Another You
Shingeki No Kyojin (c) Hajime Isayama
Rate T+ / M (Biar aman)
Warnings: OOC, Gaje, Typo (mungkin), Yuri, YumiKuri
.
.
.
.
.
Ramai. Itulah yang dapat didengar oleh gadis itu. Orang tuanya sudah bertengkar berjam-jam, menimbulkan keramaian yang tidak enak didengar. Banyak tetangga yang sudah protes agar kedua orangtuanya berhenti bertengkar,namun tetap saja tidak menghasilkan apa-apa. Mereka saling berteriak, membuat kekacauan seiring putrinya menghampiri mereka berdua yang sedang panas-panasnya berkelahi.
"Bisakah kalian diam? Ini sudah malam, aku mau tidur."
Mendengar perkataannya, sang ayah terlihat semakin berang.
"Ymir, kembali ke kamarmu!" Ayahnya mengusir dengan kasar sambil berwajah masam. Ymir tidak terintimidasi. Dia sudah berumur 17 tahun dan beberapa bulan lagi ia akan menginjak usia 18. Ia menatap mereka berdua. Ibunya menangis, tidak mau melihat putrinya. Terlihat bekas merah pada pipi sebelah kanan dan ibunya berusaha menutupi. Ymir mengepalkan tangan, marah.
"Ayah memukul ibu lagi?" Walaupun pertanyaan, terdengar seperti pernyataan. Sang ayah membuka mulut untuk membentak, namun berhenti ketika melihat putrinya membalikkan badan dan membanting pintu kamarnya dengan kasar.
Ia sudah tidak tahan menyaksikan ini lagi. Ia tak mau melihat ibunya terluka lagi. Dirinya menyimpan amarah terbesar untuk ayahnya sendiri. Ibunya menjadi korban, namun bagaimanapun juga terasa bahwa ia juga menjadi korban.
Sudah bertahun-tahun seperti ini, ibunya masih mau memaafkan suaminya sendiri ketika berlutut di depannya. Kata-kata memuakkan yang sering keluar dari mulut ibu, "Tidak apa-apa. Aku memaafkanmu." Membuat Ymir keheranan. Ingin ia memukul ayahnya dan mengusirnya dari rumah ini, tapi tentu saja ibunya melarang.
"Wanita macam apa dia," Ymir berkata sendiri, "Selalu memaafkan suaminya bahkan saat kesalahannya tidak dapat dimaafkan."
Ymir terduduk di pojok kasurnya, menyalakan radio dan memutar volume nya keras-keras.
"Ymir, kecilkan volumenya!" Ayahnya membentak lagi, Ymir terdiam. Berusaha menikmati musik yang diputar radio itu namun tak bisa karena ayahnya menggedor pintu kamarnya yang terkunci.
"Ymir, tolong buka pintunya. Ayah ingin berbicara kepamu." Suara ayahnya memelan, tidak membentak seperti sebelumnya. Namun tetap saja Ymir tidak peduli. Pintu kamarnya tetap digedor, ia mematikan radio, membenamkan kepalanya di balik bantal dan berusaha untuk tidur.
"Semua yang ayahmu katakan itu omong kosong." Sebuah suara muncul dari belakangnya. Baru ia ingin berkata 'ayah-keluar-dari-kamarku' yang sering diucapkan, dia tersadar bahwa kamarnya terkunci dan ayahnya masih menunggu Ymir untuk dibukakan.
Ymir mengumpat, memutar badannya dari posisi tidur ke posisi duduk dan dia berhadapan dengan seekor rubah. "Kau rupanya." Ymir tersenyum geli, menenangkan nafasnya dan kembali membelakangi rubah putih itu.
"Pergilah, aku tidak mau mengobrol."
Akhir-akhir ini seekor rubah putih sering menghampirinya, dan Ymir tak tahu pasti apa mau rubah itu. Tapi rubah putih yang sering ia temui ini bersikap baik, tidak melakukan hal-hal buruk kepadanya.
"Kau selalu berkata bahwa kau kesepian, bukan?" Rubah itu membalas, mendekatkan dirinya kepada Ymir "Aku menghampirimu, dan kau mengusirku. Bukankah itu jahat?"
"Hei," Ymir menoleh ke belakang, menatap makhluk itu "Aku bukan orang jahat, dan, kapan aku mengatakan bahwa aku kesepian? Kau membuat asumsi sendiri; sebetulnya kaulah yang kesepian." Rubah Putih itu menimang-nimang dan sepertinya berpikir kalau yang dikatakan Ymir adalah kenyataan.
Rubah itu pun terdiam, Ymir kembali ke posisi semula dan tersendat kaget ketika makhluk itu tiba-tiba berada di depannya, berwujud manusia. Ymir mengumpat lagi dengan kencang dan melompat jauh dari kasur, menabrak lemari kayu yang ada di belakangnya.
"Ymir, apa yang kau lakukan? Buka pintunya!" Ayahnya membentak sekali lagi, dan kini Ymir sudah mulai jengkel.
"Bukan urusanmu, Pak Tua!" Ymir kembali membentak – mengejek – ayahnya. Beberapa saat lagi ia akan mendobrak pintunya dan terus memarahi Ymir akibat memanggilnya dengan kata-kata tidak hormat.
"Sekali lagi kau memanggilku dengan kata-kata seperti itu," Lagi-lagi ia membentak, Ymir hanya memutar mata, ayahnya terus mengoceh tapi Ymir tidak mendengarnya. Yang bisa ia dengar di bagian akhir ketika ayahnya menendang pintu kamarnya dan pergi meninggalkan.
"Pergilah dari sini, Kitsune. Aku sedang tidak mau mengobrol." Ymir kembali berurusan dengan Rubah – manusia – yang mulai tersenyum pahit ketika dirinya dipanggil 'Kitsune'
"Kenapa?" Ymir bertanya, "Nama yang bagus, bukan?"
"Itu bukan nama asliku." Kitsune membalas dengan cepat
"Yah, apapun namamu itu pasti keren. Mau apa kau terus datang kesini? Ada yang bisa kubantu?"
"Seharusnya aku yang membantu."
"Maksudmu?" Ymir mengangkat sebelah alisnya
"Aku ingin melihat kau membunuh ayahmu."
"Membunuh ayahku? Bagaimana bisa Youkai sepertimu membantuku membunuh manusia?" Ymir meremehkan, Kitsune hanya menghela nafas
"Aku sudah lama tidak menggunakan sihirku," Kitsune menatap kedua telapak tangannya
"Dan aku bisa membantumu membunuh orang yang kau benci dengan sihirku ini."
"Dengar, kawan. Jika membunuh manusia, aku tidak perlu bantuanmu." Ymir melambaikan tangannya
"Maka lakukanlah sendiri." Kitsune menantang
Apakah Rubah ini tahu apa yang ia katakan atau lakukan? Bagaimana jika ia hanya bergurau?
"Hei, Kitsune," ujarnya "Apa yang membuatmu berkata seperti itu?"
"Karena aku tahu kau memendam amarah yang mendalam pada ayahmu." Kitsune membalas dengan cepat.
"Ya, itu mungkin benar," Ymir terlihat ragu saat membalasnya
"Tapi bukan berarti aku mau membunuhnya. Kau tahu, membunuh adalah hal yang takkan kulakukan di dunia ini."
"Meski membunuh orang yang paling kau benci sekalipun?" Kitsune mendekat, ia berwujud laki-laki dan tubuhnya lebih tinggi daripada Ymir, matanya berwarna merah dan wajahnya menawan; walaupun sebetulnya mematikan.
Ymir tidak tahu banyak tentang Youkai Kitsune, tapi dia tahu persis bahwa Youkai ini bisa menyihir.
"Ya," ia berhenti sejenak untuk memikir apa yang akan ia katakan selanjutnya, "Karena mereka pada akhirnya akan mati juga, iya kan?" kemudian bersyukur karena ia tidak mengatakan sesuatu yang bodoh.
"Kau ada benarnya juga." Kitsune membalas, berjalan menjauh dari Ymir dan menatap keluar jendela kamarnya.
"Jika kukatakan bahwa tadi pagi ayahmu memukul ibumu dengan botol bir, apakah itu mengubah pikiranmu?"
"Apa kau berkata jujur?" Ymir balik bertanya, dan mulai takut jika jawabannya 'Ya'
"Tentu saja." Jawab Kitsune santai
"Kau melupakan sesuatu bernama 'bukti', Kitsune." Ymir tersenyum mengejek di belakangnya. Kitsune bisa melihat bayangan Ymir di jendela kamarnya, dan berputar menghadap Ymir sambil balas tersenyum.
"Jika kutunjukkan buktinya akankah kau percaya padaku?" Senyum Kitsune melebar, matanya mengatakan tantangan. Senyum dari wajah Ymir memudar, menatap matanya lebih dalam dan mencari apakah ada kebohongan di balik mata merah itu.
"Tidak! Tidak mungkin ia berkata jujur. Ia hanya Youkai, makhluk gaib yang tidak dapat dilihat manusia. Kenapa aku terus berbicara kepadanya?" Ymir berkata kepada dirinya sendiri.
"Pergilah, Kitsune. Aku tidak mau melihatmu lagi." Ymir berpaling, tidak mau menatap wajah Youkai itu dan berjalan menuju ranjangnya.
"Urusan kita belum selesai disini." Kitsune berjalan mengikuti Ymir.
"Lihatlah buktinya di bawah ranjangmu dan panggilah aku jika kau sudah melihatnya." Kitsune berubah wujud menjadi rubah putih berekor 3, dan berlari menembus jendela kamar Ymir yang langsung menuju hutan rimbun.
Ymir menatap keluar jendela, kemudian ke arah ranjangnya. Apakah yang dikatakan rubah itu sungguhan? Meskipun iya, Ymir tidak akan mungkin membunuh ayahnya sendiri.
Ia tidak ingin melihat ke bawah kasurnya, karena menurutnya itu mengerikan. Tapi akhirrnya ia lakukan juga, rasa penasaran terus melandanya. Dan dia melihat sesuatu yang tidak ingin dia lihat, sebuah bukti bahwa ayahnya tadi pagi memukul ibunya menggunakan sebotol bir.
Kantung plastik kecil berwarna hitam itu mengatakan semuanya, pecahan beling dari botol bir. Darah. Beberapa helai rambut panjang.
Ymir terlihat jijik, darah yang berada di plastik hitam itu berbau sedikit amis, membuatnya menutup hidung. Dia mengambil dan mengamati pecahan beling-beling itu, menyusun merk nya dan tak disalahkan lagi bahwa itu adalah botor bir. Tapi, siapakah pemilik darah dan rambut itu?
Mungkinkah itu milik ibunya?
Ymir melirik jam dindingnya, pukul 21.30 malam, biasanya ayah belum tidur. Ia membuka kunci kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Disitu ia melihat ayahnya duduk di sofa, menonton TV sambil meminum air – bukan, itu bir. Ymir mengernyitkan dahi, marah kepada ayahnya dari kejauhan; karena warna dan merk botol itu sama dengan yang ia temukan di plastik hitam.
Ia berjalan cepat menuju ayahnya yang sedang bersantai-santai, ketika Ymir sudah ada di samping sofa, ayahnya bertanya,
"Kenapa kau belum tidur?" dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Ymir tidak menjawab, ia hanya melirik dan menatap botol itu yang ada di tangan ayahnya.
"Minuman apa itu?" tanyanya sambil menunjuk botol tersebut.
"Jawablah bila orang tua bertanya." Ayahnya kembali meminum air dari botol itu, dan mengarahkan pandangannya kepada layar televisi. Ymir sudah beberapa kali dinasehati, tapi selalu berpikir bahwa lelaki ini tak pantas menasehatinya.
"Ayah tau tidak," Ymir tersenyum kecil sambil ikut duduk di samping ayahnya,
"Aku tidak sepenuhnya yakin kalau aku adalah anakmu, dan seharusnya aku tidak memanggilmu 'ayah' karena kau adalah manusia busuk yang tinggal di rumah ini." Ymir merasakan gejolak di hatinya, merasa sedikit bangga karena sudah mengatakan hal yang sangat lancang kepada ayahnya sendiri.
"Apa katamu?!" ayahnya membentak, berdiri dan menatap putrinya, melotot.
"Ya, bagus. Marahlah sesukamu, aku tidak peduli." Ujar Ymir dalam hati. Dia siap menerima konsekuensinya, tapi dia dapat melawan karena ia bukan lagi berusia 9 tahun.
"Ayah memberimu kehidupan! Ayah mencari nafkah untuk tetap menghidupi keluarga ini! Dan beginilah cara kau berterima kasih? Anak durhaka!" tangannya kirinya yang bebas berayun, bersiap mendarat di pipi putrinya.
Wajah Ymir tersentak ke samping akibat tamparan ayahnya. Ymir tidak menangis, tidak meminta maaf, ia malah tersenyum, tertawa kecil dan kembali menghadap ke ayahnya lagi.
"Memberiku kehidupan? Mencari nafkah untuk keluarga ini? Apakah kau tahu pekerjaanmu?" Ymir menatap ayahnya keras-keras, sekeras batu. Ayahnya baru saja berkata 'mencari nafkah' fakta yang ia tahu adalah bahwa ayahnya sama sekali tidak bekerja.
"Satu-satunya yang membuat kita hidup," lanjutnya sambil menarik nafas dalam-dalam. "Adalah ibu!" Ymir membentak ayahnya sekeras yang ia bisa. Sebagian amarahnya telah keluar dari lubuk hatinya. Tapi itu belum semua. Belum semuanya.
"Berani-beraninya kau membentak ayah!" Ymir tersenyum kecil saat melihat ayahnya berdiri dan membanting botol bir itu ke lantai, pecah berhamburan. Ia kembali menatap ayahnya. Terdapat sedikit ketakutan di mata itu. Dadanya naik-turun, nafasnya berat dan ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang.
"Kau berkata seperti itu karena kau tahu yang kukatakan adalah kenyataan," ujar Ymir, kemudian mengambil pecahan beling paling besar dari botol yang ayahnya banting itu "benar, 'kan?"
Dengan angkuh Ymir berdiri menghadapi ayahnya, memegang erat pecahan beling tajam itu dan mengarahkannya ke arah leher ayahnya. "Beling tajam ini mengatakan semuanya," tangannya bergerak dari leher ayahnya, menuju pipi kanannya "..ayah."
Ymir menggerakkan tangannya kesamping menggores beling itu di pipi ayahnya menimbulkan luka mendalam.
Sang ayah mengumpat dan berjalan mundur, memegangi pipinya yang terluka, darah membekas di telapak tangannya.
"Itu untukmu karena sudah memukul ibu dengan botol bir!" Ymir berjalan maju, melihat ayahnya meringis kesakitan
"Apa-apaan kau, Ymir?! Ayah tidak pernah melakukan hal semacam itu pada ibumu!" ia mendongak, putrinya menatap matanya dalam-dalam. Satu kata tersirat saat Ymir menatap kedua mata itu.
Dusta.
Ymir semakin marah, mengambil lengan ayahnya dan menatapnya dari ujung ke ujung.
"Tangan yang bagus," pikirnya "Sayang sekali sering digunakan untuk memukul aku dan ibu." Dia menaruh beling itu di saku celananya, kemudian menempatkan kedua jarinya di denyut nadi ayahnya.
"Arteri ini seharusnya kau berikan kepada orang yang lebih membutuhkan." Ymir mengambil beling itu lagi dari saku celananya.
"Ymir, apa yang kau lakukan?!" Sang ayah ketakutan, menggenggam erat tangan putrinya yang ia gunakan untuk memegang beling tajam itu.
"Bukankah sudah jelas?" ia menggoyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman ayahnya
"Aku membencimu, ayah. Kau tidak pantas menjadi ayahku!" Ymir menyentakkan tangannya keras-keras, hingga kini terbebas dari genggaman ayahnya dan mengarahkan beling itu ke arah arterinya.
Belum sempat Ymir bergerak, tangannya sudah diambil lagi oleh ayahnya.
"Tidak, Ymir... tolong, maafkan ayah. Berilah ayah kesempatan untuk menjadi ayah yang kau inginkan." Ia tidak lagi bersimpati untuk ayahnya sendiri, ia tidak mau lagi menatapnya.
"Semua yang ayahmu katakan itu omong kosong." Ucapan Youkai itu terngiang kembali di telinga Ymir, ayahnya menangis, mengeluarkan air mata. Air mata pendusta.
"Ada apa disini?!" Ymir menoleh dari asal suara; ibunya. Ia terlihat cemas, Ymir langsung menjatuhkan belingnya, terkulai lemas dan terduduk di depan ayahnya.
"Apa yang kalian lakukan?" Ibunya berjalan mendekat, berlutut mengelus pipi berdarah laki-laki di depannya itu lalu bertanya lagi,
"Kalian berdua," ucapnya sambil menatap Ymir yang menundukkan kepalanya "Jawab ibu!"
Ibunya menaikkan suara, membuat Ymir bergidik takut. Untuk beberapa alasan ia lebih takut kepada ibu daripada ayahnya.
"Apakah benar," Ymir mendongakkan kepalanya menatap ibunya
"Ayah memukul ibu dengan botol bir tadi pagi?" matanya bertanya; mengharap kejujuran, namun yang ia dapat justru pertanyaan lagi
"Kau tahu... dari mana?" Ibunya bertanya heran, sedikit takut.
"Oh," Pertanyaan itu bagaikan jawaban bagi Ymir "Jadi itu benar?" Putrinya bertanya lagi, namun ibunya tidak menjawab dan mungkin menyesal sudah menjawab dengan pertanyaan itu. "
Jawab aku, ibu.. Seorang Youkai memberitahuku-" Ymir tersedak oleh kata-katanya sendiri. Ia sudah berjanji tidak akan menyebutkan kata-kata Youkai di depan ayahnya karena itu hanya akan memperburuk keadaan. "Dan dia memberikan buktinya!"
Ymir melanjutkan, kemudian melirik ke arah ayahnya yang terdiam dan kini hendak berbicara.
"Kau dengar dia, kan? Youkai! Dia berbicara pada makhluk halus! Untuk apa kau percaya padanya? Dia gila!" Ayahnya membalas dengan cepat, mengharapkan kepercayaan dari istrinya.
"Ymir, kembali lah ke kamarmu, tidurlah. Besok kau 'kan sekolah." Ucap ibunya mengalihkan pembicaraan. Ymir jengkel, menggerutu kemudian berdiri dan berlari menuju dalam kamar Ymir merosot di depan tembok, menenggelamkan wajahnya di antara lengan dan lututnya.
Tapi ia tidak menangis, tidak. Dia adalah gadis tomboy tegar yang tak akan menangis di situasi seperti ini. Ia hanya marah – marah kepada ibunya. Kenapa ibunya menyembunyikan masalah seperti ini? Ymir hanya bingung, sebesar apa cinta ibunya kepada ayahnya?
Kemudian ia memutuskan untuk istirahat – terlalu banyak amarah di dalam hatinya dan ia memutuskan untuk melupakan segalanya. Masih ada banyak urusan di sekolahnya. PR, Ujian Harian – ditambah besok teman-teman kelasnya akan diacak karena ada kasus geng siswa siswi yang terlibat penjualan narkotika dan obat-obat terlarang.
Tujuannya murid kelasnya diacak adalah agar semua guru dapat mengobservasi perbuatan murid-muridnya di kelas yang berbeda, sehingga tidak hanya 1 wali kelas yang mengurus perbuatan nakal anak-anak didiknya.
Dan sebetulnya itu adalah usul ketua OSIS – setelah dia mendengar keluhan beberapa murid, ketua OSIS mengususlkan hal itu agar saat guru-gurunya mengurus kasus, anak murid lainnya hura-hura dalam kelas.
"Hm, persetan dengan hal-hal itu," Ymir berkata dalam hati, dan mengambil selimut di kasurnya, membungkus dirinya yang telentang sambil menatap langit-langit kamar yang gelap.
Cahaya bulan menembus jendela kamarnya, biasan cahayanya terpotong-potong oleh pohon-pohon tinggi hutan di depan kamarnya. "Semoga teman-teman kelasku yang baru lebih baik daripada sebelumnya"
.
.
.
.
.
Hari sudah berganti, namun langit pagi hari ini segelap hati Ymir sekarang. Sarapan paginya terasa canggung – memang ia sudah terbiasa dengan atmosfir seperti ini, dan dia bergegas pergi keluar tanpa berpamitan sembari menatap langit yang mendung. Ia berlari kecil menuju stasiun kereta yang akan membawanya ke sekolah.
Ymir bersyukur karena ia sampai lebih dahulu sebelum hujan deras menghampiri bumi. Kereta berjalan, hari ini isi kereta tidak terlalu ramai seperti hari-hari sebelumnya. Entah karena ini hari mendekati akhir pekan – atau bukan, tapi Ymir tidak peduli.
Di kursi seberangnya, terdapat seorang gadis berambut pirang sedang tertidur. Setelah mengamatinya, ternyata gadis itu memakai seragam sekolah yang sama. Bedanya adalah rok gadis pirang itu yang lebih pendek. Ymir memakai rok sepanjang lutut dengan celana pendek dibaliknya. Karena, siapa tahu ia harus menendang seseorang hari ini, dan ia takkan memalukan dirinya sendiri ketika roknya terangkat hingga dalamannya terlihat.
"Bahaya sekali gadis cantik sepertinya tertidur di transportasi umum seperti ini." Ymir terkikik akibat pemikirannya sendiri. Ia mengakui gadis ini terlihat menawan dan imut dengan wajah tidurnya - tapi ia sendiri belum pernah melihat gadis ini di sekitar sekolahnya.
Mungkinkah dia anak pindahan?
Suhu dingin mulai menyelimuti tubuhnya, Ymir sedikit merinding dan memeluk tubuhnya sendiri. Ia lupa membawa jaket tebal hari ini dan baru ingat bahwa sebentar lagi musim dingin. Ymir melirik ke arah gadis pirang itu – yang sekarang terbangun. Ia mengaduk-aduk isi tasnya, kemudian mengeluarkan sebuah kain tebal berwarna oranye dan mulai menyelimuti tubuhnya lalu kembali tidur.
Ymir menjadi iri dan mendengus kesal. Dengusannya diakhiri dengan uap yang berasal dari hidungnya, kemudian menyimpulkan bahwa suhu dingin sudah mulai menguasai tubuhnya. Ymir menggerutu kepada dirinya sendiri karena lupa membawa jaket – dan payung.
Sesampainya stasiun tempatnya turun, Ymir berlari kencang menuju sekolah menembus hujan yang kejam. Tanpa terpeleset, ia pun sampai di depan gerbang sekolah. Beberapa murid di sekitarnya menatap heran karena bajunya yang basah.
Ymir berhenti di lobby sekolah dan mengatur nafasnya yang berat akibat berlari-lari di bawah hujan. Bajunya basah tas nya pun juga basah. Tapi jika ia berjalan menuju sekolah, akankah menghasilkan hal yang berbeda?
Ia melirik jam dinding besar, menunjukkan pukul 07.45 yang berarti kelas sebentar lagi akan dimulai. Ia berjalan pelan menuju kelas barunya, 11-C.
Ymir membuka pintunya perlahan, dan mengobservasi kelas – beberapa anak baru mengenal satu sama lain, beberapa lagi ada yang sudah kenal dan mengobrol santai menunggu bel pelajaran pertama berbunyi. "Sepertinya teman-teman sekelasku baik-baik saja." Kemudian ia berjalan menuju meja belajarnya.
Beberapa murid menatapnya dengan tatapan aneh karena bajunya yang basah. Namun beruntung sekali, mejanya berada di paling pinggir sebelah kanan, kedua dari belakang, dan di samping kanannya terdapat jendela besar yang bisa ia gunakan untuk melihat keadaan di lapangan – yang sedang hujan deras. Ymir hanya terus menatap tetes demi tetes hujan yang menghampiri jendelanya – belum ada pelajaran olahraga, tentu saja, dan beberapa detik kemudian bel pelajaran pertama berbunyi dan semua murid kembali ke tempat duduknya masing-masing seiring dengan wali kelas mereka memasuki ruangan.
Pria tinggi itu berdehem dan menaruh berbagai macam buku di atas meja gurunya.
"Selamat pagi, anak-anak," Ucap pria berambut cokelat dengan kacamata bulat. Senyuman ramah terlukis di wajahnya,
"Pagi..." Seisi kelas membalas lemah, Ymir tidak berkata apa-apa.
"Senang bertemu kalian semua. Saya Grisha Jaeger, panggil saya Mr. Jaeger. Saya akan menjadi wali kelas dan guru biologi kalian selama satu tahun ke depan. Ada pertanyaan?"
Kelas sunyi, menatap lurus ke depan bagaikan terhipnotis.
"Baiklah," Mr. Jaeger mengambil buku tipis berwarna biru tua dan membenarkan posisi kacamatanya,
"Saya akan mengabsen kalian satu persatu. Jika hadir, acungkan tangan dan bicaralah." Mr. Jaeger menjelaskan.
"Armin Arlert?" Mr. Jaeger membaca kemudian melirik seisi kelas.
"Hadir!" Dengan cepat murid itu menjawab.
"Connie Springer?"
"Hadir..."
Begitulah seterusnya, sampai nama terakhir,
"Ymir?"
"Hadir." Dengan datar ia menjawab, kemudian menoleh keluar jendela lagi.
"Baiklah, anak-anak. Buka buku catatan kalian. Saya akan menjelaskan tentang pelajaran Dinamika, Genetik, Kromosom, DNA dan RNA. Jika menurut kalian penting, catatlah yang saya tulis di papan tulis."
Semua anak menurut, mengeluarkan buku-buku tulisnya dan pulpen serta pensil. Ymir mengikuti arus, kemudian bahunya dicolek oleh murid sebelah kirinya.
"Hei, boleh pinjam pulpen tidak? Kotak pensilku tertinggal." Ucap laki-laki bertampang kuda yang model rambutnya juga mirip kuda – dicukur dibagian samping.
"Kembalikan saat jam istirahat." Ymir membalas pelan sambil mengeluarkan pulpen dari kotak pensilnya kemudian menyodorkannya.
"Tentu, terima kasih." Jawab laki-laki itu kemudian menerima pemberian Ymir.
"Oke," Grisha Jaeger berdehem lagi, menyiapkan kapur berwarna putih dan siap berbicara keras "DNA adalah singkatan dari deoxyribonucleic acid atau asam deoksiribonukleat," ujarnya sambil menulis di papan tulis.
Ymir berdecak kesal karena ia membenci nama-nama latin rumit seperti itu dan faktanya ia harus menghafalkan hal-hal yang bersangkutan untuk ujian kenaikan kelasnya nanti.
"..adalah tempat penyimpanan informasi genetik." Lanjut Mr. Jaeger sambil kembali menatap murid-murid di depannya.
"DNA merupakan penyusun gen, DNA terdapat di dalam kromosom, mitokondria dan dalam kloroplas." Mr. Jaeger melanjutkan pelajarannya sambil terus menulis hal-hal yang ia ucapkan di papan tulis.
Beberapa murid mencatat semuanya – ada yang mencatat sebagian, ada pula yang tidak mencatat sama sekali. Ymir termasuk kategori ketiga. Ia hanya memandang keluar jendela, tatapannya kosong. Memangku wajahnya dengan tangan, lebih fokus dengan suara air hujan daripada suara guru. Dia tidak menyukai pelajaran biologi – atau lebih tepatnya, ia tidak suka belajar.
Waktu terus berlalu, hingga hujan berhenti. Ymir sama sekali tidak menyimak dan dia merasakan ada orang yang mencolek pundaknya dari belakang. Ia terlalu malas untuk menoleh, jadi ia hanya menerima selembar kertas kecil dengan tulisan,
"Hei, simak pelajaran Mr. Jaeger. Kalau tidak, dia akan menghukum kamu!" Ymir membaca dan menelusuri setiap tulisan. Dari karakter tulisannya, Ymir bisa tahu bahwa ini adalah tulisan perempuan. Ia mengambil pulpen dan menulis balasannya di kertas tersebut.
"Apa pedulimu?" Kemudian ia melemparnya ke belakang dan mendarat tepat di atas meja belajar teman di belakangnya.
"Dulu aku adalah murid Mr. Jaeger. Aku pernah dihukum karena tidak menyimak pelajaran, hukumannya seram!" Gadis di belakang mencolek pundaknya lagi, Ymir mulai jengkel dan kesal.
"Ngobrolnya nanti saja, kalau Mr. Jaeger tahu kita surat-suratan, ia bisa menghukum kita berdua!" lalu ia melempar kertas itu ke belakang, dan lagi-lagi mendarat sempurna.
Beberapa menit kemudian gadis di belakangnya tidak membalas – itu berarti ia mengerti.
Bel istirahat – bel yang sangat ditunggu oleh Ymir, akhirnya datang juga. Grisha Jaeger mengucapkan terima kasih atas perhatian murid-muridnya kemudian berjalan meninggalkan kelas.
"Halo!" suara seorang gadis membangunkannya dari lamunannya. Ymir yang sedang asik-asiknya menonton orang membersihkan lapangannya dari air hujan, terusik oleh gadis berambut pirang ini.
"Ya, halo juga." Balasnya datar, kemudian memorinya berputar. Itu adalah gadis yang sama saat ia lihat di kereta! Ymir terpaku sedikit, namun berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Gadis itu tersenyum manis sambil membawa kotak bekal di tangannya.
"Kau tidak membawa bekal makan siang?" Gadis itu bertanya, dan duduk di kursi kosong depan Ymir – yang masih asik menonton lapangan dibersihkan kemudian bubar karena mulai hujan gerimis lagi.
"Apa pedulimu?" Ymir berusaha tidak bertemu kontak mata dengan gadis ini. Untuk beberapa alasan, ia merasa sedikit canggung.
"Apa kau selalu mengatakan hal itu kepada orang yang baru kau kenal?" Gadis itu mulai cemberut
"Tidak juga," Ymir membalas – tetap menatap keluar jendela. "Dan, aku tidak mengenalmu." Lanjutnya santai.
"Namaku Krista..." gadis di depannya tersenyum manis lagi.
"Hm..." balas Ymir datar.
"Kau tidak akan memberitahu namamu?" Krista memiringkan kepalanya, berusaha melihat wajah Ymir secara keseluruhan
"Untuk apa?" Ymir balik bertanya dan mulai berpikir "Dia tidak mendengar namaku ketika diabsen? Kenapa harus bertanya?"
"Supaya kita bisa berteman..." Krista membalasnya cepat
"Aku jarang berteman," kini Ymir menoleh ke arah Krista, gadis itu mengunyah nasi "Dan aku tidak butuh."
"Tapi," Krista berhenti mengunyah dan menaruh jari telunjuknya di depan bibir pink nya itu. Ymir melirik, sempat terpana karena sesungguhnya Krista terlihat cantik.
"Bukankah manusia membutuhkan manusia lainnya? Kau pasti punya teman... satu atau dua." Lanjut Krista kemudian memakan bekal nasi nya itu.
"Yah begitulah." Ymir mulai malas mendengar ocehan gadis itu dan terus menatap keluar jendela walaupun pemandangannya begitu membosankan.
.
.
.
.
.
"Hei, kau tidak lapar?" Krista bertanya setelah beberapa menit terjadi kesunyian.
Ymir menggeleng
"Ibuku memberi roti yakisoba untuk bekal tambahan, tapi aku kenyang... Kau mau?" Krista menyodorkan roti menggiurkan itu di depan Ymir.
Sejujurnya ia lapar, tapi ia tidak mengaku, dan sangat ingin makanan di depannya ini masuk ke dalam tubuhnya.
"KRISTAAAA...! AKU MAUUUU!" belum sempat Ymir membalas penawaran Krista, seorang gadis berambut coklat berkuncir satu di belakang menghampiri mereka berdua dan menyambar cepat roti yakisoba dari tangan Krista.
"Eh..? t-tapi, dia yang memintanya duluan..." Krista menoleh ke arah Ymir,
"Hah..? Ymir, berikanlah yakisoba itu padaku, ya? Ya? Ya? Aku lapaaar sekali." Gadis itu bertanya berkali-kali, dengan muka sangat berharap. Ymir mengenal gadis ini, dulu sekelas dengannya.
Sasha Blouse – tukang makan.
"Ya sudah, tak apa. Aku tidak lapar, Krista." Ymir membalasnya – dan sedikit menyesal.
"Asiik! Terima kasih!" Sasha kemudian meluncur keluar kelas
"Apa kau benar tidak lapar?" Krista bertanya sekali lagi
Ymir tidak menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara aneh berasal dari perut. Krista mendengarnya, dan tertawa kecil.
"Kau sudah berbohong, Ymir." Krista menahan dirinya dari tertawa. Ymir merasa malu dan tak tahu apa yang harus dikatakannya – dia memang lapar. Dan sedikit terkejut ketika Krista menyebut namanya dibalik gelak tawanya.
"Mau kubelikan yakisoba di kantin?" Krista menawar lagi, memiringkan kepalanya, berusaha menatap lawan bicaranya.
"Terserah kau saja." Jawab Ymir cuek. Ia mulai keheranan mengapa Krista begitu baik kepadanya, dan ia agak takut untuk bertanya.
Kemudian Krista berdiri, membungkus bekal makanannya dan berjalan keluar kelas. Apakah yang dikatakannya sungguh-sungguh? Membelikan roti yakisoba untuknya? Haruskah ia berterima kasih? Ymir sudah lama tidak diperlakukan seperti ini oleh orang-orang disekitarnya, membuatnya bertanya masih banyak kah orang seperti Krista di luar sana.
.
.
.
.
.
Ymir menunggu Krista kembali, menatap lurus ke pintu kelas sambil terus memangku dagunya.
"Kau ingat aku?" Suara baritone laki-laki terdengar di sebelah kanannya. Membuat Ymir tersentak kaget, kemudian berdiri dari duduknya.
"Sialan! Mau apa kau?!" Kata-katanya membuat beberapa murid di dalam kelas menatapnya bingung, karena jelas Ymir sedang berbicara kepada jendela.
Laki-laki yang muncul secara tiba-tiba di samping Ymir tertawa pelan.
"Aku hanya ingin menguji memorimu setelah bertahun-tahun tidak bertemu," Ucap makhluk itu, bermata tiga. "Jadi, apakah kau masih ingat aku?"
Ymir tak menjawab, dan terduduk kembali di tempatnya.
Si Mata Tiga ikut duduk di kursi kosong depannya. "Kenapa kau tidak menjawab?" Si Mata Tiga lagi-lagi bertanya.
"Untuk apa aku mengingat dan menjawab pertanyaan darimu?" Mata Tiga tersinggung melihat sikap Ymir kepadanya.
"Dulu kau begitu ramah," makhluk itu mendekat ke wajah Ymir "Kenapa sekarang begitu kasar?"
Ymir menjauhkan diri darinya, dan mengatakan sesuatu yang lebih menyinggungkan,
"Hey, jangan dekat-dekat."
"Ymir, ini rotimu!" Krista kembali, menyodorkan yakisoba itu di depan wajahnya.
"Wah... oh- terima kasih." Kata-kata itu terlontar dari mulutnya dengan spontan, ia bahkan tak sadar bahwa telah berterima kasih dan mengambil roti tersebut.
Baru Krista beranjak untuk duduk di depannya, Ymir melarang karena ada Youkai yang akan didudukinya
"Hei- JANGAN!"
Krista ikut kaget dan meloncat ngeri "Eh?! Kenapa, Ymir?" Krista melihat-lihat bagian belakang tubuhnya "Ada apa di badanku?" Krista bertanya lagi, wajahnya seperti anak kecil yang dijahili.
"T-tidak ada apa-apa..." Ymir memberi isyarat pada Youkai itu untuk pergi, kemudian ia menghilang. "T-tadi aku melihat serangga di kursi itu, tapi- ternyata bukan, hehehe." Ymir menyangkal dengan kata-kata yang mungkin tidak masuk akal dan tersenyum memaksa.
"Huh, kukira apa..." Kemudian Krista duduk, meneruskan makannya.
"Terima kasih kau sudah membelikanku roti. Kukira kau hanya bergurau. Berapa harganya?" Ymir membalik badan untuk mengambil dompet dan mengeluarkan uang.
"Eh, tidak usah! Itu gratis...!" Krista melarang "Makan saja, Ymir. Sebentar lagi bel masuk berbunyi."
"Kau serius?"
Krista hanya mengangguk.
"Ya sudah, terima kasih lagi." Ymir membuka bungkus roti itu dan melahapnya. Senyum manis terukir lagi di wajah manis Krista, dan itu membuat hati Ymir terasa hangat dan tenang
TBC
Aah, akhirnya chapter 1 selesai, ane nerusinnya tengah malem sekalian begadang :v
Oiya, kalo soal youkai itu terinspirasi dari anime Natsume Yuujinchou, tapi ane ga terlalu tau soal hantuhantu nyaa jadi kalian yg tau lebih banyak review ya, atau PM juga boleh.
Ane masih newbie jadi mohon bimbingannya ;v
Ntar di chapter 2 insya Allah ceritanya lebih bagus daripada chapter 1.
Thanks for reading!
