Bartimaeus
1
Temperatur dalam ruangan menurun drastis. Bunga es terbentuk di tirai dan mengerak tebal di sekeliling bola lampu di langit-langit. Pijaran cahaya di tiap bohlam mengecil dan meredup, sementara lilin-lilin yang berdiri di tiap permukaan yang tersedia, sumbunya tertiup padam, tampak seperti sekoloni jamur. Kamar yang sekarang gelap itu dipenuhi asap belerang yang kuning menyesakkan, di dalam sana bayangan hitam yang kabur menggeliat dan melintir. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara jeritan. Pintu yang menuju anak tangga tiba-tiba mendapat tekanan kuat. Pintu itu menggembung ke arah dalam, kayu-kayunya bergemeretak. Suara langkah kaki yang tak tampak mengentak lantai kayu dan mulut-mulut yang tidak kasatmata membisikkan kata-kata jahat dari belakang tempat tidur dan balik meja.
Awan sulfur itu memadat menjadi gumpalan asap tebal yang memuntahkan sulur-sulur tipis; sulur-sulur itu menjilat-jilat ke udara seperti lidah sebelum akhirnya menghilang. Gumpalan asap itu tergantung di atas bagian tengah pentacle, menggelegak naik menuju langit-langit seperti awan gunung berapi yang meletus. Hampir tak tampak jeda sedikit pun. Lalu dua mata merah yang menatap lurus terbentuk di tengah-tengah asap.
Hei, sepertinya aku pernah memakai efek seperti ini, tapi aku tidak ingat di mana (Ehem, aku bohong, tentu saja. Yah, kau tak mungkin melupakan awal pemanggilan yang ternyata hampir membawa rohmu mencair dalam sup ikan, kan? Tapi, memang aku akui, aku tak bisa melupakan masterku yang satu itu. Aku hanya ingin bernostalgia sedikit. Bedanya, kali ini mataku merah bukan kuning.). Pada pemanggilan tersebut, si penyihir ketakutan setengah mati. Tentu saja, karena si penyihiritu cuma anak kecil umur dua belas tahun.
Bulir-bulir salju sebesar bola mata melayang turun, melapisi lantai kayu bagaikan karpet putih setebal tiga sentimeter. Bersamaan dengan itu, kabut pekat muncul, bercampur dengan asap dan melayang di tengah ruangan, menutup pandangan semua orang akan hal-hal di sekitarnya. Yes, pemanggilku pasti sudah mati karena ketakutan dan kedinginan.
Di hadapanku berdiri anak lelaki, berumur kira-kira tujuh belas tahun.
Aku memandang malas ke arah pemanggilku, pria muda dengan rambut pirang dalam setelan kaus dan celana jins belel. Aku menaikkan sebelah alis. Baru kali ini aku melihat penyihir setidak rapi ini, itupun jika anak ingusan di hadapanku ini seorang penyihir. Membayangkan bahwa ia seorang commoner membuat perutku serasa ditusuk-tusuk pisau perak.
Aku memperhatikan sekeliling ruangan. Ruangan itu kecil, berbentuk persegi panjang, dan dipenuhi—duh, sepertinya dugaanku benar— barang-barang tipikal commoner. Satu set komputer berdiri di sebelah kanan ruangan. Telepon genggam tergeletak begitu saja di lantai, di sebelah tempat tidur berukuran sedang. Di atasnya tergeletak banyak barang rongsokan, yang kukenali sebagai benda yang amat sering digunakan para commoner di waktu senggang. Aku tidak bisa memahami di mana letak kesenangan memainkan benda-benda itu. Anak laki-laki yang memanggilku berdiri di pentacle seberang, dekat dengan tempat tidur. Pentacleku berada di dekat pintu.
Alih-alih ketakutan setengah mati, anak lelaki itu tersenyum mengejek sambil melipat tangan di dada. Ia menguap dengan lagak dibuat-buat, membuat ekspresi tidak sopan di wajahnya, dan berkata santai, "Terima kasih atas pertunjukannya, demon. Tapi tidak perlu repot-repot, kau hanya membuat perutku geli." Ia menggaruk hidung. "Tidak kreatif pula. Ketinggalan jaman."
Beraninya anak ini! Aku mendidih. Dengan cekatan aku mengubah bentukku menjadi monster berkepala zombie berbelatung, bertubuh manusia dengan organ-organ dalam terburai, dan kaki raksasa berkuku panjang melengkung yang dapat membelah tanah dalam sekali sentuh. Aku menambahkan erangan mematikan, dan bau yang akan membunuh ratusan tikus yang berada pada jarak satu mil (Oke, aku memang melebih-lebihkan. Sepertinya bau ini dapat membunuh, tapi sebenarnya tidak, hanya dapat membuat makan siang dan sarapanmu menjadi sia-sia.). Wujud ini memang sedang populer sekarang, walau sebenarnya perubahan ini sama sekali bukan gayaku.
Aku mendelik ke arah calon masterku. Yeah, efek yang ditimbulkan wujudku ini benar-benar membuatku senang, walaupun tak bisa dibilang sukses seratus persen. Wajah si bocah tengik berubah hijau, dan jelas-jelas menunjukkan minat untuk muntah. Namun, aku geram sekali melihatnya, ia menelan bulat-bulat minatnya tersebut, berdeham, dan menegakkan tubuh untuk mengembalikan harga dirinya yang tadi nyaris terjatuh (Dengan susah payah tentunya. Wujudku yang sekarang pasti wujud yang paling menakutkan di seluruh jagat raya. Marid pun tak mungkin mengalahkan aku).
Aku mengerang sejadi-jadinya, dan tersenyum sinis, menunggu suara pecahan kaca-kaca jendela yang memekakkan telinga.
Tidak terjadi apa-apa.
Aku mengedarkan pandangan dengan berwibawa ke seluruh ruangan. Ruangan itu tidak memiliki jendela (Kesalahan teknis. Lagipula sebenarnya aku tidak bermaksud untuk memecahkan jendela sih).
Si anak laki-laki terbahak. "Sudah cukup main-mainnya, jin. Aku ingin kau mendengarkan perintahku." Sudah cukup main-main, katanya? Anak ini benar-benar membuat darahku naik ke kepala (Akhir-akhir ini aku memang cepat naik darah. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena aku jarang sekali dipanggil dalam rentang waktu 3 tahun, semenjak kejadian luar biasa di St. James Park. Jarang adanya pemanggilan kini membuatku ingin melampiaskan kebosananku kepada siapa saja yang kutemui, atau jika punya kesempatan, kepada siapa saja yang memanggilku.). Aku menatap tajam ke arah garis pentacle yang terbuat dari kapur, berharap tatapanku dapat membakar lantai, dan menghapus sedikit saja garis yang tergambar. 1 sentimeter saja sudah cukup memberiku kesempatan untuk melahapnya. Oh, jangan, aku punya ide yang lebih menarik. Aku akan meremasnya dan bermain bola basket terlebih dahulu.
"Aku ingin kau membunuh ayahku."
Oke, satu lagi manusia yang kejam dan tidak berpikir panjang. "Kau yakin tidak salah menyebut nama jin, bocah? Tugas seperti itu tidak cocok untukku, tahu. Terlalu mudah. Cari saja foliot atau imp yang tidak punya kerjaan untuk membantumu." Aku menyeringai lebar, hanya untuk membuatnya kesal. "Dan ngomong-ngomong, memangnya kau tahu siapa aku? Jangan-jangan kau belum lancar membaca, dan namaku tertukar dengan nama imp."
Anak laki-laki itu memutar bola mata. "Aku tidak bodoh, demon. Aku memanggilmu, Bartimaeus, atau Rekhyt, atau siapapun namamu, bukan untuk berbasa-basi."
"Tunggu dulu, sepertinya ada yang kurang lengkap." Aku berdeham. " Aku Bartimaeus, Sahkr al-Jinni, N'gorso yang Hebat, dan sang Ular dari Silver Plumes. Aku membangun kembali tembok-tembok Uruk, Karnak, dan Praha. Aku berbicara dengan Solomon. Aku pernah berlari bersama nenek moyang kerbau-kebau di padang rumput. Aku menjaga Zimbabwe Tua hingga hujan batu menghancurkannya dan anjing-anjing memakan tuan-tuan mereka. Dan yang terbaru, yang pasti akan membuat kau berterimakasih sebesar-besarnya kepadaku, akulah, bersama masterku, yang menyelamatkan London dan dunia dari serbuan demon-demon gila."
"Oh ya? Baru dengar, tuh."
Telingaku panas dan mengeluarkan uap, mataku meloncat keluar, tidak percaya akan apa yang baru saja kudengar (Benar, berlebihan. Aku tidak mau membuat penampilanku menjadi jelek dengan mengeluarkan efek seperti itu.). Aku ingin mencabik-cabiknya.
"Terserah kau deh." ujarnya."Sekarang dengarkan aku. Mungkin kau akan senang jika tahu bahwa ayahku itu memiliki tiga marid, lima afrit, dan lima bodyguard sebagai pelayannya." Si anak lelaki mengorek kuku dengan bosan. Mantra Pengerut menyerangku secara tiba-tiba, nyeri menjalari sekujur rohku.
"Aw, stop! Sabar sedikit bisa tidak sih?" Mantra tersebut lenyap dalam sekejap, si anak laki-laki mengangkat kedua alis meminta jawaban.
Tugas yang diajukan kepadaku kali ini memang menarik, walau agak membuat heran. Amat sangat jarang sekali seorang penyihir dapat memanggil marid dan afrit sebanyak itu sekaligus. Pasti ayah si bocah adalah seorang penyihir yang sangat hebat, atau memiliki banyak anak buah yang loyal, dapat dipercaya, dan cukup hebat untuk melakukan pemanggilan dan mengontrol demon-demon itu.
"Jika ayahmu memiliki pelayan sebanyak itu, mengapa kau tidak memanggil marid, atau entitas yang lebih besar?" ujarku sinis. "Bukannya aku takut lho, cuma saran. Oh, lagipula kau pasti tidak akan mampu." Aku tertawa. Kali ini aku mengubah diri menjadi wujud favoritku, sesosok minotaur bertanduk.
Si anak lelaki menguap lagi. Sepertinya ia lelah sekali (Itu sudah bisa dipastikan. Salah sendiri berani-beraninya memanggilku.). "Aku tahu, aku tahu. Tentu saja aku tidak hanya memanggilmu. Aku punya alasan lain mengapa aku mau repot-repot begini." Ia duduk bersila. "Pertama-tama, silahkan duduk."
Sang minotaur mengerjap-ngerjapkan mata. "Kau bilang apa? Aku tidak dengar." Bukan hanya mengesalkan, anak lelaki ini juga aneh. Dua kata yang barusan ia ucapkan amat tidak lazim digunakan dalam pemanggilan, dalam kondisi berhadap-hadapan di dalam dua pentacle, apalagi keluar dari mulut anak yang telah menghinamu sejak awal.
"Kau tidak tuli," desahnya. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu."
Aku tetap berdiri, memutuskan untuk tidak bersikap patuh terhadapnya. Enak saja (Lagipula apabila duduk, sepertinya akan menjadi pemandangan yang menggelikan. Bayangkan saja minotaur bertanduk dengan postur sebesar raksasa dan berkulit sekeras baja duduk). "Aku tidak punya waktu untuk berbincang-bincang, jika itu maksudmu. Panggil imp sana." Aku mengentakkan kaki, membuat seluruh ruangan bergetar hebat, melontarkan anak lelaki tersebut beberapa sentimeter ke belakang. Sial, ia membuat pentacle yang besar, merontokkan harapanku.
Anak lelaki itu berdiri, menepiskan debu dari pakaiannya, dan melotot garang. Uh, takut.
"Please, Bartimaeus. Jangan membuang-buang waktuku yang berharga." Ia membetulkan posisi duduknya. "Aku sudah bilang, kan, aku tidak senang berbasa-basi. Aku tahu kau mengenal Ptolemaus lebih dari siapapun. Sekarang jelaskan padaku cara termudah untuk pergi ke duniamu."
Oh, jadi itu toh alasannya.
"Jangan membantah, atau aku akan memberimu Cacar Membakar, atau yang lebih parah dari itu. Jika saja Apocrypha Ptolemaus tidak hilang tiga tahun lalu, aku tidak akan bertanya kepadamu." Anak lelaki itu menunggu aku bicara. Aku diam saja. Bocah tersebut telah membuka memoriku yang terdalam, tentang Ptolemy, tentang Kitty, dan tentang Nathaniel. Segala hal yang berhubungan dengan ketiganya sebisa mungkin tidak ingin kuungkit lagi. Lagipula tidak ada gunanya sama sekali. Aku bukan jin sentimentil, kau tahu, tapi entah mengapa saat-saat dengan Ptolemy dan Nathaniel telah mengendap di pikiranku.
Dengan usianya yang masih muda, aku yakin, memanggilku merupakan satu-satunya cara yang terlintas di otaknya untuk mengetahui jawaban pertanyaannya itu. Disamping itu, para penyihir masa kini tidak ada yang peduli dengan teori serta perjalanan Ptolemy, dan benar-benar sudah melupakannya, aku yakin. Sejak Apocrypha hilang, sejarah tersebut pun ikut hilang tak berbekas, dan tidak ada lagi buku atau perkamen yang membahas hal tersebut di perpustakaan manapun di dunia.
"Aku tidak peduli dengan Cacar Membakarmu atau yang lainnya. Terserah. Kau mau tahu mengenai hal tersebut, cari tahu sendiri, dan jangan harap mendapatkan sesuatu dariku." Anak lelaki itu terdiam. Ruangan hening selama beberapa saat. Aku dapat melihat ia berpikir keras, menimbang-nimbang akan memaksaku atau tidak.
Dan seperti yang kuduga, ia memutuskan tidak.
"Baiklah kalau begitu." Anak lelaki itu menghela napas berat, berdiri, dan kembali memasang tampang sok. "Yakinlah, aku akan bertanya lagi padamu di lain waktu. Sekarang, aku ingin kau mencari tahu apa yang ayahku rencanakan. Saat ini membunuhnya belum terlalu penting."
Oke, itu sih gampang. Aku mengubah diri menjadi burung elang gagah dan bersiap-siap merentangkan sayap. "Hei," ujarku, sayapku menutup kembali, "Seingatku kau belum memberitahuku apapun tentang tugas mudah yang kau berikan."
Bocah itu menyeringai. "Memang. Aku belum menyuruhmu pergi kan? Kau saja yang terlalu bersemangat." Ia berkacak pinggang. "Cari tahu rencananya, lebih bagus lagi jika kau bisa membawa blueprint skema, atau catatan mengenai hal tersebut. Dan yang paling penting, jangan sampai tertangkap."
Aku mengerutkan bibir. "Sebentar. Ada hal yang kurang jelas di sini. Di mana dapat kutemukan ayahmu? Siapa namanya?" Tanyaku tak sabar. "Dan yang paling penting, kapan kau akan membebaskanku?" Aku menekankan kalimat terakhir dengan suara paling mengerikan yang dapat terpikirkan. "Oh, dan satu lagi. Apakah orang itu benar-benar ayahmu? Aku yakin bukan. Ia pasti mastermu, yang entah karena apa, membuatmu memanggilnya ayah. Aku tidak habis pikir, bagaimana…"
"Kau cerewet sekali, sih," tukasnya. "Aku yakin, sudah lama sekali kau tidak dipanggil ke sini, ke London. Semua berubah di sini, tahu. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Kau akan dibebaskan segera jika keinginanku sudah kudapatkan. Sekarang berangkat, ke Westminster Hall."
Aku menegakkan telinga. "Westminster Hall? Kau yakin?"
Anak laki-laki itu menghembuskan napas keras-keras melalu mulut. "Jangan banyak omong, pergi sajalah."
"Dan ayahmu itu bernama…"
Ia menggumamkan sebuah nama. Aku merasakan kebencian dalam suaranya.
"Jangan berbisik seperti itu donk. Aku tidak bisa dengar nih."
Si anak laki-laki setengah berteriak, "Cari pria bernama Harold Button, dan jangan suruh aku mengulanginya lagi!"
