Naruto ( c ) Masashi Kishimoto

"Vice Versa"

( c ) Hitomi Sakurako

Chapter 1

Haruno Sakura membuka secara paksa pintu putih di hadapannya, melangkah dengan cepat dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang queen size-nya. Ia kembali terduduk dan melepaskan sepatu hak tingginya, melemparnya dengan kesal, kemudian kembali membaringkan tubuhnya. Lengannya diletakkan menutupi kedua matanya. Tak hentinya ia menghembuskan napas panjang.

"Sasori–" Sakura menggumamkan nama seseorang sambil meringis. Sakit dan hancur. Itulah yang gadis bersurai merah muda itu rasakan.

LINE!

Ponsel Sakura berbunyi. Dengan sangat terpaksa ia membuka tas jinjingnya dan mengambil benda berwarna putih yang sedari tadi mengusiknya. Sakura menyadari ternyata ada sekitar lima pesan baru yang belum dibacanya. Ia mendengus kesal melihat pesan yang tidak terlalu penting itu. Tiga dari temannya yang sedang menanyakan kabar, satu dari kliennya dan sisanya pesan dari Line Webtoon.

Sakura membacanya dengan malas tanpa ada niatan untuk membalas. Ketika akan menutup aplikasi tersebut, jari Sakura tidak sengaja membuka pesannya sebulan yang lalu. Sakura mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menggigit bibir bawahnya begitu membaca pesan tersebut. Tiba-tiba matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggelengkan kepalanya dan segera menonaktifkan ponselnya. Sakura memeluk lututnya dengan erat, menenggelamkan wajahnya di sana. Menangisi keadaannya.

Flashback ON

Sakura meletakkan jurnalnya di atas meja. Ia meregangkan tangannya yang sangat lelah. "Aku harus pergi. Sisanya kuserahkan padamu!" ucap Sakura sambil menyambar tasnya yang diletakkan di kursinya.

"Baik, Sakura-sama!" Obito menunduk hormat sambil membukakan pintu untuk Sakura.

Sakura berlarian kecil menuju lantai dasar tempat mobilnya diparkirkan. Senyumnya masih mengembang. Ia meraih ponselnya dan menelpon seseorang.

"Halo, Sasori. Urusanku sudah selesai, aku segera ke sana. Tunggu aku, kau akan terpesona karena kecantikanku," ucap Sakura manja. Ia masuk ke dalam mobilnya.

"Baik. Aku tunggu di sini. Sakura yang kukenal selalu cantik kok. Hahaha!" balas Sasori dalam telepon.

Begitu tiba di café tempat mereka janjian, Sakura dapat melihat Sasori yang tersenyum kearahnya. Sangat lembut dan damai. Sakura menarik kursi di hadapan Sasori.

"Kau memesan minuman untukku?" tanya Sakura.

"Ya. Seperti biasa, Caramel Macchiato. Aku sudah hapal minuman favoritmu," ujar Sasori sambil memajukan segelas kopi itu di hadapan Sakura.

Sakura hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan Sasori. Ia senang pria yang berstatus sebagai pacar di hadapannya ini sangat mengetahui semua hal mengenai dirinya."Aku senang kau mengajakku keluar lagi. Selama ini kau jarang menghubungiku," gerutu Sakura.

"Loh bukannya kau yang selama ini sangat sibuk? Aku jadi tidak enak mengganggumu," ucap Sasori membela dirinya.

"Sama sekali tidak mengganggu. Kalau aku sibuk, aku ingin bisa selalu ngobrol denganmu. Setidaknya aku bisa selalu tersenyum membaca pesanmu," kata Sakura sambil terkikk geli.

Sasori hanya membalas dengan senyuman, kemudian ia mengelus kepala Sakura. Kemudian ia memasang ekspresi kecewa dan menarik tangannya dari kepala Sakura.

"Kalau begitu, ada apa memanggilku kemari?" tanya Sakura begitu menyadari ada yang tidak beres pada Sasori.

Sasori terdiam. Ia menatap secangkir espresso di hadapannya, tidak berani menatap kedua mata Sakura. "Ada yang ingin aku bicarakan..." ucap Sasori dengan nada yang sangat kecil.

Sakura tidak menjawab. Ia hanya memajukan posisi duduknya tanda siap mendengarkan pembicaraan Sasori.

"Aku–" Sasori menggantungkan ucapannya membuat Sakura mau tak mau memasang ekspresi heran, menunggu Sasori melanjutkan ucapannya.

"–sepertinya tidak bisa melanjutkan hubungan kita lagi," ucap Sasori begitu saja. Dalam hati ia bersyukur akhirnya bisa mengucapkannya.

Sakura membulatkan matanya. "Ap-apa? Ada apa sampai kau mengatakannya?" tanya Sakura bingung. Ya, dia benar-benar bingung,

"Maaf. Aku benar-benar tidak bisa melanjutkannya," ucap Sasori dengan nada sangat bersalah.

"Memangnya ada apa tiba-tiba?" tanya Sakura lagi. Wajahnya panik dan Sakura mulai cemas bercampur kecewa.

"Aku menyukaimu, Sakura. Hanya saja, aku merasa kau sangat jauh. Aku tidak tahu, aku bisa saja menemuimu setiap saat, tapi tetap saja aku merasa kau sangat jauh," jelas Sasori yang masih membuat Sakura tidak mengerti.

"Tidak masuk akal! Kau hanya takut. Aku tahu kau menyukaiku. Maksudku selama ini kita baik-baik saja!" geram Sakura. Ia ingin menangis, tapi ia menahan air matanya agar tidak terjatuh begitu saja. Pikirnya siapa tahu saja saat ini Sasori cuma mengerjainya.

"Mungkin yang ada di pikiranmu ini tidak masuk akal, tapi kau tidak merasakannya. Aku merasa sangat sulit ada di dekatmu," tukas Sasori sambil menundukkan kepalanya.

"Ya ampun, Sasori. Kita sudah bersama dua tahun dan sekarang kau merasa seperti itu?" ucap Sakura yang masih tidak percaya dengan penjelasan tidak masuk akal Sasori.

"Karena kau semakin jauh akhir-akhir ini. Kau sibuk dengan urusan perusahaan dan aku merasa kau akan pergi ke tempat yang lebih tinggi lagi, Sakura!" Sasori memberanikan diri menatap Sakura lembut.

"Tidak mau!" tampik Sakura.

Eh–Sasori memasang tampang heran.

"Aku tidak mau mengakhirinya. Tolonglah, kita sudah sejauh ini dan kau tiba-tiba mengakhirinya dengan alasan yang tidak logis. Sasori, cuma kau yang tidak melihatku karena pekerjaanku dan hartaku. Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja!" Ternyata pikiran Sakura mengenai Sasori yang bercanda itu salah. Ia menggenggam kedua tangan Sasori dan menatapnya berharap lelaki itu akan luluh.

"Maafkan aku. Jujur sekarang aku merasa tidak bisa melanjutkannya. Maafkan aku yang tidak bisa menepati janji untuk terus bersamamu, Sakura," ucap Sasori dengan nada bersalah.

"Aku tidak mau minta maafmu, aku hanya ingin penjelasan, Sasori!" tuntut Sakura.

"Maaf, tidak ada lagi yang bisa kujelaskan," ucap Sasori lagi.

Sakura terdiam cukup lama. Ia menatap segelas kopinya yang sama sekali belum disentuh. Sakura mengangkat kepalanya menatap Sasori. Ia menghembuskan napas panjang.

"Baiklah kalau itu yang kau mau," ujar Sakura dengan nada tenang. Memang sedari tadi ia tidak membuat suasana rusak dengan mengamuk di dalam café. Sakura mencoba meminta penjelasan Sasori dengan sangat tenang dan inilah hasilnya, Sasori tidak akan meralat ucapannya. Akhirnya Sakura menyerah.

"Aku pergi dulu. Semoga kau bahagia dengan kehidupanmu," ucap Sakura sambil tersenyum sangat manis kepada Sasori. Kemudian ia berdiri dari duduknya dan berjalan meninggalkan Sasori.

Setelah itu, Sakura lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ino. Ia bahkan meluangkan hampir setiap waktunya untuk makan atau sekedar minum kopi bersama Ino.

"Sakura, kau yakin tidak apa-apa, kan?" tanya Ino sambil menatap wajah Sakura yang tengah asyik menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya, sebenarnya ini sudah porsi yang ketiga. Ia sangat khawatir pada keadaan Sakura yang sekarang ini.

Sakura membalas tatapan Ino. Ia tersenyum. "Huh, kau pikir aku siapa. Aku baik-baik saja," ucap Sakura dengan nada ketus.

"Benarkah? kau diputuskan sama Sasori saja sampai menangis segitunya..." ejek Ino. Ino tahu karena dari wajah Sakura sudah tergambar jelas wajahnya yang sangat kusut dengan mata yang sembab. Selain itu porsi makan Sakura yang sangat banyak ini sepertinya menunjukkan kalau Sakura jarang makan.

Sakura menggeleng cepat. "Tidak, siapa yang menangis," sergah Sakura. Ia memasang tampang kesal karena Ino menuduhnya seperti itu.

Padahal kenyataannya...

Jangan menganggap Sakura akan setegar itu, buktinya setelah kejadian itu, ia langsung menangis sejadi-jadinya. Ia bahkan tidak keluar dari kamarnya dan tidak makan sampai tiga hari. Ia mengabaikan semua panggilan di ponselnya dan rasanya ingin mati saja.

Bukannya berlebihan, hanya saja Sakura sudah terlanjur merasa nyaman dengan Sasori. Sasori satu-satunya pria yang mendekatinya bukan karena kekayaannya. Mereka bertemu secara tidak sengaja ketika Sasori membantunya di supermarket. Sakura sudah menganggap pertemuan mereka ibarat drama-drama dengan akhir yang bahagia. Tapi kenyataannya pria itu sendiri yang merasa tidak nyaman bersama Sakura.

Sasori bukanlah orang kaya seperti Sakura. Ia hanya seorang salaryman yang hidupnya masih sangat bergantung pada gaji seumur hidup. Sangat kontras dengan Sakura yang merupakan pemilik perusahaan keluarganya. Selama ini Sakura tidak tertarik dengan dunia percintaan karena sebagian orang mencintainya karena kekayaan dan kedudukannya. Berbeda dengan Sasori yang tidak memandang hal seperti itu.

Dua minggu setelah itu, Sasori tidak pernah menghubungi Sakura lagi, begitu pula Sakura yang semakin hari semakin sibuk. Ia hanya berfokus pada pekerjaannya. Sepertinya Sakura tidak banyak tersenyum lagi.

Siang harinya di perusahaan, Sakura mendapat sebuah undangan di atas mejanya. Sakura membuka undangan itu, hanya undangan pesta ulangtahun biasa. Sakura berpikir mungkin itu dari rekan perusahaan atau dari kliennya. Tapi tidak, matanya mengenali nama seseorang yang tertulis dalam undangan itu. Ya, terdapat nama Sasori di sana. Tapi setelah Sakura pikir, tanggal ulangtahun Sasori sudah lewat. Ternyata ia salah. Itu adalah undangan ulangtahun seorang gadis. Hm? Seorang gadis dan terdapat nama Sasori?

Sakura mendadak lemas. Entah kenapa tapi bayangan Sasori belum hilang dari pikirannya. Ia sedih dan kecewa melihat undangan itu. Apa hubungannya? Gadis itu pacar barunya? Apa ini alasan Sasori mengakhiri hubungan mereka? Gadis seperti apa yang sudah membuat Sasori seperti ini?

Akhirnya Sakura meletakkan undangan itu asal-asalan di atas mejanya dan memilih untuk pulang cepat. Mood-nya benar-benar rusak.

Flashback OFF

Sudah beberapa kali Sakura mengubah posisi tidurnya namun matanya tidak juga terpejam. Sakura membalikkan tubuhnya lagi. Ia menatap ponsel di sisi kirinya. Kemudian menghembuskan napas dan berbalik ke kanan lagi.

"Apa aku harus ke sana dan menghancurkan pesta ulangtahunnya?" gumam Sakura. Ia membayangkan sendiri bagaimana ia datang dan menghancurkan acara yang sedang berlangsung. Sakura cepat-cepat menggeleng. Itu akan memperburuk keadaan. Bagaimana ini?

Keesokan harinya Sakura berangkat dengan wajah yang masih lesu. Ia menunggu pintu elevator terbuka. Begitu terbuka, Sakura segera masuk ke dalam.

"Wajahmu jelek sekali!" ejek seorang pria di samping Sakura.

Sakura menoleh, kemudian terkejut dengan sosok di sampingnya. "Sasuke? Apa-apaan kau?! Kenapa kau di sini?" gerutu Sakura.

Sasuke Uchiha adalah rekan kerja Sakura. Sasuke juga memiliki perusahaan. Bahkan perusahaannya jauh lebih besar daripada milik Sakura. Tentu saja, perusahaan Uchiha menempati peringkat nomor satu paling kaya di negaranya. Sedangkan Sakura, ia hanya berada di posisi ketiga.

"Apa ayahmu ada di ruangannya?" tanya Sasuke.

Ah, jangan heran. Perusahaan milik Sakura masih dipimpin oleh ayahnya. Ini karena Sakura masih tahap belajar mengurus perusahaan, Sakura sendiri yang meminta pada ayahnya untuk masih menjabat sampai Sakura benar-benar bisa bekerja dengan baik.

"Ayahku sedang keluar," ucap Sakura tanpa menoleh sedikit pun kearah Sasuke.

"Ah, apa kau keberatan kalau aku mampir di ruanganmu? Kebetulan ada yang ingin kubicarakan mengenai pekerjaan," ujar Sasuke.

Sakura tidak membalas ucapan Sasuke. Ia malas berhadapan dengan siapapun sekarang. Pintu elevator terbuka, Sasuke mendekatkan wajahnya di telinga Sakura.

"Sepertinya mood seseorang sedang buruk karena berniat menghancurkan pesta ulangtahun pacar mantannya," bisik Sasuke sambil menyeringai lebar, kemudian ia berjalan lebih dulu meninggalkan Sakura yang tercengang di elevator. Sakura membulatkan mata karena terkejut dengan ucapan Sasuke yang err–sepertinya benar. Begitu pintu elevator akan tertutup, Sakura buru-buru menahannya. Ia berlari menghampiri Sasuke.

"Tunggu! Bagaimana kau ta–" belum selesai Sakura berbicara, Sasuke buru-buru memotongnya. "Tidak ada yang tidak diketahui Sasuke Uchiha."

Sakura menatap Sasuke dengan tatapan kesal. "Aku tidak peduli. Lagipula itu bukan urusanmu!" seru Sakura yang kemudian meninggalkan Sasuke yang masih menyeringai menatap kepergiannya.

Tiba-tiba langkah Sakura terhenti membuat Sasuke menghentikan seringainya juga. Sakura berbalik menatap Sasuke. "Juga aku tidak ingin menemuimu hari ini, kalau ada perlu temui saja sekretarisku!" teriak Sakura kesal. Sakura tidak peduli sedang berbicara dengan pemilik perusahaan nomor satu, saat ia benar-benar tidak mood untuk berbicara dengan Sasuke.

Sakura memasuki ruangannya dengan paksa. Ia melempar tasnya di sofa begitu saja, lalu duduk di kursi kerjanya dengan kesal. Ia memainkan pulpen yang menganggur di mejanya. Tiba-tiba mata Sakura menangkap undangan yang kemarin diterimanya. Ia meraih undangan itu dan membukanya.

"Besok ya," gumam Sakura pelan. Pikirannya masih kacau antara hadir atau tidak menghadirinya. Kalau ia hadir, mungkin ia tidak sanggup melihat Sasori bersama gadis lain. Tapi kalau ia tidak hadir itu berarti Sakura adalah pengecut.

Tok! Tok! Suara pintu yang diketuk sontak mengagetkan Sakura. Ia meletakkan undangan itu dan segera memperbaiki posisinya.

"Masuk!" pinta Sakura.

Kemudian pintu terbuka menampilkan sosok Ino yang tersenyum kearahnya. "Aku datang bawa kue," ucap Ino sambil memasuki ruangan Sakura.

Sakura tersenyum senang. Ia bangkit dari duduknya, menghampiri Ino dan membawanya untuk duduk di sofa. "Wah kebetulan sekali kau datang. Ada apa?"

"Aku kebetulan bebas dari shift malam. Jadi aku membawakan beberapa kue untuk nona Sakura yang akhir-akhir ini sangat sibuk," ucap Ino sambil tersenyum. Ia membuka kotak kue itu dan menyodorkannya ke Sakura.

Yamanaka Ino adalah sahabat karib Sakura. Ino adalah seorang dokter di rumah sakit ternama di negaranya. Sayangnya akhir-akhir ini Ino juga mulai sibuk dan jarang menemui Sakura.

"Maaf kemarin aku tidak membalas pesanmu. Aku benar-benar kacau!" ucap Sakura sambil mengambil sepotong kue itu dan memakannya.

"Tidak apa-apa. Kacau? Ah, jangan-jangan–" Ino sepertinya sangat mengerti keadaan Sakura sekarang. "–kau juga diundang?" bisik Ino.

Sakura mengangguk sambil mengunyah kuenya. "Aku tidak tahu harus menghadirinya atau tidak,"

Grep! Ino menarik bahu Sakura. "Dengar, Sakura Haruno! Di sinilah harga dirimu dipertaruhkan!" tukas Ino. Ia menatap mata Sakura dengan serius. Sedangkan Sakura hanya bingung menunggu tindakan Ino selanjutnya.

"Kalau Sasori mengundangmu itu artinya dia sudah benar-benar melupakan perasaannya padamu. Yang harus kau lakukan adalah menunjukkan hal yang sama," saran Ino sambil tersenyum tulus.

"Kau mengatakannya seperti Sasori akan menikah saja," ujar Sakura sambil tertawa kecil. Ia kembali mengambil sepotong kue di hadapannya.

"Ah kau ini! Melihat kenyataannya ini sama saja Sasori memberikanmu undangan pernikahan!" ucap Ino dengan tegas.

Sakura mencerna baik-baik perkataan Ino, meskipun ia masih tidak yakin dengan ucapan Ino. Karena jujur saja dalam hatinya ia belum bisa sepenuhnya melupakan Sasori. Tapi ada benarnya juga, Sasori pasti sudah melupakan perasaannya. Sakura juga tidak bisa terus-terusan mengharapkan Sasori.

Sakura mengangguk beberapa kali. "Sepertinya aku harus hadir. Terima kasih, Ino!" ucap Sakura sambil melanjutkan makannya. "Kau tidak hadir?" tanya Sakura lagi.

"Aku mau menghadirinya, tapi pekerjaanku masih banyak." Ino melirik jam yang bergantung di ruangan Sakura. "Ah, gawat! Aku sudah harus pergi. Makan yang banyak, ya, Sakura!" ujar Ino sambil mengelus puncak kepala Sakura dan bangkit dari duduknya.

Ino berjalan ke luar perusahaan Sakura. Sambil berjalan ia seperti memikirkan sesuatu. "Tunggu dulu, kalau Sakura pergi sendiri itu sama saja bohong. Harusnya dia bersama seseorang," pikir Ino. Ia hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi Sakura, tapi waktunya tidak banyak sehingga ia mengabaikan hal tersebut dan kembali berjalan.

Keesokan harinya, Sakura melirik jam kecil di sudut mejanya. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang tapi Sakura belum bergegas pergi padahal acaranya dimulai empat puluh lima menit lagi.

"Ah, mungkin aku terlambat," gerutu Sakura. Ia membenarkan pakaiannya yang sempat berantakan. Kemudian ia berlalu meninggalkan ruangannya. Sakura buru-buru memasuki elevator. Di sana ia bertemu seorang gadis cantik dengan rambut sewarna lavender itu.

"Ah, Hinata-san?" tanya Sakura mencoba mengenali. Hinata menyelipkan rambut kecilnya di belakang telinga. Menoleh dan tersenyum manis kepada Sakura.

"Sakura-san, apa kabar?" tanya Hinata ramah.

"Ah, aku mau menghadiri acara temanku. Kau sendiri? Kau tidak mencariku?" tanya Sakura. Ya, ia agak heran kenapa seorang Hinata berada di perusahaannya. Kalau bukan untuk menemuinya, apa lagi? Sekedar info, Hinata juga memiliki perusahaan. Kalau Sasuke menempati posisi pertama dan Sakura menempati posisi ketiga, maka perusahaan Hinata menempati posisi kedua. Hebat, kan?

"Tidak. Aku mencari seseorang. Tapi sepertinya aku tidak menemukannya," ucap Hinata dengan nada lembut.

'Jangan mencari seseorang di perusahaanku. Ini bukan acara tali kasih," batin Sakura.

Sakura dan Hinata berpisah di lantai bawah. Sakura berjalan menuju parkiran mobilnya. Ia memperbaiki rambutnya sedikit. Kemudian memasuki mobilnya. Sakura menatap pantulan dirinya dalam cermin. "Yap! Sempurna."

Brak! Seseorang membuka pintu mobil Sakura dan seenaknya mendudukkan diri di samping Sakura. Parahnya lagi, itu adalah Sasuke. Makhluk itu tidak salah masuk mobil, kan?

"Ayo berangkat! Waktuku tidak banyak," pinta Sasuke sambil membenarkan posisi duduknya. Kemudian ia memasang seat belt-nya.

Sakura melongo, menatap makhluk yang seenaknya memasuki mobilnya dan memerintahnya. Sasuke membalas tatapan Sakura dengan wajah datar.

"Hah?!"

To Be Continued –

Tadaaaaa~

Iya, aku tau pasti gak ada yang kenal sama aku kan huehue. Maaf karena lama hiatus. Setahun aja sih haha. Harusnya aku ngelanjutin fic yang ada tapi malah bikin baru hueeee maap. Ini karena sedih liat list penpik dikit banget, dan temen mama yang nyuruh balik ke dunia nulis-nulis lagi setelah lama bersarang di dunia utaite/nyanyi-nyanyian. Sepertinya aku agak kaku menulis lagi karena telah lama hiatus, aku harap fic ini gak hancur heuhue. Karena ini fic baru mending aku bikin Q&A biar gak heran ya~

Q: Fic ini rencananya berapa chapter mb?

A: Mungkin hanya dua atau tiga. Maaf, gak bisa bikin fic yang panjang dulu soalnya masih sibuk buat mendaftar uni dan sebagainya *curhat*

Q: Kenapa adegan Sasusaku sedikit banget? Ini penpik apa sih?

A: Karena chapter pertama memang sama sekali gak membahas SasuSaku. Chapter 2 akan full Sasusaku kok.

Q: Sasusaku/Sasosaku/SakuIno/Sasuhina?

A: SASUSAKU! Kalian gak nyasar kok. Ini beneran penpik Sasusaku. Hanya saja pembukanya memang mengandung unsur Sasosaku.

Q: Apa Sasuke, Sakura dan Hinata itu saingan?

A: Tidak! Mereka malah bekerja sama. Soalnya mereka bertiga sudah berteman sejak di bangku kuliahan. Hanya saja Sasuke dan Hinata lebih senior dibandingkan Sakura.

Yak, itu aja deh! Kalau masih ada yang ingin ditanyakan jangan ragu-ragu untuk menuliskan di kolom review, ya. Berhubung aku lagi hiatus di dunia perutaitean, makanya aku bakal balik nulis lagi, mungkin aku akan ngelanjutin fic yang lain. Review, fav atau follow fic ini kalau kalian kangen sm aku– bukan, maksudku kalau kalian mau tahu kelanjutannya. See you~

Ilma Sarah Zena. Makassar, June 16 2016.