ELASTIC HEART
Cast : Vergil, Nero, Dante, Trish, Lady, Kyrie, dan beberapa OC karangan saya
Rating : K+/T for some violence and harsh words
Genre : Drama, Family, Hurt/comfort, Angst
Disclaimer : all characters belong to CAPCOM
"Huff…huff…sedikit lagi…"
Matahari sebentar lagi akan naik ke ufuk timur. Aku melihat langit sudah mulai berwarna jingga. Jam tanganku menunjukkan pukul 5.59 dan aku harus tiba di rumah secepatnya. Sudah 30 menit aku jogging keliling kompleks perumahan. Botol air minumku hampir kosong saat sudah tiba di depan rumah. Aku mengatur nafasku, menyeka keringatku dengan handuk kemudian melepas sepatu dan kaos kakiku.
"Aku pulang…" kataku mengucap salam dan masuk ke rumah.
Tidak ada jawaban yang kudapat, tetapi aku mendengar seseorang sedang memasak di dapur. Aroma masakannya tercium sampai ke ruang tengah. "Ayah?" panggilku kemudian masuk ke dapur.
"Oh, sudah pulang?" tanya pria yang sedang sibuk membalik telur goreng di atas wajan.
"Kau tidak dengar aku mengucap salam, Ayah?" tanyaku dingin.
"Aku dengar," jawabnya acuh tak acuh. "Jeruk perasnya ada di kulkas. Setelah ini, lekaslah mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Sarapan akan siap pukul 6.30."
Tidak menanggapi kata-katanya, aku membuka kulkas dan menegak habis jeruk peras yang sudah disiapkan ayahku di dalam botol. Setelahnya, aku langsung naik ke kamarku dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Waktu menunjukkan pukul 6.30. Aku harus memastikan seragamku sudah terlihat rapi. Aku memeriksa kembali tasku agar tidak ada buku atau alat tulisku yang tertinggal. Aku juga memeriksa ponselku, sekedar melihat apakah ada pesan singkat yang masuk atau tidak. Setelah semuanya siap, aku turun kembali ke ruang makan untuk sarapan.
Tiba di ruang makan, aku tidak mendapati ayahku di sana. Aku menoleh ke pintu ruang kerjanya yang tidak jauh dari ruang makan, dan menghela nafas kecewa. "Ayah, aku sarapan dulu," kataku sekedar memberitahunya. Dia tidak menjawab, dan aku pun akhirnya menikmati sarapanku sendirian.
Ayahku, Vergil, adalah seorang Presiden Direktur dan Ketua Dewan Komisaris di perusahaan warisan ayahnya, Sparda Co.. 13 tahun yang lalu, ayahnya meninggal dan mewariskan perusahaannya kepada ayahku dan saudara kembarnya, Dante. Namun pamanku itu memilih untuk bekerja dan mendirikan perusahaan sendiri dengan alasan tidak ingin mengganggu posisi ayahku. Awal diangkat menjadi manajer, jadwal kerja ayahku di kantor sangatlah padat. Dia akan berangkat pagi dan pulang larut malam. Di akhir bulan, dia bisa menginap di kantor demi mengejar beberapa target perusahaan yang belum tercapai. Karena pekerjaannya yang sangat menyita waktu dan tenaganya, aku memprotesnya dan menyuruhnya mengatur kembali jadwalnya.
2 tahun yang lalu, dia diangkat menjadi Presiden Direktur dan Ketua Dewan Komisaris di perusahaannya. Bersamaan dengan itu, dia memutuskan untuk bekerja di rumah. Dia hanya akan ke kantor jika diperlukan. Sebenarnya aku senang. Setiap berangkat sekolah, aku akan berpamitan dengannya, Saat pulang pun, aku akan disambut olehnya. Tetapi semua itu hanya terjadi di tahun pertama saja. Semakin kemari, aku tidak lagi merasakan perbedaan antara dia bekerja di kantor atau di rumah. Dia tetap sibuk, meski tidak pernah lupa dengan pekerjaan rumah.
Oh ya, aku lupa mengatakan kalau dia adalah seorang single father. Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Sampai detik ini, ayahku tidak pernah menceritakan apa pun padaku soal ibuku. Dia hanya memperkenalkannya lewat foto dan kenangan terakhir darinya, berupa cincin bermata blue sapphire yang kukenakan di jari manis tangan kiriku. Ayahku menolak untuk menikah lagi. Dialah yang mengurus segala kebutuhanku sampai aku berusia 17 tahun sekarang ini. Saat dia masih bekerja di kantor, dia jarang memperhatikanku. Urusan makan, kadang dilimpahkan kepada paman Dante. Sekarang, dia masih bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan, bekal makan siang, dan makan malam. Meski demikian, setelah pekerjaan rumah selesai, dia akan kembali mengurung dirinya di ruang kerjanya.
"Sudah selesai sarapannya, Nero?" tepat saat aku meletakkan pisau dan garpuku, ayahku datang ke ruang makan. Aku hanya mengangguk menjawabnya. Dia lalu duduk di sampingku sambil menyerahkan tas serut berisi kotak makan siangku. Dia berkata, "Aku membuat 2 macam sandwich untuk makan siang. Isi ayam dan isi tuna. Juga jus sirsak kesukaanmu."
"Terima kasih, Ayah," jawabku.
Vergil kemudian meninggalkanku dan pergi ke ruang kerjanya. Itu saja? Demikian pikirku. Ya sudahlah, dia sibuk. Jabatan di perusahaannya semakin tinggi, maka tanggung jawabnya juga semakin banyak. Aku harus mengerti.
Aku memang harus mengerti…
"Baiklah…" selesai sarapan dan merapikan piring makanku, aku pergi ke garasi rumah dan mengeluarkan sepedaku. Aku anak seorang petinggi perusahaan besar, tapi pergi ke sekolah dengan sepeda. Menurutmu? Hey, naik sepeda justru lebih menyenangkan! Aku pernah ke sekolah diantar mobil oleh supir pribadi. Aku sering diperlakukan tidak baik oleh teman-temanku berkenaan dengan status sosialku. Aku mengadukan hal ini kepada ayahku dan dia mengizinkanku berangkat sekolah naik sepeda. Dengan catatan aku harus mengenakan helm, pelindung tangan, dan pelindung kaki.
Aku kembali ke dalam rumah untuk berpamitan dengan ayahku. Aku melihat dia sedang membaca beberapa dokumen penting di mejanya. Kedua matanya terlihat lelah di balik kacamata bingkai perseginya. "Ayah," panggilku kemudian menyadarkannya. "Aku berangkat dulu."
"Hati-hati di jalan, Nak," balasnya. "Pulanglah tepat waktu. Tidak ada waktu untuk main-main. 2 bulan lagi kau akan ujian kelulusan."
-000-
Bel tanda pelajaran berakhir telah dibunyikan. Waktu telah menunjukkan pukul 3.30 sore, saatnya pulang. Sebelum keluar dari kelas, aku memeriksa kembali catatan Matematika yang diberikan oleh guruku di pelajaran terakhir tadi. Sebentar lagi ujian kelulusan, aku tidak boleh lengah. Di sekolah ini, Fortuna Academy, aku adalah salah satu murid berprestasi. Aku sudah berjanji kepada ayahku untuk menjadi anak baik dan pintar di sekolah. Ayahku memang jarang memperhatikanku, bukan berarti aku bisa berbuat sesukaku. Selagi aku di luar rumah, di sekolah atau di mana pun aku berada, aku harus bisa menjaga diriku sendiri.
"Hai, Nero. Sudah mau pulang?" tanya Kyrie menghampiriku.
"Oh ya, sebentar lagi," jawabku kemudian merapikan isi tasku. "Kau akan pulang dengan Credo hari ini?"
"Tidak, hari ini jadwal kuliah Credo berakhir pukul 5 sore. Bolehkah aku ikut pulang denganmu, Nero?"
"Tentu saja boleh. Ayo kita pulang sekarang."
Kyrie adalah teman sekelasku, juga pacarku. Kami terhubung sejak SMP kelas 3. Begitu tahu aku pacaran dengan perempuan cantik berambut cokelat ini, ayahku langsung memberikan banyak peraturan dan batasan. Kami dilarang bepergian berdua saja. Kalau bepergian pun, tidak boleh lewat dari jam 6 sore. Kami boleh berkunjung ke rumah masing-masing, asalkan di rumah itu ada salah satu anggota keluarga demi bisa mengawasi perilaku kami. Kyrie tinggal dengan kakaknya, Credo. Kedua orangtua mereka meninggal akibat bencana gempa bumi saat Kyrie lulus dari sekolah dasar.
"Tania dan Emily akan pergi ke toko buku hari Sabtu nanti. Mereka mengajakku, Nero. Kau mau ikut?" tanya Kyrie saat kami berjalan pulang sekolah. Dia juga mengendarai sepeda.
"Rasanya aku harus bertanya kepada ayahku dulu. Kukabari lagi nanti," jawabku.
"Tidak apa-apa jika kau tidak bisa ikut. Tapi apa aku boleh pergi dengan mereka, Nero?"
Aku mendengus tertawa, "Seharusnya kau tanya itu kepada kakakmu, Kyrie. Aku sih terserah kau saja. Asal kau senang, aku tidak masalah."
Pipi perempuan itu merona merah dan dia berkata, "Terima kasih, Nero. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar ayahmu? Masih sibuk seperti biasa?"
"Dia sehat, dan selalu sibuk."
"Dia sudah resmi bekerja di rumah kan? Apa dia masih jarang memperhatikanmu?"
Aku mengangkat bahu dan berkata, "Begitulah dia. Mau bagaimana lagi?"
Kyrie tertawa dan berkata, "Meski ayahmu seperti itu, kau menyayanginya kan, Nero? Karena aku yakin dia pun sangat menyayangimu."
Ayahku…menyayangiku…eh?
"Kita berpisah di sini," kata Kyrie kemudian sebelum kami berpisah di sebuah perempatan besar. Aku membelai kepalanya dengan lembut dan berkata, "Kabari aku jika kau sudah sampai di rumah."
Perempuan cantik itu mengangguk dan menjalankan sepedanya meninggalkanku. Tak lama kemudian dia membalikkan badan dan melambaikan tangannya padaku. Aku melambaikan tanganku juga kepadanya sebelum akhirnya dia menghilang di ujung jalan.
"Aku pulang…" kataku mengucap salam saat tiba di rumah. Seperti biasa, aku tidak mendapat jawaban apa pun. Ayahku masih berada di ruang kerjanya. Entah sedang menerima telepon atau meneliti laporan dari perusahaannya, dia akan beralasan apa pun untuk tidak menjawab salamku.
Aku pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Di atas meja makan, aku melihat camilan sore favoritku sudah tersaji. Kroket isi daging dan wortel adalah camilan paling enak, cukup mengenyangkan sampai menjelang makan malam. Aku menuang saos sambal dan mayonais ke pinggiran piringnya. Kubawa sepiring kroket isi 8 buah itu ke ruang kerja ayahku.
"Ayah?" aku mengetuk pintu dan membukanya. Aku melihat ayahku sedang menelpon seseorang. Ketika dia melihatku masuk, dia mengakhiri teleponnya dan berbicara kepadaku, "Selamat datang, Nero. Camilan soremu sudah siap di meja makan."
Aku menunjukkan sepiring isi kroket itu padanya dan berkata, "Sudah kumakan satu dan rasanya enak. Seperti biasa."
"Makan malam akan siap pukul 7. Turunlah ke ruang makan tepat waktu, tanpa menungguku memanggilmu."
-000-
Menunggu jam makan malam tiba, aku menghabiskan waktuku berselancar di dunia maya. Sekedar bermain game online, berbicara dengan teman-temanku lewat akun media sosial, membuka situs-situs berita, dan masih banyak lagi. Saat ini, aku sedang terhubung dengan salah satu teman sekolahku, Darius, via video call di Skype.
"Menarik sekali permainannya, Darius! Aku masih berjuang di level 20. Susah sekali mengalahkan musuh di level itu!" kataku menceritakan sebuah permainan online terbaru yang kami mainkan bersama.
"Kapan nanti aku main ke rumahmu, akan kubawakan permainannya dan kita lanjutkan levelmu bersama-sama," katanya penuh semangat. "Ngomong-ngomong, aku ingin mengajakmu pergi ke World's Game Exhibition di City Hall. Pameran akan diadakan sampai hari Minggu."
"Sabtu ini ya? Err…akan kukabari kau nanti, Darius," jawabku sedikit ragu. "Kyrie juga mengajakku pergi ke toko buku dengan teman-temannya."
"Apa kau sudah setuju untuk pergi dengannya, Nero?"
"Belum juga. Aku harus membicarakan hal ini kepada ayahku."
"Demi Tuhan, Nero…" gumam laki-laki berambut cokelat itu sambil menggelengkan kepala. "Kau sudah besar, usiamu sudah 17 tahun dan kau masih memerlukan izin ayahmu kalau bepergian."
"Memangnya kau tidak memerlukan izin dari orangtuamu jika ingin bepergian, hah? Anak macam apa kau ini, Darius?" balasku meledeknya.
Darius tertawa dan berkata, "Orangtuaku tidak pernah melarangku bepergian ke mana pun aku mau. Asalkan aku bisa terhindar dari masalah, itu sudah cukup. Aku yakin ayahmu pun menginginkan hal yang sama seperti orangtuaku. Lagipula kita tidak pergi ke tempat-tempat yang dilarang oleh mereka, kan?"
"Ya, kau benar. Hmm…kukabari lagi nanti ya. Hari Jumat kau ingatkan aku kembali soal ini. Oops…rasanya kita harus mengakhiri percakapan kita sekarang. Sudah waktunya makan malam. Ayahku bisa marah besar jika aku terlambat sampai ke ruang makan."
"Hahahaha…terlambat sampai ke ruang makan saja bisa dimarahi. Kau hidup di sebuah rumah tinggal, Nero. Bukan di sebuah barak militer."
Waktu menunjukkan pukul 7 tepat. Setelah mematikan komputer, aku langsung turun dari kamarku menuju ruang makan. Menu makan malam sudah tersaji di atas meja. Semur bola daging, kentang tumbuk, dan salad buah sebagai hidangan penutup. Aromanya sangat menggugah seleraku. Namun yang membuat semua hidangan ini terasa tidak lengkap adalah ayahku tidak berada di sana.
"Tsk!" diliputi perasaan gusar, aku pergi ke ruang kerja ayahku dan merangsek masuk ke sana tanpa mengetuk pintunya. Pandangan matanya masih terpaku pada layar komputernya. Satu tangannya memegang beberapa lembar dokumen pekerjaannya. Spontan aku langsung mencabut semua instalasi listrik yang terhubung pada komputer dan laptopnya. "Hey, apa yang kau lakukan?!" bentak Vergil marah.
"Berhenti bekerja, Ayah! Waktunya makan malam!" balasku tidak mau kalah.
"Kau baru saja menggagalkan transaksi cukup besar dari seorang pemegang saham di perusahaanku."
"Aku tidak peduli berapa besar transaksi yang sedang kau lakukan. Yang aku inginkan sekarang adalah kau berhenti bekerja dan ikut makan malam denganku!"
"Biasanya juga makan sendiri dan tidak pernah protes. Mengapa baru sekarang-"
"Aku tidak mau dengar apa pun lagi darimu, Ayah! Ke ruang makan. Sekarang," potongku cepat sebelum dia mencari alasan lain.
"Jika aku menolak?"
"Aku tidak akan makan malam. Aku akan kembali ke kamarku dan belajar. Kita akan bertemu lagi besok pagi."
Ayahku menghela nafas dan berkata, "Kau mengancamku, Nak?"
"Aku tidak mengancammu, hanya sekedar mengingatkan. Kita sudah terlambat beberapa menit dari jam makan malam. Kau sendiri yang bilang, tidak boleh terlambat sampai di ruang makan."
Sebelum amarahku bertambah menguasaiku, aku beranjak keluar dari ruang kerjanya. Aku menghentikan langkahku saat tiba di depan pintu dan berkata, "Jangan buat aku menunggu, Ayah."
Aku terus melangkah sampai ke ruang makan. Saat aku duduk, aku melihat ayahku ikut melangkah dan duduk di depanku. Dia menghela nafas dan berkata, "Aku harap kau tidak lupa tata cara makan yang benar, Nero."
"Tenang saja, aku masih ingat semua yang kau ajarkan padaku, Ayah. Selamat makan," balasku sambil menyeringai.
Kami mulai menyantap makan malam dalam hening. Ini salah satu didikan ayahku. Saat makan, kami dilarang berbicara. Selain itu, dia akan langsung menegurku jika kedua siku tanganku menyentuh pinggiran meja. Sekali terdengar suara dentingan sendok, garpu, atau pisau di atas piring, dia pasti langsung melirik dengan padangan super galak. Kau akan menjadi manusia super kaku kalau sedang makan bersama ayahku.
"Terima kasih makan malamnya, Ayah," kata kemudian setelah meletakkan sendok dan garpu. "Aku suka semur dagingnya. Enak sekali. Aku memang tidak pernah bermasalah dengan semua masakanmu."
"Syukurlah jika kau suka," balas Vergil. "Letakkan piringnya di tempat cucian piring. Biar aku yang mencucinya nanti."
Dia beranjak dari kursinya dan meninggalkan dapur. Entah apa yang ada di pikiranku, aku langsung mengejarnya. Ketika dia hendak masuk ke ruang kerjanya, secepat mungkin aku menghalangi jalannya dan berkata, "Kita belum selesai bicara, Ayah."
"Pekerjaanku masih banyak, Nero," katanya sambil menghela nafas. "Kita bisa bicara nanti setelah-"
Belum sempat dia menyuruhku menyingkir. Aku mengunci pintunya dan kuncinya langsung kusimpan di saku celana pendekku. Aku menatapnya tajam, dia pun juga membalas tatapan mataku dengan tajam. "Jika kau ingin kunci ruang kerjamu kembali, ikut aku sebentar ke kamar tidurku. Aku ingin bicara padamu," kataku sedikit mengancamnya.
"Siapa yang mengajarimu untuk bisa berani bersikap seperti itu pada ayahmu, Nero?" tanya Vergil sedikit geram.
"Tidak ada yang mengajariku. Aku hanya menuruti kata hatiku saja."
Tampaknya Vergil menyerah. Dia bersandar pada pintu ruang kerjanya dan melipat kedua tangannya di depan dada. Dia berkata, "Kau ingin bicara apa, Nak?"
"Ikut aku, Ayah. Ke kamar tidurku," kataku lalu menarik tangannya dan mengajaknya pergi ke kamar tidurku. Aku merasakan tangannya menggenggam balik tanganku. Kami duduk berhadapan di tempat tidur. Sesaat kami terdiam, aku nyaris kehilangan kata-kata. Vergil masih menatapku tajam. Aku kemudian memecah keheningan dengan berkata, "Ayah, bantu aku memutuskan rencanaku bepergian di hari Sabtu."
"Kau sudah punya rencana?" tanya Vergil.
"Aku diajak Kyrie pergi ke toko buku bersama teman-temannya. Di sisi lain, tawaran Darius melihat World's Game Exhibition di City Hall juga sangat menarik. Aku bingung harus memilih yang mana. Tidak mungkin juga aku memilih keduanya karena pasti akan sangat melelahkan."
Sejenak aku melihat Vergil berpikir. Satu tangannya diletakkan di dagunya. Dia lalu berkata, "Jika kau sudah punya rencana, aku tidak mungkin mengajukan rencana ketiga."
"Err…maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Sabtu ini, aku ada undangan Dinner Gala dari perusahaan klienku. Satu undangan berlaku untuk dua orang. Aku berencana mengajakmu."
Aku sontak menggelengkan kepala dan berkata, "Aku sudah pernah datang ke acara itu satu kali dan aku tidak berharap mau datang lagi."
"Kenapa?"
"Membosankan, Ayah! Aku tidak kenal siapa pun di sana dan aku tidak suka pesta yang terlalu mewah macam itu. Terakhir aku datang ke sana, tidak sampai 1 jam, akhirnya aku minta pulang, ingat? Terlebih lagi, aku tidak suka pakai setelan jas!"
Vergil tertawa getir dan berkata, "Tujuanku mengajakmu pergi ke sana adalah memperkenalkan kepada semua klien dan kolega di perusahaanku. Juga, kau harus tahu bagaimana perkembangan perusahaanku."
Aku gemas dengan pembicaraan ayahku mengenai perusahaannya. Aku mencengkeram kedua bahunya dan menatapnya tajam. Aku berkata, "Berhenti bicara soal itu, Ayah. Sekarang masalahnya adalah bagaimana aku menentukan pilihan. Aku sungguh tidak peduli dengan acaramu. Kau bisa pikirkan siapa yang akan kau ajak untuk ke Dinner Gala. Paman Dante, mungkin?"
Sorot mata Vergil meredup, dia menghela nafas dan berkata, "Kalau begitu, kembalilah belajar. Ini sudah masuk jam belajarmu. Jam 9 nanti, kuantarkan susu cokelat dan biskuit gandummu."
"Tunggu dulu, Ayah!" sentakku sambil memegang tangan Vergil demi mencegahnya pergi. "Kita belum selesai-"
"Cukup, Nero. Ke meja belajar dan buka buku pelajaranmu. Juga, kembalikan kunci ruang kerjaku. Sekarang," entah kenapa aku tidak berani melawannya saat nada bicaranya sudah ditekan seperti itu. Aku melepaskan tanganku dari tangan dan bahunya. Kunci ruang kerjanya pun kukembalikan. Aku membiarkan dia berjalan keluar dari kamarku. Dikuasai amarah, aku melempar bantalku ke pintu kamar sehingga menimbulkan suara hantaman meski tidak terlalu keras. Biarlah dia mendengar, biar dia tahu bagaimana perasaanku.
"Kenapa sih dia menyebalkan? Uuurgh!" gerutuku sambil mengacak-acak rambutku. Kemudian aku pergi ke meja belajarku dan mulai membaca buku pelajaranku. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah bersitegang dengan ayahku.
Oh, why can not I conquer love?
-to be continue-
A/N : holaaaaa, apa kabar minna-san? akhirnya kesampean juga saya nulis vergil/nero multichapter macam ini. plot AU karangan saya sendiri. berhubung belum banyak yang bikin tentang bapak (?) dan anak ini, pengen ikutan ngeramein hohoho...
silakan kalo mau comment and review. and no FLAME! thanks! chapter 2 coming up next!
