Don't Say Goodbye

By Reisuke Celestine

.

Chapter 1

.

.

Disclaimer: Touken Ranbu (c) DMM & Nitro+

.

Cast: Mikazuki Munechika x Tsurumaru Kuninaga, Yamanbagiri Kunihiro, Male!Saniwa, some appearances of Ishikirimaru, Shokudaikiri Mitsutada, Ookurikara, Kousetsu Samonji, and others.

.

.

Warning: OC, male!saniwa, OOC, miss-typos, Yamanbagiri-centric, semi-AU, plot-rush, klise, dll.

.

.

Don't Like Don't Read.

.

.

Ada yang berbeda—dari sudut pandang Yamanbagiri Kunihiro. Citadel yang ditinggalinya bersama pedang-pedang lain sekarang lebih terasa seperti tidak berpenghuni sama sekali. Tidak, bahkan ini lebih sepi dibandingkan dulu pertama kali hanya ada dirinya dan aruji. Sepi, seolah eksistensi tiga puluh lebih sosok di tempat ini hanya ilusi belaka.

Yamanbagiri Kunihiro tahu ada yang berubah, sekalipun ia jarang berinteraksi dengan orang-orang di sini. Mungkin karena waktu hidupnya di tempat ini jauh lebih lama dibandingkan yang lain, dimana ia selalu melihat kedatangan mereka satu per satu.

Kedatangan—bukan kepergian.

Sekalinya melihat kepergian, rasanya ternyata...

...sakit.

.

.

Melihat seorang Tsurumaru Kuninaga mendadak diam adalah hal langka. Yamanbagiri tidak tahu, itu adalah kesialan atau malah berkah untuknya. Sesosok tachi berpakaian serba putih itu adalah satu orang yang paling rajin mengganggunya. Lupakan para bocah tantou. Kalau mereka yang jahil mungkin ia masih bisa sedikit memberi toleransi. Tapi tidak dengan orang ini. Membuatnya kaget atau menjadikan jubah yang dikenakannya sebagai bahan lelucon adalah hal yang paling sering dilakukan padanya.

Dulu.

Setidaknya sampai beberapa hari yang lalu.

Yamanbagiri tidak ingin mengambil pusing hal itu. Tidak mau terlalu memikirkannya, sekalipun dalam dirinya berontak untuk peduli. Ini bahkan jauh lebih menyakitkan daripada fakta bahwa dirinya hanyalah sebuah replika. Sekalipun sempurna, tetap saja itu tiruan.

"Yamanbagiri-kun?"

Pedang bersurai kuning gelap itu tersentak, refleks menoleh ke belakang. Iris birunya menangkap sosok seorang pemuda bersurai coklat berdiri tak jauh darinya. Entah baru saja tiba atau sedari tadi mengamatinya yang tengah mengamati seseorang.

"Ah?"

"Tidak apa-apa. Sekalipun itu sosok yang berbeda, kita akan... mendapatkannya kembali."

Ada keraguan yang Yamanbagiri rasakan. Dari kalimat, dari intonasi, dari gerak-gerik, bahkan dari sorot mata. Tidak yakin. Tapi masih nekat untuk mewujudkannya. Aruji mereka bukan sosok pemuda yang selalu ragu, sekalipun setiap melakukan sortie ada saja ketidakberuntungan yang menyertai mereka.

Dia bukan orang yang selalu ragu. Tapi kali ini—hanya untuk kali ini saja, ia melihat keraguan itu bahkan mendominasi setiap perkataannya.

Uchigatana bersurai kuning itu tahu, tapi ia lebih memilih untuk diam.

"Ah."

Yamanbagiri kembali mendongak, mengurungkan niat untuk segera beranjak. Atensinya teralih, separuhnya untuk sang aruji, sisanya entahlah. Ia hanya sedang terbagi-bagi saja fokus perhatiannya.

"Kalau kau bertemu dengan Tsurumaru-san, katakan kalau aku mencarinya."

.

.

Rasanya memang sepi. Ini tidak seperti ketika dulu Aruji pernah kehilangan Aizen Kunitoshi atau Hachisuka Kotetsu, lagipula itu terjadi ketika bahkan penghuni citadel ini masih kurang dari sepuluh.

Tsurumaru tidak tahu, kenapa rasanya bisa sesepi ini padahal mereka hanya kehilangan satu orang. Sampai membuatnya tidak berminat mengganggu para penghuni citadel lagi, dan lebih memilih untuk diam.

Aruji tidak menugaskan apapun padanya hari ini—sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu. Lagipula ia memang tidak ada niat sedikit pun untuk melakukan sesuatu.

Ia menghela nafas, sedikit banyak mungkin juga sambil berpikir, meski ia sendiri sangsi—ia bahkan merasa pikirannya selalu mendadak kosong beberapa hari ini.

"Mikazuki..."

Kau pergi terlalu cepat.

Tsurumaru merebahkan badannya. Koridor berlantai kayu itu sepi. Biasanya para tantou berlarian di sini. Atau uchigatana kurang kerjaan yang malah ikut-ikutan para bocah berlarian—sebenarnya ia juga kadang ikut melakukannya.

Tapi sekarang sepi.

Sebagian melakukan ekspedisi, sisanya mungkin terlalu malas untuk melakukan sesuatu kalau bukan aruji yang menyuruh.

"Serius. Kau pergi terlalu cepat, kakek tua."

Aku bahkan belum sempat mengatakan apapun.

Itu hanya monolognya sendiri. Berpikir tidak ada yang mendengar sama sekali. Padahal sosok berpakaian hijau tanpa sengaja mendengar jelas racauannya.

.

.

"Tsurumaru?"

Yamanbagiri bukan orang yang sopan-setidaknya ia tidak pernah memanggil toudan lain dengan embel-embel. Bahkan pada yang sudah terlampau tua sekali pun. Yamabushi mengamini—sambil berharap suatu hari nanti ada yang bisa mengubah kebiasaan agak buruknya ini.

Toudan dengan surai secerah mentari itu bukannya sengaja melakukan itu. Ia hanya tidak tahu—atau sebenarnya merasa sulit berkomunikasi. Lebih seringnya diam, lalu tenggelam di balik jubah putih yang menutupi sepertiga bagian wajahnya. Lebih mudah untuk mengamati, bahkan di saat tidak ingin sekalipun.

Yang dipanggil menoleh, mendapati sosok yang tidak asing baginya. Yamanbagiri—dan ekspresinya yang kali ini tidak terbaca.

"Aruji mencarimu."

Ia tidak ingin berlama-lama. Sungguh. Katakan. Selesai. Lalu pergi. Atau ia akan melihat hal lain yang tidak diinginkan.

Yamanbagiri hidup terlalu lama dengan aruji. Mengetahui setiap seluk beluk citadel yang awalnya hanya dihuni berdua saja. Lalu datang Yagen, Gokotai, Imanotsurugi—dan kemunculan tidak terduga Mitsutada.

Makanya, mungkin karena terlalu lama berada di sini dan melihat segala macam hal di tempat ini—dimulai dari yang tidak penting merangkap konyol sampai yang serius ketika aruji mendapat timer 4.00 atau 3.20, kadang ia bisa tanpa sengaja membaca perasaan mereka.

—ngomong-ngomong, yang terakhir itu sebenarnya berubah jadi konyol ketika aruji memeluknya terlalu erat sampai nyaris mencekik lehernya dan membuatnya hampir mati di tempat hanya karena yang muncul adalah Mikazuki.

Ah.

Ia lupa. Itu juga termasuk salah satu hal yang sedang dihindarinya sekarang.

Mikazuki.

Mikazuki Munechika.

Bukankah, kau pergi terlalu cepat?

.

.

.

Yamanbagiri tidak terlalu ingat. Satu-satunya yang tertinggal dalam memorinya ketika pedang dengan ornamen sewarna emas yang menyelimutinya itu datang hanyalah aruji yang terlalu senang sampai memeluknya terlalu erat dan hampir menyebabkannya mati di tempat—mirip remaja putri belasan tahun yang berjumpa dengan orang yang disukainya...

...padahal dia laki-laki.

Ia hanya diam. Tidak memberikan reaksi berarti. Statis—tapi ia hanya berusaha membaca keadaan.

Yang diingatnya hanya itu dan sebaris senyum tipis yang membuat perasaannya tidak enak.

Tidak. Bukannya ia membencinya. Bahkan setelah segala keisengan yang pernah diperbuatnya bersama Tsurumaru. Hanya saja, satu dua hal membuatnya seringkali merasa kalau ada yang aneh dengan pedang bermakna bulan sabit itu.

Ada sekelebat ucapan perpisahan. Dari setiap obrolan tanpa sengaja yang mereka lakukan.

.

.

"Sampai aruji membawa pulang Tsurumaru, mungkin aku akan terus berada di sini."

Yamanbagiri tidak tahu arah pembicaraan ini, sekalipun intuisinya berkali-kali meneriakkan satu rentetan kalimat pendek yang sama.

Ini buruk. Ini buruk. Ini buruk. Ini. Buruk.

"Lalu... setelahnya?"

Tidak ada satupun kalimat yang keluar. Hanya barisan tawa khas pedang tua itu.

.

.

Biarkan waktu saja yang menjawab pertanyaan itu... Yamanbagiri-kun...

.

.

Empat bulan setelahnya, pertanyaan itu memang terjawab. Tepat satu bulan setelah aruji yang tumben sekali beruntung mendapat timer 3.20, setelah sebelumnya bermasalah dengan angka 1.30 dan 2.30—sampai laki-laki itu merencanakan pembunuhan sadis kalau blacksmith yang menumpang di bagian belakang citadel ini memberikannya dua timer terkutuk itu, lagi.

Tsurumaru Kuninaga, muncul.

Dan Yamanbagiri tidak menyadari sedikitpun, kalau itu adalah awal dari perjalanan singkatnya menuju sebuah perpisahan.

.

.

.

Mereka dekat.

Maksudnya, err... apa ya, ia tidak bermaksud jadi stalker. Sungguh.

Ia hanya kebetulan selalu melihat mereka berdua. Dekat. Seperti teman lama yang baru bertemu kembali setelah sekian lama tidak bertemu.

Tapi ia masih selalu merasa ada yang aneh dengan Mikazuki.

.

.

.

Mikazuki patah.

Ia baru kembali dari ladang bersama Mutsunokami ketika mendengar hal itu. Bukan hal yang mengejutkan—seharusnya. Mereka pedang, yang diberi wujud sebagai manusia. Kalau mati adalah gambaran hilangnya nyawa bagi manusia, maka patah adalah sinonim yang diperuntukkan bagi mereka.

Patah. Lalu lenyap.

Aizen dan Hachisuka yang pertama pernah mengalaminya. Sekalipun mereka kembali—minus ingatan dan berubah kembali menjadi orang yang baru. Kakak para Toushirou juga pernah mengalaminya. Dan untuk mendapatkannya kembali dibutuhkan keberuntungan tingkat tinggi.

Tapi... ini...

"Apa... maksudnya?"

Tidak mungkin kan?

.

.

.

Tsurumaru tidak banyak berucap hari itu. Ia hanya diam, fokus pandangannya menghilang dan hanya tatapan kosong yang tersisa. Ditanyai berapa kali pun dan oleh siapapun, hanya sunyi yang mereka dapat.

Tim 2 pergi ke garis depan hari itu. Aruji hanyamenyuruh Tsurumaru, Mikazuki, Higekiri, Atsushi, Iwatooshi dan Namazuo yang pergi. Kombinasi aneh. Tapi Yamanbagiri tidak terlalu peduli. Sejak awal, patokan Arujimembentuk satu tim untuk maju ke garis depan atau ekspedisi itu random. Acak. Seenaknya.

Mereka pulang dengan tubuh penuh luka—kecuali Namazuo. Hanya berlima, dan Higekiri menggenggam sebilah pedang yang patah. Mereka bungkam. Bahkan Iwatooshi lebih memilih untuk segera menghilang dari tempat itu.

Yang tersisa di pintu depan hanya tachiberpakaian serba putih yang sebagian tubuhnya kotor oleh noda darah dan tanah. Juga Yamanbagiri yang masih belum mau beranjak dari tempatnya berdiri.

Walau samar, ia mendengar gumam tipis dari sang tachi yang masih menundukkan kepalanya.

"Ini... salahku."

.

.

.

Yamanbagiri sebenarnya tidak ingin tahu, sekalipun hati benar-benar penasaran tingkat dewa. Ia hanya tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin didengarnya, atau mengetahui apa yang tidak ingin diketahuinya.

Ia... takut.

Fakta bahwa ia hanya sesosok pedang replika saja sudah membuatnya jadi sangat sensitif macam gadis yang sedang mengalami PMS.

Tapi, ia penasaran.

Arujibelum keluar dari ruangannya sejak tadi—ah, tidak. Kalau ia tidak salah, bahkan orang itu tidak keluar ketika tim 2 pergi ke garis depan. Asumsinya adalah, bahwa orang itu tahu akan terjadi sesuatu.

.

.

.

.

Yamanbagiri masih diam di tempat. Tsurumaru sudah menghilang di belokan koridor sejak tadi. Fokus matanya tertuju pada Imanotsurugi dan Gokotai yang berada di dekat pohon, dengan Ookurikara yang berusaha mengambil salah satu macan milik tantou Awataguchi itu yang ada di salah satu dahannya—tersangkut atau iseng naik ke atas tapi tidak bias turun.

Begitu-begitu juga Ookurikara bisa perhatian pada hal lain—sekalipun itu bukan orang.

Ia sedang teringat hari itu. Tsurumaru masih tidak mau mengatakan apapun. Sekalipun ditanyai oleh Mitsutada atau Ichigo sekalipun. Aruji bungkam dan lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan ketika ada yang berusaha membahas hal bahkan seluruh anggota tim 2 yang waktu itu pergi pun sama diamnya

Tapi bahkan diamnya mereka berdua tidak pernah luput dari perhatiannya. Sang uchigatana tahu. Dua orang itu sudah membicarakannya. Hanya tinggal masalah waktu sampai orang itu memutuskan sesuatu—

—walau yang ia baca, masih ada keraguan melanda.

.

.

.

.

"Tim 1 akan ke garis depan."

.

.

Yamanbagiri, Ishikirimaru, Ookurikara, Mitsutada, Kousetsu lalu Tsurumaru.

.

.

Benar kan dugaannya.

Hanya saja, ada sesuatu yang mengganjal. Rasanya seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

"Yamanbagiri-kun?"

Beberapa saat sebelum mereka berangkat. Panggilan dan tepukan halus di pundak sang uchigatana. Menoleh, lalu mendapati raut wajah Aruji yang—sama seperti suasana hatinya.

"Berhati-hatilah. Firasatku buruk."

Bukan hanya kau saja yang merasakannya.

Tapi jelas ia hanya bisa mengucapkan hal itu hanya dalam hati. Yang ragu bukan hanya dirinya atau Aruji. Sekilas, walau samar, ia tahu. Satu-satunya oodachi di tim kali ini juga merasakannya. Bahwa, ini tidak akan berakhir seperti apa yang mereka harapkan.

Genggaman di tali kekang kuda yang akan digunakan oodachi berpakaian serba hijau itu menguat tatkala iris miliknya bertemu pandang dengan iris milik sang uchigatana.

"Aruji," jeda sesaat. Yamanbagiri tidak pernah memanggilnya Aruji—mungkin pernah tapi mungkin juga ia lupa. Sekalipun sering kesal pada laki-laki itu karena kebiasaannya yang sering menggodanya. "Tidak akan terjadi apa-apa."

Itu dusta, jelas saja. Kalimat kosong yang mungkin tidak berarti apa-apa. Hanya ingin menghibur—bukan sang Aruji, tapi lebih kepada dirinya. Berusaha meyakinkan diri, menepis prasangka buruk yang terus menjalar, berusaha menyekapnya dalam rasa takut dan khawatir.

Tidak akan terjadi apa-apa.

Mereka hanya pergi ke garis depan seperti biasa. Melawan musuh—kalau beruntung bisa mendapatkan pedang baru, kalau tidak, sedikit luka akan mereka dapatkan.

Harusnya, tidak akan ada hal aneh yang terjadi. Harusnya.

"Kembalilah dengan selamat."

Ucapan pemuda bersurai coklat membawanya kembali pada dunia nyata.

"Aku tadinya tidak ingin meyuruh kalian ke garis depan, sekalipun kemungkinan mendapatkannya di sana cukup besar. Ada banyak cara untuk membawanya kembali sebenarnya, dan kalau bisa aku lebih memilih cara lain itu untuk membawanya kembali, resikonya hanya membuat citadel ini bangkrut saja—"

Lalu... kenapa?

"Tapi Tsurumaru-san yang memintanya."

.

.

.

Apa?

.

.

To Be Continued—

.

.

A/n Fanfic pertama saya di fandom ini. Yoroshiku.