A Warrior's True Love
CHAPTER 1
Pair NaruHina
Romance, drama, sedikit nuansa politik hehehe.
aku dedikasikan kepada NaruHina yang sudah menjadi Canon. Aku ingin membuat kisah cinta mereka lain dari biasanya.
.
.
.
Hallo aku bawa FF baru lagi. Entahlah, padahal masih banyak FF yang belum tamat tapi aku tetap ingin membuat FF baru. Ini adalah FF yang terinspirasi dari kisah hidup salah satu tokoh politik idola saya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja aku ingin membuat kisah cinta beliau menjadi sebuah kisah romantis versi NaruHina. Mungkin sebagian besar kalian akan tahu siapa tokoh politik yang aku maksud. Tidak semua kisah yang ada disini merupakan nyata. Banyak yang aku tambahin, cuma intinya saja aku terinspirasi dari kisah cinta beliau.
Bagi yang nggak suka dengan beliau jangan dibawa kebencian kalian itu ke dalam FF ini. Aku tidak mau melihat flamer berkeliaran hanya karena aku mengangkat kisah cinta dan hidup beliau. Terima kasih.
.
.
.
Ditengah ratusan batu nisan, seorang ayah berdiri sembari memandang dua makam berjejer penuh arti. Dia tidak sendirian, namun pria separuhbaya itu ke sana bersama putra semata wayangnya yang masih berumur sepuluhtahun, ia bernama Namikaze Minato adalah rakyatJepang yang memiliki keturunandarahbiru, orang awam sering menyebutnya keturunan bangsawan. Selain itu, keluarga Namikaze Minato adalah keluarga pejuang.
Dua adiknya gugur di medan perang disaat Jepang melawan penjajaha Amerika. Dua minggu sekali, Minato selalu mengajak Naruto berkunjung ke makam dua adiknya yang gugurdalam pertempuran. Bukan raut wajah sedih yang Minato tunjukan kepada putranya, tapi raut wajah bahagia dan bangga karena dua adik kesayangannya adalah seorangpejuang yang rela mati demi bangsa dan Negara.
"Naruto, dua pamanmu ini adalah seorang pejuang bangsa. Mereka rela mati demi negara, mereka membela da nmemperjuangkan nyawa rakyat Jepang. Tak ada penghargaan yang berarti bagi prajurit kecuali mati demi membela negara," ucap Minato tegas.
Pikiran bawah sadar Naruto menangkap perkataan ayahnya, hal itu member sebuah stimulus yang sangat kuat didalam pikiran seorang anak berumur sepuluh tahun. Dalam benak, jiwa raga dan tekadnya, ia ingin menjadi seorang prajurit seperti paman-pamannya suatu saat nanti. Anak kecil bernama Naruto itu tersenyum bangga sambil memegang batu Nisan kedua pamannya. Hati kecil bocah berumur sepuluh tahun itu pun bergejolak.
"Paman, aku akan meneruskan perjuangan kalian. Aku akan menjaga bangsa ini. Aku akan melindungi rakyat Jepang. Ini adalah janiku paman," ucap Naruto dalamhati.
ooOOoo
Tujuh tahun kemudian, Namikaze Naruto tumbuh menjadi remaja yang sangat tampan, gagah, berwibawa dan jenius. Naruto menghabiskan masa kecilnya di luar negeri, ia hidup bersama paman-pamannya yang hidupnya selalu merantau di negeri orang. Naruto mulai meninggalkan Jepang saat ia berumur dua belas tahun. Ia melanjutkan sekolah menengah pertama di Swiss, ia hidup bersama pamannya. Setelah lulus sekolah menengah pertama dengan nilai yang sangat memuaskan, Naruto melanjutkan sekolah menengah atas ke London, Inggris. Tepatnya di American school. Sama seperti sebelumnya, disana dia hidup bersama bibinya yang merantau di negara Ratu Elizabeth itu. Prestasi Naruto dalam bidang akademik kembali cemerlang, bahkan ia mendapatkan beasiswa dari universitas Colorado, Amerika.
Surat panggilan dari Colorado, ia geletakkan begitu saja di atas meja. Naruto berdiri sembari melihat pemandangan taman rumah bibinya dibalik jendela kaca. Bunga mawar dan bunga tulip tumbuh subur dipekarangan rumah bibinya. Tak ada yang hal yang ia pikirkan selama ini kecuali tanah air yang ia cintai yaitu Jepang sang negeri Sakura. Lamunan Naruto terkadang menyeret imajinasinya terlalu jauh tentang pemerintahan. Ia merasa penduduk Jepang hidupnya masih belum bisa dikatakan layak. Banyak sekali kemiskinan dan pengangguran. Pemikiran konyol pun meluap dialam bawah sadarnya, Naruto ingin sekali menjadi seorang presiden. Setelah ia menjadi Presiden, ia ingin mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat Jepang dan menjadikan Jepang sebagai bangsa yang bermartabat dimata Internasional serta negara yang berdikari. Tapi bagaimana caranya ia menggapai mimpi konyolnya itu?
"Apa lagi yang kau pikirkan Naruto?" tanya bibi Naruto yang bernama Aiko. Mata bibi Aiko melirik sebuah surat dari Universitas Colorado yang tergeletak dimeja begitu saja. Tangannya meraih surat itu dan membaca sebuah Formulir pendaftaran. "Kenapa formulir ini masih kosong? Apa kau berniat untuk menolak beasiswa luar biasa ini?"
"Entahlah bibi, aku masih belum memikirkannya," jawab Naruto singkat.
"Sebenarnya, apa yang kau inginkan didunia ini Naruto? Kau adalah seorang remaja yang jenius, kau bisa menjadi orang besar jika menerima beasiswa dari universitas ini."
"Aku tahu bibi, tapi bagaimana bisa aku hidup enak di negeri orang sedangkan banyak penduduk Jepang yang masih kelaparan dan hidup dibawah garis kemiskinan. Apa yang bisa aku harapkan kepada universitas kelas dunia itu. Pada akhirnya, aku harus bekerja dengan mereka dan dibayar oleh mereka," jawab Naruto tegas.
Aiko terkesiap mendengar jawaban dari Naruto, seorang remaja berumur tujuh belas tahun yang sudah memiliki pemikiran besar tentang bangsa dan negara. Ucapan Naruto merupakan tamparan kecil baginya, karena ia lebih suka hidup dinegara orang daripada di negeri sendiri. Aiko berjalan mendekati Naruto, ia berdiri disamping keponakan tampannya itu sambil melihat pemandangan diluar jendela.
"Jika kau ingin memperbaiki bangsamu, maka kau harus berkuasa disana. Kekuasaan itu tak lain adalah menjadi seorang presiden, Naruto-kun. Jangan katakan pada bibi kalau kau memang berniat untuk menjadi presiden?" tanya Aiko sambil tertawa kecil.
"Memang itu yang aku inginkan dan memang itulah cita-citaku," ucap Naruto tanpa ragu sedikitpun. Tawa Aiko lenyap dibalik kata-kata berani dari Naruto. Tatapan tajam Naruto menggambarkan sebuah keseriusan yang luar biasa. Aiko menghela nafas panjang dan melanjutkan kata-katanya.
"Jika kau ingin menjadi Presiden, maka kau harus menempuh pendidikan militer. Jadilah seorang tentara, maka kau akan menjadi seorang Presiden suatu saat nanti," ujar Aiko. "Lagipula, bibi tahu kalau dari dulu kau ingin sekali menjadi prajurit. Kau ingin seperti dua pamanmu yang gugur dalam perang, benar kan?"
"Tapi bibi, jika aku menjadi seorang prajurit suatu saat nanti, apakah aku akan menjadi seorang presiden yang bisa mensejehaterakan dan memakmurkan rakyat?"
"Terkadang prajurit tempur hidupnya lebih sulit daripada rakyat. Suatu saat nanti kau akan tahu apa yang harus kau lakukan jika menjadi presiden berdasarkan pengalamanmu. Masa depanmu ada ditanganmu sendiri Naruto."
Bibi Aiko tersenyum kecil kepada keponakan kesayangannya. Tangan kanannya memegang pundak Naruto penuh rasa bangga. Ia masih tak percaya keponakan yang masih belia ini sudah memiliki pemikiran besar demi bangsa dan negaranya. Naruto tersenyum manis kepada bibinya. Bibi Aiko sudah ia anggap sebagai ibundanya sendiri, karena ibu kandung Naruto meninggal saat ia lahir. Jika ayahnya sibuk bekerja maka bibi yang selalu merawat dan menjaganya. Suasana pagi hari ini begitu cerah, senyum pun terkembang. Naruto menngambil hoodie yang tergeletak di kamar dikursi dan bergegas keluar.
ooOOoo
Naruto mengayuh sepedanya dengan penuh rasa suka cinta. Irama musik ceria yang ia dengar dari dua earphonya menambah kebahagiaan di pagi hari. Hamparan sawah hijau dan sedikit menguning membuat mata anak muda itu lebih fresh. Iya, setiap pagi sejak kepulangannya dari London usai mengenyam pendidikan sekolah mengah pertama disana. Naruto selalu mengawali paginya untuk bersepeda dan berkunjung ke sebuah desa yang begitu asri dan menyenagkan yang terletak tak begitu jauh dari rumahnya. Sebelum menuju ke sana, Naruto mampir dulu ke sebuah perusahaan susu sapi segar.
"Paman," teraknya sembari melambaikan tangan kepada salah satu pekerja kasar disana.
"Oe Naruto-san," sapa lki-laki setengah baya yang dahinya bercucuran keringat. Naruto menjagang sepedahnya dan berjalan mengahampiri paman itu.
"Bagaimana kabar paman hari ini?" tanya Naruto.
Ke dua tangannya mengangkat satu keranjang susu kemasan. Ia meletakkan satu keranjang susu itu diatas boncengan sepeda ditambah satu keranjang lagi dari paman. Paman itu kemudian menali erat dua keranjang yang ada di tempat boncengan Naruto dengan sebuah karet besar dan panjang berwarna Hitam. Tatapan mata Naruto memandang iba kepada paman yang sudah bermur lebih dari setengah abad ini. Dia seharusnya di rumah dan beristirahat.
"Selesai," ucap paman itu. Lamunan Naruto buyar, ia kemudian tersenyum. Ia tak mau terlihat sedih di depan paman karena merasa kasihan padanya. Itu akan membuat paman itu merasa sedih
"Berapa paman semuanya?"
"3500 yen," ucap paman. Naruto mengambil uang dari dompetny sebesar lima ribu yen. "Aduh, kenapa kau selalu memberi uang lima ribu yen, kalau pagi-pagi begini aku masih belum punya kembalian," keluha paman.
"Sudahlah paman, ambil saja kembaliannnya," ucap Naruto ramah.
"Naruto-san, setiap hari kau selalu memberi menyuruhku mengambil uang kembalian. Jika kau seperti ini terus aku merasa tidak enak."
"Sudahlah paman, itu hadiah dariku karena paman sudah bekerja keras. Aku berangkat dulu paman," pamit Naruto.
Paman itu mengangguk, walaupun sudah berkali-kali ia bertemu Naruto. Tapi ia tidak tahu banyak tentang siapa Naruto? Paman itu hanya tahu kalau Naruto adalah seoang pelanggan susu biasa. Sudah satu bulan ini, paman selalu menadapat uang tambahan uan dari anak berambut kuning itu.
"Terima kasih, semoga Tuhan selalu memberimu rejeki dan melindungimu," ucapnya seraya melihat Naruto pergi dengan sepeda kayuhnya.
ooOOoo
Enam puluh menit setelah menempuh perjalanan diantara hamparan padi yang sudah mulai menguning. Sampailah Naruto di sebuah desa yang satu bulan ini sudah ia kunjungi. Disana ia melihat semua laki-laki dewasa pergi ke sawah dan merawat hewan ternaknya. Sedangkan para perempuan, sibuk mencuci, memasak dan mengurus anak mereka. Sebenarnya jarak desa dan rumahnya tidak begitu jauh namun medan yang ia tempuh memperlambat harus menyebrang sungai, melalui jalan tak beraspal untuk menuju ke sana. Naruto tersenyum senang, ia melepaskan tali karet yang melilit keranjang susunya. Rumah di desa itu sangat sederhana. Bagian tasnya hanya terbuat dari jerami,lebarnya pun tak seberapa. Mata safirnya melihat segerombolan orang sedang asyik bercengkrama.
"Selamat pagi, bibi, paman dan adik-adik semua," sapa Naruto penuh semangat.
"Selamat pagi," jawab semua orang. Anak-anak berusia lima sampai tujuh tahun berlari menghampiri Naruto dan memeluknya. Naruto tersenyum dan membalas pelukan mereka dengan perasaan sayang yang tulus.
"Apa kakak membawa susu lagi?" tanya seorang gadis kecil berusia tujuh tahun.
"Iya, tentu saja. Ini milikmu," ucap Naruto sambil memberi anak iitu sebuah susu dan juga teman-temannya. Anak-anak itu terlihat sangat senang.
"Naruto-san, apa bantuan dari pemerintah ini akan terus ada sampai nanti," tanya seorang wanita setengah baya.
"Iya, bibi jangan khawatir. Bantuan ini akan terus berlanjut," ujar Naruto.
Ia membagikan satu bungkus susu segar kepada setiap warga. Bahkan jika rumahnya kosong, Naruto tetap memberi satu bungkus susu segar. Sepuluh menit sudah ia mengitari perkampungan, semua susu yang ia beli sudah habis. Begitulah Naruto, ia selalu mengatakan kepada warga bahwa susu-susu itu adalah natuan dari pemerintah, padahal sebenranya itu adalah uang saku yang ayah Naruto berikan padanya. Namikaze Naruto, adalah sosok dermawan yang tak mau orang lain melihat apa yang sudah ia lakukan untuk orang lain. Anak-anak dan semua orang di daerah terpencil bisa tersenyum, membuat dirinya bahagia. Saat ia akan pulang, dari kejauhan ia melihat seorang ibu sedang memasak di luar rumah. Rumah ibu itu sangat jauh dari kata layak. Tak ada dapur disana, sehingga ia harus memasak di halaman. Naruto menjagang sepeda kayuhnya dan menghampiri si ibu. Wajah ibu itu terlihat sangat sedih, gelisah bahkan sesekali ia mengusap air mata. Sedangkan kedua anaknya menangis sembari memegangi perut mereka.
"Ibu kapan nasinya matang. Aku sudah lapar," ucap seorang bocah laki-laki berumur sepuluh tahun.
"Sabar ya nak, sebentar lagi nasinya matang," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Kenapa lama sekali ibu."
Ibu itu tiba-tiba pergi entah, Naruto memberanikan diri mendekat dan melihat apa yang ibu itu masak. Saat ia membuaka penutupnya, hatinya terasa trentuh, bahkan ia menitikan air mata ketika melihat apa yang ada di masak oleh ibu itu. Sebuah batu berukuran besar, terletak diantara didihan air yang panas. Betapa bodohnya dia, sudah satu bulan ini ia berkunjung tapi baru kali ini ia melihat bangunan rumah satu kilo meter jauhnya dari desa. Tak ada tetangga, Naruto yakin hidup ibu dan keluarganya ini bergantung pada alam. Naruto buru-buru mengeluarkan isi dalam dompetnya. Ia memberikan semua uang yang ia punya. Naruto mencari sebuah kerikil kecil sebagai penimpa uang agar tak terbang jika bertiup angin. Setelah itu ia bergegas pergi,
Saat ibu dengan dua anak itu kembali, ia tampak terkecut melihat tumpukan uang yang lumayan banyak disamping perapiannya. Matanya segera mencari seorang, siapapun itu ia ingin mengucapkan terima kasih. Namun sayang, dia hanya bisa melihat seorang pemuda berambut kuning yang sudah menjauh dari rumahnya.
ooOOoo
Malam menjelang, suasana rumah Naruto sekaligus rumah bibi dan ayahnya terasa begitu sepi. Pukul delapan malam, biasanya digunakan oleh Minato sebagai jam kerja tambahan dirumah. Minato tak pernah istirahat, ia terlalu sibuk. Sebagai Menteri Koordinator perekonomian negara, Minato menjadi salah satu tumpuan pembuat kebijakan ekonomi masyarakat bersama presiden. Sejauh ini kebijakan Minato bersama kabinet lainnya sekaligus presiden sangat pro rakyat. Hal ini membuat rakyat semakin percaya dengan pemerintah. Minato merasakan pintu ruang kerjanya terbuka, samar-samar ia melihat bayangan putranya yang berdiri dibalik pintu.
"Apa kau menemukan hal baru di desa itu?" tanya Minato.
"Iya ayah," jawab Naruto singkat.
"Pasti itu hal yang tidak menyenangkan?"
"Kau benar ayah, tadi aku melihat seorang ibu sibuk memasak, ketika aku buka penanak nasinya. Ternyata dia memasak sebuah batu agar kedua anaknya tidak khawatir dan seolah melihat ibunya sibuk memasak. Ayah aku... ,"
"Kau ingin membantu ibu itu?"
"Iya ayah, bukan hanya ibu itu tapi semuanya. Aku bahkan ingin sekali membantu mereka lebih dari sekedar susu."
"Lalu apa yang ingin kau berikan pada mereka?" tanya Minato.
"Beras dan hewan ternak ayah. Seperti sapi penghasil susu. Jika kita memberi mereka sapi perah kemungkinan besar mereka bisa minum susu kapanpun mereka mau tanpa menunggu bantuanku. Beras, walaupun mereka adalah petani padi namun hasil panen mereka sepenuhnya mereka jual sehingga mereka tak bisa mengambil sedikit panen untuk dimasak di rumah. Kasihan mereka ayah,"
"Kau ingin ayah memberimu sedikt dana?" tanya Minato sambil tersenyum.
"Tidak ayah, aku akan menggunakan uang tabunganku sendiri. Asal ayah tahu aku selalu menabung uang pemberian dari ayah," ucap Naruto bahagia. Minato tersenyum bangga melihat jiwa ksatria putranya. Minato melihat penampilan putranya dari ujung kaki sampai tersenyum kedil. "Naruto, bagaimana bisa kau begitu peduli dengan orang lain tapi kau sama sekali tak peduli dengan penampilanmu." Naruto tak mengerti maksud ayahnya. Saat mata Minato memandang celananya, tepat didepan lutut ada sobekan kecil. Naruto tersenyum kecil.
"Hehehe, aku akan memperbaiki ini,"
"Aku dengar dari bibimu, kau menolak beasiswa dari universitas colorado?"
"Iya ayah."
"Sayang sekali, masa depanmu akan cerah nantinya. Kau telah melewatkan kesempatan emasmu Naruto," ujar Minato.
"Aku ingin jadi prajurit ayah seperti dua pamanku," jawab Naruto tegas.
"Benarkah?" tanya Minato. Naruto mengangguk pasti. "Bagus, sebentar lagi ada pendaftaran pasukan elite Jepang. Ikutlah dan persiapkan dirimu sekarang."
"Baik ayah,"
"Oh ya Naruto bersiaplah, besok sore kita di undang oleh Presiden untuk menghadiri acara ulang tahun putrinya."
ooOOOoo
Suasana pusat kota Tokyo di pagi hari nampak begitu rumit karena banyak sekali orang-orang berlalu lalang. Naruto bersama ayahnya berangkat dari sebuah kota kecil menuju pusat kota Tokyo untuk menghadiri acara ulang tahun putri dari presiden Hyuga Hiashi yaitu Hyuga Hinata. Selama ayah Naruto menjadi menteri koordinator ekonomi, Minato tidak pernah menggunakan rumah dinasnya. Ia lebih suka pulang ke rumah berkumpul dengan saudara dan putranya. Rumah dinas Minato yang ada di Tokyo jarang ia gunakan jika ada keperluan saja. Tokyo memang kota besar, tak heran jika disini tak perkampungan terpencil seperti di Kota kecil Naruto. Sebelum menghadiri acara, Minato mengajak putra semata wayangnya untuk beristirahat di rumah dinasnya. Rumah dinas inilumayan besar dan terasa begitu nyaman. Naruto kembali sendirian karena ayahnya harus segera bekerja.
Rasa bosan melanda Naruto, di rumah sebesar ini hanya ada dia dan beberapa pelayan. Ia benci susana seperti ini. Senyum manis tiba-tiba berkembang di bibirnya, ia ingat di ruang belakang ada sepeda kayuh milik ayahnya. Naruto bergegas mengambil sepeda kayuh itu dan perginmenyusuri kota. Pria berambut kuning ini benar-benar menikmati hidup. Alunan musik klasik menemani harinya kala ini. Tanpa ragu Naruto terus mengayuh sepedanya. Alisnya tiba-tiba bertaut, dari kejauhan ia melihat sosok gadis yang berlari dan melambai-lambaikan tangannya. Gadis bermata lavender itu dikejar dua sosok pria gagah berjas.
"Tolong, cepat tolong aku. Aku mohon," ucapnya. Gadis itu membonceng begitu saja dan menyuruh Naruto cepat jalan. Naruto bingung, entah kenapa ia menuruti keinginan gadis itu.
"Nona, saya mohon jangan melarikan diri lagi!" teriak salah seorang pria berjas.
"Ayo cepat. Aishhhh, kau ini lambat sekali!" omelnya. Gadis itu membantu membantu Naruto mengayuh sepeda dengan ke dua kakinya.
"Hei, kenapa kau menginjakkku. Sakit tahu!" omel Naruto.
Gadis itu menoleh ke belakang, ia semakin terkejut ketika dua pria berjas itu tiba-tiba mengayuh sepeda dengan kencang. Entah darimana mereka itu mendapatkannya. Hinata tak mau tahu. Yang penting ia bisa melarikan diri.
"Nona, tunggu kami!" teriak salah satu pria berjas.
"Kyaaaaaaaa cepaaat!"
TO BE CONTINUE
