin. Hanya mengenakan sebuah kaus putih polos dan celana jeans hitam. Di tangannya terdapat pisau buah dengan sisi tajam mengarah ke wajahnya. Tatapannya kosong, tidak bermakna apa pun.

"Ne, Reborn."

Reborn terperanjat. Ini pertama kalinya ia mendengar suara lembut Tsuna semenjak insiden 1 bulan yang lalu. Dia tidak menjawab panggilan dari bocah itu, hanya menatapnya tajam.

"Aku ingin pergi."

Barulah, ia menanggapi, "Apa maksudmu?"

Tsuna menoleh ke arahnya, dan memberinya tatapan sayu tapi lembut.

"Kyoya sudah pergi kan? Karena itu, aku ingin menyusulnya."

Kali ini, dia benar-benar terkejut. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan bahwa muridnya bisa berpikiran seperti itu. Menarik napas sebentar lalu dibuang. Melangkahkan kakinya perlahan ke arah bocah menyedihkan itu. Dengan hati-hati, ia meraih pisau dari tangan muridnya dan melemparnya jauh keluar. Mengundang sang Decimo menatapnya heran.

"Aku mengerti kalau kau sangat kehilangan Hibari. Tapi, bunuh diri tidak akan membuatnya kembali."

Tsuna mengerutkan keningnya beberapa detik, lalu tersenyum lembut kembali.

"Aku tidak mengharapkan dia kembali, kok. Aku hanya ingin pergi ke tempat dia berada sekarang."

Miris. Reborn benar-benar tidak menyangka muridnya yang satu ini akan begitu terpukul saat kehilangan sang kekasih. Sampai melakukan percobaan bunuh diri hanya demi alasan 'ingin menyusul'. Ia mengerti jika kehilangan orang yang dicintai itu sangat menyakitkan. Tapi, tidak perlu sampai menyakiti diri sendiri kan? Lagipula, belum tentu orang yang pergi itu juga menginginkannya untuk menyusul ke alam sana secepat ini.

Baiklah, ingatkan dia untuk melatih mental Tsuna setelah ini.

Reborn menatap Tsuna dengan pandangan tajam namun sulit diartikan. Seperti hendak menghukum, namun juga ingin menenangkan.

"Cukup. Sepertinya cara halus memang tidak akan membuatmu kembali."

Tsuna memasang raut muka bingung. Lebih tepatnya ekspresi bodoh yang 'dulu' sering ditunjukkannya.

"Huh? Apa maksudmu, Reborn? Aku di sini, aku Tsuna."

Reborn menghela napas untuk yang kesekian kalinya.

"Bukan secara fisik, tapi secara mental."

Sang tutor memanggil partnernya—Leon yang bersembunyi di balik topi fedora khasnya. Lalu, Leon pun berubah menjadi sebuah pistol hitam—kesayangannya. Tangan kirinya merogoh saku celananya, mengambil sebuah peluru ungu bergambar tengkorak dengan sayap putih.

"Maaf, Tsuna."

Sang Decimo membulatkan kedua manik karamelnya. Mulutnya membuka dan bergetar tak berirama. Menyiratkan ketakutan yang mendera hatinya saat Reborn menodongkan pistolnya tepat ke arahnya.

"A—apa yang mau kau lakukan, Reborn!?"

DOR!

Tanpa kata-kata yang berarti, Reborn menarik pelatuk pistol itu dan peluru tadi langsung mendarat di kening—kepala Tsuna.

"Aku terpaksa. Tapi, hanya ini satu-satunya cara agar kau bisa menjadi Tsuna yang kami kenal."

Boss mafia muda itu sudah tergeletak denga tidak elitnya di lantai, dengan asap masih sedikit mengepul di dahinya. Efek tembakan nista Reborn tadi.

Reborn pun mengangkat Tsuna hingga terbaring ke ranjang king size di belakangnya. Masa bodo dengan seprai dan selimut yang tidak sesuai posisinya, serta bantal yang sudah tidak ada pada tempatnya. Nanti, dia akan menyuruh Gokudera, Yamamoto, atau siapapunlah, untuk merapikan tempat bak toko pecah belah di sudut kota ini.

"Sesuai dengan apa yang kau katakan, Hibari. Ingatannya tentang dirimu—,"

Bergumam sembari menatap keluar jendela, yang sedang memperlihatkan pemandangan langit musim panas. Mengembalikan Leon ke topi fedoranya. Menutup kelopak kedua kelopak matanya, merasakan angin yang berhembus perlahan menerpa wajahnya juga muridnya.

"—sudah dihapus."

.

.

.

To be continued