Bulan sudah muncul, hari pun semakin larut. Tapi aku di sini seakan menunggu fajar. Merenungi apa yang telah berlalu, merenungi apa yang telah hilang. Angin dingin menampar wajahku kasar, seakan ingin menyadarkanku agar tak lagi menyesali apa yang telah terjadi. Air mengalir dari bola mataku yang tak lagi dapat melihat. Aku memeluk diriku sendiri mengusap kedua sisi lenganku yang terasa membeku. Aku tenggelam dalam pemikiranku sendiri, tak menyadari akan apa yang memandangiku dari kejauhan…
"Nona"
Eyes
One piece © Eichiro Oda
Eyes © Green-purple Shevie
Warning : OoC-mungkin-, fict abal , author baru . Typo(s), alur cepat, death chara, de el el
Pairing : Zoro x Robin
Rated : T
Chapter 1 : pertemuan
"Boleh aku duduk?" terdengar suara acuh dari seorang pria. Robin tahu itu bukan suara Nami-orang yang sudah dianggap adiknya sendiri-yang tadi disuruhnya untuk meninggalkannya sendiri untuk merenung. Suara itu terdengar berat namun terdengar acuh di saat yang bersamaan. Apakah pria ini melihatnya menangis tadi? Entahlah. Dan Robin tak begitu peduli akan hal itu.
"Silahkan." akhirnya wanita itu menjawab. Apa butuh waktu begitu lama untuk menjawab pertanyaanku tadi? Zoro mengumpat dalam hati. Ia pun duduk di samping wanita itu. Tadi ia melihat wanita itu menangis, entah karena apa dan Zoro juga tak mau tahu karena apa. Daripada memikirkan hal tak penting seperti itu, Zoro jauh lebih memilih untuk meneguk birnya. Terdengar aneh? Ya, mengingat dia sekarang berada di Rumah Sakit dan sedang berada dalam perawatan medis, jelas itu terdengar aneh. Sangat malah. Apa kau pernah mendengar seorang pasien yang sedang dirawat meminum bir? Kurasa tidak pernah. Tapi, apakah Zoro adalah orang yang peduli pada kesehatannya? Tidak.
Mereka duduk dalam diam. Tidak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan, apalagi sekedar basa-basi. Cukup lama mereka terdiam seperti itu. Diam dalam pemikiran masing-masing. Robin masih mencoba menghangatkan diri dengan menggosok kedua sisi lengannya. Zoro melihat hal itu dan mengulurkan tangannya.
"Bir?" tanyanya. Robin hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan sang pria. Siapa yang tidak merasa lucu saat kau ditawari bir padahal terlihat jelas bahwa kau seorang pasien? Atau pria ini tidak menyadari perban yang masih melilit kepalanya ini? Lucu sekali.
"Apa yang kau tertawakan, Wanita?" tanya Zoro sarkastik. Terlihat jelas ia merasa tersinggung dengan 'jawaban' yang diberikan wanita di sampingnya itu.
"Kau menawari bir pada seorang pasien?" Robin menjawab sarkastik pula. Pria itu berdecak kesal. Membuat Robin tersenyum simpul.
"Apa salahnya? Aku saja pasien meminum bir tidak masalah" Zoro bergumam pelan, meski begitu wanita di sebelahnya masih dapat mendengar gumamannya itu. Itu bukan suatu kesalahan. Zoro memang sengaja bergumam agak keras agar wanita di sebelahnya mendengar gumamannya. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
"Fufu, ternyata kau bukan orang yang peduli pada kesehatan ya?" Robin tersenyum lagi, pria ini sukses membuatnya lupa akan hal yang beberapa hari ini membuat senyum tidak lagi menghiasi wajah caramelnya yang cantik.
Ya, akhir-akhir ini Robin terus bersedih karna kehilangan besar yang dialaminya. Kehilangan yang merenggut dua cahaya dalam hidupnya. cahaya dari matanya-secara harfiah-dan cahaya hidupnya, yaitu Ibunya. Hal itu terjadi karena kebakaran yang terjadi tiga hari yang lalu.
FLASHBACK
Robin dan Ibunya akan menghadiri sebuah pembukaan museum, Ketika itu Robin dan Ibunya, Olvia, sedang berada di dalam lift, menuju ke lantai atas tempat pembukaan itu berlangsung. Tiba-tiba lift berguncang dan berhenti tiba-tiba. Lalu asap memenuhi lift dan membuat udara tidak dapat dihirup. Robin jatuh terduduk karna guncangan tadi, ia mencoba bernafas namun tak bisa.
Dengan kekuatan yang ada Olvia berusaha membuka pintu lift dengan sekuat tenaga. Mungkin Dewi Fortuna memang berpihak pada mereka saat itu, pintu lift terbuka. Ternyata gedung museum itu terbakar, entah karena apa. Celah pada lift yang terbuka hanya sedikit yang ada, Olvia menarik tangan Robin dan menaikkannya ke celah itu, setelah naik, Robin menjulurkan satu tangannya kepada Ibunya sementara tangan lainnya menutup mulutnya agar asap tak memenuhi paru-parunya. Kebakaran semakin besar dan sepertinya pemadam kebakaran belum ada yang sampai di sini. Robin memandang Ibunya khawatir, seperti mengatakan untuk cepat menarik tangannya. Namun siapa sangka, saat Olvia mencoba bergerak ke arah Robin, lift bergerak. Olvia menyadari sesuatu, berat badannya akan mempengaruhi berat lift, dan jika ia bergerak sedikit saja, lift akan jatuh. Ia berpikir, hanya akan ada 0,01 persen ia bisa keluar dari lift. Olvia lalu menjauh dari Robin. Robin tersentak melihat Olvia yang menjauh darinya.
"Ibu aku mohon ambil tanganku, kita harus keluar sama-sama Ibu, aku mohon" Robin menatap Ibunya. Suaranya bergetar. Air mata dengan mulus meluncur di pipinya.
Olvia hanya tersenyum seakan berkata 'Jaga dirimu baik-baik Robin' untuk membalas perkataan anaknya. Lalu mendekat ke arah Robin dan mendorongnya keras. Samar-samar Robin mendengar Ibunya bergumam 'Aku menyayangimu Robin'.
Lift berguncang, pintunya menutup dan dengan cepat jatuh ke bawah dan meledak.
"IBUUUUU!" Robin melihat ke arah jatuhnya lift, percikan dari ledakan lift melukai matanya. Robin berteriak lalu menjauh sambil menangkupkan tangannya sehingga menutupi wajahnya. Petugas kebakaran yang mendengarnya langsung mengahampirinya dan membawanya keluar. Karna asap yang terlalu tebal dan memenuhi paru-parunya, Robin pingsan dan setelah bangun, ia menyadari telah berada di Rumah Sakit.
FLASHBACK OFF
Air mata kini mengalir deras layaknya sungai di pipi robin. Zoro hanya memperhatikan dalam diam, tak ingin wanita itu terganggu dengan kehadirannya. Namun begitu, ia juga merasa risih melihat wanita di sebelahnya ini menangis, entah apa yang membuat hatinya kini berdesir. Zoro menghela nafas pelan, masih tak ingin wanita di sebelahnya ini terganggu.
Robin menggosok kembali lengannya agar memiliki sedikit kehangatan. Ia menarik nafasnya panjang sebelum menghembuskannya. Tiba-tiba sebuah jaket terlampir menutupi bahu dan lengannya. Ia tahu pria di sebelahnyalah yang menyampirkan jaket itu. Ia palingkan sedikit wajahnya pada pria itu. Berharap mendapatkan penjelasan. Ia sering melakukan nya. meminta penjelasan kepada orang lain melalui tatapan mata. Walaupun ia buta, setidaknya ia tahu pria di sampingnya ini mengerti dengan maksudnya tersebut.
"Di sini dingin. Segeralah kembali ke kamarmu." Zoro berdiri setelah menjawab tatapan mata wanita itu. Ia berniat kembali ke kamarnya, walau ia tahu akan butuh waktu lama untuk kembali ke kamarnya, mengingat penyakit buta arahnya yang akut.
"Setidaknya antarkan aku ke kamarku tuan tanpa nama," Robin menginterupsi langkah Zoro "Kau tahu? Aku hanyalah gadis buta." lanjutnya membuat Zoro terkesiap. Apa katanya? Buta? Yang benar saja!
"Kau… buta?" Zoro mencoba mengulangi kata-kata wanita itu. Ia pun berjalan mendekat sehingga posisinya tepat di hadapan wanita itu. Setelahnya ia membungkuk sedikit dan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah ayu sang wanita.
Robin menghela nafas. Ia sudah tahu begini jadinya. Seharusnya ia tak memberitahukan tentang hal ini. "Kurasa kau tidak begitu tuli tuan-tanpa-nama, sehingga aku tak perlu mengulangi kata-kataku lagi." Robin berkata dingin.
Zoro mendengus mendengarnya. "Aku bukan tuan-tanpa-nama, namaku Roronoa Zoro, Wanita." setelah mengatakan namanya, Zoro kembali duduk di sebelah Robin, ia menghela nafas pelan. "Kalau kau buta karna kerusakan pada matamu, aku buta karna penyakit, jadi aku tak bisa mengantarmu ke kamarmu, Wanita." Zoro berkata sarkastik lalu menyandarkan punggungnya di bangku taman belakang Rumah Sakit Marine itu.
"Aku punya nama Roronoa-san, namaku Nico Robin." Robin mengenalkan dirinya agar mudah berbicara pada pria yang kini kembali duduk di sebelahnya itu. "Jadi kau juga buta sama sepertiku? Sayang sekali."
"Tidak. aku punya penyakit, err-… buta arah." sebenarnya Zoro sangat sungkan untuk memberitahukan kelemahannya tersebut, tapi ia tak ingin wanita di sebelahnya beranggapan bahwa ia sama buta sepertinya.
"Zoro."
"Robin."
Zoro dan Robin yang merasa namanya dipanggil menoleh ke sumber suara. Zoro mengumpat dalam hati. Kenapa alis pelintir itu bisa menemukanku? Dia hanya akan menjadi biang keributan.
"Marimo bodoh, aku mencarimu kemana-mana. Kemana saja kau?" Tanya Sanji dengan suara marah tertahan. Sanji adalah teman se-genknya Zoro. Ya, Zoro punya genk motor dengan nama Trio Monters-sebenarnya itu julukan genk motor lain pada mereka, tapi akhirnya di gunakan sebagai nama genk motor mereka- yang berangotakan dia, Sanji dan Luffy, dan menjadikan Luffy sebagai ketua. Alasan mengapa Zoro ada di Rumah Sakit Marine ini juga akibat pertikaian 'kecil' dengan genk lain. Yang mengakibatkan cidera 'kecil' pada tubuhnya.
"Ke mana Luffy?" Zoro celingak-celinguk mencari 'kapten' dari genknya itu. Tapi, nihil. Ia tak
Menemukan laki-laki dengan topi jerami itu di mana pun.
"Dia ke kantin rumah sakit. Dia bilang takkan mengkhawatirkanmu. Alasannya karena kau kuat." Jawab Chopper, teman sekaligus dokter yang merawat Zoro. Zoro hanya bergumam tidak jelas.
"Zoro, kenapa kau buka perbannya?" chopper menyadari perban yang ia lilitkan di kepala dan tangan Zoro sudah tidak terpasang lagi di pria beranting tiga itu., suara Chopper terdengar geram. Jika digambarkan dalam anime, sudah pasti ada taring dan mata lancip di wajah pria dengan tubuh besar itu.
"Susah bergerak." Zoro menjawab singkat pertanyaan Chopper. Sudah pasti Chopper akan marah besar mengetahui kalau ia bukan hanya melepaskan perbannya saja tetapi juga meminum bir kaleng. Tapi, siapa peduli?
"Dasar bodoh, aku memasangnya agar kau tak bergerak." Chopper benar-benar heran dengan temannya yang satu ini. "Dan Robin, kenapa kau berada di sini malam-malam? Malam ini sangat dingin. Mau aku antar ke kamarmu?" Chopper melihat ke arah Robin yang masih duduk di sebelah Zoro, Robin juga merupakan pasiennya. Karena sudah berada di sini selama seminggu Robin dan Chopper sudah merasa akrab satu sama lain.
"Ya, aku mohon bantuanmu Dokter-san." Robin menjawab lembut dengan senyuman manis terukir di wajahnya. "Sepertinya Nami ketiduran jadi dia tak menjemputku di sini." lanjut wanita dengan rambut raven sebahu itu lalu tersenyum manis.
"Mallorine~, ada wanita cantik!" Sanji berputar-putar mengelilingi Robin dengan mata seolah-olah berbentuk love. Zoro mendengus melihatnya. "Halo nona cantik perkenalkan aku Sanji." Lanjut Sanji yang kemudian mencium lembut tangan Robin. Lalu berputar-putar lagi.
"Dasar Alis pelintir mesum." Zoro menatap Sanji dengan tatapan jijik.
"Apa kau bilang Rambut lumut? Dan apa yang kau lakukan dengan Robin-chan ku di tempat gelap seperti ini?" Sanji bertanya dengan melipat tangan di depan dada nya. Robin yang mendengar Sanji memanggilnya dengan embel-embel '-chan' di belakang namanya hanya tertawa geli.
"Dasar Keju busuk. Aku di sini dan sedang apa dengannya itu bukan urusanmu." jawab Zoro datar. Ia lalu berdiri dan mulai berjalan.
"Tentu saja ini urusanku Marimo bodoh. Bisa saja kau melakukan hal buruk pada wanita secantik dia." Sanji menginterupsi langkah Zoro. Terlihat kedutan kecil di dahi Zoro.
"Aku bukan mesum sepertimu Alis lingkar." Zoro menjawab dengan suara marah yang tertahan.
"Siapa yang kau bilang Alis lingkar, Marimo jelek?"
"Kau, Keju busuk."
"Apa? Akan kutendang kau Buta arah bodoh."
"Kau takkan bisa mengenaiku Alis obat nyamuk. Aku akan memukulmu terlebih dahulu."
Dan terjadilah pertarungan kecil antara kedua rival yang sama-sama pecinta motor itu. Chopper menghela nafas panjang melihat tingkah kedua temannya itu.
"Ayo pergi dari sini Robin" Chopper menarik tangan Robin dan menuntunnya kembali ke kamarnya. Sementara Robin hanya tertawa kecil mendengar pertengkaran kecil kedua orang yang baru dikenalnya tersebut. Orang-orang yang menarik, batinnya.
TBC
Oke~
Hai minna, author baru hadir. Sebenarnya aku reader lama tapi tertarik jadi author. Udah lama aku jadi silent reader di FOPI. Maaf bgt krn selama ni aku baca fict kalian tapi ga pernah aku tinggalin review. Tapi semua fict di sini bagus-bagus banget kok~
Sukses terus buat semua author yang ada di FOPI. Jangan berpikir ga ada yang baca fict kalian. Percayalah kalo setiap fict kalian pasti ada silent reader-contohnya aku-yang akan membacanya.
Mind to review? Flame dan segala kritik dan juga saran diterima dengan lapang dada..,
